10 Nov 2011

The Death Of a Hero : Hari Pahlawan

 
Suara menggema memecah bisikan kecil yang membising pelan di dalam ruangan yang penuh dengan wajah-wajah serius. Kerut letih dalam diskusi tegang yang terjadi hari itu membuat mereka semua merasa lelah untuk membahas banyak persoalan yang sedang mereka hadapi.
Walau suara lelaki yang sudah cukup tua itu menggema mantap, akan tetapi suara itu tidak pernah bisa mencapai keluar dari ruangan besar yang mengurung semua orang di dalam ruangan yang sering kali berguna sebagai tempat menyulam kata-kata dengan nada bersitegang. Tempat itu dikenal dengan nama House of Commons atau biasa di sebut sebagai Parlemen Inggris.
Tom Driberg berdiri, memperlihatkan pandangannya kepada semua wajah yang mulai bisu memperhatikannya, semua menunggu suaranya yang selanjutnya, menunggu laporan yang akan di ucapkannya, yang pastinya akan bernada berbeda dengan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh rekannya yang lain.

“…Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporasid pada masa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus kearah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dalam dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung ; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas ketika bahwa Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telap pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby).”
Tom Driberg berhenti sejak, dia seakan menunggu respon dari rekan-rekannya, akan tetapi para rekannya sudah terlanjur sangat penasaran dengan apa yang akan dilanjurtkan oleh Tom, hingga akhirnya Tom pun melanjutkan kata-katanya. “Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik…karena informasi saya dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu,…”
Semua wajah yang tadinya tegang mendengarkan kini saling pandang heran. Mereka berpikir apakah benar apa yang dikatakan oleh Tom, semuanya tak pernah bisa tahu dan membuktikan semuanya itu, akan tetapi saksi mata yang tadinya di ungkapkan oleh Tom tak bisa dibantah oleh seorang pun yang hadir di pertemuan itu.
Kini Parlemen Inggris galuh lagi!.
*
Filipina, 6 Agustus 1945
James sudah menggunakan pakaian untuk melakukan penerbangan dalam jarak yang begitu jauh, saat itu dia masih berada di Filipina bersama istrinya yang sedang hamil tua, James terdiam di balik jendela kaca yang memisahkannya dengan Istrinya, dia tahu Istrinya sangat menghawatirkan keberangkatannya hari itu. Seperti yang sudah mereka bicarakan beberapa hari yang lalu.
“Bagaimana jika kau tidak bisa kembali?,” tanya Istrinya setengah berbisik.
“Aku akan kembali, jika pun aku tidak kembali itu semua adalah kehendak Tuhan!. Setiap hari ada banyak orang Amerika yang mati, baik pendosa atau pun tidak, mereka juga di paksa untuk membunuh banyak manusia yang sebenarnya tidak mau mereka bunuh. Aku berharap tugas ini bisa menghentikan perang yang sedang terjadi, aku tahu akan banyak manusia yang akan mati nantinya tapi lebih baik seperti itu daripada tidak pernah berhenti untuk selama-lamanya!.”
Istrinya menangis walau disembunyikannya dengan berpaling mengarah kearah jendela ruangan yang agak gelap. “Aku hanya takut anak kita nanti bertanya tentang kau, aku hanya takut anak kita merasa murung karena tidak bisa memiliki sosok Ayah seperti anak-anak lainnya.”
James memeluk Istrinya dari belakang. “Tenanglah dan berdoalah untuk keselamatan dan juga keberhasilanku. Jika pun aku tidak mampu kembali maka aku ingin kau ceritakan pada anak kita nanti bahwa dia memiliki seorang Ayah yang sangat pemberani, yang mati sebagai pahlawan atas negaranya sendiri, ceritakan padanya semua tentangku agar dia bisa kuat dan bangga memiliki seorang Ayah sepertiku.”
Percakapan memilukan itu berakhir dengan pelukan perpisahan beberapa hari kemudian, hingga pada detik terakhir keberangkatan James pun Istrinya masih datang untuk mengantarkan dan menatapnya penuh pilu.
Setelah memperlihatkan pandangan terakhir, James melangkah maju, tanpa berpaling ke belakang bersama rekannya, mereka bergerak maju menuju 2 pesawat yang terparkir tidak terlalu jauh, 2 pesawat yang berisikan peledak mematikan, yaitu bom atom yang dikenal dengan sebutan Little Boy.
Pilot sudah memasuki pesawat, pesawat jenis Boeing b-29 Superfoster yang tadinya terparkir diam kini mulai bergerak maju dengan kecepatan yang semakin bertambah, dan ketika mencapai akhir dari landasan pesawat itu mulai menyatu dengan udara, terbang meninggi hingga terlihat seperti titik yang akhirnya menghilang.
Istri James memandang kearah langit dengan wajah sendu, perlahan air matanya mengalir pelan tanpa suara. “Semoga Tuhan bersamamu dan memberkatimu,” ucapnya dalam hati berdoa.
Perjalanan cukup jauh itu akhirnya mencapai tujuan, 2 pesawat yang tadinya terbang saling beriringan kini memisah membentuk pormasi dalam arah yang berbeda, kedua pesawat itu melesat dengan gesitnya diantara awan dan langit pagi Hiroshima yang indah. Dan beberapa menit kemudian ledakan dasyat menciptakan gumpalan awan panas yang gelap, menutupi langit indah yang bersentuhan dengan biasan mentari yang menyegarkan, gelombang yang menggulung dalam bentuk awan panas itu terus bergerak hingga mencapai jarak 100 km/segi.
Hiroshima pun rata, 140.000 orang yang bermukim di wilayah itu tak ada yang tersisa semuanya musnah seperti daerah Nagasaki yang juga bernasif sama. Dua pesawat yang tadinya terbang kencang kini sudah tidak terlihat lagi, entah ke-2 pesawat itu berhasil selamat atau malah ikut tenggelam ke dalam ledakan dasyat tadi.
*
10 Agustus 1945
Beberapa orang laki-laki yang memiliki kepercayaan diri tinggi atas apa yang akan mereka lakukan demi banyak orang itu terbang menggunakan pesawat menuju Dalat yang terletak di sebelah timur laut Saigon, Vietnam. Mereka tahu bahwa hanya ini kesempatan terbaik yang mereka miliki jika mereka menginginkan sebuah kemerdekaan, saat terlemah yang dimiliki Jepang karena sebuah tragedi pemboman oleh Amerika di Hiroshima itu memang harus dimanfaatkan sebaik mungkin.
Perjalanan yang menempuh jarak 250 km itu hanya untuk bertemu dengan seorang laki-laki Jepang yang bernama Marsekal Terauchi.
Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat merekalah sosok-sosok itu, mereka harus bergerak cepat sebelum semuanya terlambat.
Jauh di jarak yang berbeda seorang laki-laki yang sedang duduk di atas bangku kayu sambil mengaduk kopinya yang masih hangat tertegun mendengar sebuah berita yang berasal dari sebuah radio tua di rumahnya. Kata kemerdekaan disebut-sebut dalam pemberitaan itu, sebuah kata yang sangat dia rindukan dan inginkan, sebuah kata yang terasa seperti mimpi palsu yang segera akan menjadi kenyataan.
Sutan Syahrir menajamkan pendengarannya.
……Jepang telah menyerah pada sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan, dan menolak bentuk kemberdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang…..
Dengan cepat dia bengkit dan meninggalkan kopinya di atas meja tanpa sempat diminumnya. Tak ada waktu untuk meminum kopi itu, tak ada waktu yang lebih penting selain pada waktu itu, dia berlari menuju sebuah tempat yang akan mempertemukannya kepada teman-teman lainnya yang mendukung kemerdekaan yang akan segera mereka dapatkan.
“Kita akan merdeka!,” ucapnya tegas pada rekan-rekannya penuh semangat.
*
Surabaya, 18 September 1945
Merah dan putih itulah warna yang mulai banyak berkibar di Surabaya, pasca kemerdekaan atas Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan oleh Soekarno memicu semangat seluruh rakyat Indonesia atas kepercayaan bahwa mereka memang akan lepas dari penderitaan penjajah.
Topan yang baru saja memasang bendera merah putih di samping jalan Tunjungan terdiam ketika mendapati sebuah bendera lain yang membuat keningnya berkerut. Bendera itu berkibar di tempat yang sangat tinggi dari pada banyak bendera lainnya yang seragam.
Merah, Putih, Biru, itulah warna bendera itu. Tiga warna yang membuat Topan berlari kencang kembali ke rumahnya, tanpa lelah dia tidak berhenti, dia tahu apa yang dilihatnya itu adalah hal penting yang harus diberitahukannya kepada orang-orang yang ada di rumahnya.
“Belanda—,” teriak Topan dengan nafas yang tidak teratur di sepanjang jalan menuju rumahnya.
Orang-orang yang mendengar kata-kata itu berlarian keluar rumah, memperhatiakn lesatan Topan yang berlari menuju rumahnya.
“Belanda mengibarkan benderanya dipuncak Yamato Hoteru—,” sambung Topan berteriak kepda orang-orang.
Orang-orang yang mendegar kata-kata Topan terkejut dan beberapa dari mereka berlari menuju Yamato Hoteru untuk memastikan berita yang baru saja di bawa oleh Topan.
Beberapa jam kemudian sekumpulan massa berkumpul di depan Yamato Hoteru, mereka marah dengan tindakan orang Belanda yang terlah mengibarkan bendera Belanda tanpa izin. Mereka semua menuntut untuk segera menurunkan bendera itu.
Topan yang berada di antara kerumunan orang-orang terdiam ketika melihat sosok seorang laki-laki dengan karisma yang begitu kuat bergerak maju menembus kerumunan, sosok itu bergerak menuju ke arah pintu masuk Yamato Hoteru. Topan sangat kenal dengan sosok itu. Residen Soedirman. Ucapnya penuh kagum.
Soedirman bersama dua rekannya Sidik dan Hariyono masuk kedalam Yamto Hoteru untuk melakukan perundingan dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya.
“Kami datang kesini untuk memberitahukan kepada anda agar segera menurunkan bendera Belanda yang ada di puncak bangunan,” ucap Soedirman dengan tegas dan lantang.
“Dengan berat hati kami tidak bisa mengabulkan permintaan kalian. Karena kami menganggap bahwa Negara yang kalian sebut dengan nama Indonesia ini belum bisa menemukan kemerdekaannya atas Belanda,” jawaban Mr. Ploegman dingin.
“Jika adan tidak mau menurunkan bendera itu maka dengan sangat terpaksa kami akan melakukan pemaksaan atas penurunan bendera itu. Karena bagi kami berkibarnya bendera Belanda di negri kami Indonesia ini tanpa izin dari kami rakyat Indonesia, adalah sebuah penghianatan atas kemerdekaan kami semua,” Soedirman mengancam.
“Saya akui kau dengan dua rekanmu sangatlah berani untuk datang kesini dan meminta kami untuk menurunkan bendera kami, tapi saya mulai ragu bahwa kalian adalah sosok pintar yang bisa berpikir jernih. Mengancam singa di kandang singa itu sendiri, seperti mengantarkan makanan pada singa yang sedang kelaparan,” Mr. Ploegman menarik sebuah pistol dan menodongkannya pada Soedirman.
“Pelurumu tidak akan menghentikan kemerdekaan kami,” ucap Sidik sambil meloncat menerjang Mr. Ploegman. Dan detik berikutnya suara letusan pistol memicu kegaduhan.
Soedirman dan Hariyono berlari keluar dari Yamato Hoteru, saat mencapai luar mereka melihat massa yang berebut naik ke atas bangunan menuju puncak banguann yang terdapat bendera Belanda. Hariyono yang melihat sahabatnya Koesno Wibowo berlari menuju puncak, kembali memasuki Yamato Hoteru, bersama mereka berdua bergerak cepat hingga mencapai puncak, menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya dan kembali mengibarkan sisanya yang berwarna merah dan putih. Kini sang pusaka kembali berkibar penuh semangat.
Soedirman mendengar suara rintihan seseorang laki-laki di balik pintu depan Yamato Hoteru, dia bergerak mencari suara itu. Suara itu berasal dari seorang pemuda yang tergeletak di atas lantai dengan perut berdarah. Soedirman merunduk, menghampiri pemuda tadi, dengan resah dia berucap.
“Kita telah merebut kemerdekaan itu!.”
“Saya merasakan sakit,” ucap Pemuda tadi.
Soedirma mencengram jemari pemuda tadi kemudian bertanya pelan. “Siapa namamu pemuda?,” Soedirman tahu bahwa pemuda itu banyak kehilangan darah, detik-detik terakhir hidupnya akan segera datang.
Dengan senyum yang dipaksakan pemuda itu berkata. “Nama saya Topan, jika saya mati disini maka beritahukanlah pada keluarga saya bahwa saya mati untuk berjuang atas kemerdekaan Indonesia.”
Dan sejalan dengan waktu yang terus berlalu, maka jasad Topan pun tak mampu menahan roh yang akhirnya bebas menuju surga.
*
10 Nopember 1945
Fakta :
Terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby di dalam mobil yang akhirnya di gantikan oleh Mayor Jenderal Robert Mansergh. Jendral pengganti ini mengeluarkan ultimatum yang menyebutka bahwa orang Indonesia yang memiliki senjata harus menyerahkan sejata mereka sebelum jam 6.00 pagi pada tanggal 10 nopember 1945.
Seluruh rakyat Indonesia menolah ultimatum itu, mereka memilih untuk melakukan perlawanan untuk mempertahankan kemerdekaan mereka. Keputasan rakyat Indonesia itu pun akhirnya berujung pertempuran besar yang banyak menjatuhkan korban jiwa.
Sekitar 6.000 – 16.000 pejuang Indonesia tewas dan 200.000 sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kurang lebih sebanyak 6.00 – 2.000 tentara.
Akibat pergerakan penuh semangat dalam pengusiran para penjajah di Surabaya ini maka masyarakat di seluruh Indonesia pun melakukan perlawanan terhadap penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
10 Nopember 1945 akhirnya menjadi hari Pahlawan yang bertujuan untuk mengenang seluruh korban yang telah berjasa besar untuk kemerdekaan Indonesia.[]
NB : Masihkah kita merdeka?. Semoga Presiden SBY mempunyai waktu luang untuk membaca cerpen singkat ini, seperti waktu luang yang sering beliau miliki untuk menciptakan lagu dan bernyanyi di Istana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!