27 Jun 2012

[If Complicated] Bab Enam


Kotak musik dimatikan, semuanya duduk dengan secangkir teh yang masing-masing berada di hadapan mereka. Alvin, Edward dan Eliana diam menatap kearah Septi yang duduk di atas bangku kayu kecil memegang sebuah alat musik yang segera akan dimainkannya. Sebuah cello sudah tersandar dan siap untuk dimainkan.

Septi menunduk memejamkan matanya sejenak, membayangkan warna nada yang akan dimulainya lalu empat dawai yang melintang lurus digesek dengan busur secara perlahan, warna dari nada mulai terdengar, musik yang mengalun indah itu bagaikan menari-nari dalam kepala, bercampur dengan suara kawanan jangkrik yang harmonis di malam gelap, semuanya diam penuh kagum menatap dengan emosi yang mengalir lewat nada indah itu. Sebuah emosi yang sangat kuat merasuk melewati urat nadi lalu berhenti di dalam hati dan jiwa yang menepi. Septi melakukan loncatan-loncatan nada yang indah, jauh dan tidak biasa, akan tetapi masih terdengar harmonis. Edward yang tidak terlalu tahu tentang musik pun diam terlarut dalam pesan yang disampaikan oleh Septi lewat nada-nada dawai yang dimainkannya.
Mata Alvin mulai berkaca-kaca, dia paham betul lagu yang dimainkan oleh Septi adalah sebuah pesan kehidupan yang dialami oleh Septi, dimana kesedihan menjadi bagian dari hidup Septi dulu, merasuk, menyentuh dan membuat semuanya merasa lemah. Inilah rasa rapuh berselimutkan cinta yang membuat Alvin tak bisa lepas dari Septi, rasa cinta itu semakin nyata hadir di hidupnya hingga sulit untuk menghentikannya.
Eliana mengankat cangkir tehnya, musik terhenti sejenak. Alvin dan Edward menoleh kearah Eliana lalu berpaling lagi kearah Septi yang kembali memainkan cellonya. Musik sudah hampir mencapai ending, dibagian akhir itulah emosi Septi begitu terasa, saat musik mengalun melambat, serasa jujur hingga warna-warni melodi dawai yang dibentuk oleh Septi di awal tadi seakan memudar memnjadi kekelaman, kesedihan berlapiskan air mata, abu-abu perasaan, abu-abu kegelisahan.
Ketika musik berhenti tak ada tepukan tangan, yang ada hanyalah kesunyian dan ketermenungan, seakan melodi yang dimainkan Septi terus mengalun merdu di dalam ingatan mereka, menjebak mereka dalam emosi sedih lalu lepas begitu saja dari emosi itu.
Septi bangkit sambil menyandarkan cello di bangku kayu, melangkah dan duduk di samping Alvin, Alvin mencium Septi dengan penuh sayang lalu menoleh kearah Edward dan Eliana. “Inilah alasan mengapa aku tak bisa pergi meninggalkan desa Rangkat. Aku telah menemukan hidupku disini,” Alvin menyeka matanya dengan jemarinya.
Edward tersenyum. “Aku sudah mengerti, apa yang kau maksut dengan hidup, ini bukan hanya sekedar kebahagiaan tapi sesuatu yang lebih dari  itu, semoga saja apa yang kalian dapatkan akan menular pada kami.” Edward melirik kearah Eliana yang sedang mengankat gelas tehnya.
Eliana menumpahkan teh yang ada ditangannya. “Maafkan aku—,“ ucap Eliana sambil memungut pecahan gelas di lantai kayu.
Septi bangkit dan mendekat kearah Eliana. “Tak apa-apa, sini aku bereskan.”
~
Suara polos yang menggema di sebelah ruangan membuat Edward penasaran. Nyanyian itu terdengar jujur dan menenangkan, Alvin yang melihat Edward terdiam mendengarkan, langsung berucap. “Di sebelah adalah tempat penampungan anak-anak yatim piatu yang orang tuanya telah meninggal karena wabah demam berdarah, mereka masih kecil dan polos,” jelas Alvin dengan kening berkerut. “Oiya, ajak Eliana kesini, siapa tahu dia bisa memberikan kasih sayang pada anak-anak itu seperti Septi yang mengajarkan anak-anak bermain cello.”
Edward melangkah keluar ruangan menyusuri jalan kasar yang berdebu, memfokuskan telinganya pada alunan suara yang menarik perhatiannya, lalu dia terhenti di depan sebuah pintu yang terbuka bebas, bersandar dan menatap dengan rasa prihatin. Bocah-bocah dengan wajah polos tadi mengalunkan sebuah lagu indah, mencoba menghibur hati mereka yang seharusnya mendapatkan kasih sayang lebih, mencoba  menyadari apa yang sebenarnya terjadi pada diri mereka.
Seorang perempuan tua berkaca mata tebal berdiri dengan sebuah buku kubas di tangannya, tersenyum kearah Edward lalu melanjutkan langkahnya mengawasi bocah-bocah tak berdosa yang di didiknya. Satu persatu bocah-bocah itu maju, menceritakan sesuatu hal yang mereka tahu sambil sesekali melucu, mengobati hati mereka yang sedang terluka dan pilu.
Seorang bocah perempuan dengan rambut terkepang dua maju, membawa selembar kertas—tepatnya sebuah gambar—, dia memperlihatkan gambar tadi pada teman-temannya lalu mulai bercerita. “Ini namanya keluarga, ada ibu, ada bapak, ada kakak dan ada aku, setiap hari kami selalu pergi kesawah, kata bapak sawah adalah anugerah dari Tuhan dan kata ibu sawahlah yang membuat kami bisa hidup. Karena sawah adalah anugerah Tuhan maka kami setiap hari harus bersyukur kepada Tuhan dengan cara mentaati segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Kata bapak saat ini Tuhan sedang marah, karena banyak orang-orang yang ingkar kepadanya,” semua diam memperhatikan, bocah perempuan tadi menarik napasnya yang mulai terasa sesak di dada. “Tapi aku ingin bertanya pada Tuhan, mengapa bapak, ibu dan kakak diambil oleh-Nya kembali dariku sehingga aku hanya tersisa sendirian.”
Semua yang ada diruangan itu terdiam kecuali Edward yang memberikan sebuah jawaban pada bocah tadi. “Tuhan melakukan itu agar kamu tidak melupakan-Nya, Tuhan hanya ingin kamu menjadi kuat dan menjadi dewasa dalam kemandirian,” semua mata teralih pada Edward yang bersandar, dengan kedua tangan dimasukannya ke dalam kantong jas lebnya. Edward melangkah mendekat kearah bocah tadi, lalu membungkuk, menatap wajah bocah yang terlihat sedih bercampur gugup. “Siapa namamu?.”
“Indri,” jawab bocah tadi malu-malu.
“Sudah berapa lama kau tinggal bersama anak-anak yang lain?.”
“Sudah lima hari, eh, enam hari, eh, lupa.”kata-kata Indri memecah tawa di ruangan yang tadinya berubah sunyi itu.
Edward tersenyum sambil mengeluarkan sebuah permen dari dalam saku jas labnya. “Tadinya aku membeli permen ini untuk aku makan di waktu senggangku. Tapi karena kau telah mencuri waktu senggangku dengan berbagi cerita yang sangat menarik maka aku menghadiahkan permen ini untukmu.”
Indri menyambut permen tadi lalu berucap dengan nada memohon. “Jika saya mendapat permen, maka saya harus memakannya. Tapi saat ini saya memiliki banyak saudara di sini, maka saya harus membagi permen ini pada semua keluarga baru saya, bisakah bapak membelikan kami semua permen yang sama, biar tidak ada lagi perasaan iri dihati kami semua.”
Edward terkejut mendengar ucapan bocah itu, tak menyangka seorang bocah yang masih terlihat kecil, dengan keadaan menyedihkan, sendirian, memiliki pemikiran yang bahkan jarang terpikirkan oleh orang dewasa. Edward tersenyum sambil memgelus kepala bocah tadi. “Besok aku janji akan membelikan kalian semua permen yang sama, untuk saat ini kamu saja yang mendapatkannya karena kamu sudah bercerita dengan sangat baik.
~
Eliana sudah berkali-kali mengelilingi Villa, keluar, melihat pemandangan, duduk, lalu bangkit lagi masuk tak lama keluar lagi, tak ada yang bisa dilakukannya, dia benar-benar merasa bosan. Berkali-kali dia menyingkap tirai jendea samping, melihat kearah jalan setapak yang sunyi, villa seberang juga sama sunyinya. Alvin berangkat ke desa bersama Edward sedangkan Septi juga pergi ke desa mengajar anak-anak bermain musik, rasa menyesal dihati Eliana telah menolak ajakan Septi, kini dia benar-benar sendiri terkurung di tempat yang sangat membosankan.
Masuk ke dalam kamar berbaring sejenak, menatapi langit-langi yang kosong, berpaling kesamping lalu tatapannya terhenti pada sebuah benda yang berada di atas meja di pojok ruangan—sebuah mesin ketik—mesin ketik yang sering digunakan oleh Edward untuk mengetik surat dan hal-hal lain yang tidak diketahui oleh Eliana.
Eliana mengangkat mesin tadi membawanya ke teras rumah dan meletakkannya di atas bangku kayu panjang, kembali ke kamar mengambil beberapa kertas buram yang kemudian dimasukannya selembar ke mesin ketik. Bunyi tekanan jemari mulai terdengar harmonis membentuk sebuah nada sembarang yang sesekali terdengan cepat dan mengasyikan. Eliana menulis sesuatu, dia menumpahkan apa saja yang sedang ada di dalam pikirannya ke dalam selembar kertas buram kosong yang perlahan mulai terisi.
Jika hidup adalah sempurna
Berawal dari secercah sinar dan setitik embun pagi yang menyegarkan, membawa tarian harapan yang tak akan pernah bisa tergantikan, menuai mimpi yang berubah menjadi pasti, melihat pundi-pundi masa depan yang sama seperti bayang-bayang.
Nada-nada itu penuh kesempurnaan, penuh dengan kesamaan pikiran-pikiran terdalam, mencoba mengecup rembulan di dalam ombak malam yang menghawatirkan. Jangan, janganlah pernah menghentikan perasaan karena ini adalah kehidupan.
Di saat kehidupan adalah pembuktian, kadang hati rasa terbeban, maka matilah nadi berhenti berdenyut seperti jantung yang juga berhenti berdetak.
Di saat kehidupan adalah pembuktian, kadang jiwa rasa berduka, makna hidup rasa berdusta, hati ingkar tidak sejalan, dengan nasib yang semakin menyedihkan.
Jika dan ini hanyalah jika
Jika hidup adalah sempurna, maka hidup adalah palsu.
Jika dan ini hanyalah jika
Jika hudup adalah sempurna maka hidup terasa layu
Jika dan ini hanyalah jika
Jika hidup adalah sempurna maka hidup adala bisu
Jika dan ini hanyalah jika……..
Eliana terhenti mengetik, berdiri meninggalkan mesin ketik, bersandar ke tiang besar villa, memandang keujung cakrawala yang merona. Jika hidup adalah sempurna. Ucapnya dalam hati.
Kesendirian itu berlalu hingga sore hari. Eliana tertidur di atas tempat tidur dengan mesin ketik disampingnya, ketika dia bangun dia mendapati dirinya tertutup selimut membuat dirinya malas untuk bangkit. Siapa yang menyelimuti ku. Ucap Eliana dalam hati. Edward. Eliana bangkit melangkah perlahan menjenguk keluar kamar secara perlahan, ruangan sunyi, tidak ada siapa-siapa. Ketika ingin keluar dari kamar dan ingin berbelok, Eliana menabrak Edward yang tidak mengenakan pakaian—hanya handuk yang melingkar hingga pinggangnya.
“Oh, maaf.” Ucap Edward yang kemudian menghindar dan masuk ke dalam kamar. “Bagaimana hari mu hari ini?,” Tanya Edward sambil tersenyum.
“Tidak ada yang menyenangkan,” jawab Eliana dengan nada kesal sambil bersandar di pintu kamar menatap kearah Edward yang membuka lemari pakain mengambil beberapa pakaina dan meletakannya di atas tempat tidur.
“Hari ini aku bertemu dengan anak-anak yatim piatu,” ucap Edward.
Elaian diam tidak berkomentar.
“Jika kau bosan di sini, kau bisa ikut aku ke desa besok dan membantu Septi mengajari anak-anak itu banyak hal,” Edward menyarankan.
Kening Eliana mulai mengkerut. “Maksut mu aku pergi ke desa yang saat ini sedang terserang wabah demam berdarah, apa kau ingin membunuh ku?,” Ucap Eliana dengan kesal.
Edward terhenti bergerak, menatap kearah Eliana dengan tatapan serius. “Aku hanya menyarankan. Jika kau tidak mau kau bisa mengatakan tidak, tak perlu kau berucap sekasar itu.”
“Aku bosan di sini, tak ada yang bisa aku lakukan. Aku seperti orang bodoh yang terkurung di suatu tempat yang sunyi dan menyedihkan,” Eliana mulai mengeluarkan unek-uneknya.
“Jika kau bosan kau bisa menerima saranku tadi,” ucap Edward sambil mencoba tersenyum kearah Eliana.
“Ke desa. Apakah kau tidak memikirkan apa yang sedang terjadi disana, kau ingin membawa aku ketempat berbahaya agar aku bisa mati terserang demam berdarah,” Eliana berpaling lalu duduk dibangku kayu di depan jendela besar.
“Kau tak perlu berkata-kata kasar seperti itu, sudah kubilang kau boleh mengatakan tidak jika kau tidak mau, aku tidak memaksakan bahwa kau harus ke desa,” kali ini Edward terdengar kesal.
“Aku bosan disini, sendirian seperti orang bodoh dan aku tidak mau ikut ke desa yang berbahaya itu.”
“Lalu apa yang kau inginkan, kau ingin aku selalu ada di sini menemanimu, mengapa kau tidak mencoba berbicara denganku, dengan bahasa yang lebih sopan—mengapa kau selalu memancing pertengkaran di antara kita?”.
Elaian bangkit lalu kembali berdiri di samping pintu. “Aku tak pernah memancing pertengkaran, kaulah yang selalu membuat aku kesal, kaulah yang menciptakan pertengkaran ini,” suara Eliana sedikit keras.
Edward mendekat kearah Eliana dengan emosi yang tidak terkontrol. “Kau selalu memutar balikan fakta, kau tak pernah mau mengakui bahwa pertengkaran ini berasal dari sikapmu yang terlalu egois itu—aku selalu mencoba membuka pembicaraan diantar kita dengan cara yang baik agar kehidupan kita tidak terasa aneh, hanya dihiasi kesunyian tapa ada komunikasi yang pasti. Tapi kau selalu mematahkan usahaku itu, kau selalu membawa pembicaraan kita ke sebuah pertengkaran yang tidak ada akhirnya ini, aku sudah sangat letih dengan sikap-sikap mu yang selalu memojokkanku,” Edward menatap mata Eliana sangat dekat, dia berdiri sangat dekat dengan Eliana.
“Jika kau letih kepadaku, maka aku muak kepadamu. Kau tak pernah memikirkan perasaanku, kau selalu memaksakan apa yang kau kehendaki dengan cara bersikap baik kepadaku, aku bukanlah mainan yang bisa kau permainkan begitu saja.”
“Memaksamu, tidak memikirkan perasaanmu?. apakah kau tidak pernah menyadari betapa aku mencoba menjaga perasaanmu, apakah kau tak pernah menyadari aku selalu meberikan beberapa pilihan kepadamu dan tidak pernah memaksakan dirimu untuk memilih salah satu dari pilihan itu. Kau mau ikut ke sini pun aku tidak memaksakanmu, aku sudah memberi pilihan kan sebelumnya kepadamu, lalu sebenarnya apa yang kau inginkan dalam pernikahan ini. Seharusnya kau lah yang harus berpikir secara jernih dan mulai menyadari perananmu di sini sebagai istriku. Pernahan kau bersikap layaknya seorang istri kepada suaminyna, tidak kan. Dan aku juga tidak mau memaksakan hal seperti itu kepadamu, karena aku sadar, akulah yang sangat bodoh disini, terlalu berharap banyak hal yang bisa aku dapatkan dari hubungan kita ini. Bukannya sebuah pertengakran dan pertengkaran.”
Eliana menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Aku memang salah—,“ ucapnya dengan nada bercampur isekan tangis.
“Maafkan aku, aku terbawa emosi,” ucapa Edward dengan nada pelan lalu perlahan memeluk Eliana dengan penuh kasih sayang.
~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!