__________________________________________________
29 Oktober 2004
Video itu tersebar
dalam hitungan detik, video yang berisikan sosok manusia yang sangat
dicari-cari oleh setiap orang Amerika, sosok yang mengingatkan kenangan pahit
di dalam setiap ingatan orang Amerika. Sosok itu tua tapi suara seraknya
menggetarkan jiwa, penampilannya yang sangat Islami membuat semua orang dengan
mudah mengenalinya. Pakaian longgar putih dengan kepala tertutup sorban serta
memiliki jenggot panjang dengan mata tajam. Suara itu pun bersaru.
“Kami bebas, dan untuk
mendapatkan kebebasan bagi Negara kami. Seperti kalian yang meremehkan keamanan
kita, kita meremehkan keamanan kalian — kami sudah sepakat dengan Komandan
Jendral Muhammad Atta, Allah mengasihi dia, bahwa semua oprasi akan
dilaksanakan dalam 20 menit sebelum Bush dan pemerintahannya menyadari hal
itu.”
Marwan Al-Shehhi
menutup leptopnya dengan sangat pelan, airmatanya tidak juga kunjung menetes,
hanya menggenang di kantong matanya yang meradang, dia bangkit menuju kearah
jendela besar, merekatkan telapak tangannya di kaca jendela.
“Sudah 4 tahun,”
ucapnya pelan.
Dikelurkannya telpon
genggamnya, diputarnya lagi video lain yang hampir setiap hari dilihatnya
sebelum dia tidur. Kali ini Marwan menangis, tangis itu tak lagi bisa
terbendung.
*
10 September 2001
Marwan Al-Shehhi
bersama
4 orang temannya berdiri menghadap kiblad, wajah mereka terlihat tenang walau
sebenarnya jantung mereka berdetak lebih kencang daripada biasanya. Mereka
berlima sholat menghadap yang kuasa, mencoba meyakinkan apa yang akan mereka
lakukan adalah sebuah kebenaran, mungkin jika Allah bertanya pada mereka “Apa
tujuan kalian melakukan itu?.” Maka dengan mantap mereka menjawab. “Demi
Agamaku, Islam.”
Selesai sholat mereka
saling bersalam-salaman, saling peluk sehingga mereka bisa merasakan kegugupan
yang sama, lalu duduk membentuk lingkaran berbincang membicarakan rencana
mereka yang sudah diatur oleh sang pemimpin.
“Kalian sudah siap
bukan,” tanya Ahmed Alghamdi yang berkebangsaan sama dengan 2 orang diantara 4
lainnya, Fayez Rashid Ahmed Hassan Al Qadi dan Hamza Alghamdi, mereka
berkebangsaan Arab Saudi.
Mendengar pertanyaan
itu semua mata saling pandang dan dengan perlahan kepala mereka mengangguk
pelan.
Setelah perbincangan
yang berjalan cukup lama itu Marwan keluar dari kamar hotel. Lampu dilorong
hotel itu remang-remang, membawa langkah Marwan menuju simpang lorong temat
tangga darurat berada.
Pintu tangga darurat dibukanya
dia duduk di balik pintu yang menutup rapat. Di sana dia bernapas melega,
mencoba menghilangkan tegang di dada, pelan dikeluarkannya telpon genggam dia
mulai menghubungi seseorang.
“Halo Maicel, kau
dimana?, aku mencarimu!,” pertanyaan itu terdengar di ujung telpon genggam
Marwan, suara itu berasal dari seorang perempuan.
Mata Marwan meradang
dengan pelan dia memberi jawaban. “Aku baik-baik saja, aku ingin memberitahumu
satu hal, sayang.”
“Tentang apa?.”
“Boleh aku meminta satu
hal denganmu?,” suara Marwan semakin terdengar mencemaskan.
“Kau menangis?,” suara
perempuan itu mulai gelisah.
“Dengarkan aku — besok
ku mohon kau jangan kemana-mana, aku ingin kau di apartemen saja, aku akan
datang menemuimu.”
“Ada apa denganmu,
sayang. Aku mendengar kau menangis.”
“Lakukan saja apa yang
aku minta,” dengan hati penuh resah panggilan itu diakhirinya kemudian telpon
genggam dimatikan olehnya.
*
11 September 2001
Lusi berdiri di depan
kaca tebal lantai 78 gedung World Trade Center, dia semakin gelisah karena sejak
kemaren telpon genggam kekasihnya itu tak bisa dihubunginya. Dia cemas dengan
pesan yang disampikan oleh kekasihnya itu. Hal salah yang dilakukannya adalah
tidak menuruti apa yang dikatakan oleh kekasihnya itu.
Tiba-tiba sebuah suara
menggelegar menggetarkan lantai yang di pijak oleh Lusi, suara menggelegar itu
adalah suara ledakan. Semua orang berlarian. Suara itu berasal dari sebelah
utara menara WTC 1.
Dalam kegelisahan itu
Lusi memasukkan telpon genggamnya dia berlari mengikuti orang-orang mencoba melihat
apa yang sedang terjadi. Begitu terperangah semua orang ketika menyadari bahwa
sebuah ledakan terjadi di menara sebelah, ledakan itu menciptakan asap gelap
tebal yang mengerikan.
Mengikuti langkah
orang-orang Lusi berlari menuju tangga darurat, dia dan puluhan orang berebut
untuk turun dari lantai 78.
Banyak waktu terbung
sia-sia karena orang-orang semakin memadati jalan sempit itu. Lusi berpaling
dan berlari menuju lift, dia berharap lift itu bisa digunakan dalam keadaan
darurat. Saat melintasi jalan yang sama di mana tempat dia tadinya mencoba
menghubungi kekasihnya, Lusi terjerebak, dia terjatuh di atas lantai yang
keras. Telpon genggamnya berdering.
Rasa sakit menjalar
disekujur kakinya, dia berteriak tapi tak ada yang membantunya, semua orang dalam
keadaan panik. Setelah dia sadar bahwa telpon genggamnya tak henti berdering,
dia pun mengangkat panggilan itu.
“Maicel—,” ucapnya
lirih
Suara mengguruh berikutnya membuat Lusi
berpaling kearah dinding kaca, benda besar itu bergerak menuju ke tempat dia
berada.
Di sisi benda besar itu
tertulis, American Airlines. Lusi berteriak histeris. dengan pergerakan lurus
benda besar itu menabrak Lusi, sekejab rasa sakit itu hilang, menggelap dan
terhapus bagai tanah rata yang tak bisa diinjak.
Pukul 09:02, American
Airlines penerbangan 175 menabrak sisi selatan menara selatan WTC 1 di antara
lantai 77 dan 85.
*
06:00, 11 September 2001
Mohand Alshehri
memeriksa paspornya dengan seksama, dia duduk di samping Marwan dan sesekali
melirik kearah sahabarnya itu yang terlihat semakin gelisah.
“Ada apa kawan?,” tanya
Mohand dengan suara berbisik.
“Aku hanya ragu, aku
mulai merasa ini semua adalah kesalahan.”
Kerut terlihat di wajah
Mohand. Lalu dengan cepat dipegangnya tangan Marwan.
Marwan berkeringat,
matanya merah berkaca-kaca. “Allah tidak pernah mengajarkan kekerasan, bahkan
dalam Al-quran sekali pun Allah mengajarkan untuk saling toleransi terhadap
agama yang bukan Islam. Aku merasa ini semua salah.”
Pelan Mohand melepaskan
tangan Marwan, “Apa yang membuat kau berpikir seperti itu?,” bisiknya lagi.
“Aku akan menikah bulan
depan?,” ucapnya ragu.
“Dengan siapa?,” suara
Mohand terkejud.
Marwan menajamkan
tatapannya pada mata Mohand, dan dengan airmata yang menetes dia berucap.
“Orang Amerika, namanya Lusi.”
Pembicaraan pelan itu berubah
menjadi bisu. Baik Mohand ataupun Marwan mereka berdua tidak lagi bisa
membentuk suara. Suara pintu membuka mengejutkan mereka semua. Ternyata Hamza
Alghamdi masuk dengan senyum di wajahnya.
“Kita akan segera
berangkat,” ucapnya penuh semangat.
*
Langkah kaki berlari
menyusuri jalan yang mulai ramai pagi itu terlihat sangat tergesa-gesar.
keringat di wajahnya bagaikan air keran yang dikucur ketubuhnya. Tidak hanya
tubuhnya yang basah dengan keringat tapi jantungnya pun penuh dengan
detak-detak ketakutan.
Marwan Al-Shehhi
berlari dengan tas di sandangnya di bahu, dalam setiap langkahnya nama Allah
selalu dilantunkannya. Dia berdoa semoga semuanya berjalan baik-baik saja.
Berkali-kali dia melihat kearah jam tangannya, hanya menunggu beberapa menit
lagi menunjukkan jam 09:02.
Suara ledakan
menghentikan langkah kakinya, tidak hanya kakinya tapi semua orang yang ada di
sekitar jalan itu. Tepat di zebra cross, langkah itu terhenti. Tatapan matanya
tertuju kearah jauh yang melukiskan kepulan asap tebal.
Semua orang ketakutan,
semua mata tertuju kearah yang sama, World Trade Center. Gedung kembar itu
terlihat bergetar, runtuh berhiaskan asap hitam yang mengerikan. Pesawat itu
menabrak sisi dari gedung itu.
Telpon genggam di
keluarkan dari saku, di nyalakan dengan sangat cepat. Nomor telpon genggam
seseorang dihubunginya. Lama suara dengung itu tak juga ada jawaban, di atas
langit sebuah pesawat terbang agak merendah, menuju kearah gedung kembar lagi. Saat
pesawat itu sudah sangat dekat panggilan tadi di jawab.
“Maicel—.”
Tak sempat bicara suara
itu menghilang begitu saja.
*
11 September 2001,
empat pesawat Amerika di bajak oleh teroris, salah satu dari empat pesawat itu
adalah pesawat American Airlines penerbangan 175, lima orang dari pembajak
pesawat American Airlines itu mati bersama penumpang lainnya, mereka adalah :
Marwan Al-Shehhi,
berkebangsaan Uni Emirat Arab, Fayez Rashid Ahmed Hassan Al Qadi, berkebangsaan
Arab Saudi, Ahmed Alghamdi, berkebangsaan Arab Saudi, Hamza Alghamdi,
berkebangsaan Arab Saudi dan yang terakhir Mohan Alshehri, tidak diketahui
kebangsaannya.
*
Dari apartemennya itu
dia melihat Amerika, dia melihat kota sibuk yang penuh luka, mungkin luka itu
sangat besar sebesar luka yang juga dimiliki olehnya. Luka kehilangan berujung
penderitaan.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!