18 Jun 2011

Di Saat Badai Sudah Berlalu (Prolog)


Pembuka

Kami hanyalah orang-orang pribumi—seperti itulah mereka memanggil kami, termasuk aku dan semua keluargaku. Kami orang-orang pribumi adalah orang-orang yang dididik atas dasar pengetahuan orang-orang terdahulu kami, mulai dari cara kami bercocok tanam dan memperlakukan banyak hal di tanah kami Nusantara yang subur dan kaya dengan sumber daya alam yang masih menghijau. Dan tidak hanya itu kami hidup di dalam lingkungan yang taat terhadap agama, ramah sesama manusia, menghindari penindasan, mempererat persaudaraan. Dan kami semua hidup di dalam kesederhanaan.

Di saat senja berhias merona di ujung barat. Langkah berat memikul cangkul bermata tajam tanpa sedikit pun karat. Menyudahi hari-hari yang melelahkan tetapi selalu terasa menyenangkan. Dan suara azan magrib mengalun indah di telinga, memanggil kaum muslim untuk meluangkan waktu mereka menghadap Sang Maha segalanya.
Lembayung nyala obor yang bergoyang menghiasi setiap langkah orang-orang pribumi yang berselingkan canda tawa keharmonisan. Menapak langkah pada jalan setapak yang kecil dengan rerumputan liar tumbuh di sepanjang kesunyian. Daun-daun dari rerumputan liar tadi seakan mengkilat ke-emas-an, di karenakan biasan api obor yang jadi di junjung tinggi oleh lengan kasar pekerja keras.
Setelah senja berlalu, magrib menyambut isya, maka langit luas pun akhirnya mempekat. Menenggelamkan terang, menutupi indahnya tumbuhan hijau. Lalu para rasi bintang pun meramlalkan banyak pertanda, begitu juga dengan rembulan yang bersinar terang walau pun belum purnama.
Dan dengan sisa dari malam yang tersisa di habiskan dengan berkumpul untuk membagi banyak cerita dan pengalaman, hingga mata-mata sayu mulai terasa ngantuk dengan meminta segera di istirahatkan. Malam sunyi yang sebenarnya tidak pernah sunyi itu akan habis ketika tubuh-tubuh letih sudah berbaring di atas tempat tidur, mendengarkan nyanyian para jangkrik serta burung hantu yang membuat takut akan tetapi menjadi nyanyian penghilang kusut.
Letih pun beringsut, semangat jadi terajut, suara ayam terdengar meneriaki subuh bersamaan dengan berakhirnya suara azan subuh yang terdengar samar-samar.
Berpuluh tahun yang lalu, sebelum aku ada di muka bumi ini. semasa cerita kehidupan orang-orang peribumi sama seperti yang ku paparkan di atas tadi. hadirlah sekelompok orang dalam jumlah besar bertubuh lebih tinggi daripada orang-orang pribumi, berbola mata biru dan bertindak kejam dalam penindasan. Memiliki penuturan bahasa yang tidak orang pribumi mengerti, mereka itu bersenjata dan tidak segan untuk melancarkan timah panas menembus kepala demi memuaskan apa yang mereka inginkan dari orang-orang pribumi.
Hampir 350 tahun Belanda menginjakkan kaki mereka di Nusantara. Tahun 1602 secara pelan-pelan mereka memperluas kekuasaan mereka, memanfaatkan perpecahan kerajaan-kerajaan. Di mulai dari Perusahaan dagang yang bernama Verenigde Oostindische Compagnie atau biasa di singkat dengan sebutan VOC, yang kuat atas hak memonopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonel sutu daerah yang diberikan oleh Parlemen Belanda.
Kekuasaan VOC dalam monopoli perdagangan rempah-rempah berdampak terhadap kekerasan serta ancaman terhadap orang-orang pribumi. Kemelaratan di mulai bagi mereka yang tak memiliki kekuatan materi, sedangkan yang kaya di manfaatkan oleh VOC sebagai jembatan penguras tenaga para miskin yang pasrah terhadap keadaan hidup.
Tahun 1816, VOC bangkrut hingga akhirnya Pemerintahan Belanda mengambil alih kepemimpinan kuasa, bukan malah melepaskan orang-orang pribumi dari derita, perpindahan VOC ke tangan Pemerintahan Belanda malah menjadi racun mematikan yang seolah senghaja di tuangkan ke dalam secangkir air yang harus di minum oleh setiap orang pribumi. Inilah masa di mana mati rasa atas kehidupan benar-benar terjadi. Hidup bagai bersulang mimpi, dan mimpi malah merubah mati tak bertepi. Yang kaya tertekan di dalam kebahaggiaan yang tergambarkan sedangkan yang miskin merana di dalam siksaan luka yang tak bisa terhapuskan lagi dengan air mata.
Setelah perang Diponogora meledak yang berakhir pada tahun 1830, setahun setelah itu Cultuurstelsel pun mulai di terapkan. Tanam paksa yang menjadi perbudakan orang-orang pribumi atas Pemerintahan Belanda dan juga orang-orang pribumi yang kaya. Tanam paksa memang sangat menguntungkan bagi Belanda dan penyelenggara kaya  tapi, tidak bagi tulang-tulang kurus yang akhirnya seringkali jatuh sakit, menderita, serta tersiksa selama turun-temurun
Dan tahun 1870 pun tanam paksa akhirnya dihapuskan.
Dan masa yang lebih bebas mulai menyingkap tabir cahaya.
Dengan banyak pertimbangan yang bergelimut di kepala, dengan kondisi yang akhirnya menjadikan orang Belanda merasa wajib memberikan banyak hal atas dasaran balas budi. Tahun 1901 Belanda mulai mengadopsi Ethische Politiek yang menjadi kesempatan besar berupa investasi dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi
Tahun  1905 gerakan nasionalisme, Serikat Dagang Islam di bentuk dan dilanjutkan pada tahun 1908 yaitu gerakan Budi Utomo, masa di mana Belanda lagi tersibukkan oleh Perang Dunia I.
Perang Dunia I usai, respon dari Pemerntahan Belanda atas gerakan yang bernadakan menentang pun di sambut dengan lagkah-langkah penindasan.
Mei 1940, Perang Dunia II meledak.
Belanda diduduki oleh Nazi Jerman.
Perang Dunia II mengantarkan Jepang di tahun 1941 memulai penaklukkan Asia Tenggara. Hingga akhirnya 1942 Jepang mengadakan revolusi terhadap Pemerintahan Belanda di Nusantara.
Belanda dikalahkan Jepang.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!