Selendang
merah kuning hijau Sunade melambai mengiringi kemana angin berhembus, menjuntai
hingga menyentuh rerumputan tinggi yang sondong hampir merebah oleh derasnya
angin.
Tiba-tiba rerumputan tadi membelah tersapu
oleh langkah lain yang berlari, dengan kemeja hitam berlapiskan setelah jas
rapi di kejauhan. Rambut coklat yang membelah kesamping itu bungsat berbasuh
peluh yang terus mengalir ke pelipis wajah. Dan gambara dari warna kemerahan
terlihat di kedua bola mata yang berkaca-kaca.
“Sunade—.” Teriak itu melengking menuju langit
yang luas tak berbatas, membuat sekawanan burung pipit terbang bergerombol.
Yang terdengar hanyalah suara angin, desisan
mesra yang lembut menyentuh setiap jengkal kulit yang tidak tertutup kain
pakaian, dasi kupu-kupu yang beberajam lalu masih rapi berbentuk kupu-kupu kini
terberai melingkar kusut di kerah kemeja. Langkah itu pun berhenti di tempat
yang sepi di antara rerumputan tinggi yang sondong hampir merebah oleh derasnya
angin.
“Sunade—.” Teriakan itu berulang lagi. Melebar
ke seluruh penjuru hingga hilang lagi tersapu angin.
Sunyi, masih sama.
Sepi, tak ada jawaban.
Dari mata kemerahan berubah menjadi sebuah
tangisan.
©
Temaram sinar rembulan yang terlukis di kaca
jendela, menangkap wajah Sunade yang terbias sinarnya yang lembut. Lampu
ruangan hanya menyala redup, seredup sebatang lilin yang terus bergoyang
menunggu padam.
Di balik shopa coklat yang tadinya tertutup
kain putih penghindar debu. Sunade duduk tersipu ayu, kedua bola matanya tidak
lepas dari keindahan malam serta rembulan.
Bersamaan dengan ketenangan itu, aroma
cappuccino pun merembah di indra penciuman, membuat Sunade berpaling pandang
dari rembulan menuju arah tangga rumah yang sedikit petang, tak ada langkah
yang datang menapak naik untuk menghampiri dirinya, hanya suara papan berdenyit
di lantai bawah yang masih tak pasti.
Kini Sunade berdiri, bergerak sangat dekat
kearah jendela, memegang kain gorden yang memang sudah tersingkap sejak tadi,
dari sana dia tenggelam seutuhnya, oleh cahaya rembulan yang dari tadi terus
mengawasinya.
“Sayang—,” suara serak itu mengalihkan dunia
Sunade, membuat Sunade menatap senyum manis dengan dua bola mata tajam bagikan
elang.
Lalu langkah sosok yang baru datang tadi
bergabung bersama Sunade, berdiri di depan jendela kaca, membiarkan rembulan
menangkap aktivitas mereka. Secangkir coppuccio di dalam cangkir melamin putih
dengan piring kecil sebagai alas beralih ke tangan Sunade.
“Kau menyukai rancangan pesta kita itu?,”
tanya suara serak yang pelan memegang pinggang Sunade.
“Asalkan kau suka akupun suka,” jawab Sunade
sambil mengaduk coppuccino dengan sendok plastik kecil yang separuh tenggelam
di dalam cappuccino.
Pelan tubuh Sunade terbawa menjauhi jendela,
menuju sisi petang di balik gorden yang ditarik menutupi rembulan. Bahkan malam
pun tak bisa mengintip apa yang sedang teradi seperti rembulan yang selalu
ingin tahu akan tetapi terselubung oleh gorden tipis yang hanya menyirat
bayangan remang.
Coppuccino tadi disedu, tak habis cairan agak
kental berwarna coklat tadi di dalam cangkir melamin putih, cangkir itu sudah
tergeletak di atas meja depan shopa coklat yang sama.
Seperti bayangan yang menghilang dari balik
gorden yang menghalangi rembulan, dua tubuh itu menyatu dalam kemesraan,
berawal dari tubuh Sunade yang di angkat menyusuri perabotan rumah yang masih
tertutup kain putih, hingga akhirnya sampai pada sebuah kamar dengan daun pintu
berukirkan bunga-bunga.
Di dalam kamar itulah mereka menyambung
nikmat, nikmat cinta yang lebih dari segelas cappuccino hangat yang sudah
mendingin di depan shopa coklat.
“Kita akan punya anak di rumah yang besar ini.
Hingga kamar-kamar yang kosong terisi dengan tempat tidur bertingkat, di
sanalah ada banyak cinta kita berada, wajah mereka sebagian mirip denganku dan
sebagiannya lagi seperti wajahmu—,” suara serak tadi menggoda di samping
telinga Sunade.
“Dan beberapa dari mereka juga pandai merayu
seperti dirimu,” gurau Sunade sambil melingkarkan tangannya ke leher yang
bergerak menciumi bibirnya.
Tangan mereka mencengkram, membiarkan jari
telunjuk mereka menyatu seperti sepasang bibir yang mengecup mesra.
©
Sepeda motor vespa tipe GS V2 keluaran tahun
1956 itu berwarna abu-abu terparkir sendirian di pinggir jalan luas yang sepi,
menghadap kearah lautan yang terbentang setelah hamparan pasir putih. Ada
banyak bekas jejak kiki di pasir-pasir itu, jejak kaki yang tercipta dari
tapak-tapak mesra memadu cinta.
Dan di balik deru gelombang kecil itu Kurni
berlari-lari, mengheja nafas, menahan dinginnya angin laut yang menyentuh
tubuhnya secara alngsung.
“Sayang kemari, di sini sangat menyegarkan,”
Ajak Kurni pada Perempuan berambut coklat yang duduk di atas pasir putih.
“Tidak, aku di sini saja.”
Kurni berlari ke tepi, dengan tawa yang tak
pernah lepas dari wajahnya, seperti lesung pipit yang dimilikinya tenggelam
melukiskan ketampanan. Dengan gagah Kurni berdiri di depan Perempuan tadi,
mengulurkan tangannya, mengajak bermain gelombang.
“Tidak, aku di sini saja,” ucap Perempuan itu
lagi sambil tertawa.
Tapi godaan Kurni tak bisa dihindari olehnya,
hingga gulungan sekawanan gelombang pun akhirnya menyentuh kulit halusnya.
Lama mereka bermain-main hingga matahari sudah
sangat merendah. Kurni menarik baju kemeja lengan pendek bercorak batik,
mengenakannya sambil menghadap ke ujung lautan. Dia tersenyum dan semakin yakin
ingin melakukan niatnya dari awal pergi ke pantai itu.
Perempuan yang tadi bersamanya sudah berdiri
menunggunya di samping vespa yang tenang tak bersuara. Kurni berpaling dari
redupnya surya yang tenggelam setengah kearah perempuan pujaan hatinya. Dia
melangkah bergerak meninggalkan sekawanan butiran pasir putih.
Ketika detik kepulangan matahari ke ujung
barat sudah tinggal beberapa detik lagi, di samping vespa, di depan hamparan
pasir putih yang mulai menguning karena biasan surya. Kurni mengambil sebuah
benda dari dalam kantong kemeja batiknya.
Sebuh kotak kecil polos, berlapis kain lembut
berwarna biru malam. Pelan kotak tadi di bukanya di hadapan Perempuan yang
disayanginya. Dan bersamaan dengan itu terdengar lantunan mesra dari mulut
Kurni.
“Maukah kau menikah denganku dan menghabiskan
sisa hidup kita bersama untuk selamanya?.”
Terlihat wajah gugup di raut muka Perempuan
yang tidak pernah menduga apa yang akan dilakukan kurni hari itu.
Kurni menanti jawaban.
Hingga petang menjemput kepulangan matahari
yang tenggelam.
Sepeda motor vespa melaju di jalan luas,
membawa mereka berdua kesuatu tempat yang berhiaskan dengan lampu
remang-remang.
“Karena aku sudah menebaknya bahwa kau pasti
menerimanya. Maka aku membeli sebuah rumah untuk kita di sekitar sini,” ucap
Kurni sambil membelok di tikungan kecil yang membawa mereka menuju ke depan
pagar rumah dengan halaman besar berhiaskan lampu-lampu bundar.
Vespa berhenti Kurni turun membuka pagar
rumah.
“Sebesar ini, apa tidak berlebihan?,” tanya
perempaun tadi heran.
“Ya, karena aku berencana kita akan punya
banyak anak, kita akan menajdi keluarga besar nantinya.”
©
Bekas luka di wajah Kurni masih menggores dan
belum kering, seperti kakinya yang terpincang-pincang bertumpu pada tongkat
penyangga. Dia duduk menangis bersandar di samping ruangan pucat dengan pintu
tertutup rapat.
Di genggaman tangannya terdapat sebuah benda
yang pernah diberikannya pada seseorang. Semua sirna bagai debu yang terbang di
sapu angin malapetaka.
Beberapa hari yang lalu ketika itu hujan
lebat, di jalan menuju rumah besar yang akan menjadi tempat mereka berdua
membangun rumah tangga. Kurni menyetir mobil dengan Sunade duduk di sebelahnya.
Kecepatan mobil tidak terlalu laju, tapi
apapun itu semua memang akan terjadi seperti goresan takdir yang tidak mungkin
bisa dipungkiri. Mobil truk kuning yang melaju sempoyongan itu bergerak di
jalan yang salah. Sesalah kejadian selanjutnya yang tidak seharusnya terjadi.
Dan berselang waktu setelah itu yang terdengar
di telinga baik Kurni atau pun Sunade hanyalah serine ambulan dengan kilatan
lampu merah berputar di dalam hujan.
Kecelakaan.
Menyisakan penderitaan.
Dua hari setelah itu Kurni terbangun dari tidurnya. Tidur yang
berlapiskan mimpi-mimpi indah tentang pesta pernikahan yang sudah
direncanakannya beberapa minggu lagi.
Bangun tubuh itu seperti berhilang jasad,
ringan tapi dengan kepala yang berat serta pusing. Hingga jam-jam selanjutnya
dia mulai bisa mencipta langkah.
Bekas luka di wajah Kurni masih menggores dan
belum kering, seperti kakinya yang terpincang-pincang bertumpu pada tongkat
penyangga. Dia duduk menangis bersandar di samping ruangan pucat dengan pintu
tertutup rapat.
Cincin. Benda itulah yang ada di dalam
genggaman tangan Kurni, cincin yang sebenarnya berada di jeri manis Sunade.
yang beberapa menit yang lalu dilepasnya dengan tangis berbalut luka.
Tubuh Sunade tergeletak tak bernyawa di dalam
kamar mayat yang semerbak dengan bau formalin. Kini harapan itu sirna, tak tahu
lagi entah kemana.
©
Luka di wajah
masih belum sembuh, walau kaki sudah bisa melangkah tanpa tongkat
penyangga. Hari itu Kurni menggunakan jas dengan setelan kemeja dan dasi
kupu-kupu rapi melingkar di lehernya.
Hari itu di sebuah gereja, semua orang
menggunakan baju hitam, di samping Kurni terdapat sebuah peti mati yang terbuka
memperlihatkan isinya.
Sunade terbaring tenang, dengan riasan serta
gaun pengantin putih yang indah dengan manik-manik berkilau. Hari bahagia yang
berbalutkan kemelancolisan.
Kurni menangis ketika pendeta menyuruhnya
memasangkan cincin kawinya ke jari manis Sunade yang sepi di dalam peti mati.
Tidak hanya Kurni tapi semua orang yang hadir di acara pernikahan itu pun juga
menangis.
Merebak tangis di mana-mana, merasuk sedih
yang tergambar bagai dedaunan maple
yang gugur di musim semi, seperti salju yang berhambur menggelut udara. Itulah
rasa haru yang teramat dalam atas cinta sejati yang tak akan pernah bisa hilang
begitu saja.
Bagai lilin padam, bagai secangkir cappuccino
yang tidak lagi terhiraukan, semuaya pesi dalam rasa mati. Laksana waktu
bergerak ketika peti mati di tutup dan dibopong meninggalan gereja,
tangis-tangis itu semakin menjadi. Hingga tanah pekuburan menutupi semua
kenyataan cinta yang hilang tersapu waktu.
Hari itu adalah hari pernikahan Kurni dan
Sunade yang juga merupakan hari ke pulangan Sunade menuju surga yang juga
memiliki tafsir sebagai hari perpisahan mereka berdua untuk selama-lamanya.
Ketika semua orang sudah pulang satu persatu
dan hanya tersisa Kurni seorang, hembusan angin bertiup kearahnya, seolah
membisikkan suara yang dikenalnya. Dia berpaing menuju kepenjuru rerumputan
luas yang bergoyang. Dari penglihatanya terlihat selendang merah kuning hijau
melambai-lambai mengiringi kemana angin berhembus, menjuntai hingga menyentuh
rerumputan tinggi yang sondong hampir merebah oleh derasnya angin.
“Sunade—.” Teriak itu melengking menuju langit
yang luas tak berbatas, membuat sekawanan burung pipit terbang bergerombol.
Yang terdengar hanyalah suara angin, desisan
mesra yang lembut menyentuh setiap jengkal kulit yang tidak tertutup kain
pakaian, dasi kupu-kupu yang beberajam lalu masih rapi berbentuk kupu-kupu kini
terberai melingkar kusut di kerah kemeja. Langkah itu pun berhenti di tempat
yang sepi di antara rerumputan tinggi yang sondong hampir merebah oleh derasnya
angin.
“Sunade—.” Teriakan itu berulang lagi. Melebar
ke seluruh penjuru hingga hilang lagi tersapu angin.
Sunyi, masih sama.
Sepi, tak ada jawaban.
Dari mata kemerahan berubah menjadi sebuah
tangisan.[]
NB : Untuk Maisya Aisya dan Arya Ningtyas
serta para pembaca setia dimana pun anda berada, semoga terhibur dengan cerpen
yang sangat melancolis ini.
________________________________________________
Jangan lupa
untuk berkunjung di halaman FIKSI.Com on Facebook: http://www.facebook.com/pages/FiksiCom/186544941415759
kukira mau jd crita stensil,wkwkwkwkw
BalasHapusdasar otak kamu ngeres Ndra kikikiiiiiiiiii
BalasHapusaku tetap mempertahankan judulnya kok Ndra hehehehee