Hujan membawa butiran air yang jatuh melambat, seperti payung hitam yang dibawa oleh orang-orang untuk melindungi mereka, seperti langkah mereka yang menciptakan gelombang serta cipratan air menggenang pada jalan yang tidak rata.
Lukman merasakan dingin, merasakan butiran air yang perlahan menyentuh kemeja hitamnya, tapi dia tidak mendapati kemeja hitam itu basah karena hujan, tidak seperti rambutnya yang basah dan kaku karena udara yang semakin dingin.
Dan di bawah lampu-lampu jalan yang membundar, langkah Lukman terus berlanjut, melewati beberapa bangunan tua dengan kaca-kaca tebal besar yang mendeskrifsikan keadaan di dalam bangunan.
Kedai minuman, di situ Lukman terhenti. Dia mendekat kearah kaca, mengawasi dua orang manusia yang sedang asik menyedu kopi hangat dengan perbincangan ramah dan senyum yang tidak kunjung pudar.
Kedai Minuman :
Suara lonceng bergeming ketika pintu kedai didorong dari luar kedai. Di balik payung hitam yang menutup pelan, sepasang manusia bergerak sambil menyirat senyum masuk ke dalam kedai, kemudian duduk di bangku yang ada di paling depan samping kaca jendela besar, di tengah-tengah keramain kedai yang tidak mereka perdulikan. Mereka berdua mulai memesan kopi hangat penyambung perbincangan yang sangat pas untuk mereka berdua.
Lilin yang berada di dalam gelas kaca kecil di tengah meja, di antara Lukman dan Lia duduk, bergoyang tak tentu arah karena hembusan nafas keduanya saling beradu di dalam jarak yang tidak terlalu jauh.
Dan beberapa detik kemudian dua cangkir kopi hangat tersaji di hadapan mereka berdua. Cukup lama mereka berdua terkunci di dalam kondisi saling malu-malu, tapi Lia yang tak bisa membiarkan keadaan semkain kaku memulai sebuah komunikasi lewat beberapa patah kata yang membuat Lukman tersenyum malu.
“Kenapa tak bicara?,” tanya Lia sambil menarik cangkir kopi mendekat.
“Aku hanya sedikit gugup,” jawab Lukman jujur.
Lia tertawa mendengar kejujuran itu. “Katanya tadi mau bicara, aku menunggu lo.”
Perlahan Lukman memberanikan diri, memegang jemari Lia yang seolah terikat pada cangkir kopi hangat. Tanpa mengucapkannya lewat rangkaian kata-kata, mereka mulai saling pandang.
Lalu perlahan musik di dalam kedai memfokuskan suasana hati mereka, mengalunkan gesekan biola ketenangan yang memetafora menjadi anyaman perasaan cinta.
Di balik bibir merona Lia, senyum itu tergambar mesra. “Aku juga mencintaimu,” ucap Lia setengah berbisik
Tiba-tiba suara biola berhenti, satu dawai dari biola tadi putus, dan pemain biola tadi pun turun dari panggung sambil menggenggam ujung biola dengan sangat erat, lonceng pintu kedai berdenting lagi.
Dawai Biola :
Dari kedai tadi langkah menerjang hujan, membasahi tubuh dan biola dengan satu dawai terjuntai putus. Sosok itu adalah bocah laki-laki yang berlari menuju sebuah rumah tua yang berada di antara bangunan-bangunan megah pencakar langit.
Bocah tadi kaku sejenak menghela nafas di depan pintu yang tertutup, di atas bangku kayu, dia duduk menunggu. Biola di letakkannya di atas meja kayu seperti tubuhnya yang meringkuk layu dalam suasana kedinginan.
Lalu jemari kasar, tua itu mengelus kepala bocah tadi dengan sangat ramah.
“Kau baik-baik saja Lukman?,” tanya lelaki tua tadi.
Lukman bangkit sambil menarik biolanya, dia memperlihatkan dawai biolanya yang terjuntai putus. “Biolanya tak lagi menyanyi merdu, dawainya kehilangan nada serta aksa suara-suara.”
Dari dalam saku baju yang terkunci oleh kancing baju itu, seuntai dawai baru di kelurkan oleh Idris kemudian di pasangkan menggantikan dawai yang putus.
“Dawai itu seperti nyawa yang menghidupi raga. Tanpa dawai raga tak bisa mencipta aksara berupa nada-nada. Seperti mimpi juga yang harus selalu dirawat dan di usahakan agar suatu saat bisa membawa hidup menuju pintu perubahan. Kadang dia putus ditengah jalan dan membuat hati putus asa. Tapi sebenarnya putus itu mengajarkan pada kita untuk kembali membenah apa yang telah kita impikan sehingga jalan untuk mewujudkannya semakin menajdi kenyataan,” Idris memberikan biola yang sudah berdawai lengkap itu pada anaknya tadi.
“Terima kasih pak, Lukman punya mimpi begitu juga dengan harapan. Seperi dawai yang akan selalu menyanyikan semangat-semangat dari bait penuh semangat.”
Lukman bangkit dan ingin kembali ke jalan. Baru beberapa langkah dia menapak anak tangga, pundaknya di tahan oleh Idris.
“Jika kau sudah jauh berlari maka saat hujan datang kembangkan payun hitam sebagai bekalmu berlindung agar tidak sakit,” Payung hitam itu diserahkan pada Lukman.
Di dalam hujan di bawah payung hitam, langkah bocah tadi menapak penuh semangat.
*
Dari depan kaca kedai, Lukman melangkah santai menempuh tetesan hujan seperti bocah yang melangkah lambat dengan sebuah biola di tanganya. Langkah luman berhenti di jalan kasar, di bawah hujan di depan rumah tua tempat bocah tadi berhenti lalu berbincang dengan seorang tua yang sangat ramah.
Lukman melihat dawai biola berganti baru, dengan penuh semangat bocah tadi turun dan bergerak di bawah payung hitam yang melindunginya.
Langkah Lukman mengikuti pergerakan bocah tadi, hingga pada persimpangan jalan sebuah mobil sedan melintas, menabrak genangan air, membuat air tumpah ke arah Lukman dan bocah tadi, Bocah tadi terlindung oleh payung hitam seperti Lukman yang terlindung oleh kemeja hitam yang tak pernah basah.
Dari balik kaca belakang sedan tadi Lukman melihat sosok lelaki di tarik oleh beberapa orang lalu ketika sedan itu berhenti sosok tadi dilemparkan keluar sedan di tengah jalan.
Lukman bergerak mendekat akan tetapi hanya sampai tiang lampu yang menerangi sosok tadi. Darah terlihat dari bulut sosok tadi.
Garisan :
Mulut itu berdarah di sertai memar, pelan tubuh lemah itu bergerak bangkit, di tengah jalan sepi, di bawah hujan yang semakin lebat. Gerakan maju itu terhuyung-huyung. Merapat pada tembok bangunan, dia berjalan melewati celah bangunan, menuju pemukiman kumuh yang beraromakan kemiskinan.
Pintu rumah yang hampir roboh itu di gesernya, seorang anak perempuan tergeletak tak lagi bernafas, sedangkan seorang perempuan dengan tangis yang tak pernah berhenti duduk di depan dapur kayu, menunggu sesuatu yang ada di dalam panci hitam itu masak.
Batu itu sudah sangat panas karena sudah hampir dua hari berada di dalam panci, hingga yang menunggu pun tak bisa lagi punya waktu untuk menunggu, seperti perubahan yang selalu di impikan oleh perempuan tadi.
Lukman duduk di depan meja yang kosong makanan, menyapu luka di mulutnya dengan kain putih yang tergeletak di atas meja. Suara tangis itu menggangu pendengarannya.
“Sudahlah kau tangisi, hidup tak kan berubah jika ka uterus tangisi,” nada itu terdengar marah.
Tak ada jawaban atas pernyataan itu, tangis itu semakin menguat lalu berhenti dengan tiba-tiba.
Lukman bangkit bergerak menuju dapur dan terhenti di depan panci yang tumpah dengan batu panas berasap. Dia duduk di samping perempuan tadi, memeluknya erat.
“Maafkan aku,” ucapnya pilu.
*
Saat itu hujan sudah tidak lagi menetes, malam juga sudah hampir berlalu. Lukman duduk menggunakan kemeja hitam yang tidak pernah basah, di bawah pohon kelapa yang melambaikan nyanyian rayuan pulau kelapa itu Lukman membuka matanya.
Matahari mulai terbit lagi, seperti hari kemaren yang datang tak jauh berbeda. Dalam kepengapan hati di balik kemeja hitam itu Lukman merenungi.
Ada banyak jenis kehidupan di dunia ini, beberapa di antaranya dalah kisah cinta sepasang manusia, kisah mimpi dan juga harapan serta kisah pahit suatu kehidupan. Apa yang bisa dilakukan untuk kisah-kisah itu?.
Di dalam bayangan yang sudah hampir hilang, langkah Lukman menapak hamparan pasir putih yang berkilau. Gelombang pantai menghempas tubuhnya, membawanya menghilang hingga yang tersisa hanyalah sebuah kemeja hitam tanpa jiwa yang berada di dalamnya.
Mungkin yang harus dilakukan adalah perubahan. Bisikan itu pun menghilang.[]
NB : Aku namakan ini Prosa Abstrak. Untuk Lukman Sardi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!