20 Mar 2012

I Look to You


Sebelum orang-orang bubar dan pulang, lelaki yang sejak tadi hanya berdiri tanpa bicara itu, berpaling untuk pergi, tanpa mengucapkan selamat tinggal, tanpa mengucapkan turut berduka cita atas seseorang yang telah tiada pada orang-orang yang ditinggalkan. Dia hanya pergi hingga mencapai pohon besar ketiga yang berjarak sangat jauh dari tempat dia tadi berdiri. Seolah bersembunyi di balik pohon tadi, lelaki itu bersandar terlihat merapuh, dilepasnya kaca matanya kemudian disapunya air mata yang hampir mengalir ke pipinya, lalu dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya sambil melampiaskan kesedihannya yang tidak lagi mampu terbendung.
~
30 tahun yang lalu
Di dalam taksi sepasang suami istri itu tidak juga saling bicara, keduanya menjaga jarak, keduanya memandang kearah jendela mobil yang berlawanan. Keduanya terbenam di dalam pikiran mereka yang mulai kacau. Ketika taksi berhenti di depan sebuah rumah di sebuah perkomplekan yang sepi, keduanya keluar dan berjalan tidak beriringan.
Matt tidak mau bertanya, dia hanya diam dengan tingkah istrinya yang tidak bisa dimengerti olehnya. Begitu juga halnya dengan Sabrina yang diam seribu bahasa, tanpa mau mengutarakan hal yang membuat dirinya kesal dan marah terhadap Matt.
Ketika memasuki rumah, Matt langsung melepas setelan jasnya menggantinya dengan pakaian tidur kemudian berbaring dengan nafas yang dihelanya panjang. Sedangkan Sabrina setelah mengganti bajunya dia duduk di shopa sambil menonton tv dengan wajah cemberut. Hingga larut malam Maat tertidur sedangkan Sabrina tertidur di atas shopa dengan tv masih menyala.
Tiba-tiba Matt terbangun dia mencari Sabrina yang seharunya berada di sampingnya. Saat itulah dia mulai sadar bahwa Sabrina kali ini tidak main-main dengan kemarahan itu. Dengan sangat malas Matt bangkit, menuju kearah shopa, dia melihat Sabrina tertutup selimut meringkuk dengan mata terpejam tenang. Dimatikannya tv kemudian dia menuju dapur yang terletak bersebelahan dengan ruang tv. Dia mulai membuat spagety telur.
15 menit kemudian spagety masak, sepiring spagety di bawanya keruang tv, diletakkannya di atas meja sambil duduk di dekat kaki Sabrina yang meringkuk. Perlahan dibangunkannya Sabrina, hingga akhirnya Sabrina terpaksa bangkit.
“Aku membuatkanmu spagety!,” ucap Matt sambil tersenyum dan menyalakan kembali tv dengan remot.
Tanpa bertanya lagi, Sabrina duduk dan mulai melahap spagety yang memang terasa enak itu. “Bisa ambilkan aku minum?,” pinta Sabrina tanpa menoleh kearah Matt. Setelah dia minum barulah Sabrina berucap lagi. “Aku lupa bahwa aku sedang marah denganmu!,” ucapnya tiba-tiba.
Matt menenggelamkan senyumnya dan mulai memasang wajah serius. “Bisakah kau jelaskan mengapa kau marah denganku?.”
Sabrina meletakkan gelas yang dipegangnya dan dengan suara yang agak dikecilkannya dia berucap. “Aku hanya tidak suka dengan wanita yang kau ajak bicara saat di pesta tadi. Dia terlihat menggodamu!.”
Kali ini Matt baru mengerti permasalahan yang sedang terjadi. “Iren maksutmu?. Dia hanya teman lamaku saja, teman waktu kuliah dulu, dia akan menikah 2 bulan lagi.” Matt memberikan pejelasan.
Sabrina terdiam sejenak berpikir. “Aku tidak bermaskud—,” kata-katanya terhenti. “Aku hanya takut kehilanganmu, aku hanya takut kau direbut dari hidupku.”
Matt tersenyum. “Aku juga takut kehilanganmu,” dipeluknya Sabrina kemudian dibisikinya dengan nada menggoda. “Kembalilah ketempat tidur, aku kedinginan jika kau tinggal sendiri.”
“Tapi aku harus menghabiskan spagety yang kau buat,” balasnya dengan nada menggoda pula.
Matt melepaskan pelukannya dan masih tersenyum ketika melihat istri yang sangat disayanginya itu menikmati spagety buatannya. “Kau tahukan sudah 3 tahun kita menikah—,” ucapan itu membuat Sabrina berhenti makan dan memandang kearah Matt. “Aku hanya ingin kita saling bicara ketika kita memiliki sebuah masalah. Aku hanya ingin kita saling jujur dan percaya satu sama lainnya.”
Sabrina tersenyum. “Ya aku mengerti.”
~
Hujan merintik, di balik payung hitam berdiri seorang lelaki tua dengan stelan kemeja rapi, lelaki itu bergerak melintasi pagar sebuah rumah yang tidak terlalu besar, pagar kayu rendah sepinggang itu membatasi jalanan dengan halaman rumah yang hijau berhias rumput terawat. Setiap langkah dari lelaki tua tadi selalu saja menginjak dedaunan tua akasia yang sudah lama rontok dari pohonnya yang cukup besar. Dan tiba-tiba langkah itu berhenti di depan sebuah pintu pagar sebuah rumah. Pintu pagar itu tidak terkunci, dia masuk kemudian berdiri di depan pintu rumah sambil mengetuk pintu beberapa kali.
Sebuah langkah terdengar dari dalam rumah. Langkah kecil yang berlari pelan, gagang pintu berputar dan beberapa detik kemudian pintu terbuka. Seorang bocah kecil membukakannya pintu. Belum sempat lelaki tadi bertanya pada bocah yang baru berusia kurang lebih 5 tahun itu, sebuah suara yang tidak asing di telinga lelaki tua tadi bertanya dari dalam dengan nada yang semakin mendekat.
“Siapa itu sayang?.”
Ketika bocah tadi berpaling ingin memberitahu, sosok perempuan tua terlihat bergerak mendekat kearah mereka. Tatapan perempuan tua tadi terkejut, seakan dia tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Ketika keduanya sudah sangat dekat berpandangan, tak ada kata yang bisa terucap, perempuan tua tadi hanya bisa menutup mulutnya tidak percaya.
“Bolehkan aku masuk?,” tanya lelaki tua tadi tiba-tiba.
Perempuan tadi menganguk sambil menarik bocah tadi kedekatnya dan memberikan ruang pada lelaki tua tadi untuk masuk.
“Maaf jika aku datang mengejutkanmu,” ucap lelaki tua tadi kemudian.
~
Telepon genggam Sabrina berdering. Sabrina yang sedang membuka-buka majalah sambil bermalas-malasan menerima panggilan tadi. Panggilan itu dari ibunya.
“Hay, sayang. Bagaimana kabarmu?.”
“Baik. Tidak ada yang bisa dilakukan!.”
“Mana Matt?.”
“Dia sedang keluar kota, urusan pekerjaan.”
“Kau bisa berkunjung ke rumah siang ini?.”
“Siang ini ingin ke perpustakaan mengembalikan beberapa buku, bagaimana jika sore saja?.”
“Okey, Mama menunggu kedatanganmu.”
…..
Pagi pun akhirnya berlalu, siang pun datang begitu saja. Sabrina merapikan beberapa buku yang ada di atas meja kamar, memasukkannya ke dalam tas plastik untuk dikembalikan ke perpustakaan. Dia langsung menuju ke perpustakaan umum yang tidak terlalu jauh dari rumahnya, dia pun hanya berjalan kaki santai.
Perpustakaan senyap seperti biasanya, walau ada cukup banyak orang yang sedang asik membaca dan mencari buku. Sabrina mengembalikan buku yang dipinjamnya dan berencana untuk meminjam lagi. Dia menyusuri rak buku yang penuh dengan novel-novel lama yang beberapa dari novel tadi memiliki sampul yang kumal atau bahkan sobek.
Never Let Me Go karya Kazuro Ishiguro, Suite Francaise karya Irene Nemirovsky, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karya Hamka dan ada banyak lagi novel-novel luar biasa lainnya berjejer di hadapan Sabrina, begitu pula dengan karya-karya Shakespeare yang melagendaris, lengkap tersusun rapi.
Sabrina menarik buku karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Memutar buku tadi untuk membaca synopsis cerita dibelakangnya. Tiba-tiba seseorang berucap di sebelahnya,
“Seleramu masih tak ubah!.”
Sabrina menoleh kesamping, kearah lelaki seumurannya yang berkomentar tentang dirinya. Wajah itu begitu mengejutkan dan tidak asing di mata Sabrina.
“Sam?.” Ucap Sabrina yang hampir menjatuhkan buku yang ada di tangannya.
“Hay….apa kabarmu?.” Tanya lelaki yang ternyata bernama Sam tadi.
“Hay….apa yang kau lakukan di sini?,” Sabrina terlihat masih tak percaya.
“Sudah lama kita tidak bertemu.”
“Ya, 3 tahun yang lalu,” ucap Sabrina yang akhirnya tersenyum.
“Ya, setelah kau menikah. Bagaimana dengan Matt?.”
“Baik. Maksudku kami baik-baik saja. Saat ini dia sedang berada di luar kota. Kau belum menjawab pertanyaanku ; apa yang kau lakukan di sini?.”
Sam tersenyum. “Mencari buku!,” ucapnya bercanda.
“Bukan, maksudku dalam rangka apa kau ke kota ini?.”
“Hanya berkunjung!.”
“Berapa lama?.”
“Beberapa hari. Aku tak bisa memastikannya.” Kali ini Sam tertawa kecil.
“Apa kau sudah menikah?,” tanya Sabrina tiba-tiba.
Kali ini Sam benar-benar tertawa. “Tidak. Semejak berpisah denganmu aku selalu sulit untuk jatuh cinta—.”
Keadaan hening sejenak. Seakan lidah Sabrina kalu untuk menjawab, walau akhirnya dengan tergugup-gugup diucapkannya juga kata-kata itu. “Ya itu 3 tahun yang lalu, dan sekarang aku sudah menikah.”
~
Matt mengetuk pintu sebuah kamar, kamar itu bernomor 132. Tak lama kemudian seseorang membukakannya pintu, seorang laki-laki agak kurus dengan rambut terbelah tengah.
“Mau ikut minum kopi denganku?,” ajak Matt pada rekan kerjanya itu.
“Oh, tidak aku hanya masih mempersiapkan persiapan untuk persentasi kia besok.”
Matt mengerutkan keningnya. “Bukankah sudah selesai?.” Tanyanya heran.
“Hanya ingin memastikan bahwa semuanya akan berjalan lancar.”
“Okey, hubungi aku bila kau membutuhkanku. Aku ada di bawah.”
….
Matt menuju lift dan ketika pintu lift terbuka dengan ekspresi terkejut Matt berucap pada seorang perempuan yang juga memiliki ekspresi sama dengannya.
“Iren?!.”
“Waw….apa yang kau lakukan di sini?,” pertanyaan itu bernada curiga.
“Pekerjaan. Kau mau kemana?.”
“Kelantai bawah, minum kopi. Kau?.” Tanya Iren balik.
“Aku juga, bagaimana jika aku meneraktirmu?.” Ajak Matt sambil tersenyum.
Iren hanya tersenyum sambil menekan nomor paling bawah agar lift bergerak cepat meluncur ke bawah. Malam itu mereka berdua berbincang hingga larut malam, ada banyak hal yang mereka bicarakan, mulai dari masalah pekerjaan mereka hingga tentang masa lalu mereka waktu kuliah dulu.
“Aku tak menyangka akan bertemu denganmu di sini, padahal baru 3 hari yang lalu kita bertemu.” Iren berkomentar.
“Mungkin takdir,” ucap Matt spontan.
“Andai saja takdir itu terjadi saat kita kuliah dulu,” wajah Iren terlihat memerah.
“Hmmm…kupikir juga begitu. Tapi mungkin tidak seperti itu.” Ucapnya pula sambil menggelengkan kepalanya.
“Mungkin aneh rasanya menghabiskan malam bersama seorang yang sudah beristri dan aku beberapa bulan lagi juga akan menikah. Tapi, seperti yang kau ucapkan tadi ini bagian dari takdir,” Iren tersenyum.
Matt terdiam sejenak, seakan dia baru menyadari sesuatu, ada yang salah dalam dirinya, pada apa yang baru saja dilakukannya beberapa menit yang lalu. “Aku ingin ke kamar kecil sebentar,” Matt bangkit dan meninggalkan Iren sejenak.
Di kamar kecil Matt bersandar sejenak. Apa ini termasuk hitungan?. Tanyanya pada dirinya sendiri sambil mengeluarkan telepon genggamnya dan langsung menghubungi istrinya. Cukup lama dia menunggu tapi tidak juga mendapatkan jawaban hingga akhirnya dia berhenti dan membasuh wajahnya dengan air. Di tatapnya wajahnya di depan cemin sambil berucap pelan. “Tidak akan terjadi apa-apa malam ini!.” Kemudian dia kembali menghampiri Iren.
~
“Mengapa tidak diangkat?.” Tanya Sam sambil mengerutkan kening.
“Tidak, hanya tidak enak saja menerima telepon di saat kita sedang makan malam seperti ini,” jawabnya jujur.
Sam tersenyum. “Tak apa jika memang penting!.”
“Hanya Ibuku saja, biasa dia hanya khawatir jika aku sendirian di rumah.” Sabrina mencoba mengalihkan pembicaraan. “Apa yang sedang kau kerjakan saat ini?.”
Sam meneguk minumannya kemudian berpikir sejenak untuk memberikan jawaban. “Aku sedang menyelesaikan sebuah novel.”
Sabrina sedikit terkejut dengan pernyataan Sam. “Kau bercanda?. Tentang apa?.”
“Tentang sulitnya melupakan cinta.” Sam melarikan pandangannya seakan sedang menyembunyikan ekspresi wajahnya yang memurung tiba-tiba. “Mungkin bisa ku ucapkan bahwa novel ini ada karena hubungan kita dulu. Sulit bagiku melupakanmu. Maafkan aku juka aku jujur tentang hal ini.”
Sabrina mulai merasa tidak enak. “Tak apa. Semoga cepat selesai dan aku bisa membacanya.” Dipaksakannya tersenyum.
“Mungkin aku terlalu bodoh dan penakut untuk bertindak cepat, membiarkan kau sendiri dalam waktu yang cukup lama sehingga Matt pun hadir di dalam kehidupanmu. Aku berfirasat waktu itu jika aku melamarmu maka kau akan menolakku.”
“Andai waktu itu kau datang lebih dulu mungkin aku tidak akan melakukan seperti yang kau firasatkan. Aku terus menunggu. Tapi sekarang semuanya sudah berbeda, Sam.”
Sam menatap Sabrina dengan wajah serius. “Apakah cinta itu masih ada?.”
Pertanyaan itu menjadi sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab bagi Sabrina. Cukup lama dia berpikir hingga akhirnya dia berusahan untuk jujur mengikuti apa yang sedang ada di dalam pikirannya. “Kadang cinta dan benci itu hanya berbeda tipis, sehingga kita sering kali sulit untuk membedakan kedua perasaan itu. Tapi jika boleh aku jujur, ada kalanya pikiranku dipenuhi oleh kenangan kita, dan waktu untuk itu terasa lebih sering datang seakan aku menuntut sebuah harapan. Tapi kemudian semua itu hilang ketika aku menyadari bahwa Matt adalah suamiku, seseorang yang harus aku cintai sepenuhnya.”
~
Di dalam lift Matt dan Iren berdiri bersebelahan, selain mereka berdua ada sepasang suami istri yang juga bersama mereka. Iren merapat pada Matt kemudian dengan tiba-tiba menggandeng lengan Matt. Matt menoleh sejenak kearah Iren sambil tersenyum dan membiarkan posisi mereka semakin dekat. Tak lama kemudian pintu lift terbuka, pasangan suami istri yang terlihat sangat mesra tadi keluar, sedangkan Matt dan Iren masih ingin menuju tiga lantai lagi.
“Lama sekali kita tidak sedekat ini.” Iren mulai berkomentar.
“Mungkin seharusnya ini tidak terjadi,” nada bicara Matt terdengar meresah.
Iren melepaskan pegangannya pada lengan Matt dan memberi jarak selangkah di antara mereka. “Maafkan aku jika membuatmu merasa tidak nyaman.” Iren menunduk.
Matt menghela nafas cukup panjang. “Maafkan aku juga, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya teringat Sabrina!.”
“Apa yang biasanya dia lakukan bila kau tidak ada?.”
“Melakukan segalanya seperti saat aku ada di dekatnya. Tapi entahlah tak ada yang bisa memberikan kepastian.” Matt diam sejenak untuk berpikir. “Mungkin ini terdengar tak baik buatmu, tapi entah mengapa aku merasa perlu memberitahumu. Saat kita berjumpa di pesta waktu itu saat pulang Sabrina marah denganku. Dia cemburu—.” Matt melirik kearah Iren menunggu respon dari perempuan itu.
“Benarkah?.” Iren tersenyum kecil. “Itu tandanya dia mencintaimu. Tapi aku benar-benar minta maaf jika hal itu membuatnya marah. Sedikit pun aku tidak bermaksud seperti itu.”
“Tak apa, semuannya sudah membaik. Dia bisa mengerti setelah kujelaskan semuanya padanya. Kau benar, mungkin itu pertanda bahwa dia benar-benar mencintaiku, dia takut kehilanganku.”
“Matt, bolah aku bertanya sesuatu!.” Iren menunggu Matt mengangguk kemudian dia melanjutkan kata-katanya. “Saat di pesta waktu itu apa kau senghaja memelukku waktu itu, aku hanya bingung, karena waktu itu aku bisa merasakan debar jantungmu yang menguat.”
“Aku senghaja melakukannya. Tapi aku tidak bermaksud apa-apa. Aku merasa gugup saja setelah lama tidak sedekat itu denganmu dan tiba-tiba kau seakan hadir lagi dalam kehidupanku.”
“Dan saat Sabrina datang menghampiri kita, kau langsung melepaskan pelukanmu. Mungkin itu yang membuatnya marah denganmu. Tapi jika aku boleh jujur saat itu aku merasakan sesuatu yang berbeda di antara kita.”
Pintu lift terbuka, Matt dan Iren keluar bersama-sama, Iren menunjukkan kamarnya kemudian membuka pintu kamarnya. Matt berdiri di depan pintu, dia hanya memperhatikan Iren dari luar.
“Matt masuklah, kau tidak akan berdiri di situ terus kan.” Ucap Iren sambil tertawa kecil yang kemudian membuka kopernya dan mengambil sebuah sweater berwarna coklat mudaa tanpa corak.
“Ku kira hanya sebenatar,” ucap Matt berpendapat.
Iren kembali menghampiri Matt lalu kembali menutup dan mengunci pintu kamarnya. “Kau belum pernah kan ke taman tengah kota di malam hari disini?.” Tanya Iren yang membuka topik baru dalam percakapan mereka.
Malam itu mereka berdua berjalan-jalan di taman kota yang berada tidak jauh dari hotel tempat mereka menginap. Lampu-lampu taman yang berjejer rapi memberikan keindahan di malam yang begitu tenang. Hingga akhirnya mereka berdua sampai pada sebuah bangku besi panjang yang diterangi oleh cahaya lampu yang sedikit meredup. Mereka berdua duduk di sana dan melanjutkan perbincangan mereka lagi.
“Apa pernah terpikir olehmu untuk berselingkuh?,” tanya Iren sambil tersenyum.
“Apa ini pertanyaan menjebak?,” balas Matt cepat.
“Tergantung bagaimana kau mengartikannya.”
“Jika kau bertanya pernah atau tidak maka aku akan jujr bahwa aku tidak pernah melakukannya dan bahkan tidak inign hal itu terjadi pada diriku. Apa kau pernah?.”
Iren tertawa mendengar pertanyaan balik yang tidak terduga itu. Dia hanya menggelengkan kepalanya. “Hingga detik ini mungkin tidak. Tapi malam masih panjang dan belum berakhir.”
Matt memeluk Iren untuk merapatkan tubuhnya yang mulai merasa kedinginan. Iren bersandar ke dada Matt. Dan dengan perlahan seperti berjalannya waktu, berawal dari pelukan hangan berlanjut kepada ciuman dalam yang semakin membuat keduanya larut di dalam kesalahan malam yang seharusnya tidak pernah terjadi.
~
Aroma teh yang harum masih belum hilang dari penciuman, sama seperti asapnya yang masih terlihat oleh mata, menari-nari di atas secangkir teh yang ada di hadapan lelaki tua yang masih saja sepi menunggu sebuah pertanyaan keluar dari mulut perempuan tua yang duduk di seberangnya. Tapi semakin di tunggu maka satu pertanyaan pun belum juga terlontar, hingga akhirnya lelaki tua tadi memulai dengan suara yang serak dan sedikit tegas.
“Bagaimana kabarmu?,” tanyanya sopan.
“Tidak begitu baik. Mungkin kau tahu apa yang baru saja terjadi dalam hidupku.” Jawab perempuan tua tadi dengan wajah menunduk.
“Tak terasa sudah kurang lebih 30 tahun waktu berlalu—.” Kata-kata itu terhenti begitu saja. Kemudian dilanjutkan dengan suara teh di sedu. “Bagiku waktu selama itu adalah waktu terberat untuk menghadapi kesalahan keputusan yang pernah aku terima.”
“30 tahun yang sangat berat. Ada banyak harapan yang pernah muncul di saat waktu-waktu itu berjalan.” Balas perempuan tua tadi dengan wajah masih menunduk.
“Iya, kadang aku berharap semuanya hal berat itu tidak pernah terjadi di dalam hidupku—”
“Hidup kita!.” Sambung perempuan tua tadi tiba-tiba.
“Hidup kita,” ucap lelaki tua tadi mengulangi.
~
Makan malam romentis yang tidak pernah direncanakan sebelumnya itu berakhir begitu saja, seperti malam yang juga akhirnya akan berakhir dengan tergantikan oleh siang. Di depan lestoran tempat mereka makan malam, Sabrina berdiri, di sampingnya Sam merangkul lengannya. Hujan merintik membuat suasana malam menjadi dingin.
“Andai malam ini bisa aku ulang terus menerus, maka akan ada lebih banyak malam yang akan aku lewati dalam hidupku ini,” ucap Sam sedih.
Sabrina menguatkan rangkulannya. “Aku berharap ini semua tidak pernah berakhir, Sam.”
Di kecup oleh Sam pipi kiri Sabrina mesra, kemudian dia berbisik. “Aku mencintaimu.”
Sabrina menangis walau tanpa suara, perlahan direlakannya lengan Sam melonggar dari jabatan mereka, membiarkan tubuh Sam bergerak perlahan menjauh. Di bawah hujan yang rintik itu perpisahan terjadi, sebuah taksi berhenti menjemput Sam, dan detik berikutnya Sam hanya bisa memandang Sabrina lewat kaca mobil yang memburam karena tetesan hujan yang membasahinya
Yang pergi itu hanya raga mereka, tapi hati mereka masih merasa.
~
Pagi datang dengan sangat dingin. Matt menyingkap selimut tebal yang membuatnya hangat, kemudian berpaling sejenak ke samping kanannya. Iren berbaring disampingnya tanpa busana. Iren juga terbangun dan cukup lama memandangi Matt.
“Terima kasih untuk malam yang sudah berlalu,” bisik Iren sambil tersenyum.
Matt tidak berucap apa-apa, dia bangkit dan mulai mengenakan kembali celana dan kemejanya. Sejenak melihat kearah jam tangannya. “Aku harus kembali ke kamarku dan mempersiapkan pertemuan hari ini.”
Ketika Matt ingin bergerak keluar, Iren menghampirinya dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Diciumnya Matt dalam hingga akhirnya dia pun ditinggal sendirian di kamar hotelnya.
Sepanjang perjalanan Matt menuju kamarnya, pikirannya dihantui oleh banyak perasaan bersalah dan hingga dia sudah berada di dalam kamarnya dan mandi pun dia masih berpikir keras tentang apa yang baru saja terjadi malam itu. Ada dosa besar terasa mengganjal di dalam hidupnya ketika segala yang pernah dipertahankan olehnya tiba-tiba buyar oleh sebuah kesalahan yang sangat ceroboh. Andai saja malam tadi tidak pernah terjadi. Pikirnya penuh sesal.
Selesai mandi Matt langsung menghampiri kamar rekan kerjanya, mengetuknya beberapa kali dengan perasaan yang masih gelisah. Ketika pintu kamar itu terbuka Matt langsung menceritakan niat dadakan yang ingin dilakukannya. Dan beberapa jam kemudian dia sudah berada di dalam kereta, duduk tersandar sambil memandangi pemandangan luar yang melesat berubah-ubah. Matt pun semakin tenggalam ke dalam perasaan yang penuh salah.
~
30 tahun kemudian
Sudah sangat lama waktu berlalu, dan ketika mereka kembali bertemu semuanya hanya terbingkai di dalam kisah yang sejenak. Tak ada banyak pembicaraan yang bisa mereka ungkapkan, walau kenyataannya hati mereka terus saja mendorong mereka berdua untuk mencipta suara-suara sumbang penuh tanya.
Matt yang sudah sangat tua bergerak perlahan menuju pintu keluar untuk berpamitan, Perempuan yang dikunjunginya tidak lain adalah mantan istrinya, Sabrina yang masih dicintai olehnya. Ketika hampir mencapai pintu Matt membuka mulut untuk bicara lagi.
“Sulit bagiku untuk mengatakan ini. Tapi daripada hal ini terus mengganjal di dalam hatiku dan terus membuatku tidak tenang, maka aku akan memberitahumu.” Dia mengambil nafas lebih panjang daripada biasanya. “Setelah aku membatalkan pertemuan hari itu, aku meminta pada Jhon untuk melakukan persentasi sendiri hari itu. Aku memberitahunya bahwa saat itu kau membutuhkanku. Padahal kenyataannya adalah aku yang membutuhkanmu. Aku harus segera menemuimu dan memberitahumu tentang kenyataan yang terjadi malam itu. Dan aku masih menyesal atas semua itu hingga hari ini. Kejadian itu tidak pernah aku harapkan pernah terjadi, tapi semua itu ternyata adalah fakta yang akhirnya membuat perpisahan dalam hidup kita. Apakah kau bisa memaafkanku?.” Tanya Matt sungguh-sungguh.
Mata Sabrina mulai meradang, dipegangnya jemari Matt, kemudian dia berucap. “Sejak lama aku sudah memaafkanmu. Dan sejak lama itu juga aku merasa bersalah karena tidak pernah jujur tentang sebuah kejadian yang terjadi saat kau pergi waktu itu. Saat kau keluar kota aku berjumpa dengan Sam, semuanya tanpa senghaja di sebuah perpustakaan, kami makan malam dan membicarakan tentang perasaan kami, walau akhirnya tidak terjadi apa-apa di antara kami berdua.”
Matt kaku bagaikan patung. Sebuah rahasia terungkap hari itu. “Mengapa kau tidak menceritakannya sejak dulu?.” Nada bicara Matt terdengar penuh emosi.
“Karena aku terlanjur marah dengan perselingkuhan yang telah kau lakukan. Kau datang dan terus bicara dengan penuh sesal tentang apa yang terjadi antara kau dengan Iren, sehingga aku tidak pernah memiliki kesempatan untuk memberitahumu tentang pertemuanku dengan Sam.”
“Dan akhirnya kau pun menikah dengan Sam!.” nada bicara Matt semakin mengeras.
“Maafkan aku Matt, aku tak mungkin mengulang semua waktu yang sudah berlalu berpuluh tahun yang lalu.” Ucap Sabrina yang akhirnya menangis penuh sesal.
“Kau benar, tak ada yang bisa mengubah segala yang sudah terjadi.” Ucapnya mulai menyadarinya. “Segala kesalahan yang telah terjadi adalah kesalahan. Yang bisa kita lakukan saat ini hanyalah belajar dari banyak kesalahan yang pernah kita lakukan.”
Matt dan Sabrina mulai bergerak keluar rumah, mereka berjalan sejenak di halaman rumah yang tidak terlalu luas, dan ketika mencapai pintu pagar Matt berucap lagi.
“Aku turut berduka cita atas kepergian Sam beberapa hari yang lalu.”
“Terima kasih atas itu,” jawab Sabrina sambil tersenyum. “Bagaimana kehidupanmu?.” Tanyannya pula.
“Seperti yang kau lihat saat ini, aku masih sendiri. Setelah kita berpisah aku tidak pernah menikah lagi, aku menghabiskan seluruh waktuku untuk mengetahui apa yang terjadi dengan hidupmu.”
“Bagaimana dengan Iren?.” Tanya Sabrina tiba-tiba.
“Dia menikah dengan kekasihnya, dan minggu lalu dia meninggal dunia karena serangan jantung. Aku tidak pernah menemuinya setelah kejadian itu, bahkan ketika dia sakit aku hanya mendengarnya dari salah satu temanku. Kau tahu mengapa aku tidak menikah lagi?.”
Sabrina menggelengkan kepalanya tanda tidak tahu.
“Karena aku selalu berharap kau bisa kembali ke dalam kehidupanku, bersamaku hingga ajal menjemputku kelak. Dan ini sudah sangat lama berlalu, sudah menjadi sebuah sejarah yang masih berselimutkan harapan tentang dirimu.”
“Kadang kita tidak pernah mengerti cinta, tapi cintalah yang sering kali berusaha memberikan pengertian kepada kita.” Sabrina berpendapat. “Mungkin harapan itu tidak hanya ada dalam hidupmu, tapi juga ada dalam hidupku sejak sekian lama yang hanya terpendam tanpa suara.”
Perjumpaan yang lama tertunda itu akhirnya berakhir begitu saja. Matt pulang menyusuri jalan sepi yang berhiaskan dedaunan kering sedangkan Sabrina yang hanya bisa terduduk di dalam kamarnya dengan tangis penuh penyesalan. Dalam kurun waktu yang begitu lama akhirnya cinta itu membuktikan dan mengajarkan sebuah pemaafan yang seharusnya mereka lakukan sejak lama, sejak waktu tidak terlalu terasa menyiksa jiwa.[LSJR]
NB ; untuk Cita, Maysa dan Arya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!