10 Jun 2011

Saat Bercinta Itu Sakit [Untuk Pembaca Dewasa]


“Aku mau kau selalu ada di sini bersamaku, kau sudah seperti Ayahku sendiri.”
Laki-laki tua dengan perempuan yang masih remaja berbaring di atas tempat tidur disebuah kamar apartemen, tanpa busana, saling memeluk. Tiba-tiba saja telpon genggam yang ada di atas meja kecil di samping tempat tidur berbunyi.
Laki-lak tua tadi melihat kearah layar telpon genggam, nama istrinya terlihat jelas, membuat dirinya bangkit dengan bergegas, menyingkap selimut dan berdiri menjauh.
“Saya masih di luar kota sayang, hari ini akan langsung pulang.”

………  ……………..   
“Ya, saya juga sayang kamu.”
Laki-laki tua tadi memungut celana yang tergeletak di lantai apertemen, kemudian mengenakannya dengan perlahan.
“Nenek tua itu menyuruhmu pulang?,” tanya perempuan remaja yang berjalan tanpa busana mendekat dan memeluk laki-laki tadi dari belakang.
Ciuman liar menelusuri setiap bibir lalau turun ke leher, hingga ke sela-sela payudara. Desah yang keluar dari mulut perempuan tadi menandakan nikmat yang begitu sangat dirasakannya.
“Maafkan aku satu minggu lagi aku akan kesini lagi,” ucap laki-laki tua tadi sambil menjauh menuju kearah lemari pakaian yang terbuka lebar. Mengambil sebuah kemeja putih yang tergantung rapi.
“Sehari lagi ya, baru saja kau datang tadi malam sekarang sudah mau pergi lagi, aku bosan sendirian di sini.”
“Seminggu lagi aku akan kembali kesini.”
Pukulan keras menghantam belakang laki-laki tadi, lalu teriakan dengan deraian airmata bercampur emosi membuat laki-laki tua tadi terdiam menatap perempuan muda yang berlari menuju kembali ke atas tempat tidur.
Kedua bola mata itu di tutup dengan selimut putih yang terlihat hangat dan nyaman.
“Tenang lah sayang aku akan segera menceraikan istriku, sabar lah—setelah itu kita akan menjalani hidup bersama.”
“Sudah berapa kali kau ucapkan janji-janji itu, tapi tetap saja kau lebih menyayangi nenek sialan itu. aku muai curiga kau lebih sukan pada bagian keriput yang tersembunyi di balik celana dalamnya itu.”
Tanpa berucap lagi, laki-laki tadi kembali berbaring di samping perempuan muda, mengelus kepala lembut perempuan itu, “Kau begitu mirip dengan Ibumu. Keras kepala, cantik, pemarah dan selalu membuat aku tidak bisa berhenti memikirkan kalian.”
Perempuan tadi berpaling dan mengecup bibir laki-laki tua, menindihnya dengan penuh napsu. Melepaskan kancing celana laki-laki tadi, menariknya dengan perlahan. Kecupan bibir mencuri napsu yang semakin turun hingga kebawah pusar menyisakan rasa sakit di hati laki-laki tadi.
-----
19 tahun yang lalu
Pelacur tetaplah pelacur, di pakai hingga puas lalu di buang ketika sudah tak berguna lagi. Seperti barang saja. Apa lagi ketika pelacur sudah mulai menyusahkan dengan perut yang mulai membesar. Ada daging haram yang tumbuh bagaikan tumor yang tidak di inginkan dari dalam rahim pelacur itu. ketika para penggunanya tahu maka pelacur di buang, di tumpuk dengan tumpukan sampah yang hina.
Herny :
Di dalam hujan tubuhku dilempar dari mobil mewah yang merapat kearah trotoar. Perutku yang sudah membesar, benturan itu membuat aku sakit dan mulas. Sepertinya daging haram itu menendang-nendang perutku ingin minta dikeluarkan secepatnya. Hujan, petir dan juga kilat mengiasi malam yang membuat aku menggigil. Aku semakin sekarat.
Ratna :
Dengan dandanan menor itu aku berdiri di bawah payung hitam. Mengenakan pakain ketat yang menonjolkan lekukan tubuhku. Payudaraku senghaja ku perlihatkan belahannya sedikit, biar para lelaki hidung belang semakin gila ketika menatapku. Tapi sayang sekali malam itu hujan begitu lebat, uang di dompet tinggal sedikit, hujan memang bukan berkah bagi seorang pelacur sepertiku. Karena sudah sangat lama menunggu tapi tak ada satupun mobil yang lewat aku memutuskan untuk pulang. Tapi ketika aku hampir mencapai jembatan, seorang perempuan yang sangatku kenal terkapar tak berdaya dengan perut yang sudah besar serta napas yang tidak karuan, “Herny kau tidak apa-apa?,” tanyaku cemas.
Tini :
Inilah aku, seorang Tini yang tidak pernah melihat Ibu, tidak pernah melihat Ayah, tinggal bersama seorang pelacur yang mengurusku sejak kecil, Teh Ratna. Itu panggilannya. Dia baik walaupun sedikit banyak aku terkontaminasi dengan prilakunya yang liar—Ah, aku salah bilang seperti itu, seharusnya aku bilang, aku jadi seperti dia karena ibuku juga sama seperti dia—kamilah sekumpulan pelacur yang menderita.
-----
Laki-laki tua mengetuk pintu sebuah rumah yang halamannya berhiaskan bunga-bunga indah. Seorang wanita tua dengan wajah pucat membukakan pintu, dengan wajah terkejut perempuan tua itu bersaru, “Gunawan—mengapa kau kemari?.”
“Bolehkah aku masuk dan bercerita di dalam.”
Beberapa menit kemudian mereka berdua duduk berhadapan dan mulai membuka pembicaraan.
“Mengapa kau lakukan ini pada kami,” Ratna menagis.
“Maafkan aku, aku tak akan pernah memaafkan semua ini, aku juga tak ingin ini terjadi, tapi kami sudah terlanjur saling mencintai.”
“Aku tak marah jika kau mencintai bahkan meniduri semua perempuan di dunia ini, tapi aku hanya tak rela jikau kau tidur bersama Tini—ingat Gunawan, ingat,” Ratna menyapu airmatanya yang tidak mau berhenti.
“Aku sudah berjanji padanya akan menceraikan istriku dan aku akan melakukan itu—aku sudah yakin dengan keputusan ini.”
“Andai saja waktu bisa di putar kembali maka aku tidak akan pernah memperkenalkanmu pada Herny, sehingga kejadian seperti ini tidak akan terjadi.”
“Kau tahu Ratna, selama 17 tahun aku mencari ini dengan perasaan bersalah yang begitu besar, aku sadar aku merasakan rasa sakit yang begitu dalam ketika aku bercinta dengan Tini. Ada perasaan tidak pantas dalam hidupku—tapi kami sudah terlanjur saling mencintai.”
Ratna hanya bisa menangis mendengar ucapan Gunawan yang baginya sangat menyakitkan. Dan para bunga-bunga diluar rumah seakan melayu di makan waktu.
-----
25 Desember 2011
Tini bersandar pada pagar apartemen dilantai 23, memandang kearah kota Jakarta yang terasa gersang. Tapi sebuah pelukan hangat seorang lelaki yang sangat di cintainya terasa nyaman baginya.
Gunawan menarik Tini membawanya keatas tempat tidur. Melepaskan baju Tini dengan perlahan kemudian celanannya hingga hubungan intim diantara mereka terjadi begitu mesra.
“Aku mencintaimu….” Ucap Gunawan penuh napsu.
“Aku mencintaimu juga, sebagai Ayah dan sebagai kekasih.”[]
Kami hanyalah pelacur, hidup dilingkungan pelacur dan selamanya akan selalu dianggap sebagai pelacur, hingga hari ini mereka masih saja menggapku sebagai seorang pelacur—tapi satu hal yang kalian harus tahu, aku bukan pelacur murahan!.
NB : Tulisan ini dipersembahkan untuk kakak tiriku, Rustini.

1 komentar:

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!