[Cerita ini terbagi
atas 3 bagian]
{Bagian 2}
“Aku
melangkah bukan tanpa alasan, aku meninggalkan bukan tanpa sebab yang jelas,
aku melakukan ini karena rasa kerinduanku.”
Di Puncak Perenungan
Keadaan masih gelap, jam belum berdering, dunia masih sunyi
senyap, bahkan para kelelawar pun belum ada yang tidur untuk menyambut siang.
Tapi rasa resah yang menghantui Robert membuat dirinya tak mampu lagi
memejamkan matanya. Aku harus lari.
ucapnya dalam hati.
Dalam malam gelap gulita itu Robert memasang sepatu,
mengencangkan tali sepatu hingga dirinya menjadi sangat yakin, berlari melewati
halaman rumahnya dan mulai membentuk langkah cepat di atas aspal yang tidak
berujung. Dengan berlari emosi yang dimilikinya bisa memicu kekuatan yang
lambat membuat dirinya lelah.
Di bawah lampu-lampu jalan yang menerangi jalan dalam sunyi,
Robert berlalu bagaikan penyusup malam yang tidak di undang. Pelampiasan emosi
dengan berlari serasa menenangkan hatinya, walau pun sebenanrnya tetap saja
matanya berkaca-kaca, hingga dia mulai melewati jalan menanjak, menuju kearah
tempat peristirahatan yang berada di puncak gunung Truli.
Cakrawala membelah malam dengan subuh dingin berlapis embun,
lampu-lampu jalan terasa menyisakan bayangan yang remang-remang. Itulah saat kumpulan
awan turun menghiasi dunia yang semakin mencapai kehancuran karena rasa
keserakahan manusia. Menyentuh kulit Robert yang terasa beku dalam dingin embun
menyatu hingga kebagian terdalam jiwa yang perlahan menggigil.
Di puncak gunug Truli, di atas pembatas lereng yang terjal,
basah karena embun yang semakin menipis, Robert memandangi indahnya kota
Jasmin, berhiaskan lampu-lampu jalan yang belum padam, kota terasa berada di
dalam awan putih yang menenangkan.
“Dari sini kota terlihat indah ya?,” pertanyaan itu muncul
dari sosok Amy yang berada disampingnya.
Robert tersenyum lalu merengkulkan tangannya ke pundak Amy,
“Ya, dari sini semua terlihat indah dan menenangkan.”
Dan dengan perlahan dirasakan oleh Robert kecupan pelan di
pipinya, kecupan itu tidak hanya sekali tapi berkali-kali, lalu airmatanya
mengalir begitu saja. Jauh aku mencoba
lari dari ini semua tapi semakin aku mencoba untuk menjauh aku serasa semakin
dekat dengan mereka, aku menyayangi mereka. Kedua telapak tangannya menutup
wajahnya, “Aku mencintai mereka.”
Pagi datang tanpa di undang, lampu-lampu jalan mulai padam
perlahan bagaiakan kereta api yang saling kejar-kejaran direl yang berdengung.
Dua tangan bersandar ke pundak Robert.
“Selamat ulang tahun pernikahan sayang.”
Robert tidak berpaling untuk menatap mata itu, karena dia
merasa semakin bersalah jika melihat kedua bola mata yang sangat dirindukannya
itu, “Selamat ulang tahun pernikahan—,” ucap Robert perlahan.
“Kau tidak mengucapkan harapanmu kedepan?.”
Karena sudah tak sanggup lagi menahan, Robert berpaling
kesampingnya, kekosongan dan kehampaan di dapatinya, “Aku punya harapan, hanya
satu harapan. Yaitu ingin bersama kalian lagi.”
Hingga lampu yang ada di pinggir jalan di puncak gunung
Truli pun perlahan memadam. Robert berdiri di atas pembatas, berteriak kearah
langit yang perlahan menerang, “Dimana aku harus mencari…..,” teriaknya
melampiaskan emosinya. Gerakannya mundur perlahan, kakinya terpeleset, dia
terjerebak ke atas tanah yang keras, kerikil-kerikil yang kasar terasa
menggires tubuhnya, nyeri di kakinya terasa parah, ketika dia bangkit perlahan,
tulang kakinya terasa meregang. Bodoh.
Ucapnya dalam hati dengan penuh kesal.
Perjalanan pulang terasa berat, langkah kaki pincang dan
nyeri luar biasa membuat dirinya semakin tersiksa. Sebuah mobil perlahan
disampingnya, jendela menurun perlahan sosok perempuan menatapnya sambil
berucap, “Kau tidak apa-apa?,” mobil tadi berhenti, perempuan tadi keluar dan
berlari kearah Robert yang tidak menghiraukannya.
“Kenapa dengan kakimu?” pertanyaan itu terdengar gelisah.
Robert terus saja melangkah, tanpa memberikan jawaban.
“Robert—hadapailah kenyataan, kau terlihat sangat
menyedihkan akhir-akhir ini.”
Kali ini langkah pincang terhenti dan berpaling kearah
perempuan tadi, “Sudah ku katakana aku membutuhkan waktu untuk sendiri!,”
ucapnya marah.
“Tapi ini sudah 2 bulan lebih berlalu—kau harus terima
kenyataan yang ada.”
“Kau bisa berucap seperti itu karena kau tidak merasakan apa
yang aku rasakan, Lili. kau tidak pernah merasakan sebuah kehilangan dalam
hidupmu,” Robert berpaling lalu melanjutkan lagkah pincangnya.
“Jika kau lebih merasakannya dan mengerti semua ini, kapan
kau akan mengakhiri semua ini?.”
Tak ada jawaban.
“Robert—.”
Robert hanya melambaikan tangannya menandakan ucapan selamat
tinggal.
Dengan susah payah dia bisa mencapai rumahnya lagi, membasuk
kepalanya dengan air hangat, membersihkan luka goresan lalu berjalan menuju
sebuah kamar yang berhiaskan gambar bintang-bintang yang keemasan.
Tempat tidur kecil bercorak tokoh-tokoh kartun di dudukinya,
perlahan dia berbaring sambil melihat lagit-langit yang berhiaskan langit
gelap, dengan gambar-gambat bulan dan bintang serta para astronot yang sedang
mendarat di bulan.
“Arya ingin kebintang bersama Ayah,” suara kecil itu
berbisik di telinga Robert.
“Mengapa ke bintang, bukankah bulan lebih besar dan indah?.”
“Jika kita kebulan Cuma punya waktu sedikit untuk
mencapainya, Arya ingin lama bersama Ayah dalam perjalanan.”
“Ke bintang mana, yang Arya mau?.”
“Yang paling jauh, Ayah.”
Robert perlahan bangkit sambil menyapu matanya yang
berkaca-kaca. kali ini tatapannya terarah pada puluhan pigura yang tersusun
rapi di atas meja kecil.
“Arya punya banyak pigura…...,” suara polosm itu terdengar
lagi.
“Arya suka mengoleksi pigura ya—tapi kenapa foto dalam
pigura itu bukan berisi foto Ayah, ibu atau Arya?.”
“Tidak apa-apa, Arya hanya suka melihat wajah-wajah mereka
tersenyum.”
Lagi-lagi suara itu padam dan menghilang, hingga kesunyian
menjadi penguasa ruangan yang beraroma kesedihan.
“Ya, Ayah juga suka melihat mereka semua tersenyum.”
Hari Kebebasan
Dua sisi uang logam yang memiliki dua sisi yang berbeda,
sisi baik dan sisi buruk kehidupan. Yang baik jadi pujian, yang buruk jadi
cercaan dan pelajaran, walaupun tidak banyak dari setiap orang menyadari dua
sisi yang selalu pasti dimiliki oleh hidup.
Masa-masa yang menyiksa telah habis. Hidup baru segera
dimulai, ketenangan, kebahagiaan serta wajah-wajah yang dirindukan akhirnya
hadir kembali di dalam kehidupan Robert walau pun dalam balutan warna yang berbeda.
Amy dan Arya berdiri di lapangan parkir yang luas, disamping
mobil sedan hitam yang pintu-pintunya membuka menunggu kedatangan Robert yang
terlihat di depan mata. Pelukan-pelukan kerinduan menyatu penuh tangis. 5 tahun
lebih bukanlah waktu yang singkat untuk dihadapi. Banyak hal yang terlewati,
banyak hal yang terasa sia-sia belaka. Penjara kehidupan, penjara hati dan juga
penjara jiwa.
Hari itu adalah hari dimana mata yang sama, wajah yang sama
dan senyum yang sama hadir dalam tangis pencurah rindu, setelah sekian lama,
tangan itu bisa memeluk dengan penuh utuh, setelah sekian lama tangan itu bisa
memegang pipi bocah yang sedah semakin besar, dulu pipi itu sangat mungkil dan
perubahan itu serasa derastis dalam sekejab.
Di depan pigura yang bisu, kebahagiaan itu terlihat semakin
nyata. Ayah, Ibu dan anak berbaring bertiga di atas tempat tidur kecil,
bercerita tentang bintang dan pada astronot kepada si anak, mengajarkannya
tentang kebaikan hingga kedua bola mata polos itu tertidur dengan sangat
nyenyak.
Dan saat rumah kembali menjadi sunyi, sentuhan cinta mulai
kembali. Amy mengajak Robert untuk kedapaur, duduk di depan meja makan yang
sudah terhidang beberapa makanan dengan beberapa batang lilin yang menjadikan
sumuanya terasa romantis.
“Kau membuat acara penyambutanku?,” tanya Robert tak percaya
lalu mencium Amy.
Amy hanya tersenyum, mereka duduk berhadapan, sebelum makan,
Amy memegang jemari Robert, “Ucapkan harapanmu kedepan,” mereka diam sejenak
memejamkan mata mengucapkan harapan mereka dalam hati menjadi sebuah doa
pribadi. Ketika mereka membuka mata Amy berucap lagi, “Selamat ulang tahun
pernikahan kita.”
Robert terlihat terkejut, “Maafkan aku telah lupa dengan
hari ini!.”
“Tak apa-apa, yang terpenting kau telah kembali, Aku
mencintaimu.”
“Aku mencintaimu.”
Di Dalam Cahaya
Arya duduk di bangku belakang dengan kedua tangannya menutup
kedua telinganya dengan sangat kuat. Pertengkarang yang terjadi di depan
matanya membuat Arya menangis.
“Sudahku bilang aku tidak dengan siapa-siapa,” Robert
mengelak.
“Aku melihat kau menciumnya,” Amy mempertegas.
“Kau hanya salah paham, dia bukan siapa-siapa.”
“Mengapa kau tidak berkata jujur padaku.”
Mobil sedan hitam yang mereka kendarai melaju dengan sangat
kencang memasuki trowongan yang sunyi.
“Jujur seperti apa yang kau mau, aku tidak berbohong,
perlukah aku berucap bohong sehingga kau bisa tenang?.”
“Kau pembohong.”
“Jika kau ingin aku berbohong, ya, aku mencintainya—.”
Emosi di dalam mobil semakin menguat, kemarahan Amy kini
membuat dirinya lepas kendali, pukulan penuh kemarahan menghantam Robert
berkali-kali.
Saat mobil melaju hampir mencapai ujung terowongan sebuah
cahaya menyilaukan membuat semua dunia terasa melambat. Kendali mobil tak bisa
di kuasai, dentaman keras membuat pertengkaran berubah menjadi teriakan penuh
kejut yang berubah bisu dalam sekejab.
“Maafkan aku………aku berbohong,” ucap Robert sambil memejamkan
matanya.
Bersambung ke bagian 3
NB : Untuk sosok yang mengispirasiku.
Catatan bayangan : alur cerita semakin acak
tetapi dalam tampilan yang sangat cepat, sedikit penjelasan tentang sebab dari
kesedihan mulai diperjelas, walau masih menyisakan teka-teki yang kemungkinan
besar sudah bisa ditebak. Tapi babak akhir yaitu bagian ke-3 akan memiliki
kejutan tersendiri yang masih membuat penasaran untuk di tunggu. Robert
benar-benar terkurung dalam bayangan kehidupannya yang lalu, bagian ke-2
lumayan memberatkan hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!