10 Jan 2012

Sang Bayang-Bayang



Dari jendela kaca di sebuah gedung yang masih berdiri kokoh, dilantai paling atas sosok itu mengintip, memperhatikan jalan yang sepi seperti hari-hari yang lalu. Harapan. Kata itu sudah terlanjur dilupakan dan bahkan tidak lagi pernah diucapkan. Kesendirian, kesepian dan ditinggalkan dalam ketakutan.
Dan malam pun datang menghampiri, kegelapan yang paling ditakuti oleh setiap kehidupan di muka bumi, kegelapan yang sepi tapi penuh dengan marabahaya, kegelapan yang sepi yang terkadang dihiasi dengan sekelibat cahaya yang melintas mencari mangsa.
Nino masuk ke dalam peti besi yang cukup besar, menyalakan senter yang akan memberikan penerangan padanya di dalam peti tadi, sebelumnya pintu kamar tempat dia berada sudah dikuncinya, dan beberapa ranjau penjepit sudah dipasang, seperti saat menyambut malam pada hari sebelumnya, Nino diam sejenak menghadap kearah barat. Sangat indah melihat matahari yang hampir tenggelam. Andai saja matahari itu tidak pernah lagi tenggelam. Hal mustahil itu sering melintas di dalam pikirnya.
Di dalam peti Nino berbaring, sambil menyantap beberapa roti yang didapatnya dari toko-toko makanan yang ada tidak jauh dari tempat dia tinggal, toko-toko sepi yang sudah ditinggalkan orang-orang itu memang sangat bermanfaat, tapi entah sampai kapan manfaat itu akan terus bertahan?. Seperti yang juga dilakukan Nino untuk terus bertahan.
Senter sudah mulai meredup, batrainya sudah mulai menipis, dan dengan helaan nafas yang cukup panjang dimatikannya senter dan dia mulai menyatu dengan kegelapan, matanya memejam sedangkan mulutnya menyuarakan doa-doa. Semoga tuhan mendengar doaku. Ucapnya mengakhiri doanya.
*
6 hari yang lalu
Wajah-wajah khawatir tergambar jelas, dari setiap orang yang ada di sana, berkerumun, melihat keatas kearah ujung gedung lantai 28 yang tinggi. Semua orang melihat empat orang manusia saling bergandengan tangan, sebuah keluarga yang berdiri diujung gedung dan terlihat siap untuk melompat. Polisi dan ambulan sudah berjaga di bawah, beberapa orang polisi naik menuju lantai 28 untuk menggagalkan aksi nekat keluarga tadi.
Tak ada yang bisa mencegah kejadian itu kecuali kehendak Tuhan, atau memang itu kehendak Tuhan, karena semua kuasa adalah milik Tuhan, tentang kehidupan, tentang kematian.
Empat orang yang terdiri dari seorang Ibu, Ayah, dan dua orang anak laki-laki terjun bebas dalam keadaan sadar, tak ada kata perpisahan yang mereka ucapkan, semuanya terjadi begitu cepat, semua terjadi dalam hitungan detik yang tak bisa dihindari.
Sekejab nyawa keluarga tadi lenyap, bagaikan angin yang berhembus dan berlalu begitu saja, semua orang yang menyaksikan kejadian itu histeris, darah menghiasi aspal yang sebelumnya legam, raga itu remuk, jiwa itu pun terberai tanpa petunjuk.
Tragedi bunuh diri itu tidak hanya terjadi pada keluarga tadi, tapi terus berlanjut pada banyak orang di kota itu, satu persatu menghilang dan ditemukan tak lagi bernyawa, semuanya menyelesaikan kehidupan mereka.
Malam itu Nino pulang dari gereja, dia adalah seorang pastur yang hidup bersama seorang Ayah yang tua renta, seorang ayah yang sudah pikun dan suka marah-marah, malam itu adalah malam terakhirnya bertemu dengan sang Ayah, karena saat dia mencapai rumahnya, dia menemukan jasad sang Ayah tergantung di depan pintu kamar, entah apa alasannya, Ayahnya bunuhdiri.
Lalu tetangganya dan semua orang terdekatnya bunuhdiri. Tak lama kemudian kota menjadi sepi. Orang-orang yang tersisa ketakutan, lalu setiap kuburan terbongkar berhamburan, semua jasad menghilang, ditelan cahaya yang melintas cepat mengerikan.
Cahaya Tuhan atau cahaya setan, cahaya-cahaya itu seakan memakan jasad-jasad dan kemudian menelan orang-orang yang tersisa, listrik padam dunia menjadi menakutkan, setiap orang mencari perlidungan, menyembunyikan diri mereka dari kegelapan malam.
Begitu juga halnya dengan Nino, dia pun bersembunyi di sebuah gedung sepi, sendiri, tanpa ada harapan yang pasti.
Bukan kah kehidupan bukanlah hal yang kekal, dan semua kehidupan pastilah akan berujung pada kematian.
*
Hari ke-7
Beberapa ranjau penjepit menggeletak, menandakan bahwa ada orang yang terinjak, tapi tak terdengar teriakan, atau bahkan rintihan kesakitan. Lalu desisan pelan terdengar di pendengaran Nino, desisan yang bergerak di samping peti tempat Nino bersembunyi.
Jantung Nino berdetak kencang, dia sadar siapa pun yang berada di luar, hal itu bisa saja membuatnya terbunuh. Nino mulai membisikkan doa tapi rasak khawatirnya membuat doanya buyar begitu saja.
Perlahan pintu peti terangkat, gelisah semakin menghantui Nino. Dan ketika pintu peti itu terbuka lebar, sosok sakral bercahaya terlihat berdiri menyilaukan. Cahaya penelan jiwa. Nino yang terkejut berputar kesamping lalu melompat keluar peti, dia berlari melewati ranjau yang sudah mati.
Keringat membasahi tubuhnya, sosok sakral tadi mengejar bagai angin yang berhebus, melayang hanya dalam bentuk cahaya bagaikan kilat yang menyambar. Ketika cahaya tadi menyambar Nino, dia pun terjerebak karena kakinya tersandung kabel yang membentang di antara pintu. Terjangan cahaya tadi meleset, Nino membelok dan bersembunyi di sebuah kamar yang gelap.
Sosok sakral tidak lagi terlihat, dunia gelap kembali sepi. Dari sebuah jendela kaca, terlihat sekelibat cahaya terbang melintang, lewat begitu saja dan menghilang bagaikan komet yang terlalu jauh untuk dijangkau indra penglihatan.
Nino memberanikan diri untuk bergerak, meraba di dalam kegelapan. Langkahnya terhenti ketika sebuah cahaya di ujung lorong menghadap kearahnya, cahaya itu berbeda, cahaya itu hangat tapi terus bergerak meliar. Tiba-tiba saja Nino terdiam, pikirannya seakan dirasuki oleh cahaya tadi. Matanya membuka dunia menjadi terang seketika.
Seakan itu sebuah reka ulang sebuah kejadian. Nino berjalan memasuki sebuah kamar yang rapid an bersih, di dinding kamar terdapat sebuah cermin besar, cermin yang memantulkan jiwa Nino yang sesungguhnya. Jiwa yang tidak lagi berwujud manusia, jiwa yang hanya terlihat seperti sekelibat cahaya.
Lalu kaca jendela pecah dan teriakan memecah keheningan malam, sosok itu jaruh dari lantai yang tinggi, menerjang cepat kearah aspal yang legam, tapi tak sampai menyentuh aspal sosok tadi menghilang ditelan oleh cahaya, dunia sepi, dunia tak lagi berpeghuni.
Seperti yang tertulis di dalam Kitab Kejadian. Dunia diciptakan dalam 7 hari. Hari pertama penciptaan terang, hari kedua penciptaan cakrawala, hari ketiga penciptaan laut, darat, tumbuh-tumbuhan, hari keempat penciptaan benda-benda langit yang menerangi cakrawala, hari kelima penciptaan binatang-binatang laut dan bersayap, hari keenam penciptaan binatang liar dan segala jenis ternak, melata di muka Bumi dan manusia, hari ketujuh semua berhenti bekerja.
Kejadian 2 : 4-7 = TUHAN Allah membentuk manusia. []
NB : untuk die, terima kasih atas ide ceritanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!