22 Nov 2011

{Prosa} Hari di mana aku berada


Lepas dari rumah penitipan aku sudah tumbuh cukup dewasa, sudah lulus sekolah dan berpendidikan walau hanya sampai SMA. Di sinilah pahit dan manisnya kehidupan aku rasakan. Pahitnya, aku harus bekerja bating tulang untuk bertahan hidup dari kerasnya dunia. Manisnya, aku mulai mengalami penyakit perasaan yang buta atas lawan jenisku, inilah perasaan yang sangat membahagiakan, cinta.
Semakin dewasa baik jiwaku ataupun akalku, aku mulai memikirkan tentang keluarga, aku mulai menyusun perlahan pundi-pundi yang pernah hilang dalam hidupku, walau aku sadar apa yang hilang tak akan mungkin bisa kembali seperti semula. Akhirnya aku pun menyusun sejarahku sendiri, menciptakan dunia kecil yang sangat aku rindukan.

Kini aku memiliki istri dan dua anak laki-laki, hidup kami bahagian dan berkecukupan, walau aku sadar dan tidak mau egois untuk mengakui bahwa kehidupan kami tidak luput dari yang namanya masalah. Jika ada orang bilang hidup itu seperti roda yang berputar “ada kalanya diatas dan ada kalanya dibawah” maka aku menyebut hidupku adalah mesin penggerak roda, mesin yang harus memiliki tenaga dan usaha untuk bisa mempertahankan pergerakanku di tempat yang aku inginkan. Jika diam maka akan tergilas di bawah dan jika terus berusahan dan berjuang maka lambat laun perubahan untuk menjadi lebih baik pun akan datang, semuanya tergantung usaha yang dilakukan.
Suatu ketika anak-anakku pun dewasa dan istriku meninggal dunia, kini aku beruntung masih memiliki dua anak yang mau merawatku sepenuh hati. Tapi akhirnya salah satu anakku di jemput yang Maha Kuasa, kesedihan terdalam lagi-lagi aku rasakan. Aku mulai merasa mengapa harus dia yang duluan, mengapa tidak diriku saja yang dipanggil Tuhan?.
3 tahun sudah ini berlalu, dan sudah selama itulah aku sering kali merenungkan hidupku. Hingga akhirnya anakku pun menjelma menjadi seperti diriku, di mana akhirnya dia pun harus menikah dengan seorang perempuan yang seiman dan begitu baik. Tapi walau pun begitu aku tetap sedih, aku tahu ketika dia menikah dia tidak akan pernah bisa lagi memberikan perhatian lebih padaku. Aku takut ketika aku semakin tua aku hidup menyendiri, dalam kesedihan dalam kesepian.
Aku mencoba bahagia saat anakku menikah, walau dalam hatiku aku terus menangis dan ketakutan, tahun-tahun berikutnya pun aku semakin terpuruk walau ketika anakku dan istrinya datang untuk menghiburku, aku masih tak bisa sembuh dari luka hati kehidupan.
Lama dan semakin lama, kerja otakku semakin menurun, penyakit demi penyakit menghampiriku, pikun pun ikut turut serta membingungkanku. Hingga aku sulit membedakan mana sendok dan mana gerpu, mana kiri dan mana kanan, dan banyak hal lainnya yang membingungkan, aku merasa dunia bukanlah lagi tempat yang cocok untuk aku berada karena semua sudah terasa berubah dan berbeda dari tahun-ketahun. Perubahan itu menyulitkanku. Membuat aku menjadi orang asing yang tidak mengenal siapa-siapa bahkan bayanganku sendiri di depan cermin pun seringkali membingungkanku.
Dan saat sejarahku tamat, kain putih sudah menyelimutiku dari banyak keindahan dunia. Mengembalikan diriku dari tempat aku berasal. Hinga hidupku mejadi sebuah cerita untuk anakku dan cucu-cucuku.
Itulah penggalan kisah disebuah hari di mana aku berada, kisah sejarah tentang diriku yang tidak pernah bisa ku duga sebelumnya.
NB : untuk sejarahku
Foto : dari @lukmansardi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!