Di
balik kerumunan orang-orang yang penuh sedih, sosok itu berdiri kaku, mencoba
mengintip dari sela-sela tubuh yang terbalut setelan hitam tanda berkabung.
Sosok tadi seorang laki-laki tua dengan kaca mata bundar berlenca tebal bergagang coklat. Dari balik kaca matanya, terlihar
warna putih kemerahan yang bercampur dengan cairan hangat membentuk kaca-kaca
kesedihan. Tatapannya megarah pada sosok perempuan tua seumuran dengannya yang
berdiri paling depan dengan tangis tersedu yang terdengar jelas. Tangisan
kehilangan.
Sebelum
orang-orang bubar dan pulang, lelaki yang sejak tadi hanya berdiri tanpa bicara
itu, berpaling untuk pergi, tanpa mengucapkan selamat tinggal, tanpa
mengucapkan turut berduka cita atas seseorang yang telah tiada pada orang-orang
yang ditinggalkan. Dia hanya pergi hingga mencapai pohon besar ketiga yang
berjarak sangat jauh dari tempat dia tadi berdiri. Seolah bersembunyi di balik
pohon tadi, lelaki itu bersandar terlihat merapuh, dilepasnya kaca matanya kemudian
disapunya air mata yang hampir mengalir ke pipinya, lalu dia menutup wajahnya
dengan kedua telapak tangannya sambil melampiaskan kesedihannya yang tidak lagi
mampu terbendung.
~
30
tahun yang lalu
Di
dalam taksi sepasang suami istri itu tidak juga saling bicara, keduanya menjaga
jarak, keduanya memandang kearah jendela mobil yang berlawanan. Keduanya
terbenam di dalam pikiran mereka yang mulai kacau. Ketika taksi berhenti di
depan sebuah rumah di sebuah perkomplekan yang sepi, keduanya keluar dan berjalan
tidak beriringan.
Matt
tidak mau bertanya, dia hanya diam dengan tingkah istrinya yang tidak bisa
dimengerti olehnya. Begitu juga halnya dengan Sabrina yang diam seribu bahasa,
tanpa mau mengutarakan hal yang membuat dirinya kesal dan marah terhadap Matt.
Ketika
memasuki rumah, Matt langsung melepas setelan jasnya menggantinya dengan
pakaian tidur kemudian berbaring dengan nafas yang dihelanya panjang. Sedangkan
Sabrina setelah mengganti bajunya dia duduk di shopa sambil menonton tv dengan
wajah cemberut. Hingga larut malam Maat tertidur sedangkan Sabrina tertidur di
atas shopa dengan tv masih menyala.
Tiba-tiba
Matt terbangun dia mencari Sabrina yang seharunya berada di sampingnya. Saat
itulah dia mulai sadar bahwa Sabrina kali ini tidak main-main dengan kemarahan
itu. Dengan sangat malas Matt bangkit, menuju kearah shopa, dia melihat Sabrina
tertutup selimut meringkuk dengan mata terpejam tenang. Dimatikannya tv
kemudian dia menuju dapur yang terletak bersebelahan dengan ruang tv. Dia mulai
membuat spagety telur.
15
menit kemudian spagety masak,
sepiring spagety di bawanya keruang
tv, diletakkannya di atas meja sambil duduk di dekat kaki Sabrina yang
meringkuk. Perlahan dibangunkannya Sabrina, hingga akhirnya Sabrina terpaksa
bangkit.
“Aku
membuatkanmu spagety!,” ucap Matt
sambil tersenyum dan menyalakan kembali tv dengan remot.
Tanpa
bertanya lagi, Sabrina duduk dan mulai melahap spagety yang memang terasa enak itu. “Bisa ambilkan aku minum?,”
pinta Sabrina tanpa menoleh kearah Matt. Setelah dia minum barulah Sabrina
berucap lagi. “Aku lupa bahwa aku sedang marah denganmu!,” ucapnya tiba-tiba.
Matt
menenggelamkan senyumnya dan mulai memasang wajah serius. “Bisakah kau jelaskan
mengapa kau marah denganku?.”
Sabrina
meletakkan gelas yang dipegangnya dan dengan suara yang agak dikecilkannya dia
berucap. “Aku hanya tidak suka dengan wanita yang kau ajak bicara saat di pesta
tadi. Dia terlihat menggodamu!.”
Kali
ini Matt baru mengerti permasalahan yang sedang terjadi. “Iren maksutmu?. Dia
hanya teman lamaku saja, teman waktu kuliah dulu, dia akan menikah 2 bulan
lagi.” Matt memberikan pejelasan.
Sabrina
terdiam sejenak berpikir. “Aku tidak bermaskud—,” kata-katanya terhenti. “Aku
hanya takut kehilanganmu, aku hanya takut kau direbut dari hidupku.”
Matt
tersenyum. “Aku juga takut kehilanganmu,” dipeluknya Sabrina kemudian
dibisikinya dengan nada menggoda. “Kembalilah ketempat tidur, aku kedinginan
jika kau tinggal sendiri.”
“Tapi
aku harus menghabiskan spagety yang
kau buat,” balasnya dengan nada menggoda pula.
Matt
melepaskan pelukannya dan masih tersenyum ketika melihat istri yang sangat
disayanginya itu menikmati spagety
buatannya. “Kau tahukan sudah 3 tahun kita menikah—,” ucapan itu membuat
Sabrina berhenti makan dan memandang kearah Matt. “Aku hanya ingin kita saling
bicara ketika kita memiliki sebuah masalah. Aku hanya ingin kita saling jujur
dan percaya satu sama lainnya.”
Sabrina
tersenyum. “Ya aku mengerti.”
~
Hujan
merintik, di balik payung hitam berdiri seorang lelaki tua dengan stelan kemeja
rapi, lelaki itu bergerak melintasi pagar sebuah rumah yang tidak terlalu
besar, pagar kayu rendah sepinggang itu membatasi jalanan dengan halaman rumah
yang hijau berhias rumput terawat. Setiap langkah dari lelaki tua tadi selalu
saja menginjak dedaunan tua akasia yang sudah lama rontok dari pohonnya yang
cukup besar. Dan tiba-tiba langkah itu berhenti di depan sebuah pintu pagar
sebuah rumah. Pintu pagar itu tidak terkunci, dia masuk kemudian berdiri di
depan pintu rumah sambil mengetuk pintu beberapa kali.
Sebuah
langkah terdengar dari dalam rumah. Langkah kecil yang berlari pelan, gagang
pintu berputar dan beberapa detik kemudian pintu terbuka. Seorang bocah kecil membukakannya
pintu. Belum sempat lelaki tadi bertanya pada bocah yang baru berusia kurang
lebih 5 tahun itu, sebuah suara yang tidak asing di telinga lelaki tua tadi
bertanya dari dalam dengan nada yang semakin mendekat.
“Siapa
itu sayang?.”
Ketika
bocah tadi berpaling ingin memberitahu, sosok perempuan tua terlihat bergerak
mendekat kearah mereka. Tatapan perempuan tua tadi terkejut, seakan dia tidak
percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Ketika keduanya sudah sangat dekat
berpandangan, tak ada kata yang bisa terucap, perempuan tua tadi hanya bisa
menutup mulutnya tidak percaya.
“Bolehkan
aku masuk?,” tanya lelaki tua tadi tiba-tiba.
Perempuan
tadi menganguk sambil menarik bocah tadi kedekatnya dan memberikan ruang pada
lelaki tua tadi untuk masuk.
“Maaf
jika aku datang mengejutkanmu,” ucap lelaki tua tadi kemudian.
~
Telepon
genggam Sabrina berdering. Sabrina yang sedang membuka-buka majalah sambil
bermalas-malasan menerima panggilan tadi. Panggilan itu dari ibunya.
“Hay,
sayang. Bagaimana kabarmu?.”
“Baik.
Tidak ada yang bisa dilakukan!.”
“Mana
Matt?.”
“Dia
sedang keluar kota, urusan pekerjaan.”
“Kau
bisa berkunjung ke rumah siang ini?.”
“Siang
ini ingin ke perpustakaan mengembalikan beberapa buku, bagaimana jika sore
saja?.”
“Okey,
Mama menunggu kedatanganmu.”
…..
Pagi
pun akhirnya berlalu, siang pun datang begitu saja. Sabrina merapikan beberapa
buku yang ada di atas meja kamar, memasukkannya ke dalam tas plastik untuk
dikembalikan ke perpustakaan. Dia langsung menuju ke perpustakaan umum yang
tidak terlalu jauh dari rumahnya, dia pun hanya berjalan kaki santai.
Perpustakaan
senyap seperti biasanya, walau ada cukup banyak orang yang sedang asik membaca
dan mencari buku. Sabrina mengembalikan buku yang dipinjamnya dan berencana
untuk meminjam lagi. Dia menyusuri rak buku yang penuh dengan novel-novel lama
yang beberapa dari novel tadi memiliki sampul yang kumal atau bahkan sobek.
Never Let Me Go karya
Kazuro Ishiguro, Suite Francaise karya
Irene Nemirovsky, Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijk karya Hamka dan ada banyak lagi novel-novel luar biasa lainnya
berjejer di hadapan Sabrina, begitu pula dengan karya-karya Shakespeare yang
melagendaris, lengkap tersusun rapi.
Sabrina
menarik buku karya Hamka, Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk. Memutar buku tadi untuk membaca synopsis cerita
dibelakangnya. Tiba-tiba seseorang berucap di sebelahnya,
“Seleramu
masih tak ubah!.”
Sabrina
menoleh kesamping, kearah lelaki seumurannya yang berkomentar tentang dirinya.
Wajah itu begitu mengejutkan dan tidak asing di mata Sabrina.
“Sam?.”
Ucap Sabrina yang hampir menjatuhkan buku yang ada di tangannya.
“Hay….apa
kabarmu?.” Tanya lelaki yang ternyata bernama Sam tadi.
“Hay….apa
yang kau lakukan di sini?,” Sabrina terlihat masih tak percaya.
“Sudah
lama kita tidak bertemu.”
“Ya,
3 tahun yang lalu,” ucap Sabrina yang akhirnya tersenyum.
“Ya,
setelah kau menikah. Bagaimana dengan Matt?.”
“Baik.
Maksudku kami baik-baik saja. Saat ini dia sedang berada di luar kota. Kau
belum menjawab pertanyaanku ; apa yang kau lakukan di sini?.”
Sam
tersenyum. “Mencari buku!,” ucapnya bercanda.
“Bukan,
maksudku dalam rangka apa kau ke kota ini?.”
“Hanya
berkunjung!.”
“Berapa
lama?.”
“Beberapa
hari. Aku tak bisa memastikannya.” Kali ini Sam tertawa kecil.
“Apa
kau sudah menikah?,” tanya Sabrina tiba-tiba.
Kali
ini Sam benar-benar tertawa. “Tidak. Semejak berpisah denganmu aku selalu sulit
untuk jatuh cinta—.”
Keadaan
hening sejenak. Seakan lidah Sabrina kalu untuk menjawab, walau akhirnya dengan
tergugup-gugup diucapkannya juga kata-kata itu. “Ya itu 3 tahun yang lalu, dan
sekarang aku sudah menikah.”
~
Matt
mengetuk pintu sebuah kamar, kamar itu bernomor 132. Tak lama kemudian
seseorang membukakannya pintu, seorang laki-laki agak kurus dengan rambut
terbelah tengah.
“Mau
ikut minum kopi denganku?,” ajak Matt pada rekan kerjanya itu.
“Oh,
tidak aku hanya masih mempersiapkan persiapan untuk persentasi kia besok.”
Matt
mengerutkan keningnya. “Bukankah sudah selesai?.” Tanyanya heran.
“Hanya
ingin memastikan bahwa semuanya akan berjalan lancar.”
“Okey,
hubungi aku bila kau membutuhkanku. Aku ada di bawah.”
….
Matt
menuju lift dan ketika pintu lift terbuka dengan ekspresi terkejut Matt berucap
pada seorang perempuan yang juga memiliki ekspresi sama dengannya.
“Iren?!.”
“Waw….apa
yang kau lakukan di sini?,” pertanyaan itu bernada curiga.
“Pekerjaan.
Kau mau kemana?.”
“Kelantai
bawah, minum kopi. Kau?.” Tanya Iren balik.
“Aku
juga, bagaimana jika aku meneraktirmu?.” Ajak Matt sambil tersenyum.
Iren
hanya tersenyum sambil menekan nomor paling bawah agar lift bergerak cepat
meluncur ke bawah. Malam itu mereka berdua berbincang hingga larut malam, ada
banyak hal yang mereka bicarakan, mulai dari masalah pekerjaan mereka hingga
tentang masa lalu mereka waktu kuliah dulu.
“Aku
tak menyangka akan bertemu denganmu di sini, padahal baru 3 hari yang lalu kita
bertemu.” Iren berkomentar.
“Mungkin
takdir,” ucap Matt spontan.
“Andai
saja takdir itu terjadi saat kita kuliah dulu,” wajah Iren terlihat memerah.
“Hmmm…kupikir
juga begitu. Tapi mungkin tidak seperti itu.” Ucapnya pula sambil menggelengkan
kepalanya.
“Mungkin
aneh rasanya menghabiskan malam bersama seorang yang sudah beristri dan aku
beberapa bulan lagi juga akan menikah. Tapi, seperti yang kau ucapkan tadi ini bagian
dari takdir,” Iren tersenyum.
Matt
terdiam sejenak, seakan dia baru menyadari sesuatu, ada yang salah dalam
dirinya, pada apa yang baru saja dilakukannya beberapa menit yang lalu. “Aku
ingin ke kamar kecil sebentar,” Matt bangkit dan meninggalkan Iren sejenak.
Di
kamar kecil Matt bersandar sejenak. Apa
ini termasuk hitungan?. Tanyanya pada dirinya sendiri sambil mengeluarkan telepon
genggamnya dan langsung menghubungi istrinya. Cukup lama dia menunggu tapi
tidak juga mendapatkan jawaban hingga akhirnya dia berhenti dan membasuh
wajahnya dengan air. Di tatapnya wajahnya di depan cemin sambil berucap pelan.
“Tidak akan terjadi apa-apa malam ini!.” Kemudian dia kembali menghampiri Iren.
~
Telepon
genggam Sabrina berdenting, di layar telepon genggamnya terlihat tulisan ‘Suamiku!’ , Sabrina melirik kearah Sam
yang duduk di sebelahnya sambil tersenyum seakan tidak menyadari bahwa telepon
genggamnya sedang berdenting. Hingga akhirnya suara dering tadi pun sirna
begitu saja.
“Mengapa
tidak diangkat?.” Tanya Sam sambil mengerutkan kening.
“Tidak,
hanya tidak enak saja menerima telepon di saat kita sedang makan malam seperti
ini,” jawabnya jujur.
Sam
tersenyum. “Tak apa jika memang penting!.”
“Hanya
Ibuku saja, biasa dia hanya khawatir jika aku sendirian di rumah.” Sabrina
mencoba mengalihkan pembicaraan. “Apa yang sedang kau kerjakan saat ini?.”
Sam
meneguk minumannya kemudian berpikir sejenak untuk memberikan jawaban. “Aku
sedang menyelesaikan sebuah novel.”
Sabrina
sedikit terkejut dengan pernyataan Sam. “Kau bercanda?. Tentang apa?.”
“Tentang
sulitnya melupakan cinta.” Sam melarikan pandangannya seakan sedang
menyembunyikan ekspresi wajahnya yang memurung tiba-tiba. “Mungkin bisa ku
ucapkan bahwa novel ini ada karena hubungan kita dulu. Sulit bagiku
melupakanmu. Maafkan aku juka aku jujur tentang hal ini.”
Sabrina
mulai merasa tidak enak. “Tak apa. Semoga cepat selesai dan aku bisa
membacanya.” Dipaksakannya tersenyum.
“Mungkin
aku terlalu bodoh dan penakut untuk bertindak cepat, membiarkan kau sendiri
dalam waktu yang cukup lama sehingga Matt pun hadir di dalam kehidupanmu. Aku
berfirasat waktu itu jika aku melamarmu maka kau akan menolakku.”
“Andai
waktu itu kau datang lebih dulu mungkin aku tidak akan melakukan seperti yang
kau firasatkan. Aku terus menunggu. Tapi sekarang semuanya sudah berbeda, Sam.”
Sam
menatap Sabrina dengan wajah serius. “Apakah cinta itu masih ada?.”
Pertanyaan
itu menjadi sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab bagi Sabrina. Cukup lama
dia berpikir hingga akhirnya dia berusahan untuk jujur mengikuti apa yang
sedang ada di dalam pikirannya. “Kadang cinta dan benci itu hanya berbeda
tipis, sehingga kita sering kali sulit untuk membedakan kedua perasaan itu.
Tapi jika boleh aku jujur, ada kalanya pikiranku dipenuhi oleh kenangan kita,
dan waktu untuk itu terasa lebih sering datang seakan aku menuntut sebuah
harapan. Tapi kemudian semua itu hilang ketika aku menyadari bahwa Matt adalah
suamiku, seseorang yang harus aku cintai sepenuhnya.”
~
Di
dalam lift Matt dan Iren berdiri bersebelahan, selain mereka berdua ada
sepasang suami istri yang juga bersama mereka. Iren merapat pada Matt kemudian
dengan tiba-tiba menggandeng lengan Matt. Matt menoleh sejenak kearah Iren
sambil tersenyum dan membiarkan posisi mereka semakin dekat. Tak lama kemudian
pintu lift terbuka, pasangan suami istri yang terlihat sangat mesra tadi
keluar, sedangkan Matt dan Iren masih ingin menuju tiga lantai lagi.
“Lama
sekali kita tidak sedekat ini.” Iren mulai berkomentar.
“Mungkin
seharusnya ini tidak terjadi,” nada bicara Matt terdengar meresah.
Iren
melepaskan pegangannya pada lengan Matt dan memberi jarak selangkah di antara
mereka. “Maafkan aku jika membuatmu merasa tidak nyaman.” Iren menunduk.
Matt
menghela nafas cukup panjang. “Maafkan aku juga, aku tidak bermaksud seperti
itu. Aku hanya teringat Sabrina!.”
“Apa
yang biasanya dia lakukan bila kau tidak ada?.”
“Melakukan
segalanya seperti saat aku ada di dekatnya. Tapi entahlah tak ada yang bisa
memberikan kepastian.” Matt diam sejenak untuk berpikir. “Mungkin ini terdengar
tak baik buatmu, tapi entah mengapa aku merasa perlu memberitahumu. Saat kita
berjumpa di pesta waktu itu saat pulang Sabrina marah denganku. Dia cemburu—.”
Matt melirik kearah Iren menunggu respon dari perempuan itu.
“Benarkah?.”
Iren tersenyum kecil. “Itu tandanya dia mencintaimu. Tapi aku benar-benar minta
maaf jika hal itu membuatnya marah. Sedikit pun aku tidak bermaksud seperti
itu.”
“Tak
apa, semuannya sudah membaik. Dia bisa mengerti setelah kujelaskan semuanya
padanya. Kau benar, mungkin itu pertanda bahwa dia benar-benar mencintaiku, dia
takut kehilanganku.”
“Matt,
bolah aku bertanya sesuatu!.” Iren menunggu Matt mengangguk kemudian dia
melanjutkan kata-katanya. “Saat di pesta waktu itu apa kau senghaja memelukku
waktu itu, aku hanya bingung, karena waktu itu aku bisa merasakan debar
jantungmu yang menguat.”
“Aku
senghaja melakukannya. Tapi aku tidak bermaksud apa-apa. Aku merasa gugup saja
setelah lama tidak sedekat itu denganmu dan tiba-tiba kau seakan hadir lagi
dalam kehidupanku.”
“Dan
saat Sabrina datang menghampiri kita, kau langsung melepaskan pelukanmu.
Mungkin itu yang membuatnya marah denganmu. Tapi jika aku boleh jujur saat itu
aku merasakan sesuatu yang berbeda di antara kita.”
Pintu
lift terbuka, Matt dan Iren keluar bersama-sama, Iren menunjukkan kamarnya
kemudian membuka pintu kamarnya. Matt berdiri di depan pintu, dia hanya
memperhatikan Iren dari luar.
“Matt
masuklah, kau tidak akan berdiri di situ terus kan.” Ucap Iren sambil tertawa
kecil yang kemudian membuka kopernya dan mengambil sebuah sweater berwarna coklat mudaa tanpa corak.
“Ku
kira hanya sebenatar,” ucap Matt berpendapat.
Iren
kembali menghampiri Matt lalu kembali menutup dan mengunci pintu kamarnya. “Kau
belum pernah kan ke taman tengah kota di malam hari disini?.” Tanya Iren yang
membuka topik baru dalam percakapan mereka.
Malam
itu mereka berdua berjalan-jalan di taman kota yang berada tidak jauh dari
hotel tempat mereka menginap. Lampu-lampu taman yang berjejer rapi memberikan
keindahan di malam yang begitu tenang. Hingga akhirnya mereka berdua sampai
pada sebuah bangku besi panjang yang diterangi oleh cahaya lampu yang sedikit
meredup. Mereka berdua duduk di sana dan melanjutkan perbincangan mereka lagi.
“Apa
pernah terpikir olehmu untuk berselingkuh?,” tanya Iren sambil tersenyum.
“Apa
ini pertanyaan menjebak?,” balas Matt cepat.
“Tergantung
bagaimana kau mengartikannya.”
“Jika
kau bertanya pernah atau tidak maka aku akan jujr bahwa aku tidak pernah
melakukannya dan bahkan tidak inign hal itu terjadi pada diriku. Apa kau
pernah?.”
Iren
tertawa mendengar pertanyaan balik yang tidak terduga itu. Dia hanya
menggelengkan kepalanya. “Hingga detik ini mungkin tidak. Tapi malam masih
panjang dan belum berakhir.”
Matt
memeluk Iren untuk merapatkan tubuhnya yang mulai merasa kedinginan. Iren
bersandar ke dada Matt. Dan dengan perlahan seperti berjalannya waktu, berawal
dari pelukan hangan berlanjut kepada ciuman dalam yang semakin membuat keduanya
larut di dalam kesalahan malam yang seharusnya tidak pernah terjadi.
~
Aroma
teh yang harum masih belum hilang dari penciuman, sama seperti asapnya yang
masih terlihat oleh mata, menari-nari di atas secangkir teh yang ada di hadapan
lelaki tua yang masih saja sepi menunggu sebuah pertanyaan keluar dari mulut
perempuan tua yang duduk di seberangnya. Tapi semakin di tunggu maka satu
pertanyaan pun belum juga terlontar, hingga akhirnya lelaki tua tadi memulai
dengan suara yang serak dan sedikit tegas.
“Bagaimana
kabarmu?,” tanyanya sopan.
“Tidak
begitu baik. Mungkin kau tahu apa yang baru saja terjadi dalam hidupku.” Jawab
perempuan tua tadi dengan wajah menunduk.
“Tak
terasa sudah kurang lebih 30 tahun waktu berlalu—.” Kata-kata itu terhenti
begitu saja. Kemudian dilanjutkan dengan suara teh di sedu. “Bagiku waktu
selama itu adalah waktu terberat untuk menghadapi kesalahan keputusan yang
pernah aku terima.”
“30
tahun yang sangat berat. Ada banyak harapan yang pernah muncul di saat
waktu-waktu itu berjalan.” Balas perempuan tua tadi dengan wajah masih
menunduk.
“Iya,
kadang aku berharap semuanya hal berat itu tidak pernah terjadi di dalam
hidupku—”
“Hidup
kita!.” Sambung perempuan tua tadi tiba-tiba.
“Hidup
kita,” ucap lelaki tua tadi mengulangi.
~
Makan
malam romentis yang tidak pernah direncanakan sebelumnya itu berakhir begitu
saja, seperti malam yang juga akhirnya akan berakhir dengan tergantikan oleh
siang. Di depan lestoran tempat mereka makan malam, Sabrina berdiri, di
sampingnya Sam merangkul lengannya. Hujan merintik membuat suasana malam
menjadi dingin.
“Andai
malam ini bisa aku ulang terus menerus, maka akan ada lebih banyak malam yang
akan aku lewati dalam hidupku ini,” ucap Sam sedih.
Sabrina
menguatkan rangkulannya. “Aku berharap ini semua tidak pernah berakhir, Sam.”
Di
kecup oleh Sam pipi kiri Sabrina mesra, kemudian dia berbisik. “Aku
mencintaimu.”
Sabrina
menangis walau tanpa suara, perlahan direlakannya lengan Sam melonggar dari
jabatan mereka, membiarkan tubuh Sam bergerak perlahan menjauh. Di bawah hujan
yang rintik itu perpisahan terjadi, sebuah taksi berhenti menjemput Sam, dan
detik berikutnya Sam hanya bisa memandang Sabrina lewat kaca mobil yang
memburam karena tetesan hujan yang membasahinya
Yang pergi itu hanya raga
mereka, tapi hati mereka masih merasa.
~
Pagi
datang dengan sangat dingin. Matt menyingkap selimut tebal yang membuatnya
hangat, kemudian berpaling sejenak ke samping kanannya. Iren berbaring
disampingnya tanpa busana. Iren juga terbangun dan cukup lama memandangi Matt.
“Terima
kasih untuk malam yang sudah berlalu,” bisik Iren sambil tersenyum.
Matt
tidak berucap apa-apa, dia bangkit dan mulai mengenakan kembali celana dan
kemejanya. Sejenak melihat kearah jam tangannya. “Aku harus kembali ke kamarku
dan mempersiapkan pertemuan hari ini.”
Ketika
Matt ingin bergerak keluar, Iren menghampirinya dengan selimut yang menutupi
tubuhnya. Diciumnya Matt dalam hingga akhirnya dia pun ditinggal sendirian di
kamar hotelnya.
Sepanjang
perjalanan Matt menuju kamarnya, pikirannya dihantui oleh banyak perasaan
bersalah dan hingga dia sudah berada di dalam kamarnya dan mandi pun dia masih
berpikir keras tentang apa yang baru saja terjadi malam itu. Ada dosa besar
terasa mengganjal di dalam hidupnya ketika segala yang pernah dipertahankan
olehnya tiba-tiba buyar oleh sebuah kesalahan yang sangat ceroboh. Andai saja malam tadi tidak pernah terjadi.
Pikirnya penuh sesal.
Selesai
mandi Matt langsung menghampiri kamar rekan kerjanya, mengetuknya beberapa kali
dengan perasaan yang masih gelisah. Ketika pintu kamar itu terbuka Matt
langsung menceritakan niat dadakan yang ingin dilakukannya. Dan beberapa jam
kemudian dia sudah berada di dalam kereta, duduk tersandar sambil memandangi
pemandangan luar yang melesat berubah-ubah. Matt pun semakin tenggalam ke dalam
perasaan yang penuh salah.
~
30
tahun kemudian
Sudah
sangat lama waktu berlalu, dan ketika mereka kembali bertemu semuanya hanya
terbingkai di dalam kisah yang sejenak. Tak ada banyak pembicaraan yang bisa
mereka ungkapkan, walau kenyataannya hati mereka terus saja mendorong mereka
berdua untuk mencipta suara-suara sumbang penuh tanya.
Matt
yang sudah sangat tua bergerak perlahan menuju pintu keluar untuk berpamitan,
Perempuan yang dikunjunginya tidak lain adalah mantan istrinya, Sabrina yang
masih dicintai olehnya. Ketika hampir mencapai pintu Matt membuka mulut untuk
bicara lagi.
“Sulit
bagiku untuk mengatakan ini. Tapi daripada hal ini terus mengganjal di dalam
hatiku dan terus membuatku tidak tenang, maka aku akan memberitahumu.” Dia
mengambil nafas lebih panjang daripada biasanya. “Setelah aku membatalkan
pertemuan hari itu, aku meminta pada Jhon untuk melakukan persentasi sendiri
hari itu. Aku memberitahunya bahwa saat itu kau membutuhkanku. Padahal
kenyataannya adalah aku yang membutuhkanmu. Aku harus segera menemuimu dan
memberitahumu tentang kenyataan yang terjadi malam itu. Dan aku masih menyesal
atas semua itu hingga hari ini. Kejadian itu tidak pernah aku harapkan pernah
terjadi, tapi semua itu ternyata adalah fakta yang akhirnya membuat perpisahan
dalam hidup kita. Apakah kau bisa memaafkanku?.” Tanya Matt sungguh-sungguh.
Mata
Sabrina mulai meradang, dipegangnya jemari Matt, kemudian dia berucap. “Sejak
lama aku sudah memaafkanmu. Dan sejak lama itu juga aku merasa bersalah karena
tidak pernah jujur tentang sebuah kejadian yang terjadi saat kau pergi waktu
itu. Saat kau keluar kota aku berjumpa dengan Sam, semuanya tanpa senghaja di
sebuah perpustakaan, kami makan malam dan membicarakan tentang perasaan kami,
walau akhirnya tidak terjadi apa-apa di antara kami berdua.”
Matt
kaku bagaikan patung. Sebuah rahasia terungkap hari itu. “Mengapa kau tidak
menceritakannya sejak dulu?.” Nada bicara Matt terdengar penuh emosi.
“Karena
aku terlanjur marah dengan perselingkuhan yang telah kau lakukan. Kau datang
dan terus bicara dengan penuh sesal tentang apa yang terjadi antara kau dengan
Iren, sehingga aku tidak pernah memiliki kesempatan untuk memberitahumu tentang
pertemuanku dengan Sam.”
“Dan
akhirnya kau pun menikah dengan Sam!.” nada bicara Matt semakin mengeras.
“Maafkan
aku Matt, aku tak mungkin mengulang semua waktu yang sudah berlalu berpuluh
tahun yang lalu.” Ucap Sabrina yang akhirnya menangis penuh sesal.
“Kau
benar, tak ada yang bisa mengubah segala yang sudah terjadi.” Ucapnya mulai
menyadarinya. “Segala kesalahan yang telah terjadi adalah kesalahan. Yang bisa
kita lakukan saat ini hanyalah belajar dari banyak kesalahan yang pernah kita
lakukan.”
Matt
dan Sabrina mulai bergerak keluar rumah, mereka berjalan sejenak di halaman
rumah yang tidak terlalu luas, dan ketika mencapai pintu pagar Matt berucap
lagi.
“Aku
turut berduka cita atas kepergian Sam beberapa hari yang lalu.”
“Terima
kasih atas itu,” jawab Sabrina sambil tersenyum. “Bagaimana kehidupanmu?.”
Tanyannya pula.
“Seperti
yang kau lihat saat ini, aku masih sendiri. Setelah kita berpisah aku tidak
pernah menikah lagi, aku menghabiskan seluruh waktuku untuk mengetahui apa yang
terjadi dengan hidupmu.”
“Bagaimana
dengan Iren?.” Tanya Sabrina tiba-tiba.
“Dia
menikah dengan kekasihnya, dan minggu lalu dia meninggal dunia karena serangan
jantung. Aku tidak pernah menemuinya setelah kejadian itu, bahkan ketika dia
sakit aku hanya mendengarnya dari salah satu temanku. Kau tahu mengapa aku
tidak menikah lagi?.”
Sabrina
menggelengkan kepalanya tanda tidak tahu.
“Karena
aku selalu berharap kau bisa kembali ke dalam kehidupanku, bersamaku hingga
ajal menjemputku kelak. Dan ini sudah sangat lama berlalu, sudah menjadi sebuah
sejarah yang masih berselimutkan harapan tentang dirimu.”
“Kadang
kita tidak pernah mengerti cinta, tapi cintalah yang sering kali berusaha
memberikan pengertian kepada kita.” Sabrina berpendapat. “Mungkin harapan itu
tidak hanya ada dalam hidupmu, tapi juga ada dalam hidupku sejak sekian lama
yang hanya terpendam tanpa suara.”
Perjumpaan
yang lama tertunda itu akhirnya berakhir begitu saja. Matt pulang menyusuri
jalan sepi yang berhiaskan dedaunan kering sedangkan Sabrina yang hanya bisa
terduduk di dalam kamarnya dengan tangis penuh penyesalan. Dalam kurun waktu
yang begitu lama akhirnya cinta itu membuktikan dan mengajarkan sebuah pemaafan
yang seharusnya mereka lakukan sejak lama, sejak waktu tidak terlalu terasa
menyiksa jiwa.[LSJR]
NB ; untuk Cita, Maysa dan
Arya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!