Kotak musik dimatikan, semuanya duduk dengan
secangkir teh yang masing-masing berada di hadapan mereka. Alvin, Edward dan
Eliana diam menatap kearah Septi yang duduk di atas bangku kayu kecil memegang
sebuah alat musik yang segera akan dimainkannya. Sebuah cello sudah tersandar
dan siap untuk dimainkan.
Septi menunduk memejamkan matanya sejenak, membayangkan
warna nada yang akan dimulainya lalu empat dawai yang melintang lurus digesek
dengan busur secara perlahan, warna dari nada mulai terdengar, musik yang
mengalun indah itu bagaikan menari-nari dalam kepala, bercampur dengan suara
kawanan jangkrik yang harmonis di malam gelap, semuanya diam penuh kagum
menatap dengan emosi yang mengalir lewat nada indah itu. Sebuah emosi yang
sangat kuat merasuk melewati urat nadi lalu berhenti di dalam hati dan jiwa
yang menepi. Septi melakukan loncatan-loncatan nada yang indah, jauh dan tidak
biasa, akan tetapi masih terdengar harmonis. Edward yang tidak terlalu tahu
tentang musik pun diam terlarut dalam pesan yang disampaikan oleh Septi lewat
nada-nada dawai yang dimainkannya.
Mata Alvin mulai berkaca-kaca, dia paham betul lagu
yang dimainkan oleh Septi adalah sebuah pesan kehidupan yang dialami oleh
Septi, dimana kesedihan menjadi bagian dari hidup Septi dulu, merasuk,
menyentuh dan membuat semuanya merasa lemah. Inilah rasa rapuh berselimutkan
cinta yang membuat Alvin tak bisa lepas dari Septi, rasa cinta itu semakin
nyata hadir di hidupnya hingga sulit untuk menghentikannya.
Eliana mengankat cangkir tehnya, musik terhenti
sejenak. Alvin dan Edward menoleh kearah Eliana lalu berpaling lagi kearah
Septi yang kembali memainkan cellonya. Musik sudah hampir mencapai ending, dibagian
akhir itulah emosi Septi begitu terasa, saat musik mengalun melambat, serasa
jujur hingga warna-warni melodi dawai yang dibentuk oleh Septi di awal tadi
seakan memudar memnjadi kekelaman, kesedihan berlapiskan air mata, abu-abu
perasaan, abu-abu kegelisahan.
Ketika musik berhenti tak ada tepukan tangan, yang
ada hanyalah kesunyian dan ketermenungan, seakan melodi yang dimainkan Septi
terus mengalun merdu di dalam ingatan mereka, menjebak mereka dalam emosi sedih
lalu lepas begitu saja dari emosi itu.
Septi bangkit sambil menyandarkan cello di bangku
kayu, melangkah dan duduk di samping Alvin, Alvin mencium Septi dengan penuh
sayang lalu menoleh kearah Edward dan Eliana. “Inilah alasan mengapa aku tak
bisa pergi meninggalkan desa Rangkat. Aku telah menemukan hidupku disini,” Alvin
menyeka matanya dengan jemarinya.
Edward tersenyum. “Aku sudah mengerti, apa yang kau
maksut dengan hidup, ini bukan hanya sekedar kebahagiaan tapi sesuatu yang
lebih dari itu, semoga saja apa yang
kalian dapatkan akan menular pada kami.” Edward melirik kearah Eliana yang
sedang mengankat gelas tehnya.
Eliana menumpahkan teh yang ada ditangannya.
“Maafkan aku—,“ ucap Eliana sambil memungut pecahan gelas di lantai kayu.
Septi bangkit dan mendekat kearah Eliana. “Tak
apa-apa, sini aku bereskan.”
~
Suara polos yang menggema di sebelah ruangan membuat
Edward penasaran. Nyanyian itu terdengar jujur dan menenangkan, Alvin yang
melihat Edward terdiam mendengarkan, langsung berucap. “Di sebelah adalah
tempat penampungan anak-anak yatim piatu yang orang tuanya telah meninggal
karena wabah demam berdarah, mereka masih kecil dan polos,” jelas Alvin dengan
kening berkerut. “Oiya, ajak Eliana kesini, siapa tahu dia bisa memberikan
kasih sayang pada anak-anak itu seperti Septi yang mengajarkan anak-anak bermain
cello.”
Edward melangkah keluar ruangan menyusuri jalan
kasar yang berdebu, memfokuskan telinganya pada alunan suara yang menarik
perhatiannya, lalu dia terhenti di depan sebuah pintu yang terbuka bebas,
bersandar dan menatap dengan rasa prihatin. Bocah-bocah dengan wajah polos tadi
mengalunkan sebuah lagu indah, mencoba menghibur hati mereka yang seharusnya
mendapatkan kasih sayang lebih, mencoba
menyadari apa yang sebenarnya terjadi pada diri mereka.
Seorang perempuan tua berkaca mata tebal berdiri
dengan sebuah buku kubas di tangannya, tersenyum kearah Edward lalu melanjutkan
langkahnya mengawasi bocah-bocah tak berdosa yang di didiknya. Satu persatu
bocah-bocah itu maju, menceritakan sesuatu hal yang mereka tahu sambil sesekali
melucu, mengobati hati mereka yang sedang terluka dan pilu.
Seorang bocah perempuan dengan rambut terkepang dua
maju, membawa selembar kertas—tepatnya sebuah gambar—, dia memperlihatkan
gambar tadi pada teman-temannya lalu mulai bercerita. “Ini namanya keluarga,
ada ibu, ada bapak, ada kakak dan ada aku, setiap hari kami selalu pergi
kesawah, kata bapak sawah adalah anugerah dari Tuhan dan kata ibu sawahlah yang
membuat kami bisa hidup. Karena sawah adalah anugerah Tuhan maka kami setiap
hari harus bersyukur kepada Tuhan dengan cara mentaati segala perintahnya dan
menjauhi segala larangannya. Kata bapak saat ini Tuhan sedang marah, karena
banyak orang-orang yang ingkar kepadanya,” semua diam memperhatikan, bocah
perempuan tadi menarik napasnya yang mulai terasa sesak di dada. “Tapi aku
ingin bertanya pada Tuhan, mengapa bapak, ibu dan kakak diambil oleh-Nya
kembali dariku sehingga aku hanya tersisa sendirian.”
Semua yang ada diruangan itu terdiam kecuali Edward
yang memberikan sebuah jawaban pada bocah tadi. “Tuhan melakukan itu agar kamu
tidak melupakan-Nya, Tuhan hanya ingin kamu menjadi kuat dan menjadi dewasa
dalam kemandirian,” semua mata teralih pada Edward yang bersandar, dengan kedua
tangan dimasukannya ke dalam kantong jas lebnya. Edward melangkah mendekat kearah
bocah tadi, lalu membungkuk, menatap wajah bocah yang terlihat sedih bercampur
gugup. “Siapa namamu?.”
“Indri,” jawab bocah tadi malu-malu.
“Sudah berapa lama kau tinggal bersama anak-anak
yang lain?.”
“Sudah lima hari, eh, enam hari, eh, lupa.”kata-kata
Indri memecah tawa di ruangan yang tadinya berubah sunyi itu.
Edward tersenyum sambil mengeluarkan sebuah permen
dari dalam saku jas labnya. “Tadinya aku membeli permen ini untuk aku makan di
waktu senggangku. Tapi karena kau telah mencuri waktu senggangku dengan berbagi
cerita yang sangat menarik maka aku menghadiahkan permen ini untukmu.”
Indri menyambut permen tadi lalu berucap dengan nada
memohon. “Jika saya mendapat permen, maka saya harus memakannya. Tapi saat ini
saya memiliki banyak saudara di sini, maka saya harus membagi permen ini pada
semua keluarga baru saya, bisakah bapak membelikan kami semua permen yang sama,
biar tidak ada lagi perasaan iri dihati kami semua.”
Edward terkejut mendengar ucapan bocah itu, tak
menyangka seorang bocah yang masih terlihat kecil, dengan keadaan menyedihkan,
sendirian, memiliki pemikiran yang bahkan jarang terpikirkan oleh orang dewasa.
Edward tersenyum sambil memgelus kepala bocah tadi. “Besok aku janji akan
membelikan kalian semua permen yang sama, untuk saat ini kamu saja yang
mendapatkannya karena kamu sudah bercerita dengan sangat baik.
~
Eliana sudah berkali-kali mengelilingi Villa,
keluar, melihat pemandangan, duduk, lalu bangkit lagi masuk tak lama keluar
lagi, tak ada yang bisa dilakukannya, dia benar-benar merasa bosan. Berkali-kali
dia menyingkap tirai jendea samping, melihat kearah jalan setapak yang sunyi, villa
seberang juga sama sunyinya. Alvin berangkat ke desa bersama Edward sedangkan
Septi juga pergi ke desa mengajar anak-anak bermain musik, rasa menyesal dihati
Eliana telah menolak ajakan Septi, kini dia benar-benar sendiri terkurung di
tempat yang sangat membosankan.
Masuk ke dalam kamar berbaring sejenak, menatapi
langit-langi yang kosong, berpaling kesamping lalu tatapannya terhenti pada sebuah
benda yang berada di atas meja di pojok ruangan—sebuah mesin ketik—mesin ketik
yang sering digunakan oleh Edward untuk mengetik surat dan hal-hal lain yang
tidak diketahui oleh Eliana.
Eliana mengangkat mesin tadi membawanya ke teras
rumah dan meletakkannya di atas bangku kayu panjang, kembali ke kamar mengambil
beberapa kertas buram yang kemudian dimasukannya selembar ke mesin ketik. Bunyi
tekanan jemari mulai terdengar harmonis membentuk sebuah nada sembarang yang
sesekali terdengan cepat dan mengasyikan. Eliana menulis sesuatu, dia
menumpahkan apa saja yang sedang ada di dalam pikirannya ke dalam selembar
kertas buram kosong yang perlahan mulai terisi.
Jika hidup adalah sempurna
Berawal
dari secercah sinar dan setitik embun pagi yang menyegarkan, membawa tarian
harapan yang tak akan pernah bisa tergantikan, menuai mimpi yang berubah
menjadi pasti, melihat pundi-pundi masa depan yang sama seperti bayang-bayang.
Nada-nada
itu penuh kesempurnaan, penuh dengan kesamaan pikiran-pikiran terdalam, mencoba
mengecup rembulan di dalam ombak malam yang menghawatirkan. Jangan, janganlah
pernah menghentikan perasaan karena ini adalah kehidupan.
Di saat
kehidupan adalah pembuktian, kadang hati rasa terbeban, maka matilah nadi
berhenti berdenyut seperti jantung yang juga berhenti berdetak.
Di saat
kehidupan adalah pembuktian, kadang jiwa rasa berduka, makna hidup rasa
berdusta, hati ingkar tidak sejalan, dengan nasib yang semakin menyedihkan.
Jika dan
ini hanyalah jika
Jika
hidup adalah sempurna, maka hidup adalah palsu.
Jika dan
ini hanyalah jika
Jika
hudup adalah sempurna maka hidup terasa layu
Jika dan
ini hanyalah jika
Jika
hidup adalah sempurna maka hidup adala bisu
Jika dan
ini hanyalah jika……..
Eliana terhenti mengetik, berdiri meninggalkan mesin
ketik, bersandar ke tiang besar villa, memandang keujung cakrawala yang merona.
Jika hidup adalah sempurna. Ucapnya
dalam hati.
Kesendirian itu berlalu hingga sore hari. Eliana
tertidur di atas tempat tidur dengan mesin ketik disampingnya, ketika dia
bangun dia mendapati dirinya tertutup selimut membuat dirinya malas untuk
bangkit. Siapa yang menyelimuti ku.
Ucap Eliana dalam hati. Edward.
Eliana bangkit melangkah perlahan menjenguk keluar kamar secara perlahan, ruangan
sunyi, tidak ada siapa-siapa. Ketika ingin keluar dari kamar dan ingin
berbelok, Eliana menabrak Edward yang tidak mengenakan pakaian—hanya handuk
yang melingkar hingga pinggangnya.
“Oh, maaf.” Ucap Edward yang kemudian menghindar dan
masuk ke dalam kamar. “Bagaimana hari mu hari ini?,” Tanya Edward sambil
tersenyum.
“Tidak ada yang menyenangkan,” jawab Eliana dengan
nada kesal sambil bersandar di pintu kamar menatap kearah Edward yang membuka
lemari pakain mengambil beberapa pakaina dan meletakannya di atas tempat tidur.
“Hari ini aku bertemu dengan anak-anak yatim piatu,”
ucap Edward.
Elaian diam tidak berkomentar.
“Jika kau bosan di sini, kau bisa ikut aku ke desa
besok dan membantu Septi mengajari anak-anak itu banyak hal,” Edward menyarankan.
Kening Eliana mulai mengkerut. “Maksut mu aku pergi
ke desa yang saat ini sedang terserang wabah demam berdarah, apa kau ingin
membunuh ku?,” Ucap Eliana dengan kesal.
Edward terhenti bergerak, menatap kearah Eliana
dengan tatapan serius. “Aku hanya menyarankan. Jika kau tidak mau kau bisa
mengatakan tidak, tak perlu kau berucap sekasar itu.”
“Aku bosan di sini, tak ada yang bisa aku lakukan. Aku
seperti orang bodoh yang terkurung di suatu tempat yang sunyi dan menyedihkan,”
Eliana mulai mengeluarkan unek-uneknya.
“Jika kau bosan kau bisa menerima saranku tadi,”
ucap Edward sambil mencoba tersenyum kearah Eliana.
“Ke desa. Apakah kau tidak memikirkan apa yang
sedang terjadi disana, kau ingin membawa aku ketempat berbahaya agar aku bisa
mati terserang demam berdarah,” Eliana berpaling lalu duduk dibangku kayu di
depan jendela besar.
“Kau tak perlu berkata-kata kasar seperti itu, sudah
kubilang kau boleh mengatakan tidak jika kau tidak mau, aku tidak memaksakan
bahwa kau harus ke desa,” kali ini Edward terdengar kesal.
“Aku bosan disini, sendirian seperti orang bodoh dan
aku tidak mau ikut ke desa yang berbahaya itu.”
“Lalu apa yang kau inginkan, kau ingin aku selalu
ada di sini menemanimu, mengapa kau tidak mencoba berbicara denganku, dengan bahasa
yang lebih sopan—mengapa kau selalu memancing pertengkaran di antara kita?”.
Elaian bangkit lalu kembali berdiri di samping
pintu. “Aku tak pernah memancing pertengkaran, kaulah yang selalu membuat aku
kesal, kaulah yang menciptakan pertengkaran ini,” suara Eliana sedikit keras.
Edward mendekat kearah Eliana dengan emosi yang
tidak terkontrol. “Kau selalu memutar balikan fakta, kau tak pernah mau
mengakui bahwa pertengkaran ini berasal dari sikapmu yang terlalu egois itu—aku
selalu mencoba membuka pembicaraan diantar kita dengan cara yang baik agar kehidupan
kita tidak terasa aneh, hanya dihiasi kesunyian tapa ada komunikasi yang pasti.
Tapi kau selalu mematahkan usahaku itu, kau selalu membawa pembicaraan kita ke
sebuah pertengkaran yang tidak ada akhirnya ini, aku sudah sangat letih dengan
sikap-sikap mu yang selalu memojokkanku,” Edward menatap mata Eliana sangat
dekat, dia berdiri sangat dekat dengan Eliana.
“Jika kau letih kepadaku, maka aku muak kepadamu. Kau
tak pernah memikirkan perasaanku, kau selalu memaksakan apa yang kau kehendaki
dengan cara bersikap baik kepadaku, aku bukanlah mainan yang bisa kau
permainkan begitu saja.”
“Memaksamu, tidak memikirkan perasaanmu?. apakah kau
tidak pernah menyadari betapa aku mencoba menjaga perasaanmu, apakah kau tak
pernah menyadari aku selalu meberikan beberapa pilihan kepadamu dan tidak
pernah memaksakan dirimu untuk memilih salah satu dari pilihan itu. Kau mau
ikut ke sini pun aku tidak memaksakanmu, aku sudah memberi pilihan kan
sebelumnya kepadamu, lalu sebenarnya apa yang kau inginkan dalam pernikahan
ini. Seharusnya kau lah yang harus berpikir secara jernih dan mulai menyadari
perananmu di sini sebagai istriku. Pernahan kau bersikap layaknya seorang istri
kepada suaminyna, tidak kan. Dan aku juga tidak mau memaksakan hal seperti itu
kepadamu, karena aku sadar, akulah yang sangat bodoh disini, terlalu berharap
banyak hal yang bisa aku dapatkan dari hubungan kita ini. Bukannya sebuah
pertengakran dan pertengkaran.”
Eliana menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua
telapak tangannya. “Aku memang salah—,“ ucapnya dengan nada bercampur isekan
tangis.
“Maafkan aku, aku terbawa emosi,” ucapa Edward
dengan nada pelan lalu perlahan memeluk Eliana dengan penuh kasih sayang.
~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!