27 Mei 2011

Misteri Jiwa yang Terlupakan

 
Kamar yang berada di lantai dua itu, yang menghadap kesamping kiri halaman rumah itu, hanya berhiaskan suara musik klasik yang keluar dari harmonika. Suara itu seolah menerjang gerakan waktu, menghempaskan perasaan hati melawan kepiluan, mencari sisi kebahagiaan yang dulu pernah singgah dengan sangat nyata.
Retak yang sama seperti yang dulu pernah ada di jendela kaca kamar itu, masih tetap sama dan tidak akan pernah berubah, dulu di balik kaca retak itu Idris bisa melihat senyuman manis seorang bocah perempuan tersayangnya, senyum yang hingga hari ini masih terlihat jelas di ingatan yang tak mau dilupakan.
Hingga akhirnya alunan mesra harmonika berhenti denga tiba-tiba, beriringan dengan suara menggeletak pada kaca jendela yang retak dan menyisakan bekas telapak tangan seseorang yang muncul bagaikan embun yang dihembuskan dari mulut seseorang.
Idris bangkit dari atas tempat tidur, tempat dia duduk tadi. Bergerak mendekati kaca, menggesernya dengan tergesa-gesa. Membukanya sambil mengucapkan beberapa kalimat dengan suara gugup.
“Kau kah itu sayang?.”
Tak ada jawaban. Halaman rumah sunyi, tak ada siapa-siapa di sana, kesunyian itu memudarkan harapan Idris. Jendela kaca kembali ditutupnya. Bekas telapak tangan sudah menghilang.
Menghilang atau memang tidak pernah ada.
Menghilang atau hanya imajinasi Idris belaka.
Depresiva
“Suami anda mengalami depresi.”
Kegelisahan Indri semakin bertambah, tapi wajah tenangnya masih diperlihatkannya seolah dia mampu menahan gelombang kehidupan yang bertubi-tubi menimpa keluarganya. “Seberapa parah?.”
“Keseimbangan antara neurotransmitter di otaknya terganggu. Dia mengalami kekurangan serotonin dan noradrenalin di saraf-saraf otaknya. Dimensianya terganggu—.”
“Seberapa parah?.” Indri mengulang pertanyaannya.
“Suami anda mengidap Dimensia Alzheimer. Dia masih bisa menjalani kehidupannya secara normal. Tapi, pelan-pelan dia akan mengalami kehilangan memori dalam otaknya.”
Indri tak mampu lagi membendung kesedihannya. Tangisnya meledak, dia bersandar pada dinding bangunan yang pucat, sepucat rasa hatinya yang dilanda kepiluan besar.
Ya Tuhan, tolonglah aku menghadapi semua ini.
Perlahan Indri masuk ke dalam ruangan yang juga berwarnakan kepucatan. Dia mendekat kearah sosok seorang laki-laki yang terbaring di atas tempat tidur.
Laki-laki itu sudah sadarkan diri setelah sebelumnya pingsan secara tiba-tiba di rumah dan terjatuh dari tangga rumah. Indri mengelus kepala laki-laki tadi dengan penuh kasih sayang.
“Kenapa kau menangis?,” tanya Idris sambil menyapu airmata Indri.
“Tidak apa-apa, aku hanya menghawatirkan dirimu saja.”
Idris tersenyum. “Tenanglah aku sudah kembali, aku baik-baik saja.”
Indri memaksakan senyumnya lalu mencium pipi suaminya dengan sangat mesra. “Kita akan baik-baik saja.”
“Ya, kita memang akan baik-baik saja.”
Di bawah langit di atas tanah
Idris bersandar pada jendela mobil, memandang kearah jalan yang seakan berlarian kebelakang dengan lesatan yang begitu cepat. Indri yang sedang menyetir berkali-kali memperhatikan suaminya itu. merenung dan bisu tanpa bicara.
“Sayang,” ucap Indri sambil memegang tangan Idris yang langsung terkejut.
“Ada apa?.”
“Kau baik-baik saja?,” perlahan Indri menepikan mobil. “Jika kau merasa masih tidak enak badan kita bisa kembali ke rumah sakit lagi.
“Aku baik-baik saja,” Indris tersenyum. “Aku ingin berkunjung ke tempat Lis,” ucapnya tiba-tiba.
Tanpa memberikan jawaban Indri kembali menyalakan mesin mobil, memutar arah dan perlahan bergerak menuju daerah jalan sunyi yang sepanjang jalannya dihiasi oleh pepohonan rindang dengan dedaunan yang menguning dan berguguran.
Mobil melambat ketika memasuki lahan parkiran yang juga sunyi. mereka berdua turun dan berjalan menyusuri jalan setapak yang terbuat dari kerikil-kerikil dengan warna yang acak. Setiap kesepian yang terlewati membawa mereka ke dalam perasaan yang semakin memilu.
Tepat di depan sebuah makam yang berlapiskan rerumputan hijau yang terawat. Langkah mereka terhenti. Perlahan Indri menunduk, memegang batu nisan yang berukirkan nama Juli, bocah tersayang yang pergi beberapa bulan yang lalu.
Pelan airmata itu mengalir, mengharukan, menetes dan sulit untuk berhenti. Indri menunduk pelan, merangkul tangan Idris dengan tangis yang sama dimiliki oleh suaminya itu.
“Aku merindunkannya,” ucap Idris merapatkan tubuhnya.
“Kita selalu merindukannya.”
Stiven, dia mengawasi kita
Dari jendela retak itu padangan idris menajam. Matanya mengarah pada sosok seorang lelaki tua yang berdiri memotong rumput di halaman sebelah. Lelaki itu tidak tersenyum, bahkan tidak bersahabat. Tetangganya itu memang sangat tertutup.
Ketika gunting besar itu berhenti bergerak. Dengan cepat pandangan itu mengarah kearah Idris yang sedang mengawasinya. Lelaki tadi berpaling dan menghilang di balik pintu rumahnya.
Idris masih mengawasi, dari jendela rumah yang transparan, dia bisa melihat, tetangganya tadi bergerak menuju meja yang ada di depan jendela. Memungut sesuatu dan mengarahkannya kearah Idris.
Pistol.
Idris mundur dengan nafas tak karuan. Dia mundur dan kembali duduk di atas tempat tidurnya. Pintu kamar tertutup dengan sendirinya. Lagi-lagi Idris terkejut. Kini dia bergerak pelan mendekat kearah pintu, membukanya pelan, melihat ke luar kamar. Semuanya sunyi tak ada siapa-siapa. Yang terdengar hanyalah suara istrinya sedang menyanyi di daput di lantai bawah, itu pun tidak terlalu jelas.
Lalu suara langkah kaki menuruni anak tangga membuat Idris semakin penasaran. Pelan dia menyusuri pergerakan suara yang membawanya ke lantai dasar. Pintu utama terbuka dengan sendirinya dan rerumputan yang masih tinggi dan tidak terpotong seolah tertekan, meninggalakn bekas langkah yang mengantarkannya kedekat bongsai yang tumbuh di samping pagar rumah.
Dan semuanya kembali sunyi.
Idris diam sejenak, memandangi pagar rumah yang tidak terlalu rapat. Papan tinggi itu renggang. Pelan dia menyelipkantubuhnya di antara bongsai, menekan papan pagar hingga terlepas.
Idris berteriak karena terkejut.
Indri yang dari tadi memperhatikan suaminya dari jendela berlari dengan penuh gelisah.
Idris terduduk sambil menunjuk kearah pagar yang terlepas.
“Ada apa sayang?,” Indri memeluk suaminya yang terlihat tidak tenang.
“Aku melihatnya—.”
“Melihat siapa?. Apa?.”
“Stiven, dia menodongkan postol kearah ku—Lis, Lis, dia menuntunku,” emosi idris semakin tidak tekontrol.
“Tidak ada siapa-siapa!—tidak ada—.” Indri membantu suaminya bangkit. “Ayo kita kembali kerumah—tidak ada siapa-siapa, kau hanya  banyak pikiran, kau hanya memikirkan Lis.”
Idris bangkit, tapi dia masih tetap bersikeras. “Aku benar-benar melihat bayangan Lis, dia menuntunku, dia mengantarkanku ketempat dia meninggal. Dan aku melihat Stiven, tetangga kita itu.”
“Tapi, tidak ada siapa-siapa.”
“kau tidak percaya denanku—aku melihat Lis yang menuntunku.”
Tamparan membenam di wajah idris. “maafkan aku,” Indri mulai menangis. “Aku tahu kau merindukan Lis, sama seperti aku, tapi cobalah kau untuk menerima ini semua, dia sudah meninggal. Dia sudah berada di surga sekarang.”
“Tapi aku benar-benar melihatnya. Stiven mengawasi keluarga kita.”
“Sayang, kau sedang sakit—kau hanya berhalusinasi. Sulit untukku mengatakan ini padamu. Kata dokter kau mengalami Dimensia Alzheimer. Kau sedang sakit, kau hanya berhaslusinasi.”
Malam di dalam hujan
Lampu mati, lampu minyak dinyalakan menerangi kamar. Indri tertidur pulas di dalam pelukan Idris. Hujan lebat menghempas genteng rumah, memperlihatkan kepekatan malam yang terekam di penglihatan Idris dari kaca kamar yang meretak.
Pelan bekas telapak tangan itu mulai terlihat. Pelan idris bangkit, mendekat kearah jendela, menyatukan telapak tangannya dengan telapak tangan yang ada di kaca jendela.  Dari sana dia melihat sesosok putih berjalan di bawah hujan. Berhenti dan menatap kearahnya, kemudian kembali melangkah menuju kedekat pagar yang di tumbuhi dengan bongsai.
Idris berpaling kearah Indri yang masih tertidur pulas. Diambilnya lampu minyak yang ada di atas meja. Dia mulai keluar berjalan menju pintu utama. Di bawah hujan dia berjalan.
Lampi minyak padam.
Langkah menuju kedekat pagar.
Di gesernya papan pagar. Dan ketika dia membukanya dengan sempurna, sekilas kejadian mengejut di balik kedua bola matanya. Kaki mungil itu tereret di atas rerumputan. Meronta dengan mulut tersumpal kain putih. Suara sepatu bout bercampur dengan suara hujan yang semakin melebat.
Idris berteriak mamnggil nama Lis, dia panik, mencoba untuk melewati pagar, tapi tidak bisa. Tiba-tiba saja tubuhnya terasa melemah dan dia tidak berdaya untuk melakukan pertolongan
Teriakan histeris masih terlihat di balik pagar. Teriakan punuh derita. Hingga akhirnya sebuah tangan memegang tangan Idris.
Dan semuanya menghilang begitu saja.
“Sayang, ada apa—kau tak apa-apa, ayo kembali ke rumah,” Indri membawa Idris kembali kerumah, tangis mengalir di mata Indri. Semuanya semakin memburuk.
Setelah semauany berlalu, mereka kembali berbaring dalam dekapan hangat. Idris mulai membuka mulutnya lagi. “Aku melihat Stiven menyeret Lis.”
Indri tak berkomentar, dia memeluk Idris semakin erat.
Kepindahan
“Aku sudah mendapatkan rumah baru untuk kita. Kita akan pindah dari sini,” ucap Indri sambil memotong sayur.
Idris yang duduk di meja makan sambil memakan buah apel seolah diam tidak mendengarkan, dia asik dengan dirinya sendiri.
“Sayang.”
Masih tidak ada respon dari idris.
“Sayang kau baik-baik saja?,” Indri terdengar gelisah.
Idris berhenti menggigit apel. Bangkit kemudian berjalan menju tangga kelantai dua. “Aku harus istirahat,” ucapnya berlalu begitu saja.
Indri pelan mengikuti langkah Idris yang ternyata menuju ke kamar, suaminya itu berdiri kaku di depan jendela kaca yang meretak. Memandang kearah halaman rumah yang sunyi.
Pelan Indri mendekat, memeluknya penuh mesra. “Kita akan pergi ke rumah baru kita sore nanti. Semua barang akan kita angkut secara pelan-pelan.”
“Kemana kolam renang yang dulu pernah ada di sana?,” tanya Idris tiba-tiba sambil menunjuk ke luar jendela.
Indri mempererat pelukannya, dia menangis. “Semuanya akan baik-baik saja kan?,” tanyanya setengah berbisik. “Akan baik-baik saja,” jawabnya pula.
Memori yang hilang
8 Februari 1970:
Sepasang suami istri dan seorang bocah perempuan di temukan meninggal dunia di ruang bawah tanah milik Bambang. Bambang di duga adalah pelaku pembunuhan itu. Keluarga yang di bantai olehnya dengan sangat tragis itu tidak lain adlah tetangganya sendiri. Sedangkan bocah laki-laki yang juga merupakan anggota dari keluarga tadi menghilang tanpa ditemukan jasadnya.
9 Februari1970 :
Bocah laki-laki yang di nyatakan menghilang pada kasus pembantain keluarga tersadis yang di lakukan oleh Bambang itu ternyata telah di temukan. Di ditemukan di dalam lemari pakaian yang terkunci rapat. Kondisi bocah tadi pucat dan sangat lemah.
.
Indri duduk di samping suaminya, merenung dalam kebisuan.
“Apa kau tahu Jesi di mana?.”
“Siapa Jesi?,” tanya Indri sambil mengerutkan keningnya.
“Adik perempuanku!.”
“Kau masih ingat tentang Lis?.”
“Siapa.”
“Anak kita.”
Semua bisu sesaat. Idris berpaling kearah Indri yang bersandar pada bahunya. “Aku mencintaimu.”
Indri tersenyum di dalam tangisnya. “Aku juga mencintaimu.”
“Sayang—aku melihat Jesi, dia di seret ke samping pagar.”
Indri menguatkan peganganya.
“Dia membunuh Jesi,” sambung Idris sambil meneteskan airmatanya.[]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!