27 Mei 2011

RUMAH & TANGGA

 
S
uara wortel dipotong mulai melambat hingga akhirnya berhenti. Yani tahu Yanto berdiri bisu di belakangnya dalam jarak yang cukup jauh. Wajah Yani memang akhir-akhir ini jarang tersenyum, tapi rasa salah dalam hatinya memaksakan dirinya untuk bisa bersikap baik pada suaminya.
Yani berpaling sambil memeperlihatkan senyum di bibirnya. Walau ekspresi Yanto terlihat terkejut tapi, dia tidak mau merusak suasana nyaman yang mulai terbentuk dengan menanyakan ada apa gerangan hingga istrinya itu mau bersikap baik.
Perlahan Yanto duduk di depan meja makan dengan mata yang masih menatap wajah Yani yang berpaling kembali kearah wortel yang sudah terpotong halus. “Kau mau kopi atau teh?.”
Yanto menyatukan jemari-jemarinya dengan kesan menunggu, lalu berucap. “Kopi saja,” sambil menyiratkan senyum di bibirnya.
Beberapa detik kemudian suara kopi diaduk bersamaan dengan gula mengiringi suasan pagi yang sangat jarang terjadi akhir-akhir itu. Cangkir kopi diletakkan perlahan di depan Yanto, dengan secercah senyum dengan setitik cinta dan harapan.
“Terima kasih, atas kopinya.”
“Kau mau roti?,” pertanyaan itu tidak memerlukan jawaban. Karena kedua tangan halus Yani sudah menarik sebuah roti tawar dan mulai mengolesinya dengan selai nanas.
“Terima kasih!.”
Yanto bangkit setelah selesai sarapan, menarik topi bundar yang terkait di dinding rumah, memasangkannya di kepala, ketika sudah sampai berjalan kedekat pintu keluar, matanya menatap kearah Yani yang berdiri diam memandangi dirinya. “Terima kasih atas sarapan hari ini. Aku menyukai sarapan kita hari ini.”
“Aku juga menikmatinya,” ucap Yani sambil tersenyum kemudian berjalan mendekat kearah Yanto dan memberikan ciuman mesra.
Keluar rumah menuju mobil yang terparkir di depan rumah. Setelah mobil itu bergerak pergi Yani mulai mencuci piring di dapur.  Rengekan pelan keluar dari mulutnya, matanya menghujan pilu. Gejolak emosi tidak bisa di tahannya  lagi. “Mengapa aku harus hidup di dalam kepalsuan ini?,” ucapnya lirih dan penuh sesal.
***
“Dulu aku memang mencintaimu, tapi sekarang cintaku sudah habis untukmu!,” kata-kata itu keluar dari mulut yang menghembuskan asap rokok. Yani tidak mau menoleh kearah yanto yang ada di sebelahnya.
Yanto tidak memberikan komentar, dia bangkit lalu membuang puting rokok dengan sangat kasar, berlari menerjang gelombang lautan yang menggulung tidak merata.
Perlahan air mata Yani mengalir untuk yang kesekian kalinya. “Cintaku sudah habis untuk mu!,” ulang Yani pelan.
Yanto berlari dengan senyumnya mendekat kearah Yani, menarik pergelangan Yani sambil tersenyum, mengajaknya bermain gelombang. “Ayo sayang kita bermain gelombang,” ucapnya seolah hal menyakitkan yang baru saja di ucapkan oleh Yani beberapa menit yang lalu sudah berlalu bagaikan asap di udara lepas.
Yani membuang puting rokok lalu mencoba untuk tersenyum, berlari dalam keadaan tangan masih berpegangan pada Yanto. Dalam emosi yang tidak setabil, air mata terus saja mengalir, langkah kaki terus saja menginjak bagian demi bagian pasir yang membasah dan gulungan gelombang menggulung, menghempas emosi jiwa yang perlahan pergi dalam kebebasan.
Ketika mereka berdua akhirnya berhenti bermain gelombang, ketika senja sudah merayapi kesunyian yang menyisakan mereka berdua di pantai itu. Yani akhirnya berucap lagi. “Cintaku sudah habis untuk mu,” lalu perlahan Yani pergi meninggalkan Yanto yang masih berdiri dengan emosi yang mulai mengguncang hatinya.
“Aku sangat yakin kau masih mencintaiku,” teriak Yanto penuh emosi dan kemarahan. “Aku sangat yakin kau masih mencintaiku,” ulang Yanto dengan sangat yakin.
Tapi kata demi kata yang terangkai hanyalah berujung kebisuan yang menorehkan luka di hati kedua pasangan suami istri yang sudah hampir 2 tahun menikah itu.
***
Yanto masuk ke dalam kamar sambil melepas kemeja kerjanya. Menggantungnya di balik pintu sambil memandang kearah Yani yang duduk di depan cermin rias.
“Aku ingin memberitahumu satu hal,” ucap Yanto pelan yang kemudian duduk di atas tempat tidur.
Yani terus saja menyisir rambutnya tanpa menanyakan apa yang ingin di beritahukan Yanto padanya.
“Aku ingin jujur padamu—beberapa hari yang lalu, aku berselingkuh bersama seorang perempuan yang tidak aku kenal. Aku tidur bersamanya di kamar hotel—,” Yanto diam menunggu respon dari Yanti.
Sisir berhenti bergerak, diletakkan dengan sangat kasar keatas meja rias. “Aku tidak marah!,” ucap Yani. “Aku tidak perduli dengan hal itu,” lanjutnya pula.
“Aku hanya ingin memberitahumu saja,” ucap Yanto sambil berbaring menatapi langit-langit kamar.
“Mengapa kau memberitahuku tentang perselingkuhanmu?, apa kau bermaksut membuat aku merasa cemburu dengan perempuan itu?. Aku tidak cemburu, aku tidak marah, karena aku tidak mencintaimu lagi,” nada bicara itu bercampur emosi yang begitu besar.
“Kau tidak marah?. Aku tahu kau pasti berbohong—kau marah bukan, kau cemburu pada perempuan itu bukan?,” ucap Yanto sambil tersenyum sinis.
“Jadi ternyata kau memang ingin membuat agar aku cemburu?.”
“Kau memang cemburu!,” Nada bicara Yanto semakin terdengar mengesalkan.
Kali ini Yani berdiri sambil memegang gelas lilin yang tadi berada di meja rias. Wajahnya menyiratkan rasa kesal yang begitu dalam. “Sedikit pun aku tidak cemburu atas hal itu. Aku tidak mau mengurusi apa pun yang kau lakukan, aku sudah muak denganmu.”
Yanto bangkit sambil tersenyum. “Kau marah sekarang, berarti kau benar-benar cemburu,” ucap Yanto dengan sangat kasar.
Suara cermin pecah menghiasi kamar rumah yang tadinya hanya berhiaskan pertengkaran mulut. Gelas lilin tergeletak di antara pecahan cermin yang berhamburan. Tangis menghiasi empat bola mata yang tidak berani saling pandang.
Dalam pelukan kesepian Yani duduk di samping Yanto, bersandar pada dinding kamar yang menggelap karena malam hampir menjemput dunia. “Aku tidak mencintaimu,” ucap Yani dengan mata basah penuh air mata.
Yanto menangis memandangi pecahan kaca yang berserakan membentuk banyangan kamar yang acak. “Aku yakin masih ada cinta di hatimu untukku.”
***
Jasmin, 21 April 1960
Aku tidak pernah bisa membohongi hatiku bahwa aku mencintaimu. Bahwa aku cemburu, bahwa aku tak bisa hidup tanpamu. Aku mencoba membuat perbanding agar kita mampu berpisah, agar kita bisa melepas keterikatan hidup yang hanyalah berupa harapan belaka. Aku tidak bisa memberikan kebahagiaan padamu, bahkan rencana kita untuk bisa memiliki anak pun aku tidak pernah bisa berikan.
Dalam setiap waktu yang aku miliki aku selalu menangisi hidupku karena aku tak bisa memberikan cinta yang bisa membuatmu bahagia dalam kesempurnaah rumah tangga.
Yani
Yanto menagisi surat yang terpegang di kedua tanganya. Halaman rumah yang luas dan sunyi, di bawah pohon akasia, di atas bangku kayu, di samping ayunan yang bergerak maju mundur dengan sendirinya karena tertiup angin, sebuah penyesalan mengalir dalam pikirnya yang gundah. “Aku mencintaimu apapun keadaan yang kau miliki,” ucap Yanto lirih. “Dan aku sangat yakin kau masih mencintaiku hingga hari ini.”
***
Yani menangis memandangi lembar-lembar dari hasil uji LAB yang ada di atas meja riasnya. Kedua telapak tangannya menutupi wajah sedihnya. “Aku tak bisa punya anak….,” ucapnya dengan penuh sesal. “Aku tak bisa punya anak!.”
Di dalam bak kaleng besar, menyala jilatan api yang membuat wajahnya memerah. Mata masih saja mengalirkan air mata, dengan hati penuh sesal dan emosi yang tidak setabil, dibakarnya lembaran-lembaran kertas yang berisikan kenyataan bahwa dirinya tidak bisa memiliki anak, terbakar serta menjadi abu hitam yang merapuh, padahal baginya anak adalah sumber dari kesempurnaan rumah tangganya bersama Yanto.
Kata-kata yang menjadi janji mereka sejak ingin menikah terngiang dipikirannya. Kita akan punya rumah besar dengan halaman yang luas, aku akan memiliki pekerjaan yang bisa menghidupi kehidupan kita dan kau akan menjadi ibu rumah tangga yang selalu bahagia. Kita juga akan mempunyai banyak anak, sehingga suasana rumah kita akan selalu ramai dengan senyuman dan tangisan bayi-bayi kita. Kita akan mendapatkan kesempurnaan itu, kita akan segera mendapatkannya. Lagi-lagi tangis mengalir menderas di kedua bola matanya.
Dan di depan kuburan yang masih basah serta berhiaskan kelopak-kelopak bunga berwarna-warni. Yanto menunduk menghadapi Yani yang bisu di balik tanah yang memisahkan dunia mereka berdua.
Bagiku memilikimu saja adalah kesempurnaan. Tapi mengapa kau mengakhiri kesempurnaan yang aku rasakan hanya karena kau tidak bisa memberikan anak kepadaku?. Batu nisan yang bisu hanya mampu diam menatap air mata yang meresap ke dalam tanah pekuburan.
NB : Untuk harapan & Kesempurnaan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!