24 Jun 2011

Di Saat Badai Sudah Berlalu #2

Dua

April 1935, Batavia

“Dia terluka parah—Kita tidak mungkin meninggalkannya sendiri.”
Bayangan mondar-mandiri terekam di kedua bola mata Robbi yang masih mengabur. Suara langkah kaki pada lantai kayu terdengar berat dan penuh keresahan. Lalu langkah itu berhenti dengan tiba-tiba, disertai dengan suara berat yang akhirnya mengeluarkan sebuah keputusan.
“Kita akan bertahan sampai besok pagi. Jika dia masih lemah maka kita akan membawanya semampu kita,” keputusan itu mengantarkan langkah berat tadi menuju keluar ruangan.
Dari celah-celah atap daun nipah yang kering cahaya matahari menyelip membuat mata Robbi semakin silau. Rasa sakit pada kakinya masih terasa, luka itu masih belum kering dan terbalutkan sobekan kain putih.
Lalu selembar kain hangat menyentuh dahi Robbi yang panas. Bibirnya pucat keadaannya setengah sadar, dia serasa tersesat di dalam tempat yang jauh, remang-remang. Tapi dia tahu bahwa dia harus terus bergerak dan mencari cahaya agar dia bisa menemukan udara segar yang sulit ditemukannya.
Waktu menajdi semakin lama, seolah dia berada di dalam ruang antara. Dia merasa bahwa dia masih berada di dalam kapal berlayar menempuh gelombang. Di mana saat itu dia bisa melihat awan putih langit biru berhiaskan beberapa ekor burung camar terbang menempuh udara lautan.
Kapal dagang yang memiliki awak kapal beberapa orang itu membawa cukup banyak bahan rempah-rempah dan hasil panen daun teh yang masih mengharum. Di haluan kapal itu Robbi duduk bersama seorang teman yang bernama Rukman. Rukman adalah menantu dari Pak Yusuf si pemilik kapal dagang, suami dari Mega anak Pak Yusuf yang meninggal dunia karena bunuh diri.
“Dari kabar yang aku dengar beberapa bulan yang lalu di Medan di dirikan perhimpunan Islam modernis, dan di Lombok organisasi Nahdlatul Watham juga. Orang-orang mulai bergerak—,” ucap Rukman memberitahu.
Robbi diam merenung kemudian mulai membuka mulut. “Mereka berjuang!,” komentarnya singkat.
“Apa yang akan kau lakukan di Batavia?.”
“Entahlah, aku masih tidak memiliki gambaran yang jelas, mungkin aku akan ikut berjuang. Aku mendengar dari banyak orang, di Batavia ada banyak perkumpulan pejuang yang ingin menciptakan kemerdekaan atas penjajahan. Tapi jika di tanya tujuan yang sebenarnya, maka aku berencana untuk bisa kembali menepati janjiku pada seseorang.”
Suara raungan keras terdengar tidak jauh di depan kapal. Sebuah kapal lain mulai terlihat di depan. Robbi dan Rukman berdiri dan bersandar pada pagar kapal, menatap ke depan kearah kapal megah yang pelan bergerak melewati mereka.
Pak Yusuf, dan Supian anak laki-lakinya yang baru berusia 17 tahun itu juga menatap ke arah kapal megah lewat kaca depan. Tulisan itu terukir rapi di badan kapal “Dar Pomorza” dan beberapa orang yang ada di kapal itu juga berdiri dan menatap kearah Robbi dan Rukman. Orang-orang itu melambaikan tangan dengan keramahan.
“Belanda?,” tanya Robbi heran.
“Bukan, Polandia,” tunjuk Rukman pada tulisan yang tertera di bawah nama kapal tadi. Pandengaran Robbi mulai tercampur dengan siulan burung yang entah berasal dari mana. Tulisan Polandia pada kapal yang berlalu itu pun mengabur dan berubah menjadi cahaya silau dari celah yang diterobosi oleh sinar matahari.
Suara siulan burung semakin jelas. Robbi mendapati dirinya terbaring di atas papan kayu yang berlapiskan tikar. Ketika dia ingin bangkit, rasa nyeri di kaki kanannya mulai terasa.
Jendela yang terhalang oleh turus-turus kayu, dengan kedua daun jendela terbuka lebar, memperlihatkan pada Robbi sosok seorang laki-laki sedang asik mengganti air yang ada di dalam kurungan burung, sambil bersiul-siul, laki-laki tadi terlihat tenang.
Suara terjatuh di dalam rumah membuat laki-laki tadi berlari ke dalam, langkahnya terhenti ketika mendapati sebuah gelas bambu bergelinding kearah tempatnya berdiri. Tatapannya teralih ke sosok Robbi yang berdiri dengan tangan bersandar pada meja kayu.[]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!