31 Mei 2011

Elizabeth dan Mary Stuart (Antara Protestan dan Katolik)


1 Februari 1587
Di atas tanah yang berlumpur, gaun indah yang terseret rapuh bergerak mengikuti langkah kaki penuh rasa cemas. Wajah cantik yang selalu menampakan raut-raut keras serta misterius mencoba menyembunyikan ketakutan dan memperlihatkan penampilan tenangnya. Sang eksekutor sudah siap dengan kapak yang sudah diasahnya beberapa jam yang lalu, dengan tangan bergetar sang eksekutor mulai bergerak mengambil posisi untuk bersiap-siap.
Setelah kepergian sang Ratu dari Skotlandia menuju Inggris, kehidupan selama 19 tahun di dalam penjara menjadi kehidupan tersuram dalam hidupnya. Dia yang merupakan penganut Katolik Romawi yang hidup di lingkungan para Protestan yang kuat dengan ditandai oleh Undang-Undang Supremasi Act of Uniformity menjadikan gereja Protestan sebuah tembok kuat dari simbolisme kekuatan kerajaan Inggris.
Para pengikut setia yang bergerak di luar istana selalu berusaha menyampaikan pesan-pesan lewat surat-surat gelap, merancang serangan diam-diam untuk menggulingkan Elizabeth dari tahta kerajaan inggris, membangkitkan kembali ratu Skotlandia yang tidak lain adalah sepupu Elizabeth itu sendiri, Mary Stuart. Calon Ratu inggris yang beragama Katolik.
Anjing hitam yang terikat dengan rantai besi di leher menggonggong penuh kemarahan, kelaparan yang terlihat dari air liur yang terus saya mengalir dari celah taring-taring runcing yang akan mencabik-cabik tiap bagian yang disetuh olehnya.
Langkah Mary berhenti, di sisa waktu yang semakin sempit itu, dia melirik ke arah Elizabeth yang berdiri kaku menatapnya tajam. Tak ada sedikit pun tanda-tanda memohon ampun atau pun meminta pertolongan agar Elizabeth menarik titahnya atas hukuman yang segera diterimanya. Dari lirikan mata itu yang terlihat hanyalah kebencian dan rasa dendam.
Lonceng gereja tidak berdenting, dedaunan serta rerumputan ikut berhenti membunyi, awan mendung datang tiba-tiba, sekawanan burung gereja hinggap di tanah yang berlumpur di antara rerumputan. Semuanya hikmat dan menahan nafas, mengunci rasa tegang yang di pacu lewat kejadian menyeramkan serta suram bak neraka jahanam yang menjilat-jilat di depan mata.
Mata kapak terlihat menyilaukan, pancaran sinar matahari yang menyelip dari awan-awan gelap yang bergumpal memantul kea rah sepasang bola mata Mary yang melengah berbaring di atas papan panjang kasar dengan posisi tangan rata dan mulut tak henti-henti terus berdoa.
***
“Kau suka kehidupan di Istana?,” tanya Elizabeth pada dayang yang sedang melepaskan rambut palsunya.
“Iya—.”
Elizabeth berpaling sambil tersenyum. “Kau tak usah membohongiku, jawablah dengan jawaban yang jujur dari apa yang sebenarnya kau rasakan.”
“Kehidupan di Istana bukanlah hal muda yang mulia.”
“Apa kau pernah bermimpi menjadi Ratu?.”
“Tidak—saya malah berpikir hidup sederhana di antara ladang gandum atau jagung, bersama seorang suami tampan dan penuh cinta serta beberapa orang anak yang akan mengisi waktu-waktu kosong saya. Itu bagaikan kehidupan di dalam cerita.”
“Mengapa kau tidak melakukannya saja?.”
“Mungkin karena saya ingin mengabdi pada Istana—.”
Elizabeth lagi-lagi tersenyum. “Kau lagi-lagi berbohong. Jangan sampai aku mengurungmu seperti sepupuku yang berkali-kali ingin membunuhku—andai saja aku bisa melakukan semua yang kau mimpikan tadi,” dia menatap wajah cantik yang mulai terlihat garis-garis tua di sisi-sisi wajahnya. “Oh, Tuhan—tak terasa aku sudah sangat tua dengan kerut-kerut ini.”
“Kerut-kerut senyum.”
“Kau selalu bisa membuat aku tersenyum.”
Mereka berdua tertawa lepas, selepas yang mereka bisa lalkukan di balik tembok-tembok kerajaan yang melindungi mereka dari mata-mata penuh curiga.
***
Inggris, 1580
Kisruh pertentang agama yang melanda Inggris, di mana para kaum Protestan merasa tercekam rasa takut oleh pergerakan kaum Katolik yang menyuarakan bahwa Agama Katolik akan kembali membawa inggris ke dalam era pencerahan. Selain melalu Mary yang memang sudah diketahui oleh publik, pengumuman terbaru yang dikeluarkan oleh Paus Gregory XIII meresahkan keselamatan Ratu Elizabeth. Pengumuman itu berisikan bahwa tidak berdosa jika ingin membunuh Ratu Elizabeth.
Di atas kuda putih sang Ratu menghilngkan kejenuhan dan ketegangan pikirannya, berpacu bersama kuda hitam yang ditunggang oleh Sir Walter Raleigh. Sosok lelaki yang sangat di kagumi oleh Elizabeth secara diam-diam. Sosok yang telah menjelajahi pantai utara Amerika, hingga di suatu tempat yang jauh, di mana gambaran nyata tempat itu tidak pernah di lihat oleh sang Ratu, lewat cerita-cerita Sir Walter yang mengagumkan, dipersembahkannya sebuah nama untuk sebuah tempat sebagai persembahan sekaligus penghormatan untuk Elizabeth ‘thr virgin queen’. Virginia, itulah nama tempat itu.
Setelah berhenti di antara pepohonan dan di sambut oleh para dayang yang selalu mengikutinya ke mana pun dia pergi. Elizabeth kembali ke Istana, beristirahan dan mulai berbincang kembali kepada dayang kesayangannya. Mereka berdua mulai membuka pembicaraan tentang Sir Walter yang tampan dan mempesona hingga kemudian tentang ancama yang dikeluarkan oleh Paus Gregory XIII.
“Sedikit pun aku tidak takut dengan ancaman itu, aku tahu rakyatku sangatlah mencintai Ratunya, lagi pula jumlah masa yang ada jauh lebih menguntungkan diriku jadi buat apa aku takut akan hal itu.”
“Bagaimana dengan Mary?,” tanya sang dayang yang kemudian menutup mulutnya karena tak terasa di berani bertanya tentang hal itu.
Elizabeth menunduk.”Sepupuku!, ini terasa bagai duri dalam daging—bisa kau tinggalkan aku, aku ingin sendiri.”
Perubahan sikap yang sangat derastis itu sangat di mengerti oleh sang dayang. Ada beban besar di kepala sang Ratu, seburuk apapun Mary dia merasa Mary tetaplah bagian dari keluarganya. Saat sang dayang sudah pergi meninggalkan ruangan yang sesugnguhnya terhenti di balik diding kerajaan yang kasar.
Suara tangis Elizabeth terdengar pilu, sekian lama dia mengurung Mary dalam penjara yang bak Istana, semua itu hanya bertujuan agar sepupunya itu tidak bernasip buruk seperti para pemberontak lainnya. Tapi desakan dari banyak kalangan di Istana membuat dirinya hanya mampu menangis di dalam hatinya.
“Oh—Tuhan,” ucapnya lirih.
***
Tangis tak terlihat dari mata siapa pun, termasuk mata sang Ratu. Walau sebenarnya hatinya menangis dalam penyesalan. Kapak itu mengayun keras, membentur leher Mary yang membuat nafas menyesak dan menghilang dalam hitungan detik.
Ayunan kapak tidak hanya sekali untuk bisa memenggal kepala Mary, perlu 3 kali ayunan untuk memisahkan bagian tubuh dengan kepala yang akhirnya terlempar ke tanah yang berlumpur, menyatu dengan darah yang membanjir.dan setelah itu ajing hitam yang kelaparan itu dilepas dari rantai besinya dan dibiarkan mencabik-cabik bagian-bagian dari tubuh Mary yang tersisa. Sudah mati pun masih di perlihatkan dalam kesuraman dan penderitaan karena dianggap seorang pendosa besar.
Tak lama selepas itu berlalu, hujan turun membasah Inggris, seperti tangis yang pecah di kedua bola mata Elizabeth di depan cermin di dalam kamarnya sendirian. “Aku tak bisa melindungi keluargaku sendiri—,” sesalnya dalam rasa bersalah.[]
NB : terima kasih sudah membaca dan memberikan komentarnya, semoga bisa menyukai cerita singkat yang sebenarnya panjang ini.

1 komentar:

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!