10 Okt 2011

The Octavius

Malam itu semua awak kapal tertisur senyap, semuanya terbius oleh kabut tebal yang datang dengan tiba-tiba, meniupkan rasa ngantuk di bola mata mereka dan membawa jasad mereka semua ke alam lain yang jauh dari kerasionalan pikiran. Semua tergeletak begitu saja, bisu dan hanya terdengar suara deru gelombang yang menggulung.
Antonio menutup kotak musiknya, menghentikan pergerakan kursi goyang lalu turun dan mulai melangkah maju ke depan dengan tangan kanannya menggenggam kalung salib yang menurutnya mendekatkan dirinya dengan Tuhan. Dia menapak anak tangga, menuju keluar ruangan yang tiada henti terus berdenyit, dia membuka pintu yang tidak terkunci dan menajamkan pandangannya pada sosok puluhan awak kapalnya yang tergeletak dengan mata memebelalak keluar tanpa sedikit senyuman di wajah mereka semua. Pemandangan di tengah laut yang sangat mengerikan.

“Demi Tuhan—,” ucap Antonio berkali-kali dengan gigi yang mengeletak ketakutan, seluruh tubuhnya yang tertutup rompi tebal berlapis-lapis, tak bisa lari dari rasa dingin yang menyelimuti tubuhnya, yang perlahan terasa merasuki jiwanya dan menarik rohnya tanpa tersadari.
Kabut mulai membelah, membawa kapal  The Octavius menuju tempat baru yang tidak pernah dicapai oleh siapa pun yang berada di lautan. Menembus kabut tebal kemudian memaparkan pemandangan menakjubkan yang membuat Antonio tercengang.
Gelombang menghilang, seperti angin yang juga menenang dengan tiba-tiba. Layar tidak lagi mengembang, semuanya berhenti dan terdampar ditengah lautan yang tak berarus.
Ada banyak cahaya di perairan itu, cahaya itu berupa kilauan lilin yang terdapat di atas setiap sekoci yang bergerak di perairan itu, setiap sekoci yang mewakili setiap awak kapalnya yang menghilang bagikan asap menggumpal dan menggumpal dengan tiba-tiba hingga menjadi kembali wujud nyata dengan tatapan kosong, wujud-wujud itu duduk di atas sekoci, memegang pengayuh dan bergerak maju menuju arah barat yang tidak berujung.
Kalung salib pun terlepas dari genggama Antonio, seolah dia telah meninggalkan Tuhan yang menurutnya sudah melupakan keberadaannya. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah, dialah yang tidak lagi percaya dengan adanya Tuhan. Dia meninggalkan Tuhan.
Antonio bergerak ke haluan kapal, berdiri di samping tali yang menahan layar, dia berpegangan pada tali dan menatapi puluhan sekoci yang terus bergerak meninggalkan dirinya. Lalu sebuah sekoci lewat di samping kapanya, dekat dengan tempat dia berada saat itu. Antonio bisa mengenali sosok yang terus mengayuh di dalam sekoci itu. Sosok itu adalah Olmer Parker, awak kapanya yang bekerja sebagai pembaca arah mata angin.
“Palker—,” teriak Antonio memanggil nama awak kapalnya tadi.
Tak ada jawaban, akan tetapi awak kapalnya tadi berhenti mengayuh, Palker menoleh kearah Antonio dengan ekspresi wajah penuh kesedihan. Matanya basah dengan air mata, lalu dia melambaikan tangan kirinya sebagai tanda dari sebuah perpisahan.
Perlahan sekoci itu terisi air, merendah ke dalam lautan dan tenggelam hingga tidak tersisa lagi. Dan saat Palker terlihat mengapung di atas lautan, sebuah tangan putih dengan wajah cantik berambut hitam panjang, menarik Palker ke dalam lautan seperti sekoci tadi, lenyap dalam kegelapan malam di dasar laut.
Saat semua sekoci bernasib sama dan tak ada yang tersisa, lautan yang tadinya terang oleh cahaya lilin kini gelap pekat mengerikan. Antonio menangis di ujung kapal, dia menangisi banyak hal yang hilang dan direnggut dari kehidupannya salah satunya adalah semua awak kapalnya. Dia menyalahkan dirinya atas semua itu.
.
Dahulu kala semasa perang antar Perompak meledak, hiduplah seorang lelaki tampan dan memiliki ambisi besar untuk mengarungi laut Perompak hingga ke pulau Zorden yang penuh dengan harta kuno. Dia seorang Kapten dari sebuah kapal yang bernama Black Jack.
Nama laki-laki itu adalah Antonio, berambut panjang ikal, berhidung mancung dengan dagu sedang serta memiliki seribu karisma dan peson, selalu tepat janji dan sulit untuk menyerah.
Suatu hari ketika Antonio bersama awak kapalnya sampai kesebuah gua Xores tempat para putri duyung berdiam, gua itu besar dan memiliki aroma terharum yang pernah ada di dunia,.
Setelah menyusuri gua tadi selama empat hari—sanpailah Antonio kesebuah pulau dibalik gua yang indah dan mempesona. Pulau itu dihuni oleh para putri duyung yang memiliki sejuta kecantikan, membuat semua awak kapal terpikat hati. Tapi rasa terpikat itu sirna ketika mengetahui bahwa pulau tanpa nama itu di pimpin oleh seorang laki-laki kuat, tampan dan penuh wibawa. Laki-laki itu tidak lain adalah ayah dari empat putri duyung tercantik yang ada di pulau itu
Youri, Juwana, Oskar dan Vennus. Dari empat putri duyung tadi Antonio jatuh hati pada Vennus, putri tertua dari empat barsaudara. Pertemuan tanpa senghaja di atas dermaga membuat keduanya terlarut dalam cinta penuh gejolak.
Tapi sangat disayangkan cinta itu harus terpisah karena Vennus sudah dijodohkan dengan seorang raja dasar laut yang bernama Plato. Vennus tidak mencintai Plato dia lebih mencintai Antonio—karena perasaan cintanya itu Vennus mengajak Antonio untuk lari dari pulau tanpa nama demi cinta yang dimilikinya. Mereka melarikan diri—pelarian itu tidak bertahan lama. Antonio dan para awaknya ditangkap dengan tuduhan penculikan dan akan dihukum mati.
Vennus yang tidak rela Antonio mati, mencari kedasar laut sebuah batu abadi yang akan membuat Antonio tak akan pernah mati—Vennus mendapatkan batu tadi memecahnya menjadi serpihan dan meminumkannya kepada Antonio dan juga seluruh awak kapal yang terkurung tak berdaya di dalam penjara.
Ketika eksekusi mati dihadapan seluruh penghuni pulau selesai—saat itu semua awak kapal Black Jeck termasuk Antonio digantung menggunakan kawat besi hingga mereka semua tak bergerak yang kemudian dibuang ketengah lautan.
Saat bulan purnama Vennus berenang ketengah lautan mencari Antonio dan juga awak kapal Black Jeck yang kembali hidup dan akan menjadi abadi. Saat Vennus bertemu dengan Antonio saat itulah cinta mulai memudar—wajah tampan Antonio sudah sirna, ramburnya sudah rontok, kulit-kulit tubuhnya sudah terkelupas—Vennus hanya menemui sekumpulan tengkorang hidup yang tenggelam dalam perasaan penuh sesal.
Batu itu membawa sebuah kutukan kepada semua awak kapal. Mereka semua berubah menjadi mayat hidup yang menyedihkan dan penuh penderitaan. Ternyata hidup kekal abadi itu bukanlah pilihan yang menyenangkan—dimana hal-hal semasa hidup dulu seolah menjadi tak ada artinya lagi.
Vennus yang tak bisa menerima keadaan Antonio pergi meninggalkan Antonio dengan meninggalkan sebuah harmonica yang dulu pernah diberikan Antonio pada Vennus.
Pertemuan terakhir mereka terjadi disebuah karang yang ada ditengah lautan. Saat itu Antonio sendiri tanpa awak kapalnya, mendekat kearah Vennus yang duduk menanti dengan harapan bisa mendapatkan kembali cintanya.
Saat Antonio hadir dalam sosok tengkorak mengerikan, Vennus malah menusuk Antonio dengan belati emas tepat di jantung Antonio yang memang tidak berdetak lagi—tak ada darah, tak ada kesakitan. Semua rasa itu sudah tak pernah ada lagi bagi Antonio kecuali rasa cintanya.
Setelah menusuk Antonio dan ternyata tak terjadi apa-apa, Vennus pergi maninggalkan Antonio ditengah karang yang sunyi dan gelap—lalu alunan melodi harmonica menghiasi karang yang menjadi saksi perpisahan cinta Antonio.
.
Harmonika menyanyikan lagu yang selalu sama, lagu sendu cirri khas laut perompak. Hari itu senja, keindahan matahari yang hangat membuat rubuh berlapis kulit itu terasa semakin rapuh. Semua awak kapal yang ada di kapal diam menanti tenggelamnya matahari, karena saat tenggelam semua kehidupan pun berubah menjadi sesuatu yang tidak lagi pantas di sebut kehidupan.
Suara harmonika berhenti, harmonika dimasukkan oleh Antonio kembali ke dalam saku rompinya, saat itulah cahaya matahari menghilang diujung cakrawala. Andai saja aku bisa setiap harinya mengejar matahari, maka akan aku lakukan itu sehingga malam tak lagi menemuku. Bisikan itu masih sama di benak Antonio. Akan tetapi kenyataanlah yang membuat mereka semua belajar bahwa semua itu tak akan mungkin mereka lakukan.
Saat matahari tenggelam tubuh mereka mulai mengering, kulit mereka mulai merapuh, rontok dan menyisakan tulang belulang yang menyedihkan. Kini hanya pakaian yang melekat pada tubuh mereka yang merupakan kerangka kuat yang memang harus bisa mereka terima. Kini keindahan sudah sirna seperti matahari yang tenggelam dengan rona yang melancholia.
Saat malam tiba cat kapal yang mengukirkan nama kapal itu di dinidng kapal perlahan mengelupas. Dari The Octavius menjadi Black Jack yang suram dan ditakuti. Dari Antonio yang tampan menjadi Kapten Jack yang menakutkan. Laut Perompak pun mereka arungi dengan nyanyian keabadian.[]
_________________________________________________________________
Catatan Penulis : Cerita ini di ambil dari catatan Risen Fanart Bortf dalam bukunya yang berjudul “Malam di laut Prompak (edisi Klan Air) yang merupakan pecahan dari cerita fantasi yang penulis tulis. Cerita fantasi yang berkisah tentang Negara antar Klan.
Risen Fanart Bortf adalah Aquiler—Aquiler pertama yang melakukan perjalanan panjang antar Klan untuk menulis sebuah buku tentang peradaban yang ada di setiap klan, dari budaya, kepercayaan hingga hal-hal yang rahasia sekali pun. Buku Borjerklow atau Klan Petir Klan Para Kesatria Pemberani adalah buku pertama yang ditulisnya berates-ratus tahun yang lalu. Risen di hukum mati karena dianggap memaparkan hal bohong yang mempengaruhi pola piker orang banyak tentang fakta di balik Kerajaan Klan. Dan semua buku karangannya dimusnahan serta dilarang untuk dibaca oleh siapapun. Risen juga merupakan seorang penganut paham Soruman. Paham yang bertentangan dengan paham Sorun (Paham yang dianut oleh semua Klan bahwa setiap kehidupan di Klan masing-masing hanya boleh menikah dengan orang yang memiliki Klan yang sama).
__________________________________________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!