28 Mei 2011

Inilah Aku yang Ingin Bunuh Diri


-03-
Langit-langit terasa bergoyang, pelan gelembung udara keluar dari lubang hidung yang menghembus nafas. Sudah cukup lama Aryo menenggelamkan dirinya di dalam bak mandi. Merasakan sesak yang merasuki ke dalam paru-paru. Apa yang aku lakukan?. Jari-jari bergetar itu menguat berpegangan pada pinggiran bak mandi, menahan tubuhnya yang sangat ingin bangkit dan menghirup oksigen yang lepas di udara.
Air dari bak mandi pun tumpah, bersamaan dengan nafas ngos-ngosan yang membawa kembali kehidupan dan kesegaran di paru-parunya.
Perlahan kedua telapak tangannya menutupi wajahnya. Dia menangisi tindakan yang baru saja dilakukannya.
.
Langit biru, tak ada angin yang berhembus. Layar yang mengembang tidak bergerak, begitu juga dengan kapal yang tenang di tengah lautan yang sepi dalam kesendirian. Bertemankan sebotol bir dengan secangkir gelas kaca. Kurni bersandar pada tiang layar sambil meneguk beberapa kali bir yang membuat tatapannya tidak lagi fokus.
Dia bangkit, bergerak meninggalakn botol bir dan gelas kaca yang menatapnya menuju haluan kapal. Matahari yang masih berada separuh di atas langit membuat kesegaran semakin jauh dari dirinya.
Tali itu di ikatkannya ke kaki, ujung tali sudah di ikatkan pada pemberat besi. Dengan susah payah, dijatuhkannya pemberat tadi ke lautan yang tenang, bersamaan dengan dirinya yang tenggelam ke dasar lautan.
Air laut seperti permata dari dalam laut. Biasan cahaya matahari terasa pecah oleh tekstur air yang tidak menentu. Tuhan!. Kegelisahan itu muncul lagi. Dengan perasaan yang tidak menentu di tariknya pisau lipat yang tergantung di pinggang, tali di potongnya dan dia kembali menuju permukaan. Pemberat itu bersedih, menuju kegelapan meninggalkan kapal hingga menyentuh pasir yang berada di dasar lautan.
Kurni naik kembali ke kapal, berbaring memandangi langit-langit. Mengapa aku menjadi lemah?.
.
Heru berdiri di ujung tebing. Beberapa kali menatap ke bawah, kearah gelombang yang menghempas bebatuan karang. Mata di pejamkannya sejenak. Dia merasakan hembusan angin laut yang berhiaskan suara sekawanan burung camar yang melintas.
Tubuhnya menyondong ke depan, hembusan angin menguat. Tubuhnya tertarik oleh gaya gravitasi bumi yang akhirnya menghempaskannya ke air laut yang penuh dengan gelombang.
Suara gelombang padam.
Sama seperti penglihatan yang menghitam.
Pasir basah itu seakan menyatu dengan kulit. Terbawa oleh gelombang yang menyisir pantai bersamaan dengan angin maskulin yang menenangkan. Heru membuka matanya, membalik tubuhnya hingga tatapan melihat langit yang mulai senja. Apa yang aku lakukan ini—bodoh!.
.
-02-
Kost sunyi. sendiri duduk memandangi jarum jam yang terus berdetak. Aryo menunggu waktu kerjanya tiba. Rutinitas!. Dia terjebak di dalam sebuah rutinitas yang tidak disukai olehnya.
15 menit lagi jam menunjukkan pukul 2, Aryo menarik tasnya dan berangkat keluar kost. Setiap pintu yang dilewatinya hanya berhiaskan dengan kebisuan. Bahwa beberapa yang lewat di hadapannya pun terasa asing. Dia snediri, dia terasingkan oleh dirinya sendiri, dia menghilangkan dirinya dari keberadaan.
Bekerja di sebuah Apotek, memasang wajah palsu kebahagiaa dengan senyuman ramah. Kadang jika sunyi merenung jadi pilihan paling tepat. Sebatangkara menjadi pilihan berat. Ketika hari libur datang pun jalan-jalan dihabiskan sendiri, tanpa teman tanpa pasangan. Hidup lebih banyak dihabiskan di dalam kebisuan. Kadang bicara hanya pada diri sendiri saja.
Setiap malam menangisi diri sendiri, berbaring tanpa bisa tidur dengan pikiran berat. Ya Tuhan aku rasa tersesat. Kapan aku bisa keluar dari ketersesatan ini?.
.
Hari ke 9 tanpa angin. Kurni hanya menghabiskan harinya dengan berbicara sendiri. Berbicara pada dirinya yang di anggapnya adalah teman nyata yang berbentuk maya.
“Kau yakin akan ada angin atau gelombang?.”
“Entahlah—aku sudah mulai putus asa. Aku mulai mempersiapkan untuk pergi.”
“Dengan perahu karet?, bukankah itu malah mempersulit kita?.”
Kurni bangkit, masuk ke dalam kapal, menuju meja yang di penuh dengan kertas dan peralatan menulis. Tiba-tiba saja emosinya meledak tanpa alasan. Tangannya bereaksi, memukul meja, menghamburkan kertas-kertas, hingga akhirnya dia hanya menangisi dirinya sendiri di pojok kabin kapal. Mengapa aku tidak mati saja!. Ya Tuhan tolong jawab aku.
.
Sniper tipe SM3-V1 itu kaku mengunci target. Sebuah kaleng yang berada cukup jauh. Jari Heru menarik pelatuk dari seniper tadi. Dentaman pelan membuat kaleng tadi terlempar jatuh ke tanah.
Sniper di masukkan ke dalam tas hitam panjang. Di sandang di bahu. Dan langkah pun bergerak maju melewati pepohonan yang bergoyang sepi. Hingga malam datang kesunyian itu masih tetap sama. Tanpa ada suara musik atau suara manusia. Yang ada hanyalah sebatang lilin yang bergoyang menerangi ruangan kayu kasar.
Heru duduk di tengah ruangan, bertemankan sebotol bir yang sudah hampir habis. Kilasan masa lalu membayang di dalam benaknya. Wajah-wajah itu membayang dan menghantui setiap detik nafas yang di hembus.
Dan ketika pagi menjemput.
Dia tergeletak di samping bangku dengan sebotol bir yang sudah kosong. Kusam di wajahnya menyiratkan bahwa senyuman sudah pudar dari kehidupan. Senyum hanyalah titik dari penderitaan yang berahir sebuah air mata yang sering tumpah dari kedua bola matanya. Dosa ku ya Tuhan!.
.
-01-
“Aku tak mau menjadi seorang Asisten Apoteker—aku ingin menjadi seniman!.”
“Tak ada masa depan di sana nak!. Ini adalah pilihan terbaik yang Ibu miliki untukmu.”
Sangkalan tak lagi keluar dari mulut Aryo, dia hanya mampu menunduk dan bergerak pergi menuju kamarnya. Mengapa aku selalu benci pada diriku sedniri. Mengapa aku harus menerima keputusan hidupku dari orang lain. Mengapa aku tidak bisa membuat keputusan atas diriku sendiri?.
Jika bumi bergerak mengitari matahari dan tak bisa melakukan hal lain atau sebaliknya maka itu adalah hukum dari Tuhan, hukum yang berupa garisan hidup atau takdir. Mungkin itu yang aku alami saat ini. Takdir pun ku jadikan kambing hitam atas kesalahanku.
.
Kurni membawa serangkai bunga tulip. Meletakkan rangkaian bunga tadi di atas sebuah makam baru yang masih basah dengan tangisan. Dia kaku berdiri bisu. Memandangi nama yang terukir di batu nisan tadi. Almarhum Istrinya tak memberikan jawaban atas kebisuan itu. hingga tangis menjadi pengantar perpisahan.
Dulu aku memiliki tujuan hidup. Sekarang tujuan itu telah mati. Tujuan itu telah habis menjadi debu yang berhamburan. Dan mengembangkan layar pun menjadi pilihan untuk melampiaskan ketidak jelasan hidup ini. Jika hidup tak ada lagi tujuan maka hidup pun terasa tidak berguna lagi.
Kematian ini pun aku persalahkan.
.
Bercak darah itu keluar dari lubang yang tercipta oleh timah panas. Membayang tanpa bisa lepas dari ingatan. Hingga malam di habiskan di depan perapian yang membakar wajah-wajah yang telah hilang di muka bumi ini.
Heru berjalan di sepanjang jalan yang bersalju. Membawa sebuah tas panjang yang berisikan sniper. Dia melangkah untuk menyudahi pekerjaannya. Pekerjaan dosa.
Mungkin dengan mengurung hidupku dari kehidupan orang lain, aku bisa membasuh semua kesalahan dan dosa yang pernah aku perbuat. Mengurung diriku sendiri dalam keasingan jiwa. Mengadili diriku sendiri. Hingga aku seringkali bosan dan menemui jalan buntu untuk mengakhiri penderitaan ini.
Tak semua masa lalu itu indah. Dan tak semua masa lalu itu sulit untuk dilupakan. Seperti wajah-wajah yang telah aku hapus. Masih saja menghantuiku hingga hari ini.
.
Kadang aku lebih membenci diriku sendiri, atas semua yang telah aku miliki
___
NB : Aku pun penah melakukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!