Daun-daun
masih belum kering karena hujan, tapi sekawanan awan hitam telah pudar dan
memutih, keindahannya terlihat telah kembali, begitu juga dengan ketenangannya.
Pegunungan Naras yang cukup tinggi membuat semua pemandangan indah yang ada di bawahnya
terlihat lengkap, padi-padi yang menguning, danau, taman bunga dan laut yang
tak berujung, tampak begitu komplit, segar dan membahagiakan—semoga saja kebahagiaan itu akan sama dengan
Perasaanku nantinya. Ucap Edward dalam hatinya.
Edward
mengangkat koper-koper yang tersusun di teras Villa. Beberapa jam yang lalu
setelah hujan reda lima orang laki-laki datang membawa koper-koper milik Edward
dan Eliana—salah satu dari lima orang tadi adalah Suryo, laki-laki yang
meminjamkan kuda kepada Edward.
Edward
meletakan koper yang dibawanya dengan pelan ke dalam kamar, menumpuknya dengan
rapi di pojok kamar. Dia terhenti ketika menatap kearah Eliana yang masih
tertidur pulas, dia mendekat menatap Eliana dengan sangat tajam, dengan
perasaan yang penuh harapan. Mengapa
perjalanan cinta ini terasa semakin berat. Edward mengeluh dalam hatinya.
Eliana
membuka kedua bola matanya dan langsung menatap Edward yang berdiri kaku.
Edward melarikan pandangannya kearah koper lalu berjalan menuju keluar kamar.
Eliana
yang baru menyadari bahwa dirinya tidak mengenakan baju—hanya tertutup selimut
tebal yang membuatnya hangat—berucap dengan nada kasar. “Kau melepas bajuku?,”
pertanyaan itu bernada keras bercampur marah.
Edward
terhenti melangkah lalu berpaling kembali dan bersandar di pintu kamar. “Maaf
aku tidak sopan, tapi kau tenang saja aku tidak melakukan apa-apa, aku hanya
tidak mau kau mati kedinginan,” kemudian dia berpaling dan pergi meniggalkan
Eliana tanpa menunggu komentar Eliana selanjutnya.
Eliana
diam berpikir, menarik bantal yang ada di kepalanya lalu memeluknya dengan
sangat erat. Apakah aku bisa percaya padanya. Ucap Eliana dalam
hati.
Edward
mengaduk secangkit teh yang masih hangat, tak lama setelah duduk-duduk ketika
hujan tadi Edward memasak air, secangkit teh berwarna coklat muda dengan gelas
putih dan piring kecil putih yang selaras. Berjalan perlahan menuju kamar yang
sudah tertutup. Pintu kamar di ketuk, beberapa detik kemudian Eliana berdiri
menatap kearah Edward tanpa sedikit senyum.
Edward
masuk meletakan teh tadi di atas meja kecil yang ada disamping pintu. “Aku
membuatkanmu the,” dia diam sejenak menunggu respon dari Eliana, namun karena
Eliana tidak berkomentar dia pun melanjutkan kata-katanya lagi. “Nanti malam
kita akan berkunjung ke villa seberang, Alvin tinggal diseberang,” Edward
berpaling dan keluar menuju teras rumah. Sesungguhnya hati Eliana dilanda kegundahan
yang begitu besar. Sikap Edward terlalu
baik padaku—ah, mungkin saja ini hanya sesaat. Pikir Eliana sambil
mengangkat secangkir teh yang masih hangat mencium aroma teh lalu menyedunya
dengan perlahan.
~
Air
mata itu terus menetes tanpa henti, mewakili setiap langkah kaki Eliana yang
semakin cepat, rasa sakit hatinya bagai merajami jantungnya membuat napasnya
terasa sesak. Langkah-langkah penuh kegelisahan itu terhenti di depan sebuah
pintu yang memang sudah terbuka, seorang bocah perempuan berdiri kaku menatap
kearah Eliana, menatap dengan penuh tanya serta kebingungan.
“Ada
yang bisa saya bantu?,” kata bocah tadi dengan suaranya yang kecil sambil
berjalan mendekat kearah Eliana.
Eliana
membungkukan badannya lalu tersenyum setengah terpaksa pada bocah tadi.
“Matthew nya ada?,” Eliana balik bertanya.
“Sayang,
siapa—,“ kata-kata Matthew terhenti ketika melihat Eliana yang perlahan berdiri
tegak lagi.
Bocah
perempuan tadi berpaling kearah Matthew dan berlari lalu memeluknya. Matthew
menggendong bocah tadi. Senyum menghiasi wajah Matthew yang berjalan mendekat
kearah pintu. “Kenalkan ini Eka bidadari kecilku.”
Eliana
tak berkomentar, dia terdiam kaku dengan ekspresi masih terkejut.
Matthew
menurunkan Eka. “Masuk bantui ibumu di dapur,” ucap Matthew pada anaknya itu
lalu Matthew keluar dan menutup pintu rumahnya dari luar. “Ada apa Eliana?,”
tanya Matthew dengan senyum seperti biasanya.
Mata
Eliana meradang lagi, bekas tangis sebelumnya pun belum kering, dan saat itu
tangis itu akan segera mengalir lagi, sebuah kenyataan pahit terpapar dengan
sangat nyata dihadapannya. “Eka itu anak mu?,” tanya Eliana lirih.
“Ya,
dia baru datang dari Jerman bersama July, dari tempat neneknya,” Matthew masih
terlihat tenang.
Eliana
dan Matthew berjalan pelan menyusuri trotoar jalan yang mulai ramai, menuju
kearah pelabuhan yang tidak terlalu jauh. Sepanjang perjalanan itu Eliana tak
pernah sekalipun menatap mata Matthew, dia tidak mau menunjukan kesedihan yang
sedang dialaminya.
“Ada
apa kau berkunjung hari ini?,” Matthew bertanya lagi.
“Tidak,
aku hanya ingin mengucapkan salam perpisahan. Edward dan aku akan meninggalakn
kota ini, besok kami akan berangkat ke pedalaman desa Rangkat.”
Langkah
Matthew terhenti. “Mengapa harus pergi secepat itu?, kau bisa tinggal, apalagi
jika hanya untuk beberapa hari saja.”
“Itulah
masalahnya, Edward tidak mau meninggalkanku, dia masih sangat marah dengan
kejadian malam itu,” kali ini Eliana berpaling dan menatap mata Matthew.
“Kepergian ini bukan untuk beberapa hari tapi untuk beberapa bulan atau bahkan
beberapa tahun, Edward mendapat surat dari temannya yang ada di sana, temannya
itu mengajak Edward untuk melakukan pengobatan secara geratis kepada warga desa
yang terserang wabah demam berdarah, katanyna kami hanya akan pulang apabila
wabah telah teratasi.”
Matthew
baru menyadari bahwa Eliana menangis, disapunya air mata Eliana yang mengalir
pelan dipipi. “Mengapa kau tidak menolaknya saja?,” Matthew terlihat sangat
serius.
“Aku
tidak mungkin menolaknya dia mengancam akan menceraikanku apa bila tidak mau
ikut dengannya, dia akan menceraikanku atas tuduhan perselingukuhan dan
perjinahan. Aku tak mau membuat ibuku bersedih,” Air mata Eliana langsung
membanjiri wajahnya.
Matthew
merentangkan tangannya memberikan pelukan hangat pada Eliana lalu berucap
dengan lirih. “Andai saja saat ini aku masih sendiri aku akan membantu mu
semampuku, tapi saat ini aku sudah memiliki keluarga yang tidak bisa ku
tinggalkan, jujur seja pertemuan pertama kita di malam itu membuat aku
merasakan sebuah getaran yang berbeda, getaran hati yang kuartikan sebagai
perasaan cinta.”
Eliana
larut dalam tangis yang semakin kuat, pelampiasan emosi lewat air mata
membuatnya perlahan kembali kuat. Dilepasnya pelukan Matthew lalu disapunya
kedua matanya. “Aku tak mungkin memaksamu untuk menjadi milikku, aku tak
mungkin mau menghancurkan keluargamu yang sangat kau sayangi, aku hanya bisa
berucap terima kasih padamu karena telah membagi sedikit kehidupanmu padaku
untuk beberapa hari ini, semoga ini bukan menjadi pertemuan terakhir kita.”
“Aku
juga berharap kita bisa bertemu lagi,” ucap Matthew sambil memegang kedua
tangan Eliana dengan sangat erat.
Dan
setelah hari itu tak ada lagi hari-hari bersama, senja di dermaga, berjalan
menyusuri terotoar jalan yang kadang ramai dengan anak-anak yang asik bermain
kejar-kejaran. Waktu bergerak tanpa bisa di duga, walau pun sesungguhnya sanga
waktu memiliki detakan yang selalu sama.
~
Aroma
harum dari asap dufa menghiasi setiap sudut ruangan, selaras dengan alunan
musik santai yang terdengar menenangkan. Edward dan Alvin duduk dibangku ruang
utama sedangkan Eliana dan Septi berbincang-bincang di dapur sambil membuat
teh.
Eliana
bersandar pada meja dapur dengan senyum santai kearah Septi yang sedang
mengaduk teh yang ada di dalam teko.
“Kau asli warga sini?” tanya Eliana.
“Ya,
ayah dan ibuku asli orang sini,” Septi mengangkat teko dan empat gelas kaca
yang sudah diletakannya di atas baki bercorakan bunga-bunga lili meletakannya
di atas meja disamping Eliana.
“Sudah
berapa lama kamu mengenal Alvin. Ku lihat kau begitu menyayanginya,” Eliana
berkomentar sambil membalik gelas-gelas kaca lalu mengisi gelas-gelas itu
dengan teh yang masih berasap.
“Aku
mengenalnya kurang lebih enam bulan yang lalu ketika ayah, ibu dan adikku
meniggal terserang demam berdarah—saat ini aku sebatangkara—aku bersyukur Alvin
mau menerimaku,” Septi merapikan kotak-kotak teh menyusunya kembali kerak-rak
yang terbuat dari bambu. “Aku memang sayang padanya karena dia juga menyayangi
ku dan baik pada ku, tapi untuk dikatakan cinta, aku belum merasakan hal itu.”
Kata-kata
terakhir Septi tadi membuat Eliana mendekat dan penasaran. “Maksudmu kau tidak
mencintai Alvin tapi kau bisa menerimanya dan perlahan mencoba mencintainya?,”
pertanyaan itu terdengar menarik.
Septi
tersenyum lalu bersandar disebelah Eliana. “Mengapa aku tidak mencoba menerima
kenyataan yang ada. Alvin begitu baik denganku, disaat-saat tersusah dalam
hidup ku, disaat aku hanya sendirian, dia datang dan mengurusku dengan sangat
baik, menyayangiku dengan penuh ikhlas, jadi sudah sepantasnya aku membalas
semua yang telah diberikannya kepadaku dengan perasaan sayang dan cinta yang
perlahan aku coba bangun, dia tidak pernah memaksakan aku untuk mencintainya
tapi dia selalu bilang bahwa dia sangat menyayangiku.”
“Tapi
apakah kau tidak merasa membohongi perasaanmu sendiri?,” tanya Eliana yang
semakin penasaran.
“Ah,
membuhongi perasaan, terkadang kita selalu berpikir seperti itu, sebenarnya
yang membohongi diri kita adalah diri kita sendiri, kita melihat dengan nyata
sebuah cinta dan kasih sayang di hadapan kita, tapi kita selalu mengharapkan
hal lebih yang tidak lain hanyalah perasaan hati kita, jika kita hanya
mengikuti kata hati dan perasaan maka dunia ini pun tidak akan pernah cukup
memuaskan perasaan kita, jadi mengapa harus mencari, jika cinta yang jujur
sudah ada di depan mata—bukan kah mencari hanya akan membuang-buang waktu
saja?,” Septi berucap dengan wajah penuh renung.
“Masalah
hati dan perasaan memang sulit ya untuk di mengerti, aku salut dengan mu, bisa
bertahan dan mencoba mencintai lelaki baru yang memang sangat berpengaruh
terhadap hidupmu,” Eliana berkomentar.
“Yah,
saat ini aku hanya bisa berharap seperti pepatah. Tak kanal maka tak sayang. Aku mencoba mengenali kehidupan baruku
agar aku bisa lebih menyukurinya dengan perasaan sayangku, perlahan aku
mengenalnya agar perasaan sayang ini semakin besar hingga membentuk sebuah cinta
yang ikhlas lewat hatiku,”
Perbincangan
yang cukup panjang itu membuat Eliana dan Septi menjadi sangat akrab, kisah
kehidupan yang ternyata memiliki pon-poin dari berbagai kunci keikhlasan dalam
menjalani hidup yang tidak pernah selaras dengan perasaan, setiap kata yang
mereka ucapakan menjadi kunci dari pencerahan pikiran yang sudah terlanjur dibutakan
oleh hati dan perasaan, kadang kerasionalan itu perlu dan sangat membantu dan
kadang hati itu sering kali membuat orang-orang berandai-andai, walau
sebenarnya yang namanya hidup itu tidak baik jika hanya dijalani dengan
berandai-andai.
~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!