14 Jun 2011

THE

Pembunuhan yang terjadi pada seorang pelukis di galeri lukisannya sendiri sudah berlalu selama enam bulan. Kasus yang awalnya adalah pembunuhan itu berubah menjadi bunuh diri karena polisi tidak menemukan bukti yang tepat untuk menemukan tersangka. Kasus ditutup.

Namaku Andi Hariyanto, aku tahu itu karena seperti itulah yang tertulis di kartu tanda pengenal yang ada di dalam dompetku. Hari itu siang, entahkah memang siang seperti itu, atau pagi sudah berlalu dan juga malah sore yang segera terjelang. Aku tak bisa memastikannya, aku melupakan banyak hal tentang kehidupanku.
Ini adalah hari paling membingungkan yang pernah aku rasakan. Bangun dari tempat tidurku, lalu berjalan menyusuri banyak ruangan di apartemen itu, semuanya terlihat biasa dan normal. Tapi aku tak merasakan bahwa aku berada di titik kenormalan kehidupan.
Aku bangun dalam keadaan tidak berbaju, ternyat bajuku ada tergeletak di atas lantai, pintu kamar tidak tertutup, tapi semua jendela kaca tertutup sangat rapat. begitu juga dengan pintu utama tempat aku keluar dari apartemenku, semua terkunci dan terjerat rantai besi. Ada apa ini?.
Aku mencoba membuat semuanya terasa normal bagiku. Aku bangun, membasuh muka, mencoba memasak telur, makan dan kemudian berkeliling dan banyak menemui keanehan, aku terkunci, aku terkurung, aku tak tahu mengapa itu terjadi padaku. Bahkan aku tak bisa mengingat siapa aku sebelum aku menemukan kartu tanda pengenalku di dompet.
Dan saat aku sudah mulai prustasi menghadapi keanehan itu, dan tak pernah bisa membuka pintu atau pun jendela, mendobrak pintu dan tak menghasilkan apa-apa, aku akhirnya duduk di shopa dengan kipas angin yang terus berputar. Hingga saking prustasinya aku, bangku kayu aku lemparkan ke kaca jendela. kaca pecah akan tetapi hanya suara pecahnya saja, setelah aku dekati ternyata retak pun tidak. Benar-benar terasa dikerjai dalam keanehan.
Sampai akhirnya di meja di depan shopa aku menmukan sebuah cincin bermata merah dengan lambang Zodiak : dua garis membentuk tambah besar dengan sebuah lingkaran di tengahnya. Aku tak tahu itu cincin siapa dan dari mana asalnya, yang aku tahu itu berada di apartemenku, berarti kemungkinan besar itu milikku. Aku memakainya.
Setelah sekian jam aku hanya duduk diam, aku mulai merasakan jengah dengan keanehan itu, aku mulai berkeliling lagi, mencari-cari sesuatu yang bisa menjelaskan semua keanehan itu, membongkar semua kertas yang ada di atas meja yang di penuhi dengan kata-kata tentang pembunuhan seseorang yang tidak aku kenali. Apa kaitan semua itu dengna hidupku. itu yang menjadi pertanyaan dalam benakku.
Karena lelah aku tak bisa menemukan jawaban aku mulai mandi dan duduk berjam-jam di depan cermin, memandangi sosok asing yang terpantul dalam bayangan tubuhku. Aku tidak mengenali bayanganku sendiri!.
*
Semuanya memang sunyi. Bahkan suara jangkrik pun tidak terdengar. Entah itu malam, siang atau pagi maupun sore, yang pasti yang sangat aku yakini aku berada di sebuah stasiun bawah tanah kereta api.
Aku keluar dari kamar toilet laki-laki, memandang kedua arah secara bergantian pada lorong yang remang bagai tertutup kabut. Aku mengambil jalan sebelah kanan, bergerak dan mulai memasuki wilayah luas dengan suara langkah kakiku yang bergema.
“Ada orang lain di sini?,” teriakku kencang.
Yang ku dapati hanya suara pantulan dari suara ku sendiri. Tapi setelah aku memutuskan untuk duduk sejenak, sebuah suara bergesek keras membuat aku bangkit, sepertinya ada kereta api yang akan berhenti. Aku mendekat, dan menjenguk kelorong gelap. Dua cahaya seperti mata mulai terlihat, Gerbong kereta api melesat kemudian melamban dan berhenti. Pintu-pintunya terbuka serempak, dan semuanya kembali sunyi. Tak ada siapa-siapa di sana. Kemana orang-orang pergi?.
Cukup lama aku memeriksa situasi di ketera. Tapi semuanya tetap sama sepi tanpa satu mahkluk hidup pun. Aku keluar dan memutuskan untuk mencari pintu keluar untuk menuju ke atas, aku berpikir. Jika aku bisa mencapai jalan di atas kemungkinan aku bertemu orang-orang sangatlah besar.
Tapi semuanya sangat aneh, pintu-pintu tangga juga terkunci dengan rantai besi, Apa maksudnya ini, aku duduk di tangga memandang kearah depan, kejauh di mana salah satu lampu yang ada di ujung lorong berkedip seperti kekurangan listrik. Ketika aku mau baangkit, kakiku malah melemah, mataku jadi semakin mengantuk, aku pun lemah dan tertidur dalam kesepian.
*
Aku terbangun dalam keadaan kepala sangat pusing, dengan langkah yang lemah aku menuju kulkas untuk mengambil minuman, terduduk di samping kulkas, minum dengan satu botol air hingga penglihatanku kembali menerang. Aku bangkit dan memeriksa keadaan sekitar. Semuanya masih sama, terkunci dan sepi.
Seperti pertama tadi aku sampai di stasiun kereta lewat lorong bundar dari balik cermin di kamar mandi. Aku memulai perjalanan lorong kecil seperti cacing tanah dan sampai di toilet yang sama. Entah bagaimana mungkin lorong yang ada di Apartemenku bisa membawaku ke stasiun bawah tanah?. Ah, dari awal semuanya memang aneh.
Aku memulai lagi penelusuran di stasiun kereta. Aku tertarik pada sebuah asap rokok yang keluar dari ujung rokok yang tergeletak di tengah tempat tunggu kereta. Siapa yang baru saja mengisap rokok itu, mungkinkah ada seseorang sebelum aku datang?. Hal itu seolah memberikan harapan.
Suara menggeletak di ujung gelap menarik minatku, putting rokok terlepas tatapanku menajam ke arah suara tadi. Dengan rasa penasaran aku bergerak mendekat, tapi anehnya tak ada siapa-siapa di sana. Dan dengan mengejutkan lampu di atas kepalaku menyala dengan tiba-tiba. Noda darah mengukir di dinding tembok membentuk sebuah angka 13-3-10.
Aku mendekat kearah noda darah, memegang darah yang masih kental lalu menciumnya. Masih tercium segar. Darah siapa ini?. Aku mulai merasakan bahaya.
Gerbong kereta yang diam sunyi kini membuka pintu dengan sendirinya. Tak ada siapa-siapa di sana, semuaya kembali sunyi. Cincin yang ku kenakan memberat, tubuhku melemah aku pingsan untuk yang kedua kalinya.
Suara kipas angin membangunkanku. Aku terbangun di ruangan yang sama, Aku mulai merasa lapar, lagi-lagi telur menjadi pilihan yang harus aku makan. Selesai makan aku menulis angka yang tadi aku lihat : 13-3-10. Apa maksud ini?.
Jawaban menuntut semua yang terjadi padaku. Pintu masih sama terkunci dengan rantai, aku mencoba menarik rantai tapi hasilnya tetap tak bisa. Aku harus keluar, ucapku dengan sangat keras.
Aku melangkah lagi menuju kamar mandi, menelusuri lorong dan sampai ke stasiun lagi. Lagi-lagi aku menemui putting rokok yang masih menyala. Aku bergerak kedekat kereta, masuk ketika pintu kereta menggeser. Aku maju dan berhenti di sebuah Box yang menempel pada dinidng gerbong. Membukanya pelan, sebuah kunci terjatuh. Aku memandangi kunci tadi, sebuah tulisan di kunci itu : X13. Di mana X13 ini?. aku tak tahu.
*
Andi berjalan memasuki sebuah galeri lukisan, dia terhenti pada sebuah lukisan yang terpajang di dinding. Lalu tatapannya tertuju pada samping kiri pojok lukisan. Dia hanya tersenyum.
Sayang sekali semuanya sudah berlalu. Tak bisa aku yakinkan. ucapnya kemudian berjalan keluar galeri sambil menyalakan sebatang rokok.
*
Cincin ku lepas, aku berada di ruangan paling depan gerbong. Aku duduk di bangku, bersandar dan mulai memasang cincin pada sebuah tombol yang akhirnya mengunci tombol tadi pada dua gagang yang menjepit di atasnya.
Mesin menyala, aku duduk menunggu sebuah cehaya. Tepat di balakangku sebuah pintu yang tertutup rapt bertuliskan X13 dan sebuah anak kunci terpasang di lubang kunci. Kereta bergerak menerjang cahaya membawaku ke ujung yang tidak bisa ku lihat lagi. Semuanya kembali menyata.
*
Agung memegang pundak Andi, kesunyian di tanah pemakaman membuat Andi terduduk di depan kuburan ayahnya.
“Ayahmu adalah pelukis yang hebat, aku selalu bangga pernah mengenal beliau, lukisan beliau bersama ku waktu itu menjadi sebuah kenangan tersendiri bagiku,” ucap Agung sambil merendah di samping Andi.
“Kapan kalian menyelesaikan lukisan itu?,” tanya Andi lirih.
“Waktu itu di bulan Maret hari sabtu, Selama setahun kami menyelesaikannya dimulai setelah kelulusanku di tahun 2009 waktu itu.”
*
Andi berjalan menuruni tangga menuju sebuah ruangan yang ada di lorong bawah tanahnya. Di sana terlihat sebuah peti mati, di dalam peti mati tadi terlihat sosok sang Ayah diam dalam kematian. Kepalanya tersambung banyak kabel, begitu juga dengan seluruh tubuhnya.
Andi duduk di atas sebuah tempat tidur beroda. setelah tombol merah yang ada di sampingnya di gesernya pelan, kereta mulai bergerak mengikuti rel yang ada di bawahnya, putaran yang semakin keras membuat Andi semakin gelisah, mengitari peti mati yang sunyi.
Cahaya itu muncul lagi, yang terlihat hanya lampu melesat mundur, menghilang dan menggelap. Suara roda bergesekan dengan lantai terdengar samar, kemudian suara panik dan memasuki sebuah ruangan, pintu ditabrak dan kegelisahan itu semakin nyata. Dan semuanya menggelap lalu menghilang. Apa aku akan mati?. Bisikan itu serasa nyata.
*
Api membakarr sebuah lukisan, lukisan yang sama dengan yang dilihatnya beberapa hari yang lalu, di mana sebuah tulisan tertera di pojok kiri lukisan dengan beberapa angka yang membuat Andi menyimpulkan sebuah kenyataan.
Di balik lukisan tadi sosok manusia terkapar bersimpah darah tergeletak tak bernyawa.
Andi mengelurkan telpon genggamnya, dia menghubungi panggilan darurat.
………
“Saya Andi harianto!.”
“Apa keadaan darurat anda?.”
“Saya telah membunuh seseorang.”
“Di mana lokasi anda sekarang?.”
………
-30-
NB : Untuk Pak Dosen Andi Harianto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!