Apa arti Matahari dari sebuah kehidupan?. Bagi sebuah mahluk hidup Matahari adalah salah satu sumber kehidupan. Begitu juga bagi para benda-benda mati yang hidup dari matahari.
Sudah sangat lama embun tak merasa, sudah sangat lama hujan jadi kendala dan sudah sangat lama hidup hanya bergantung pada biasan hangat sang surya yang tidak pernah lelah memberikan tenaga.
Banyak kehampaan yang memendam, begitu juga dengan harapan yang melayang, malam menjadi sunyi siang pun langit menyepi, yang sempat dilihat hanya beberapa burung gereja terbang kehausan dan kelaparan mencari biji-bijian.
Entah kadal juga terlihat, tapi mereka sering kali bersembunyi, apa lagi ketika mesin mulai bekerja, mengangkat sampah-sampah yang berserakan merajalela. Tapi di balik mesin besar pengangkat sampah itu sebuah benda yang bisa di katakana hidup duduk mengerakkan mesin tadi, mengumpulkan sampah-sampah, mencoba membenahi Bumi dari kehancuran.
Mungkin karena indra penciuman sudah mati degan bau busuk para sampah, mungkin juga karena tak ada lagi manusia yang bisa menciumnya atau bahkan merawat bumi dari kehancuran yang telah mereka lakukan. Manusia munafik meninggalkan kehancuran tanpa mau bertanggung jawab.
Mesin pengangkat sampah itu dimatikan, sesosok turun dengan gerakan pelannya, garis lampu yang awalnya hijau kini mulai menguning. Banyak tenaga yang telah terkuras hari itu. Pergerakan optic di matanya mengarah kearah surya yang merona, lalu pelan dia membuka dadanya yang tertutup pelindung yang terbuat dari besi, di sana tertulis N72, di balik besi pelindung itu terdapat kepingan batrai yang pelan merasakan hangatnya bias matahari, menambah energy, membuat dirinya bisa kembali kuat.
Dan ketika matahari sudah semakin rendah. Tepat di atas tumpukan sampah yang membentuk bukit-bukit N72 duduk di samping sebuah robot lain yang jauh terlihat lebih kuat.
“Jery, mengapa kau tidak berhenti saja membersihkan sampah-sampah. Bahkan sebagian dari sampah itu adalah luka dari para sahabat-sahabat kita yang di manfaatkan atas sebuah kehancuran?,” tanya robot yang ada di samping N72.
“Karena aku ingin membenahi Bumi, ingin menjadikan Bumi sebuah tempat indah yang nyaman seperti dulu — Dulu sekali sewaktu aku berkerja menjadi robot pengasuh anak aku tinggal bersama sebuah keluarga yang memiliki satu anak laki-laki. Anak laki-laki itu lumpuh dan lebih sering menghabiskan waktunya di dalam kamar bersamaku. Dia sering bercerita tentang harapan-harapan yang ingin dilakukannya di luar rumah, seperti berlari, bermain bola dan banyak lagi. Tapi ketika perang berlangsung dan kekacawan semakin memuncak harapan itu seolah hilang dalam hidupnya, dia hanya bisa menangisi semua harapan itu, dia bertanya. Mengapa manusia saling bunuh dan saling menghancurkan, mengapa mereka tidak bersama-sama membangun dunia dalam keharmonisan dan keindahan?. Saat itu aku merasakan gejolak yang tak pernah aku rasakan sebelumnya, Perasaan yang manusia sebuat sebagai kesedihan.”
“Kau menyimpan semua memori itu ya.”
“Aku tak pernah mau menghapus satu kenangan pun dalam memoriku, walau pun itu adalah ingatan pahit bagiku.”
Robot tadi bangkit lalu berjalan menjauh, dadanya di tutup, batrai sudah terisi penuh, di dalam kesunyian Bumi langkah itu menuju ke bangunan tinggi yang sudah hancur separuh.
“DoII — ,” teriak Jery memanggil robot tadi.
Tapi tak ada jawaban, langkah itu terus maju dan akhirnya menghilang di dalam gelapnya bayangan bangunan.
Jery bergerak menuju pipa besar tempat dia berteduh, tapi malam itu dia hanya duduk di depan pipa sambil memandangi malam yang berhiaskan bintang, malam tanpa awan pertanda hujan tak lagi kelihatan, dan para rembulan bersinar terang begitu juga dengan sekawanan bintang-bintang.
DoII duduk di balkon lantai tiga gedung, melihat bintang-bintang sambil memutar memori yang hampir setiap malam diputarnya. Memori pahit yang membuatnya merasakan kelainan getaran listrik di dalam tubuhnya yang berlapis baja. Dia melihat banyak manusia mati, anak-anak menangis, suara tembakan, pesawat yang saling tembak hingga api dan ledakan senjata menghancurkan segalanya.
Pagi yang sama datang keesokan harinya, berjemur mengisi batrai menjadi rutinitas dua robot yang selalu kesepian itu, dan setelah itu berlalu, pekerjaan membangun bumi untuk menjadi lebih baik pun di mulai. Jery membersihkan sampah seperti biasanya sedangkan DoII bergerak kejauh arah yang tidak bisa di gapai oleh Jery. Dia juga berbenah dan memeriksa banyak ruangan di beberapa bangunan.
Jery yang asik memisahkan sampah plastik, besi bekas dan bahan-bahan yang sejenis terhenti ketika sebuah benda bulat lonjong di temukannya di bawah sebuah reruntuhan bebatuan, Benda itu berhiaskan banyak goresan tapi benda itu masih utuh dan berkerja. Lampu energynya masih menyala.
Dengan susah payah Jery mengeluarkan benda itu dari tumpukan bebatuan. Memandanginya sesaat, kemudian berpaling kebelakang sambil mengirim sinyal kepada DoII tentang benda yang di temukannya. Beerapa menit kemudian DoII datang terbang dengan turbo yang ada di ujung kedua kakinya.
“Ini kapsul penyimpanan,” ucap DoII memberi tahu.
Jery mundur selangkah, sedangkan DoII maju mengeluarkan dua kabel dari jari telunjuknya, menyambungkannya ke kapsul dan mulai memeriksa.
“Isinya bukan bahan peledak, ini aman!,” ucap DoII memberitahu.
“Boleh dibuka?,” tanya Jery yang kembali mendekat.
DoII bergerak menuju ujung kapsul, lalu menggeser tuas kecil yang mengarah ke bawah, kemudian memutus beberapa kabel yang di tariknya keluar. Kapsul sedikit bergetar, suara menggeser pelan meluapkan asap dingin keluar dari kapsul. Pelan asap tadi menipis dan memperlihatkan sosok yang sangat mengejutkan mereka berdua.
Sosok tadi bergerak, memandang kearah Jery dan DoII yang terdiam tak percaya. Dia bangun, dia hidup. Ucap Jery lewat sinyal pendek yang di ciptakannya.
*
Papan tanda pengenal itu tergantung di leher, bertuliskan sebuah nama : Erja, bergoyang-goyang mengikuti pergerakan tubuh yang perlahan duduk di samping DoII. Jemrai-jemari halus itu pelan memegang jari-jari keras dari baja, melihat kearah tumpukan sampah yang masih banyak.
“Kemana orang-orang?,” tanya Erja pada DoII dari tadi membisu.
“Mereka pergi!.”
“Kemana?,”
“Entahlah — mereka menggunakan kapal besar, terbang menuju galaxy yang belum pernah mereka kunjungi, mereka meninggalkan Bumi, mereka meninggalkan kahancuran serta kesalahan mereka di sini.”
Erja diam sejenak berpikir. “Ternyata Bumi sudah banyak berubah. Sejak aku sakit dulu, aku jarang keluar ruangan pengobatan, aku tak tahu apa yang terjadi pada Bumi. Sekarang Bumi terlihat seperti luka,” ucap Erja sambil menyapu air matanya.
“Sudahlah, tak usah kau tangisi, semuanya akan tetap sama dan tidak akan berubah,” ucap DoII dengan nada meresah.
“Mana Jery?,” ucap Erja mengalihkan pembicaraan.
“Dia sedang bersih-bersih.”
“Mengapa kau tidak membantunya?.”
“Ah, tak ada gunanya — terlalu banyak yang harus di perbaiki. Dulu saat perang belum terjadi, Bumi terlihat lebih baik walau kejahatan dan sampah masih tetap menghiasi, bagiku semua itu memang sudah menajdi bagian dari bumi. Tapi setelah banyaknya pemimpin yang serakah, yang bertindak atas keutungan sendiri, atas kesenangan beberapa kelompok saja, ke tidak adilan itu menjadi pemicu kehancuran Bumi. Manusia mulai saling serang dari cara halus hingga cara kasar yang terang-terangan. Menjadikan hal salah sebagi kebenaran dan hal benar menjadi kesalahan yang dibayar dengan sebuah hukuman. Manusia sendiri yang telah menciptakan era kepunahan dan kehancuran diri mereka sendiri.”
Erja bersandar di bahu DoII. “Kini aku adalah manusia yang sendirian!.”
DoII berpaling kemudian berucap. “Kau tidak sendiri. Aku dan Jery akan menemanimu.”
*
Jauh Erja berjalan sendiri, hingga akhirnya dia menemukan sebuah bangunan tuah yang cat-catnya sudah tertutup debu, kaca-kaca tebal masih utuh dan gelap. Ketika dia berdiri di depan pintu kaca-pintu itu menggeser pelan, Setiap langkah Erja di ruangan yang dilewatinya, lampu-lampu menyalan mengiringi gerakan tubuhnya. Lampu berjalan itu memang hemat energy, hanya menyala pada yang dibutuhkan saja. lampu energy matahari itu benar-benar sangat episien.
Erja terhenti di depan kamar yang bertuliskan Prof. Tenma. Erja masuk, kamar itu tidak terlalu luas, hanya berisikan sebuah tempat tidur dan banyak monitor yang menempel pada tembok kamar. Kertas-kertas berserakan di lantai dan sebuah buku kusam terkeletak di atas tempat tidur yang rapi dan masih bersih.
Lembar demi lembar berkisah tentang hari-hari terakhir sebelum kepergian, berkisah tentang kapal besar yang mereka ciptakan dan tujuan mereka berlayar di luar angkasa.
Selama 23 tahun kami merancang kepergian ini, akhirnya selesai juga. Walau hanya bersikan 11 awak kapal, kami menyimpan banyak harapan untuk menemukan tempat kami hidup. Seperti yang terekam dalam satelit Palavro 09 ada nya sebuah planet yang bisa menampung kehidupan di pusat tata surya yang lain, di mana bintang lain yang bergerak sebagai pusat tata surya lain membentuk struktur planet yang menyerupai bumi. Kami pergi mencari rumah baru untuk kami hidup.
Kami memasang perintang sinyal di ruangan Palavro 09 untuk berjaga-jaga, siapa tahu ada seseorang yang masih tersisa di bumi dan ingin menghubungi kami . . . .
Erja berlari melewati beberapa ruangan hingga akhirnya dia berhenti di depan pintu yang bertuliskan Palavro 09, ketika langkah pertamanya melewati garis pintu, semua sistem bekerja dengan tiba-tiba. Generator otomatis menyala, semua komputer menyala bersamaan, di layar monitor besar terlihat lintasan pergerakan sebuah pesawat yang terekam oleh satelit Palavro 09.
Langkah berat membuat Erja diam tak bersuara, suara itu bergerak mendekat hingga di depan pintu itu terlihat sebuah sosok dengan mata menyala terang.
“Apa yang kau temukan?.”
“Aku menemukan harapan!,” jawab Erja mendekat kearah Jery yang meredupkan lampu di matanya.
Lampu-lampu di ruangan itu tidak merespon pada robot, menyala hanya merespon pada pergerakan manusia, begitu juga dengan pengaktivan sistem yang ada di ruangan itu.
“Palavro 09,” ucap Jery tercengang melihat kearah monitor.
“Ya, aku menemukannya, aku ingin mengirimkan sinyal pada mereka yang pergi mencari planet baru, aku ingin memberitahu mereka tentang keberadaan kita,” Erja penuh semangat.
“Lalu setelah itu apa yang akan kita lakukan,” ucap DoII yang muncul di blaik Jery.
Erja diam berpikir. “Yang terpenting aku akan mencobanya.”
*
Seminggu berlalu, sinyal balasan belum juga datang. Erja mengumpulkan makanan yang ada di lemari pendingin, dia sadar suatu saat makanan akan habis dan saat itulah harapan akan sirna. Transisi cairan yang ada pada kapsul juga sudah hampir habis, harapan itu semakin menipis.
Hari-hari Erja hanya di habiskannya membaca banyak berkas tentang Palavro 09 dan berkas-berkas lain yang ada di ruangan itu, Berkas tentang robot dan banyak lagi.
Jery masih tetap sama membersihkan sampah dan mendaur ulang di mesin daur ulang, menjadikan plastik-plastik sebuah tumpukan lipatan besar, Besi-besi di jadikan lempengan-lempengan yang tersusun rapi. Sedangkan DoII mulai bertukang memperbaiki bagian demi bagian dari banguan yang hancur.
Erja keluar melihat apa yang Jery dan DoII kerjakan, dia mulai putus asa. Sinyal balasan yang di tunggunya belum juga kunjung datang. Mengapa bumi tidak di huni oleh robot-robot saja seperti Jery dan DoII, mereka memiliki modal yang cukup untuk melakukan penjagaan terhadap Bumi.
Berawal dari renugnan kecil itu Erja mulai memiliki harapan baru : menciptakan robot untuk membangun Bumi menjadi lebih baik. Dia mulai mempelajari berkas-berkas tentang robot, ada banyak rancangan yang tersimpan di file computer tentang pembuatan robot, bahan-bahannya pun bisa di dapan dari hasil daur ulang yang di ciptakan oleh Jery. Harapan baru itu muncul.
*
30 tahun kemudian . . . .
Semua mata tertuju kearah langit, sebuah cahaya terang melintas menembus atmosfir bumi, seperti bola api tapi setelah dekat bentuknya semakin nyata. Benda itu kuat dan megah.
Semua yang ada di jalan diam memandang kagum. Semua keluar dari rumah masing-masing, bergerak menuju kearah benda besar yang mendarat di tengah lapangan luas. Para langkah terhenti ketika pintu besar yang ada di depan terbuka menurun. Beberapa sosok terlihat berdiri di balik cahaya yang menyilaukan.
Ada 6 sosok, semuanya hidup dan bergerak turun menju tanah. Lalu salah satu dari 6 tadi mendekat kearah seseorang yang berdiri paling depan di antara yang lainnya.
“Di mana ini?,” tanyanya ramah.
“Ini Erja — kalian dari mana?.”
“Kami dari planet Nimbus.”
Kedatangan sosok 6 orang yang mengaku dari planet Nimbus itu menggeparkan semuanya. Kota para robot yang di batasi dengan dinding tinggi di balik hutan hijau yang di jaga untuk penghijauan planet mulai mempertanyakan mengapa 6 orang itu mucul di planet mereka : planet Erja.
“Bolehkan kami tinggal di Erja ini?, planet kami hancur akibat perang, kami tak lagi punya tempat untuk melanjutkan kehidupan.”
Sebuah robot tua yang sangat di hormati di tempat itu bergerak maju menghampiri sosok hidup yang baru saja berbicara tadi.
“Apakah kalian manusia? — Jika benar begitu maka kami muali meresahkan kalian.”
Sosok hidup tadi mengkerutkan keningnya. “Mengapa begitu!.”
“Karena kami takut di hancurkan lalu di tinggalkan — Kami takut planet yang dulunya bernama Bumi ini kalian telantarkan lagi.”
Sosok hidup tadi terduduk. “Inikah Bumi. Tempat yang di katakana oleh keturunan kami sebelumnya menjadi tempat pertama mahkluk seperti kami tinggal, planet yang kami tinggalkan atas kehancuran yang telah kaum terdahulu kmai lakukan.”
*
Jery berjalan bersama DoII mengitari sebuah monumen besar yang ada di tengah hutan rindang. Jery meletakkan rangkaian bunga di atas sebuah makam satu-satunya yang ada di Planet itu.
“Erja, kini planetmu kedatangan tamu. Para manusia yang membuat kami meragu. Kami takut pengahacuran akan mereka lakukan lagi. Sehingga kehijauan yang telah kau perjuangkan lewat harapanmu sirna disapu perang dan keserakahan. Tapi seperti janji kami kepadamu. Jika suatu ketika para manusia menemukan kembali planet ini maka kami akan menyambut mereka dengan sangat ramah dan menyadarkan mereka begitu pentignnya menjaga bumi dari kehancuran. Dan seperti janji itu kami hari ini melakukannya. Menaruh banyak kepercayaan kepada manusia-manusia yang tersisa.”
Perjalanan pulang itu di sambut oleh beberapa sosok hidup yang penuh dengan wajah harapan dan perjuangan untuk mencapai perdamaian dan jauh dari kehancuran.
Dan bintang berucap
Dan bulan tak lagi menggelap
Dan sebuah planet biru itu berubah nama
Dari Bumi menjadi Erja
***
NB : untuk generasi manusia yang tersisa.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!