28 Jun 2011

Pak Presiden, maukah anda berjanji untuk Indonesia?


Di atas tempat tidur yang berlapiskan warna putih pucat, sama pucatnya seperti wajah Arif yang menyiratkan penyakit yang sedang di deritanya. Kedua bola matanya bergerak menelusuri setiap dinding ruangan yang juga pucat hingga berhenti pada jendela kaca..
Di dalam benaknya sedang bergumpal banyak keinginan untuk bisa berlari, bermain bola, belajar dan banyak lagi hal lain yang ingin dilakukannya bersama teman-temannya.

Tapi jarak kaca itu cukup jauh sehingga dia tidak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di balik kaca jendela itu.
Waktu seringkali terasa cepat, tapi sering juga terasa sangat lambat serta membosankan. Tapi bagi Arif waktu tetaplah waktu dan apa pun yang akan terjadi semuanya hanya bergantung pada waktu saja. Seperti hidupnya yang pasrah menunggu waktu.
Hari itu adalah hari jum’at, suara azan di masjid yang ada di dekat rumah sakit itu terdengar jelas di telinga Arif, kerinduan dengan sholat jum’at juga sudah lama terbenam dalam jiwanya. Mimpi-harapan-tapi sulit jadi kenyataan.
Pintu ruangan terbuka dari luar, dua orang perawat masuk membawa seorang laki-laki tua yang duduk di atas kursiroda, wajah laki-laki itu terlihat pasrah tanpa ada setitik semangat di raut yang tergambar dulunya sering menyulam senyum di wajah itu.
Gorden pembatas di tarik, pandangan Arif pada jendela terhalang, Arif melarikan pandangannya ke langit-langit yang bisu. Aku punya teman sekamar. bisiknya dalam hati.
Setelah dua orang perawat tadi keluar dari ruangan, kini hanya Arif dan lelaki tua tadi yang tersisa, cukup lama ruangan sepi dengan kebisuan hingga suara lirih terdengar di telinga Arif.
Suara itu serak dan bergelombang penuh kesedihan, suara itu melantunkan sebuah lagu yang diketahui oleh Arif tapi lirik lagu itu terdengar sangat tidak biasa di pendengaran Arif.
Arif memfokuskan pendengarannya . . .
……..
Indonesia, tanah yang mulia,
Tanah kita yang kaya,
Di sanalah aku berdiri,
Untuk s'lama-lamanya.
Indonesia, tanah pusaka,
P'saka kita semuanya,
Marilah kita mendoa,
Indonesia bahagia.

Suburlah tanahnya,
Suburlah jiwanya,
Bangsanya, Rakyatnya, semuanya,
Sadarlah hatinya,
Sadarlah budinya,
Untuk Indonesia Raya.
……..
Lagu kebangksaan Indonesia Raya dengan lirik yang berbeda, entah itu lirik yang benar atau hanya diganti oleh laki-laki tua tadi, Arif tidak pernah tahu. Setelah suara itu berhenti, isakan tangis melanjutkan alunan lagu tadi.
Pintu ruangan terbuka kali ini Putra abang dan keluarga Arif satu-satunya yang dimilikinya datang menjenguk, melihat kondisi adiknya yang sangat disayanginya.
Suara tangis tadi bisu tak lagi terdengar.
**
Pagi berikutnya setelah para perawat memberi makan Arif dan lelaki tua tadi, Arif mulai mencoba berkomunikasi dengan teman se-kamarnya itu.
“Maaf pak,” ucap Arif sambil menarik gorden penghalang dan menatap dengan senyuman kearah lelaki tua tadi.
“Ada apa?.”
“Tidak apa-apa. Saya hanya ingin berbincang-bincang saja, sudah lama saya tidak bicara dengan orang-orang.”
Lelaki tua tadi berpaling dan melihat keluar lewat jendela yang ada di hadapannya.
“Sudah berapa lama kau di sini?,” tanya lelaki tua tadi.
“Saya tak bisa tahu pasti, sudah beberapa bulan saya dirawat di sini!.”
“Kau bosan?, “ tanyanya lagi, tapi belum sempat dijawab oleh Arif lelaki tua tadi bercap lagi. “Di luar terlihat indah sekali.”
“Bapak bisa melihat keluar?,” tanya Arif bersemangat.
“Ya—saat ini aku sedang melihat orang-orang sedang bekerja bakti membersihkan sampah, ada anak-anak yang bersepeda, ada para ibu-ibu yang sedang senam, benar-benar menyenangkan bisa bergabung bersama mereka.
“Sayang sekali ya…,” Arif berucap pelan. “Kemaren saya mendengar bapak menyanyikan lagu Indonesia Raya, tapi liriknya terdengar tidak biasa?,” nada Arif penasaran.
Lelaki tua tadi tertawa dipaksakannya. “Itu memang lirik Lagu Indonesia Raya karangan W.R. Soepratman, lagu itu sebenarnya terbagi atas tiga bagian dan tiga kali penyempurnaan. Bagian pertama adalah bagian yang sering orang-orang nyanyikan saat ini, sedangkan yang aku nyanyikan saat itu adalah bagian keduanya. Memangnya kenapa?, sekarang memang banyak orang yang melupakan lirik lagu kebangksaan sendiri.”
“Saya jadi malu dengan diri saya sendiri pak.”
“Kenapa malu.”
“Saya tidak tahu dengan lagu kebangsaan sendiri.”
Lagi-lagi lelaki tua tadi tertawa. “Tak usah malu, semua orang juga berasal dari ketidak tahuan, jika kamu tidak tahu itu karena kamu memang tidak tahu dari awal, yang salah adalah jika kamu tahu dan sudah melupakannya — tapi sekarang kamu tahun kan, dan jangan di lupakan.”
Arif diam sejenak, hingga akhirnya pertanyaan yang memang ingin ditanyakannya terlontar dari mulutnya. “Waktu bapak menyanyikannya saya sempat mendengar bapak menangis?.”
Lelaki tua tadi tidak memberikan jawaban, gorden ditariknya lalu semuanya sepi.
“Maafkan saya pak!,” Arif merasa bersalah telah menanyakan hal itu.
**
Sejak kemaren, setelah pertanyaan Arif yang membuat lelaki tua tadi bisu. Gorden itu tak pernah lagi disingkap, bahkan suara lelaki tua tadi pun tidak juga pernah terdengar, lagu Indonesia Raya itu juga tidak terdengar seperti tangis yang juga menghilang.
Putra baru saja keluar daru ruangan. Abangnya itu berangkat bekerja untuk mencari uang agar bisa membiayai pengobatan Arif.
Arif membuka mulut dan mulai berbicara lagi.
“Saya minta maaf jika saya menyinggung perasaan bapak,” Arif diam menunggu jawaban, tapi jawaban itu tidak juga kunjung datang. “Dulu saya juga suka menyanyikan lagu Indonesia Raya tapi dengan lirik yang biasa orang-orang nyanyikan. Saat saya mengetahui bahwa lagu itu di ciptakan oleh W.R. Soepratman, saya sempat berpikir ingin menjadi seperti dirinya, seorang pencipta lagu yang memiliki kontrubusi untuk negri ini, tapi lama kelamaan keinginan itu surut karena banyak pencipta lagu yang di abaikan dan dilupakan kehidupannya, Lalu keinginan saya beralih ingin menjadi Polisi karena melihat begitu mulyanya pekerjaan itu membantu banyak masyarakat Indonesia, tapi keinginan itu juga sirna karena saya melihat banyak Polisi yang bertindak semena-mena,” Arif diam menunggu respon.
Lagi-lagi tak ada jawaban.
Arif melanjutkan lagi. “Setelah itu keinginan saya beralih ingin menjadi Mentri, lagi-lagi keinginan itu saya abaikan, karena rasa takut saya yang begitu besar. Saya takut saya menjadi congkek seperti beberapa mentri yang korupsi terhadap Negara ini. Saya berpikir bagaimana caranya agar korupsi itu bisa terhindar. Maka saya pun memutuskan untuk bercita-cita menjadi seorang Presiden, karena mungkin menurut saya Presiden bisa memperbaiki negri ini dari keterpurukan. Saya semakin bersemangat ketika membaca tentang Presiden Soekarno yang sangat mengagumkan. Tapi, tiba-tiba saya terdiam dan merasakan sakit hati melihat semakin banyaknya masalah negri ini.”
Ruangan sunyi, Arif berhenti bercerita. Jawaban juga tidak kunjung tiba.
**
……
Indonesia, tanah yang suci,
Tanah kita yang sakti,
Di sanalah aku berdiri,
N'jaga ibu sejati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah yang aku sayangi,
Marilah kita berjanji,
Indonesia abadi.

S'lamatlah rakyatnya,
S'lamatlah putranya,
Pulaunya, lautnya, semuanya,
Majulah Neg'rinya,
Majulah pandunya,
Untuk Indonesia Raya.
……..
Surat ini saya tujukan kepada Pak Presiden yang tercinta. Bapak, dulu ketika saya membaca tentang Pak Soekarno yang merupakan Presiden pertama kita, saya sangai inign jadi seperti beliau, tapi karena keadaan saat ini yang terjadi pada Negri ini saya mulai hilang impian. Apa pun yang terjadi saat ini memang bukanlah 100% kesalahan bapak, bapak hadir menjadi bapak negri ini sudah di hadapkan kepada banyak permasalahan Negri. Tapi terkadang banyak orang yang melihat bapak sebagai seseorang yang di ponis salah 100%  atas apa yang terjadi.
Saya tidak punya hak menyalahkan bapak, mungkin hidup memang bergantung pada waktu, seperti lirik lagu Indonesia Raya yang terlupakan di makan waktu. Ada cukup banyak perubahan yang merupakan nilai positif yang telah bapak berikan pada negri ini, dan ada juga perubahan yang membuahkan hal negatif di mata saya dan orang-orang yang mungkin tidak mengenal bapak secara dekat. Terkadang kami marah atas hal negatif itu, kemarahan itu kami lontarkan karena kami sangat sayang dengan Negri ini, kami takut kehancuran yang memang sudah sangat memburuk di negri ini menjadi semakin meluas.
Bapak yang tercinta, bapak adalah bapak negri yang menjadi panduan kami, maka seperti lirik lagu Indonesia Raya maukan bapak berjanji untuk : S’lamatkan rakyat, S’lamatkan putra, pulau, laut, semuanya untuk Indonesia Raya?.
……….
Putra melipat surat tadi dan memasukkannya kedalam amplop putih panjang yang di lem rapi. Di kop depan surat ditulisnya. Istana Negara, Jakarta. Untuk Bapak Presiden.
Putra pun berangkat ke kantor pos untuk mengirimkan surat tadi. Sepulang dari kantor post Putra mampir di rumah Arif. Rumah itu sunyi berhiaskan rerumputan, ada banyak rumah di sana, rumah-rumah itu kecil bercirikan satu tiang yang mengukir nama adiknya itu. Putra hanya bisa menangis tanpa berucap mengeluarkan nada-nada.
**
Arif menyingkap gorden yang membuatnya penasaran karena tak pernah lagi ada jawaban. Tempat tidur itu kosong, tak ada siapa-siapa di sana yang ada hanyalah bantal kosong berwarna pucat.
Seorang perawat masuk membawakan makanan untuk Arif.
“Kemana bapak yang di rawat di sini?,” tunjuk Arif ke tempat tidur yang kosong.
“Beliau sudah meninggal dua hari yang lalu,” ucap perawat tadi sambil meletakkan makanan di meja samping tempat tidur, ketika dia ingin kembali keluar dia teringat sesuatu. “Oiya, saya lupa memberikan ini untuk anda, beliau menitipkan ini untuk ada.”
Selembar kertas yang berisikan lirik lagu Indonesia Raya lengkap dari bagian pertama hingga ketiga. Arif diam kemudian melipat kertas tadi lagi.
“Maukah anda meminjamkan saya alat tulis dan selembar kertas?,” tanya Arif pada perawat tadi.
Perawat tadi keluar mengambilkan sebuah bolpoin dan selembar kertas putih yang kosong dengan perakata. Kertas diletakkan di samping makanan.
“Jangan lupa makan makanannya,” ucap perawat tadi sambil bergerak keluar ruangan.
Arif diam sejenak, lalu menarik bolpoin dan kertas, bangkit sambil membawa kertas yang berisikan bait lagu Indonesia Raya, dia berjalan mendekat kearah jendela kaca. Terkejutnya dia ketika melihat jalan di penuhi oleh mobil dan motor yang berjejal, para pengemis dan pengamen jalanan serta sampah berserakan di mana-mana. Air matanya menetes pilu. Tak ada keindahan yang bisa dilihatnya di luar itu.
Arif duduk di lantai pucat, menggoreskan kata demi kata, merangkai sebuah kalimat yang kelaur dari hatinya. Pikirannya mulai berat, beban itu mulai menyiksa dirinya, keringat keluar dari pori-pori, keringat itu tidak berupa cairan biasa, keringat itu berwarna merah, menetes kelanti dan bebera ke kertas yang mulai penuh dengan kata-kata.
Kertas sudah di isinya, nafasnya menyesak, Arif berpaling dan terbaring di samping kertas tadi, matanya memandang tajam kearah langit-langit. Darah itu menggenang dan mulai mengering tanpa suara.[]
NB : Untuk Pak Presiden, semoga bapak punya waktu untuk membacanya.
…..
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg'riku yang kucinta!
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya.
…….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!