[Cerita ini terbagi
atas 3 bagian]
{Bagian 3}
“Aku
melangkah bukan tanpa alasan, aku meninggalkan bukan tanpa sebab yang jelas,
aku melakukan ini karena rasa kerinduanku.”
Menyelami Perasaan
Di kamar sebuah hotel yang terletak di kawasan timur kota
Jasmin, berdekatan dengan pantai Kijing yang putih dan indah dengan laut jernih
yang membiru. Robert berdiri telanjang dada di depan jendela kamar hotel dengan
gorden yang telah dibukanya lebar.
Sinar matahari yang baru saja terbit menyiram ruangan kamar denga
kehangatan surya yang membuat Robert merenungkan perbuatannya. Seorang
perempuan yang baru saja terbangun, menarik selimut dan menutupi matanya dari
sinar matahari yang menyilaukannya.
Robert berpaling kearah temat tidur, bergerak mendekat,
menarik selimut yang menutupi wajah cantik yang terlihat tersenyum.
“Aku harus pulang dulu,” ucap Robert sambil memberikan
ciuman perpisahan pada perempuan tadi.
“Kau sibuk hari ini?.”
“Tidak juga. hanya saja hari ini aku sudah berjanji dengan
Arya akan membawanya ke kebun binatang,” ucap Robert sambil mengenakan baju
kemeja yang tergantung dibelakang pintu kamar.
Perempuan tadi keluar dari balik selimut, tanpa busana.
Bergerak kearah Robert dan memeluknya dari belakang, “Kapan kita bisa bertemu
lagi?,” suara itu terdengar manja.
“Hari rabu nanti—mungkin!,” kali ini topi bundar di
kenakannya.
“Masih 3 hari lagi—bagaimana keadaan Amy?,” tanya perempuan
tadi tiba-tiba.
Robert berpaling sambil memandang kaku, “Dia baik-baik saja,
besok kami akan kedokter seperti biasa, dia mengikuti terapi kanker dari
seorang dokter kenalannya.”
Perempuan tadi kembali ke tempat tidur dan berbaring dengan
senyumnya memandang Robert. Ketika Robert sudah mencapai pintu untuk keluar,
Robert berpaling sambil berucap, “Lili—terima kasih telah menanyakan tentang
Amy.”
Langkah turun menuju parkiran teralun pelan, dalam benaknya
dia mempersalahkan tindakannya saat itu, di dalam lift yang sunyi matanya
memerah sedih. Amy……. Ucap hatinya
lirih.
Jellyfish untuk Arya
Kaca transparan berbentuk tabung, berlapiskan besi bulat di
bawahnya memiliki lampu biru terang, selang udara sudah di masukkan, lampunya
sudah di nyalakan, selanjutnya tabung tadi di isi dengan beberapa galon air
bersih, setelah 75% dari tabung terisi air, sebuah kotak kaca yang berisikan
mahluk indah berwarna biru transparan, bergoyang-goyang anggun, di bukan dan di
tuangkan kedalam tabung.
Robert duduk memandangi mahluk indah yang membuat dirinya
teringat dengan Arya, setiap pergerakan dari mahluk yang memiliki banyak kaki
bagaikan akar itu membuat mata Robert mengikutinya tiada letih.
“Ayah, Arya ingin punya yang seperti ini,” tunjuknya pada seekor
ubur-ubur yang berenang tak beraturan.
“Kau yakin?,” tanya Robert sambil tersenyum lalu mengangkat
Arya dan mendekatkan kearah kaca yang tebal, “Kau bisa memegangnya dulu
sekarang.”
Jari-jari kecil Arya bergerak mengikuti pergerakan ubur-ubur
yang menyusuri dinding kaca, wajahnya yang polos terlihat kagum dengan
keindahan, keanggunan serta ke lembutan gerak-gerik ubur-ubur yang terlihat lemah.
“Kau menyukainya?,” tanya Robert sambil menurunkan Arya.
“Ya, kapan kita bisa membawanya pulang?.”
Robert tersenyum, merendahkan dirinya sambil memegang
dagunya seolah berpikir, “Bagaimana jika kita tanyakan pada Ibu dulu?.”
Arya tersenyum sambil memeluk Robert, “Ibu pasti setuju,”
ucapnya sangat yakin.
Segitiga Sembarang
Amy bersandar pucat di kursi depan mobil, Robert
berkali-kali menoleh kearah Istrinya yang terlihat pucat. Arya sedang duduk di
bangku belakang sedang bercerita pada Ibunya tentang ubur-ubur.
“Dia lagi jatuh hati dengan ubur-ubur,” ucap Robert sambil
tersenyum.
Amy tersenyum, “Malaikat kecil kita ini memang ada-ada saja
yang disukainya, setehaun yang lalu dia suka dengan pigura, hingga ada banyak
koleksi pigura di kamarnya, sekarang dia suka ubur-ubur. Jangan bilang dia
ingin memeliharanya ya!.”
“Sayang, kau mendengar apa kata Ibumu?,” tanya Robert sambil
tersenyum.
“Iya, Ayah—Ibu setuju Arya memelihara ubur-ubur,” ucapnya
ngeles.
“Sepertinya dia bersikeras,” ucap Robet pelan pada Amy yang
menganggukkan kepalannya.
Mobil di parkirkan, mereka bertiga keluar dan masuk menuju
lift, ruang tunggu hari itu terlihat sepi, Robert dan Arya duduk menunggu Amy
yang sedang menjalankan terapi.
“Ayah Ibu sakit ya, setiap bulan Ibu harus kesini terus?,”
Arya bertanya sambil memegang tangan Robert.
“Ibu hanya memeriksakan diri,” jawab Robert santai, “Kau mau
minung teh botol?,” tanya Robert mencoba mengalihkan pembicaraan.
Arya mengangguk. Robert berjalan menuju mesin minuman yang
berada di ujung ruangan tunggu, dua botol teh sudah ada di tangannya, ketika
dia kembali menuju Arya, keningnya mengkerut. Seorang perempuan duduk di
samping Arya sambil bercanda bersama Arya.
“Sayang—,” ucap Robert dua wajah itu menoleh kearahnya, Arya
turun dari bangku dan berlari menuju Ayahnya. Robert terdiam menatap kearah
perempuan yang perlahan berdiri.
“Robert—,” ucap perempuan tadi.
“Apa yang kau lakukan di sini, Lili?,” tanya Robert heran.
Arya di suruh duduk sedangkan Robert mengajak Lili kedekat
lift, “Sayang tunggu sebentar disini ya,” ucap Robert pada Arya yang duduk
menikmati teh botolnya.
Di pojok didekat lift yang tertutup rapat, Robert terlihat
marah pada Lili.
“Mengapa kau kesini?,” tanya Robert heran.
“Aku hanya ingin bertemu dengan Amy dan Arya!.”
“Kau gila?,” ucapan Robert mulai terdengar kasar.
“Aku hanya ingin mengenal mereka lebiih dekat!.”
“Tapi kau—,” ucapan Robert terhenti, bibir manis Lili
menyentuh bibirnya yang sekejab langsung membisu.
“Robert—,” suara seorang perempuan berdiri di antara Robert dan
Lili.
“Amy!,” ucap Lili terkejut.
Kereta dan Gerbong-gerbong
Luka di wajah bagian kanan sudah kering, tapi bekas-bekas
karena luka itu masih belum bisa hilang, dari dua bola mata yang menyendu,
menatap kearah pemandangan kota Jasmin yang mulai terasa gersang. Aku
melangkah bukan tanpa alasan, setiap gerak-gerik dari kehidupan manusia selalu
memiliki alasan yang pasti, walau terkadang alasan itu tidak banyak dari
manusia lain yang bisa menerimanya, demi sebuah alasan yang pasti aku mencoba
mengarungi kehidupan keluarga yang ternyata lebih sering membuat aku bahagia. Sempat
terjadi jarak yang menghentikan waktu kebahagiaanku sirna sehingga aku terpaksa
harus pergi meninggalakn semua kebahagiaan itu, tapi aku meninggalkan bukan tanpa
sebab yang jelas, aku meninggalakn karena keadaan yang memurukku ke dalam
lubang kezaliman manusia-manusia bejat yang lebih mementingkan kehidupan mereka
daripada orang lain yang mereka rugikan dan alasan-alasan itu membuat kami
menjadi kuat, membuat kami belajar tentang sifat-sifat manusia yang tidak bisa
dipercaya begitu saja. Dan hari ini aku mengalami kehilangan serta kerinduan
yang akhairnya menjadikan sebuah alasan dalam hidupku untuk kembali membisu,
aku melakukan ini karena rasa kerinduanku. Robert terpaku memandangi wajah
Amy yang tersenyum rindu.
“Kemana kau akan pergi?.”
Rober melepaskan topi bundar dari kepalannya, “Mungkin akan
menuju kedalam ketenangan.”
“Ayah, apakah ayah sudah membelikanku ubur-ubur?.”
Robert kali ini menangis ketika melihat sosok malaikat
kecilnya sedang bertanya di sampingnya tentang janji ubur-ubur, “Ayah sudah
membelikannya untukmu, sayang,” lalu Ribert berpaling kearah pemandangan yang
semakin cepat terlewati.
“Robert—,” suara itu mengagetkan lamunan Robert.
“Ya.”
Kemana kau akan pergi?,” tanya Lili yang baru saja duduk di
depannya.
“Aku hanya ingin sendirian,” jawab Robert sambil bangkit
karena kereta perlahan mulai berhenti.
Lili tidak turun dia hanya menatap Robert dari balik kaca
jendela kereta api, hingga akhirnya gerbong-gerbong kereta melesat meninggalakn
bandara yang begitu luas. Kemana lagi kau
akan pergi?. Lili berucap dalam hatinya dan perlahan airmatanya menetes
pilu.
The Futurist
Sabuk pengaman di longgarkan, tatapan melihat kearah kota
Jasmin yang menjauh dan mengecil dari ketinggian.
“Ayah, apa kita akan pergi kesarang ubur-ubur?,” tanya Arya
yang duduk di pangkuan Amy.
Robert tersenyum lalu mencium anaknya itu, “kita tidak hanya
akan kesarang ubur-ubur tapi kita akan bersenang-senang di tempat-tempat yang
paling indah yang pernah ada,” tangan Robert menggenggam tangan Amy kemudian
berbisik pelan, “Aku mencintaimu.”
“Aku merindukanmu,” ucap Amy sambil menyandarkan kepalanya
kebahu Robert.
***
Di dalam surat itu tertulis. Aku melangkah bukan tanpa alasan, aku meninggalkan bukan tanpa sebab
yang jelas, aku melakukan ini karena rasa kerinduanku. Lili menagis dengan
penuh sesal, tangannya menggenggam jemari Robert yang tidak lagi berdaya.
Entah berapa banyak obat clobazam yang di minum Robert
sehingga dia tidur dan tidak pernah bangun lagi untuk selama-lamanya.
---the End---
NB : Untuk sosok yang mengispirasiku.
Catatan bayangan : semoga cerita ini bisa
memberikan hiburan untuk anda yang sudah mengikutinya dari bagian 1, 2 dan 3
(yang terakhir), walau dalam cakupan yang pendek akan tetapi cerita ini
memiliki makna tersendiri bagi penulis dan bagi beberapa orang yang
menginspirasi cerita ini, dan akhirnya cerita berakhir dengan pemikiran yang
meminta sudut pandang Lili dalam kenyataannya. Semoga tebakan anda sebelumnya
meleset.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!