21 Agu 2011

My Name is Robert Downey Jr #3 dari 3


[Cerita ini terbagi atas 3 bagian]
{Bagian 3}
“Aku melangkah bukan tanpa alasan, aku meninggalkan bukan tanpa sebab yang jelas, aku melakukan ini karena rasa kerinduanku.”
Menyelami Perasaan
Di kamar sebuah hotel yang terletak di kawasan timur kota Jasmin, berdekatan dengan pantai Kijing yang putih dan indah dengan laut jernih yang membiru. Robert berdiri telanjang dada di depan jendela kamar hotel dengan gorden yang telah dibukanya lebar.
Sinar matahari yang baru saja terbit menyiram ruangan kamar denga kehangatan surya yang membuat Robert merenungkan perbuatannya. Seorang perempuan yang baru saja terbangun, menarik selimut dan menutupi matanya dari sinar matahari yang menyilaukannya.
Robert berpaling kearah temat tidur, bergerak mendekat, menarik selimut yang menutupi wajah cantik yang terlihat tersenyum.

“Aku harus pulang dulu,” ucap Robert sambil memberikan ciuman perpisahan pada perempuan tadi.
“Kau sibuk hari ini?.”
“Tidak juga. hanya saja hari ini aku sudah berjanji dengan Arya akan membawanya ke kebun binatang,” ucap Robert sambil mengenakan baju kemeja yang tergantung dibelakang pintu kamar.
Perempuan tadi keluar dari balik selimut, tanpa busana. Bergerak kearah Robert dan memeluknya dari belakang, “Kapan kita bisa bertemu lagi?,” suara itu terdengar manja.
“Hari rabu nanti—mungkin!,” kali ini topi bundar di kenakannya.
“Masih 3 hari lagi—bagaimana keadaan Amy?,” tanya perempuan tadi tiba-tiba.
Robert berpaling sambil memandang kaku, “Dia baik-baik saja, besok kami akan kedokter seperti biasa, dia mengikuti terapi kanker dari seorang dokter kenalannya.”
Perempuan tadi kembali ke tempat tidur dan berbaring dengan senyumnya memandang Robert. Ketika Robert sudah mencapai pintu untuk keluar, Robert berpaling sambil berucap, “Lili—terima kasih telah menanyakan tentang Amy.”
Langkah turun menuju parkiran teralun pelan, dalam benaknya dia mempersalahkan tindakannya saat itu, di dalam lift yang sunyi matanya memerah sedih. Amy……. Ucap hatinya lirih.
Jellyfish untuk Arya
Kaca transparan berbentuk tabung, berlapiskan besi bulat di bawahnya memiliki lampu biru terang, selang udara sudah di masukkan, lampunya sudah di nyalakan, selanjutnya tabung tadi di isi dengan beberapa galon air bersih, setelah 75% dari tabung terisi air, sebuah kotak kaca yang berisikan mahluk indah berwarna biru transparan, bergoyang-goyang anggun, di bukan dan di tuangkan kedalam tabung.
Robert duduk memandangi mahluk indah yang membuat dirinya teringat dengan Arya, setiap pergerakan dari mahluk yang memiliki banyak kaki bagaikan akar itu membuat mata Robert mengikutinya tiada letih.
“Ayah, Arya ingin punya yang seperti ini,” tunjuknya pada seekor ubur-ubur yang berenang tak beraturan.
“Kau yakin?,” tanya Robert sambil tersenyum lalu mengangkat Arya dan mendekatkan kearah kaca yang tebal, “Kau bisa memegangnya dulu sekarang.”
Jari-jari kecil Arya bergerak mengikuti pergerakan ubur-ubur yang menyusuri dinding kaca, wajahnya yang polos terlihat kagum dengan keindahan, keanggunan serta ke lembutan gerak-gerik ubur-ubur yang terlihat lemah.
“Kau menyukainya?,” tanya Robert sambil menurunkan Arya.
“Ya, kapan kita bisa membawanya pulang?.”
Robert tersenyum, merendahkan dirinya sambil memegang dagunya seolah berpikir, “Bagaimana jika kita tanyakan pada Ibu dulu?.”
Arya tersenyum sambil memeluk Robert, “Ibu pasti setuju,” ucapnya sangat yakin.
Segitiga Sembarang
Amy bersandar pucat di kursi depan mobil, Robert berkali-kali menoleh kearah Istrinya yang terlihat pucat. Arya sedang duduk di bangku belakang sedang bercerita pada Ibunya tentang ubur-ubur.
“Dia lagi jatuh hati dengan ubur-ubur,” ucap Robert sambil tersenyum.
Amy tersenyum, “Malaikat kecil kita ini memang ada-ada saja yang disukainya, setehaun yang lalu dia suka dengan pigura, hingga ada banyak koleksi pigura di kamarnya, sekarang dia suka ubur-ubur. Jangan bilang dia ingin memeliharanya ya!.”
“Sayang, kau mendengar apa kata Ibumu?,” tanya Robert sambil tersenyum.
“Iya, Ayah—Ibu setuju Arya memelihara ubur-ubur,” ucapnya ngeles.
“Sepertinya dia bersikeras,” ucap Robet pelan pada Amy yang menganggukkan kepalannya.
Mobil di parkirkan, mereka bertiga keluar dan masuk menuju lift, ruang tunggu hari itu terlihat sepi, Robert dan Arya duduk menunggu Amy yang sedang menjalankan terapi.
“Ayah Ibu sakit ya, setiap bulan Ibu harus kesini terus?,” Arya bertanya sambil memegang tangan Robert.
“Ibu hanya memeriksakan diri,” jawab Robert santai, “Kau mau minung teh botol?,” tanya Robert mencoba mengalihkan pembicaraan.
Arya mengangguk. Robert berjalan menuju mesin minuman yang berada di ujung ruangan tunggu, dua botol teh sudah ada di tangannya, ketika dia kembali menuju Arya, keningnya mengkerut. Seorang perempuan duduk di samping Arya sambil bercanda bersama Arya.
“Sayang—,” ucap Robert dua wajah itu menoleh kearahnya, Arya turun dari bangku dan berlari menuju Ayahnya. Robert terdiam menatap kearah perempuan yang perlahan berdiri.
“Robert—,” ucap perempuan tadi.
“Apa yang kau lakukan di sini, Lili?,” tanya Robert heran.
Arya di suruh duduk sedangkan Robert mengajak Lili kedekat lift, “Sayang tunggu sebentar disini ya,” ucap Robert pada Arya yang duduk menikmati teh botolnya.
Di pojok didekat lift yang tertutup rapat, Robert terlihat marah pada Lili.
“Mengapa kau kesini?,” tanya Robert heran.
“Aku hanya ingin bertemu dengan Amy dan Arya!.”
“Kau gila?,” ucapan Robert mulai terdengar kasar.
“Aku hanya ingin mengenal mereka lebiih dekat!.”
“Tapi kau—,” ucapan Robert terhenti, bibir manis Lili menyentuh bibirnya yang sekejab langsung membisu.
“Robert—,” suara seorang perempuan berdiri di antara Robert dan Lili.
“Amy!,” ucap Lili terkejut.
Kereta dan Gerbong-gerbong
Luka di wajah bagian kanan sudah kering, tapi bekas-bekas karena luka itu masih belum bisa hilang, dari dua bola mata yang menyendu, menatap kearah pemandangan kota Jasmin yang mulai terasa gersang.  Aku melangkah bukan tanpa alasan, setiap gerak-gerik dari kehidupan manusia selalu memiliki alasan yang pasti, walau terkadang alasan itu tidak banyak dari manusia lain yang bisa menerimanya, demi sebuah alasan yang pasti aku mencoba mengarungi kehidupan keluarga yang ternyata lebih sering membuat aku bahagia. Sempat terjadi jarak yang menghentikan waktu kebahagiaanku sirna sehingga aku terpaksa harus pergi meninggalakn semua kebahagiaan itu, tapi aku meninggalkan bukan tanpa sebab yang jelas, aku meninggalakn karena keadaan yang memurukku ke dalam lubang kezaliman manusia-manusia bejat yang lebih mementingkan kehidupan mereka daripada orang lain yang mereka rugikan dan alasan-alasan itu membuat kami menjadi kuat, membuat kami belajar tentang sifat-sifat manusia yang tidak bisa dipercaya begitu saja. Dan hari ini aku mengalami kehilangan serta kerinduan yang akhairnya menjadikan sebuah alasan dalam hidupku untuk kembali membisu, aku melakukan ini karena rasa kerinduanku. Robert terpaku memandangi wajah Amy yang tersenyum rindu.
“Kemana kau akan pergi?.”
Rober melepaskan topi bundar dari kepalannya, “Mungkin akan menuju kedalam ketenangan.”
“Ayah, apakah ayah sudah membelikanku ubur-ubur?.”
Robert kali ini menangis ketika melihat sosok malaikat kecilnya sedang bertanya di sampingnya tentang janji ubur-ubur, “Ayah sudah membelikannya untukmu, sayang,” lalu Ribert berpaling kearah pemandangan yang semakin cepat terlewati.
“Robert—,” suara itu mengagetkan lamunan Robert.
“Ya.”
Kemana kau akan pergi?,” tanya Lili yang baru saja duduk di depannya.
“Aku hanya ingin sendirian,” jawab Robert sambil bangkit karena kereta perlahan mulai berhenti.
Lili tidak turun dia hanya menatap Robert dari balik kaca jendela kereta api, hingga akhirnya gerbong-gerbong kereta melesat meninggalakn bandara yang begitu luas. Kemana lagi kau akan pergi?. Lili berucap dalam hatinya dan perlahan airmatanya menetes pilu.
The Futurist
Sabuk pengaman di longgarkan, tatapan melihat kearah kota Jasmin yang menjauh dan mengecil dari ketinggian.
“Ayah, apa kita akan pergi kesarang ubur-ubur?,” tanya Arya yang duduk di pangkuan Amy.
Robert tersenyum lalu mencium anaknya itu, “kita tidak hanya akan kesarang ubur-ubur tapi kita akan bersenang-senang di tempat-tempat yang paling indah yang pernah ada,” tangan Robert menggenggam tangan Amy kemudian berbisik pelan, “Aku mencintaimu.”
“Aku merindukanmu,” ucap Amy sambil menyandarkan kepalanya kebahu Robert.
***
Di dalam surat itu tertulis. Aku melangkah bukan tanpa alasan, aku meninggalkan bukan tanpa sebab yang jelas, aku melakukan ini karena rasa kerinduanku. Lili menagis dengan penuh sesal, tangannya menggenggam jemari Robert yang tidak lagi berdaya.
Entah berapa banyak obat clobazam yang di minum Robert sehingga dia tidur dan tidak pernah bangun lagi untuk selama-lamanya.
---the End---
NB : Untuk sosok yang mengispirasiku.
Catatan bayangan : semoga cerita ini bisa memberikan hiburan untuk anda yang sudah mengikutinya dari bagian 1, 2 dan 3 (yang terakhir), walau dalam cakupan yang pendek akan tetapi cerita ini memiliki makna tersendiri bagi penulis dan bagi beberapa orang yang menginspirasi cerita ini, dan akhirnya cerita berakhir dengan pemikiran yang meminta sudut pandang Lili dalam kenyataannya. Semoga tebakan anda sebelumnya meleset.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!