21 Agu 2011

My Name is Robert Downey Jr #2 dari 3


[Cerita ini terbagi atas 3 bagian]
{Bagian 2}
“Aku melangkah bukan tanpa alasan, aku meninggalkan bukan tanpa sebab yang jelas, aku melakukan ini karena rasa kerinduanku.”
Di Puncak Perenungan
Keadaan masih gelap, jam belum berdering, dunia masih sunyi senyap, bahkan para kelelawar pun belum ada yang tidur untuk menyambut siang. Tapi rasa resah yang menghantui Robert membuat dirinya tak mampu lagi memejamkan matanya. Aku harus lari. ucapnya dalam hati.
Dalam malam gelap gulita itu Robert memasang sepatu, mengencangkan tali sepatu hingga dirinya menjadi sangat yakin, berlari melewati halaman rumahnya dan mulai membentuk langkah cepat di atas aspal yang tidak berujung. Dengan berlari emosi yang dimilikinya bisa memicu kekuatan yang lambat membuat dirinya lelah.

Di bawah lampu-lampu jalan yang menerangi jalan dalam sunyi, Robert berlalu bagaikan penyusup malam yang tidak di undang. Pelampiasan emosi dengan berlari serasa menenangkan hatinya, walau pun sebenanrnya tetap saja matanya berkaca-kaca, hingga dia mulai melewati jalan menanjak, menuju kearah tempat peristirahatan yang berada di puncak gunung Truli.
Cakrawala membelah malam dengan subuh dingin berlapis embun, lampu-lampu jalan terasa menyisakan bayangan yang remang-remang. Itulah saat kumpulan awan turun menghiasi dunia yang semakin mencapai kehancuran karena rasa keserakahan manusia. Menyentuh kulit Robert yang terasa beku dalam dingin embun menyatu hingga kebagian terdalam jiwa yang perlahan menggigil.
Di puncak gunug Truli, di atas pembatas lereng yang terjal, basah karena embun yang semakin menipis, Robert memandangi indahnya kota Jasmin, berhiaskan lampu-lampu jalan yang belum padam, kota terasa berada di dalam awan putih yang menenangkan.
“Dari sini kota terlihat indah ya?,” pertanyaan itu muncul dari sosok Amy yang berada disampingnya.
Robert tersenyum lalu merengkulkan tangannya ke pundak Amy, “Ya, dari sini semua terlihat indah dan menenangkan.”
Dan dengan perlahan dirasakan oleh Robert kecupan pelan di pipinya, kecupan itu tidak hanya sekali tapi berkali-kali, lalu airmatanya mengalir begitu saja. Jauh aku mencoba lari dari ini semua tapi semakin aku mencoba untuk menjauh aku serasa semakin dekat dengan mereka, aku menyayangi mereka. Kedua telapak tangannya menutup wajahnya, “Aku mencintai mereka.”
Pagi datang tanpa di undang, lampu-lampu jalan mulai padam perlahan bagaiakan kereta api yang saling kejar-kejaran direl yang berdengung. Dua tangan bersandar ke pundak Robert.
“Selamat ulang tahun pernikahan sayang.”
Robert tidak berpaling untuk menatap mata itu, karena dia merasa semakin bersalah jika melihat kedua bola mata yang sangat dirindukannya itu, “Selamat ulang tahun pernikahan—,” ucap Robert perlahan.
“Kau tidak mengucapkan harapanmu kedepan?.”
Karena sudah tak sanggup lagi menahan, Robert berpaling kesampingnya, kekosongan dan kehampaan di dapatinya, “Aku punya harapan, hanya satu harapan. Yaitu ingin bersama kalian lagi.”
Hingga lampu yang ada di pinggir jalan di puncak gunung Truli pun perlahan memadam. Robert berdiri di atas pembatas, berteriak kearah langit yang perlahan menerang, “Dimana aku harus mencari…..,” teriaknya melampiaskan emosinya. Gerakannya mundur perlahan, kakinya terpeleset, dia terjerebak ke atas tanah yang keras, kerikil-kerikil yang kasar terasa menggires tubuhnya, nyeri di kakinya terasa parah, ketika dia bangkit perlahan, tulang kakinya terasa meregang. Bodoh. Ucapnya dalam hati dengan penuh kesal.
Perjalanan pulang terasa berat, langkah kaki pincang dan nyeri luar biasa membuat dirinya semakin tersiksa. Sebuah mobil perlahan disampingnya, jendela menurun perlahan sosok perempuan menatapnya sambil berucap, “Kau tidak apa-apa?,” mobil tadi berhenti, perempuan tadi keluar dan berlari kearah Robert yang tidak menghiraukannya.
“Kenapa dengan kakimu?” pertanyaan itu terdengar gelisah.
Robert terus saja melangkah, tanpa memberikan jawaban.
“Robert—hadapailah kenyataan, kau terlihat sangat menyedihkan akhir-akhir ini.”
Kali ini langkah pincang terhenti dan berpaling kearah perempuan tadi, “Sudah ku katakana aku membutuhkan waktu untuk sendiri!,” ucapnya marah.
“Tapi ini sudah 2 bulan lebih berlalu—kau harus terima kenyataan yang ada.”
“Kau bisa berucap seperti itu karena kau tidak merasakan apa yang aku rasakan, Lili. kau tidak pernah merasakan sebuah kehilangan dalam hidupmu,” Robert berpaling lalu melanjutkan lagkah pincangnya.
“Jika kau lebih merasakannya dan mengerti semua ini, kapan kau akan mengakhiri semua ini?.”
Tak ada jawaban.
“Robert—.”
Robert hanya melambaikan tangannya menandakan ucapan selamat tinggal.
Dengan susah payah dia bisa mencapai rumahnya lagi, membasuk kepalanya dengan air hangat, membersihkan luka goresan lalu berjalan menuju sebuah kamar yang berhiaskan gambar bintang-bintang yang keemasan.
Tempat tidur kecil bercorak tokoh-tokoh kartun di dudukinya, perlahan dia berbaring sambil melihat lagit-langit yang berhiaskan langit gelap, dengan gambar-gambat bulan dan bintang serta para astronot yang sedang mendarat di bulan.
“Arya ingin kebintang bersama Ayah,” suara kecil itu berbisik di telinga Robert.
“Mengapa ke bintang, bukankah bulan lebih besar dan indah?.”
“Jika kita kebulan Cuma punya waktu sedikit untuk mencapainya, Arya ingin lama bersama Ayah dalam perjalanan.”
“Ke bintang mana, yang Arya mau?.”
“Yang paling jauh, Ayah.”
Robert perlahan bangkit sambil menyapu matanya yang berkaca-kaca. kali ini tatapannya terarah pada puluhan pigura yang tersusun rapi di atas meja kecil.
“Arya punya banyak pigura…...,” suara polosm itu terdengar lagi.
“Arya suka mengoleksi pigura ya—tapi kenapa foto dalam pigura itu bukan berisi foto Ayah, ibu atau Arya?.”
“Tidak apa-apa, Arya hanya suka melihat wajah-wajah mereka tersenyum.”
Lagi-lagi suara itu padam dan menghilang, hingga kesunyian menjadi penguasa ruangan yang beraroma kesedihan.
“Ya, Ayah juga suka melihat mereka semua tersenyum.”
Hari Kebebasan
Dua sisi uang logam yang memiliki dua sisi yang berbeda, sisi baik dan sisi buruk kehidupan. Yang baik jadi pujian, yang buruk jadi cercaan dan pelajaran, walaupun tidak banyak dari setiap orang menyadari dua sisi yang selalu pasti dimiliki oleh hidup.
Masa-masa yang menyiksa telah habis. Hidup baru segera dimulai, ketenangan, kebahagiaan serta wajah-wajah yang dirindukan akhirnya hadir kembali di dalam kehidupan Robert walau pun dalam balutan warna yang berbeda.
Amy dan Arya berdiri di lapangan parkir yang luas, disamping mobil sedan hitam yang pintu-pintunya membuka menunggu kedatangan Robert yang terlihat di depan mata. Pelukan-pelukan kerinduan menyatu penuh tangis. 5 tahun lebih bukanlah waktu yang singkat untuk dihadapi. Banyak hal yang terlewati, banyak hal yang terasa sia-sia belaka. Penjara kehidupan, penjara hati dan juga penjara jiwa.
Hari itu adalah hari dimana mata yang sama, wajah yang sama dan senyum yang sama hadir dalam tangis pencurah rindu, setelah sekian lama, tangan itu bisa memeluk dengan penuh utuh, setelah sekian lama tangan itu bisa memegang pipi bocah yang sedah semakin besar, dulu pipi itu sangat mungkil dan perubahan itu serasa derastis dalam sekejab.
Di depan pigura yang bisu, kebahagiaan itu terlihat semakin nyata. Ayah, Ibu dan anak berbaring bertiga di atas tempat tidur kecil, bercerita tentang bintang dan pada astronot kepada si anak, mengajarkannya tentang kebaikan hingga kedua bola mata polos itu tertidur dengan sangat nyenyak.
Dan saat rumah kembali menjadi sunyi, sentuhan cinta mulai kembali. Amy mengajak Robert untuk kedapaur, duduk di depan meja makan yang sudah terhidang beberapa makanan dengan beberapa batang lilin yang menjadikan sumuanya terasa romantis.
“Kau membuat acara penyambutanku?,” tanya Robert tak percaya lalu mencium Amy.
Amy hanya tersenyum, mereka duduk berhadapan, sebelum makan, Amy memegang jemari Robert, “Ucapkan harapanmu kedepan,” mereka diam sejenak memejamkan mata mengucapkan harapan mereka dalam hati menjadi sebuah doa pribadi. Ketika mereka membuka mata Amy berucap lagi, “Selamat ulang tahun pernikahan kita.”
Robert terlihat terkejut, “Maafkan aku telah lupa dengan hari ini!.”
“Tak apa-apa, yang terpenting kau telah kembali, Aku mencintaimu.”
“Aku mencintaimu.”
Di Dalam Cahaya
Arya duduk di bangku belakang dengan kedua tangannya menutup kedua telinganya dengan sangat kuat. Pertengkarang yang terjadi di depan matanya membuat Arya menangis.
“Sudahku bilang aku tidak dengan siapa-siapa,” Robert mengelak.
“Aku melihat kau menciumnya,” Amy mempertegas.
“Kau hanya salah paham, dia bukan siapa-siapa.”
“Mengapa kau tidak berkata jujur padaku.”
Mobil sedan hitam yang mereka kendarai melaju dengan sangat kencang memasuki trowongan yang sunyi.
“Jujur seperti apa yang kau mau, aku tidak berbohong, perlukah aku berucap bohong sehingga kau bisa tenang?.”
“Kau pembohong.”
“Jika kau ingin aku berbohong, ya, aku mencintainya—.”
Emosi di dalam mobil semakin menguat, kemarahan Amy kini membuat dirinya lepas kendali, pukulan penuh kemarahan menghantam Robert berkali-kali.
Saat mobil melaju hampir mencapai ujung terowongan sebuah cahaya menyilaukan membuat semua dunia terasa melambat. Kendali mobil tak bisa di kuasai, dentaman keras membuat pertengkaran berubah menjadi teriakan penuh kejut yang berubah bisu dalam sekejab.
“Maafkan aku………aku berbohong,” ucap Robert sambil memejamkan matanya.
Bersambung ke bagian 3
NB : Untuk sosok yang mengispirasiku.
Catatan bayangan : alur cerita semakin acak tetapi dalam tampilan yang sangat cepat, sedikit penjelasan tentang sebab dari kesedihan mulai diperjelas, walau masih menyisakan teka-teki yang kemungkinan besar sudah bisa ditebak. Tapi babak akhir yaitu bagian ke-3 akan memiliki kejutan tersendiri yang masih membuat penasaran untuk di tunggu. Robert benar-benar terkurung dalam bayangan kehidupannya yang lalu, bagian ke-2 lumayan memberatkan hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!