Suara
menggema memecah bisikan kecil yang membising pelan di dalam ruangan yang penuh
dengan wajah-wajah serius. Kerut letih dalam diskusi tegang yang terjadi hari
itu membuat mereka semua merasa lelah untuk membahas banyak persoalan yang
sedang mereka hadapi.
Walau
suara lelaki yang sudah cukup tua itu menggema mantap, akan tetapi suara itu
tidak pernah bisa mencapai keluar dari ruangan besar yang mengurung semua orang
di dalam ruangan yang sering kali berguna sebagai tempat menyulam kata-kata
dengan nada bersitegang. Tempat itu dikenal dengan nama House of Commons atau biasa di sebut sebagai Parlemen Inggris.
Tom
Driberg berdiri, memperlihatkan pandangannya kepada semua wajah yang mulai bisu
memperhatikannya, semua menunggu suaranya yang selanjutnya, menunggu laporan
yang akan di ucapkannya, yang pastinya akan bernada berbeda dengan berbagai
pendapat yang dikemukakan oleh rekannya yang lain.
“…Sekitar
20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain
alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang
gencatan senjata. Mereka menembak secara sporasid pada masa (Indonesia).
Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus kearah
kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk
menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian,
massa di alun-alun bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam
diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan
tembakan dalam dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung ;
kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas ketika bahwa
Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan
gencatan senjata sebenarnya telap pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh
menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam
mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang
Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan
terhadap dirinya (Mallaby).”
Tom
Driberg berhenti sejak, dia seakan menunggu respon dari rekan-rekannya, akan
tetapi para rekannya sudah terlanjur sangat penasaran dengan apa yang akan
dilanjurtkan oleh Tom, hingga akhirnya Tom pun melanjutkan kata-katanya. “Saya
pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik…karena informasi saya
dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang
benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu,…”
Semua
wajah yang tadinya tegang mendengarkan kini saling pandang heran. Mereka
berpikir apakah benar apa yang dikatakan oleh Tom, semuanya tak pernah bisa
tahu dan membuktikan semuanya itu, akan tetapi saksi mata yang tadinya di
ungkapkan oleh Tom tak bisa dibantah oleh seorang pun yang hadir di pertemuan
itu.
Kini
Parlemen Inggris galuh lagi!.
*
Filipina,
6 Agustus 1945
James
sudah menggunakan pakaian untuk melakukan penerbangan dalam jarak yang begitu
jauh, saat itu dia masih berada di Filipina bersama istrinya yang sedang hamil
tua, James terdiam di balik jendela kaca yang memisahkannya dengan Istrinya,
dia tahu Istrinya sangat menghawatirkan keberangkatannya hari itu. Seperti yang
sudah mereka bicarakan beberapa hari yang lalu.
“Bagaimana
jika kau tidak bisa kembali?,” tanya Istrinya setengah berbisik.
“Aku
akan kembali, jika pun aku tidak kembali itu semua adalah kehendak Tuhan!.
Setiap hari ada banyak orang Amerika yang mati, baik pendosa atau pun tidak,
mereka juga di paksa untuk membunuh banyak manusia yang sebenarnya tidak mau
mereka bunuh. Aku berharap tugas ini bisa menghentikan perang yang sedang
terjadi, aku tahu akan banyak manusia yang akan mati nantinya tapi lebih baik
seperti itu daripada tidak pernah berhenti untuk selama-lamanya!.”
Istrinya
menangis walau disembunyikannya dengan berpaling mengarah kearah jendela
ruangan yang agak gelap. “Aku hanya takut anak kita nanti bertanya tentang kau,
aku hanya takut anak kita merasa murung karena tidak bisa memiliki sosok Ayah
seperti anak-anak lainnya.”
James
memeluk Istrinya dari belakang. “Tenanglah dan berdoalah untuk keselamatan dan
juga keberhasilanku. Jika pun aku tidak mampu kembali maka aku ingin kau
ceritakan pada anak kita nanti bahwa dia memiliki seorang Ayah yang sangat
pemberani, yang mati sebagai pahlawan atas negaranya sendiri, ceritakan padanya
semua tentangku agar dia bisa kuat dan bangga memiliki seorang Ayah sepertiku.”
Percakapan
memilukan itu berakhir dengan pelukan perpisahan beberapa hari kemudian, hingga
pada detik terakhir keberangkatan James pun Istrinya masih datang untuk
mengantarkan dan menatapnya penuh pilu.
Setelah
memperlihatkan pandangan terakhir, James melangkah maju, tanpa berpaling ke
belakang bersama rekannya, mereka bergerak maju menuju 2 pesawat yang terparkir
tidak terlalu jauh, 2 pesawat yang berisikan peledak mematikan, yaitu bom atom
yang dikenal dengan sebutan Little Boy.
Pilot
sudah memasuki pesawat, pesawat jenis Boeing
b-29 Superfoster yang tadinya terparkir diam kini mulai bergerak maju
dengan kecepatan yang semakin bertambah, dan ketika mencapai akhir dari
landasan pesawat itu mulai menyatu dengan udara, terbang meninggi hingga
terlihat seperti titik yang akhirnya menghilang.
Istri
James memandang kearah langit dengan wajah sendu, perlahan air matanya mengalir
pelan tanpa suara. “Semoga Tuhan bersamamu dan memberkatimu,” ucapnya dalam
hati berdoa.
Perjalanan
cukup jauh itu akhirnya mencapai tujuan, 2 pesawat yang tadinya terbang saling
beriringan kini memisah membentuk pormasi dalam arah yang berbeda, kedua
pesawat itu melesat dengan gesitnya diantara awan dan langit pagi Hiroshima
yang indah. Dan beberapa menit kemudian ledakan dasyat menciptakan gumpalan
awan panas yang gelap, menutupi langit indah yang bersentuhan dengan biasan
mentari yang menyegarkan, gelombang yang menggulung dalam bentuk awan panas itu
terus bergerak hingga mencapai jarak 100 km/segi.
Hiroshima
pun rata, 140.000 orang yang bermukim di wilayah itu tak ada yang tersisa
semuanya musnah seperti daerah Nagasaki yang juga bernasif sama. Dua pesawat
yang tadinya terbang kencang kini sudah tidak terlihat lagi, entah ke-2 pesawat
itu berhasil selamat atau malah ikut tenggelam ke dalam ledakan dasyat tadi.
*
10
Agustus 1945
Beberapa
orang laki-laki yang memiliki kepercayaan diri tinggi atas apa yang akan mereka
lakukan demi banyak orang itu terbang menggunakan pesawat menuju Dalat yang
terletak di sebelah timur laut Saigon, Vietnam. Mereka tahu bahwa hanya ini
kesempatan terbaik yang mereka miliki jika mereka menginginkan sebuah
kemerdekaan, saat terlemah yang dimiliki Jepang karena sebuah tragedi pemboman
oleh Amerika di Hiroshima itu memang harus dimanfaatkan sebaik mungkin.
Perjalanan
yang menempuh jarak 250 km itu hanya untuk bertemu dengan seorang laki-laki
Jepang yang bernama Marsekal Terauchi.
Soekarno,
Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat merekalah sosok-sosok itu, mereka harus
bergerak cepat sebelum semuanya terlambat.
Jauh
di jarak yang berbeda seorang laki-laki yang sedang duduk di atas bangku kayu
sambil mengaduk kopinya yang masih hangat tertegun mendengar sebuah berita yang
berasal dari sebuah radio tua di rumahnya. Kata kemerdekaan disebut-sebut dalam
pemberitaan itu, sebuah kata yang sangat dia rindukan dan inginkan, sebuah kata
yang terasa seperti mimpi palsu yang segera akan menjadi kenyataan.
Sutan
Syahrir menajamkan pendengarannya.
……Jepang telah menyerah pada
sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan, dan
menolak bentuk kemberdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang…..
Dengan
cepat dia bengkit dan meninggalkan kopinya di atas meja tanpa sempat
diminumnya. Tak ada waktu untuk meminum kopi itu, tak ada waktu yang lebih
penting selain pada waktu itu, dia berlari menuju sebuah tempat yang akan
mempertemukannya kepada teman-teman lainnya yang mendukung kemerdekaan yang
akan segera mereka dapatkan.
“Kita
akan merdeka!,” ucapnya tegas pada rekan-rekannya penuh semangat.
*
Surabaya,
18 September 1945
Merah
dan putih itulah warna yang mulai banyak berkibar di Surabaya, pasca
kemerdekaan atas Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan oleh Soekarno memicu
semangat seluruh rakyat Indonesia atas kepercayaan bahwa mereka memang akan
lepas dari penderitaan penjajah.
Topan
yang baru saja memasang bendera merah putih di samping jalan Tunjungan terdiam
ketika mendapati sebuah bendera lain yang membuat keningnya berkerut. Bendera
itu berkibar di tempat yang sangat tinggi dari pada banyak bendera lainnya yang
seragam.
Merah,
Putih, Biru, itulah warna bendera itu. Tiga warna yang membuat Topan berlari
kencang kembali ke rumahnya, tanpa lelah dia tidak berhenti, dia tahu apa yang
dilihatnya itu adalah hal penting yang harus diberitahukannya kepada
orang-orang yang ada di rumahnya.
“Belanda—,”
teriak Topan dengan nafas yang tidak teratur di sepanjang jalan menuju
rumahnya.
Orang-orang
yang mendengar kata-kata itu berlarian keluar rumah, memperhatiakn lesatan
Topan yang berlari menuju rumahnya.
“Belanda
mengibarkan benderanya dipuncak Yamato Hoteru—,” sambung Topan berteriak kepda
orang-orang.
Orang-orang
yang mendegar kata-kata Topan terkejut dan beberapa dari mereka berlari menuju
Yamato Hoteru untuk memastikan berita yang baru saja di bawa oleh Topan.
Beberapa
jam kemudian sekumpulan massa berkumpul di depan Yamato Hoteru, mereka marah
dengan tindakan orang Belanda yang terlah mengibarkan bendera Belanda tanpa
izin. Mereka semua menuntut untuk segera menurunkan bendera itu.
Topan
yang berada di antara kerumunan orang-orang terdiam ketika melihat sosok
seorang laki-laki dengan karisma yang begitu kuat bergerak maju menembus
kerumunan, sosok itu bergerak menuju ke arah pintu masuk Yamato Hoteru. Topan
sangat kenal dengan sosok itu. Residen
Soedirman. Ucapnya penuh kagum.
Soedirman
bersama dua rekannya Sidik dan Hariyono masuk kedalam Yamto Hoteru untuk
melakukan perundingan dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya.
“Kami
datang kesini untuk memberitahukan kepada anda agar segera menurunkan bendera
Belanda yang ada di puncak bangunan,” ucap Soedirman dengan tegas dan lantang.
“Dengan
berat hati kami tidak bisa mengabulkan permintaan kalian. Karena kami menganggap
bahwa Negara yang kalian sebut dengan nama Indonesia ini belum bisa menemukan
kemerdekaannya atas Belanda,” jawaban Mr. Ploegman dingin.
“Jika
adan tidak mau menurunkan bendera itu maka dengan sangat terpaksa kami akan
melakukan pemaksaan atas penurunan bendera itu. Karena bagi kami berkibarnya
bendera Belanda di negri kami Indonesia ini tanpa izin dari kami rakyat
Indonesia, adalah sebuah penghianatan atas kemerdekaan kami semua,” Soedirman
mengancam.
“Saya
akui kau dengan dua rekanmu sangatlah berani untuk datang kesini dan meminta
kami untuk menurunkan bendera kami, tapi saya mulai ragu bahwa kalian adalah
sosok pintar yang bisa berpikir jernih. Mengancam singa di kandang singa itu
sendiri, seperti mengantarkan makanan pada singa yang sedang kelaparan,” Mr.
Ploegman menarik sebuah pistol dan menodongkannya pada Soedirman.
“Pelurumu
tidak akan menghentikan kemerdekaan kami,” ucap Sidik sambil meloncat menerjang
Mr. Ploegman. Dan detik berikutnya suara letusan pistol memicu kegaduhan.
Soedirman
dan Hariyono berlari keluar dari Yamato Hoteru, saat mencapai luar mereka
melihat massa yang berebut naik ke atas bangunan menuju puncak banguann yang
terdapat bendera Belanda. Hariyono yang melihat sahabatnya Koesno Wibowo
berlari menuju puncak, kembali memasuki Yamato Hoteru, bersama mereka berdua
bergerak cepat hingga mencapai puncak, menurunkan bendera Belanda, merobek
bagian birunya dan kembali mengibarkan sisanya yang berwarna merah dan putih.
Kini sang pusaka kembali berkibar penuh semangat.
Soedirman
mendengar suara rintihan seseorang laki-laki di balik pintu depan Yamato
Hoteru, dia bergerak mencari suara itu. Suara itu berasal dari seorang pemuda
yang tergeletak di atas lantai dengan perut berdarah. Soedirman merunduk,
menghampiri pemuda tadi, dengan resah dia berucap.
“Kita
telah merebut kemerdekaan itu!.”
“Saya
merasakan sakit,” ucap Pemuda tadi.
Soedirma
mencengram jemari pemuda tadi kemudian bertanya pelan. “Siapa namamu pemuda?,”
Soedirman tahu bahwa pemuda itu banyak kehilangan darah, detik-detik terakhir
hidupnya akan segera datang.
Dengan
senyum yang dipaksakan pemuda itu berkata. “Nama saya Topan, jika saya mati
disini maka beritahukanlah pada keluarga saya bahwa saya mati untuk berjuang
atas kemerdekaan Indonesia.”
Dan
sejalan dengan waktu yang terus berlalu, maka jasad Topan pun tak mampu menahan
roh yang akhirnya bebas menuju surga.
*
10
Nopember 1945
Fakta :
Terbunuhnya
Brigadir Jenderal Mallaby di dalam mobil yang akhirnya di gantikan oleh Mayor
Jenderal Robert Mansergh. Jendral pengganti ini mengeluarkan ultimatum yang
menyebutka bahwa orang Indonesia yang memiliki senjata harus menyerahkan sejata
mereka sebelum jam 6.00 pagi pada tanggal 10 nopember 1945.
Seluruh
rakyat Indonesia menolah ultimatum itu, mereka memilih untuk melakukan
perlawanan untuk mempertahankan kemerdekaan mereka. Keputasan rakyat Indonesia
itu pun akhirnya berujung pertempuran besar yang banyak menjatuhkan korban
jiwa.
Sekitar
6.000 – 16.000 pejuang Indonesia tewas dan 200.000 sipil mengungsi dari
Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kurang lebih sebanyak 6.00 –
2.000 tentara.
Akibat
pergerakan penuh semangat dalam pengusiran para penjajah di Surabaya ini maka
masyarakat di seluruh Indonesia pun melakukan perlawanan terhadap penjajah dan
mempertahankan kemerdekaan.
10
Nopember 1945 akhirnya menjadi hari Pahlawan yang bertujuan untuk mengenang
seluruh korban yang telah berjasa besar untuk kemerdekaan Indonesia.[]
NB : Masihkah kita merdeka?. Semoga
Presiden SBY mempunyai waktu luang untuk membaca cerpen singkat ini, seperti
waktu luang yang sering beliau miliki untuk menciptakan lagu dan bernyanyi di
Istana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!