Dulu
ketika aku masih muda dan sangat muda, saat
itu aku masih tinggal bersama Ibu dan Bapakku yang akhirnya juga
meninggal dunia, meninggalkanku atas kehendak Tuhan. Aku pun menjadi seorang
anak yatim piatu yang dititpkan di rumah titipan tempat di mana anak-anak
sepertiku seharusnya berada.
Lepas
dari rumah penitipan aku sudah tumbuh cukup dewasa, sudah lulus sekolah dan
berpendidikan walau hanya sampai SMA. Di sinilah pahit dan manisnya kehidupan
aku rasakan. Pahitnya, aku harus bekerja bating tulang untuk bertahan hidup
dari kerasnya dunia. Manisnya, aku mulai mengalami penyakit perasaan yang buta
atas lawan jenisku, inilah perasaan yang sangat membahagiakan, cinta.
Semakin
dewasa baik jiwaku ataupun akalku, aku mulai memikirkan tentang keluarga, aku
mulai menyusun perlahan pundi-pundi yang pernah hilang dalam hidupku, walau aku
sadar apa yang hilang tak akan mungkin bisa kembali seperti semula. Akhirnya
aku pun menyusun sejarahku sendiri, menciptakan dunia kecil yang sangat aku
rindukan.
Kini
aku memiliki istri dan dua anak laki-laki, hidup kami bahagian dan
berkecukupan, walau aku sadar dan tidak mau egois untuk mengakui bahwa
kehidupan kami tidak luput dari yang namanya masalah. Jika ada orang bilang
hidup itu seperti roda yang berputar “ada kalanya diatas dan ada kalanya
dibawah” maka aku menyebut hidupku adalah mesin penggerak roda, mesin yang
harus memiliki tenaga dan usaha untuk bisa mempertahankan pergerakanku di
tempat yang aku inginkan. Jika diam maka akan tergilas di bawah dan jika terus
berusahan dan berjuang maka lambat laun perubahan untuk menjadi lebih baik pun
akan datang, semuanya tergantung usaha yang dilakukan.
Suatu
ketika anak-anakku pun dewasa dan istriku meninggal dunia, kini aku beruntung
masih memiliki dua anak yang mau merawatku sepenuh hati. Tapi akhirnya salah
satu anakku di jemput yang Maha Kuasa, kesedihan terdalam lagi-lagi aku
rasakan. Aku mulai merasa mengapa harus dia yang duluan, mengapa tidak diriku
saja yang dipanggil Tuhan?.
3
tahun sudah ini berlalu, dan sudah selama itulah aku sering kali merenungkan
hidupku. Hingga akhirnya anakku pun menjelma menjadi seperti diriku, di mana
akhirnya dia pun harus menikah dengan seorang perempuan yang seiman dan begitu
baik. Tapi walau pun begitu aku tetap sedih, aku tahu ketika dia menikah dia
tidak akan pernah bisa lagi memberikan perhatian lebih padaku. Aku takut ketika
aku semakin tua aku hidup menyendiri, dalam kesedihan dalam kesepian.
Aku
mencoba bahagia saat anakku menikah, walau dalam hatiku aku terus menangis dan
ketakutan, tahun-tahun berikutnya pun aku semakin terpuruk walau ketika anakku
dan istrinya datang untuk menghiburku, aku masih tak bisa sembuh dari luka hati
kehidupan.
Lama
dan semakin lama, kerja otakku semakin menurun, penyakit demi penyakit
menghampiriku, pikun pun ikut turut serta membingungkanku. Hingga aku sulit
membedakan mana sendok dan mana gerpu, mana kiri dan mana kanan, dan banyak hal
lainnya yang membingungkan, aku merasa dunia bukanlah lagi tempat yang cocok
untuk aku berada karena semua sudah terasa berubah dan berbeda dari
tahun-ketahun. Perubahan itu menyulitkanku. Membuat aku menjadi orang asing
yang tidak mengenal siapa-siapa bahkan bayanganku sendiri di depan cermin pun
seringkali membingungkanku.
Dan
saat sejarahku tamat, kain putih sudah menyelimutiku dari banyak keindahan
dunia. Mengembalikan diriku dari tempat aku berasal. Hinga hidupku mejadi
sebuah cerita untuk anakku dan cucu-cucuku.
Itulah
penggalan kisah disebuah hari di mana aku berada, kisah sejarah tentang diriku
yang tidak pernah bisa ku duga sebelumnya.
NB
: untuk sejarahku
Foto
: dari @lukmansardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!