26 Jun 2012

[If Complicated] Bab Lima


Daun-daun masih belum kering karena hujan, tapi sekawanan awan hitam telah pudar dan memutih, keindahannya terlihat telah kembali, begitu juga dengan ketenangannya. Pegunungan Naras yang cukup tinggi membuat semua pemandangan indah yang ada di bawahnya terlihat lengkap, padi-padi yang menguning, danau, taman bunga dan laut yang tak berujung, tampak begitu komplit, segar dan membahagiakan—semoga saja kebahagiaan itu akan sama dengan Perasaanku nantinya. Ucap Edward dalam hatinya.

Edward mengangkat koper-koper yang tersusun di teras Villa. Beberapa jam yang lalu setelah hujan reda lima orang laki-laki datang membawa koper-koper milik Edward dan Eliana—salah satu dari lima orang tadi adalah Suryo, laki-laki yang meminjamkan kuda kepada Edward.
Edward meletakan koper yang dibawanya dengan pelan ke dalam kamar, menumpuknya dengan rapi di pojok kamar. Dia terhenti ketika menatap kearah Eliana yang masih tertidur pulas, dia mendekat menatap Eliana dengan sangat tajam, dengan perasaan yang penuh harapan. Mengapa perjalanan cinta ini terasa semakin berat. Edward mengeluh dalam hatinya.
Eliana membuka kedua bola matanya dan langsung menatap Edward yang berdiri kaku. Edward melarikan pandangannya kearah koper lalu berjalan menuju keluar kamar.
Eliana yang baru menyadari bahwa dirinya tidak mengenakan baju—hanya tertutup selimut tebal yang membuatnya hangat—berucap dengan nada kasar. “Kau melepas bajuku?,” pertanyaan itu bernada keras bercampur marah.
Edward terhenti melangkah lalu berpaling kembali dan bersandar di pintu kamar. “Maaf aku tidak sopan, tapi kau tenang saja aku tidak melakukan apa-apa, aku hanya tidak mau kau mati kedinginan,” kemudian dia berpaling dan pergi meniggalkan Eliana tanpa menunggu komentar Eliana selanjutnya.
Eliana diam berpikir, menarik bantal yang ada di kepalanya lalu memeluknya dengan sangat erat. Apakah aku  bisa percaya padanya. Ucap Eliana dalam hati.
Edward mengaduk secangkit teh yang masih hangat, tak lama setelah duduk-duduk ketika hujan tadi Edward memasak air, secangkit teh berwarna coklat muda dengan gelas putih dan piring kecil putih yang selaras. Berjalan perlahan menuju kamar yang sudah tertutup. Pintu kamar di ketuk, beberapa detik kemudian Eliana berdiri menatap kearah Edward tanpa sedikit senyum.
Edward masuk meletakan teh tadi di atas meja kecil yang ada disamping pintu. “Aku membuatkanmu the,” dia diam sejenak menunggu respon dari Eliana, namun karena Eliana tidak berkomentar dia pun melanjutkan kata-katanya lagi. “Nanti malam kita akan berkunjung ke villa seberang, Alvin tinggal diseberang,” Edward berpaling dan keluar menuju teras rumah. Sesungguhnya hati Eliana dilanda kegundahan yang begitu besar. Sikap Edward terlalu baik padaku—ah, mungkin saja ini hanya sesaat. Pikir Eliana sambil mengangkat secangkir teh yang masih hangat mencium aroma teh lalu menyedunya dengan perlahan.
~
Air mata itu terus menetes tanpa henti, mewakili setiap langkah kaki Eliana yang semakin cepat, rasa sakit hatinya bagai merajami jantungnya membuat napasnya terasa sesak. Langkah-langkah penuh kegelisahan itu terhenti di depan sebuah pintu yang memang sudah terbuka, seorang bocah perempuan berdiri kaku menatap kearah Eliana, menatap dengan penuh tanya serta kebingungan.
“Ada yang bisa saya bantu?,” kata bocah tadi dengan suaranya yang kecil sambil berjalan mendekat kearah Eliana.
Eliana membungkukan badannya lalu tersenyum setengah terpaksa pada bocah tadi. “Matthew nya ada?,” Eliana balik bertanya.
“Sayang, siapa—,“ kata-kata Matthew terhenti ketika melihat Eliana yang perlahan berdiri tegak lagi.
Bocah perempuan tadi berpaling kearah Matthew dan berlari lalu memeluknya. Matthew menggendong bocah tadi. Senyum menghiasi wajah Matthew yang berjalan mendekat kearah pintu. “Kenalkan ini Eka bidadari kecilku.”
Eliana tak berkomentar, dia terdiam kaku dengan ekspresi masih terkejut.
Matthew menurunkan Eka. “Masuk bantui ibumu di dapur,” ucap Matthew pada anaknya itu lalu Matthew keluar dan menutup pintu rumahnya dari luar. “Ada apa Eliana?,” tanya Matthew dengan senyum seperti biasanya.
Mata Eliana meradang lagi, bekas tangis sebelumnya pun belum kering, dan saat itu tangis itu akan segera mengalir lagi, sebuah kenyataan pahit terpapar dengan sangat nyata dihadapannya. “Eka itu anak mu?,” tanya Eliana lirih.
“Ya, dia baru datang dari Jerman bersama July, dari tempat neneknya,” Matthew masih terlihat tenang.
Eliana dan Matthew berjalan pelan menyusuri trotoar jalan yang mulai ramai, menuju kearah pelabuhan yang tidak terlalu jauh. Sepanjang perjalanan itu Eliana tak pernah sekalipun menatap mata Matthew, dia tidak mau menunjukan kesedihan yang sedang dialaminya.
“Ada apa kau berkunjung hari ini?,” Matthew bertanya lagi.
“Tidak, aku hanya ingin mengucapkan salam perpisahan. Edward dan aku akan meninggalakn kota ini, besok kami akan berangkat ke pedalaman desa Rangkat.”
Langkah Matthew terhenti. “Mengapa harus pergi secepat itu?, kau bisa tinggal, apalagi jika hanya untuk beberapa hari saja.”
“Itulah masalahnya, Edward tidak mau meninggalkanku, dia masih sangat marah dengan kejadian malam itu,” kali ini Eliana berpaling dan menatap mata Matthew. “Kepergian ini bukan untuk beberapa hari tapi untuk beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun, Edward mendapat surat dari temannya yang ada di sana, temannya itu mengajak Edward untuk melakukan pengobatan secara geratis kepada warga desa yang terserang wabah demam berdarah, katanyna kami hanya akan pulang apabila wabah telah teratasi.”
Matthew baru menyadari bahwa Eliana menangis, disapunya air mata Eliana yang mengalir pelan dipipi. “Mengapa kau tidak menolaknya saja?,” Matthew terlihat sangat serius.
“Aku tidak mungkin menolaknya dia mengancam akan menceraikanku apa bila tidak mau ikut dengannya, dia akan menceraikanku atas tuduhan perselingukuhan dan perjinahan. Aku tak mau membuat ibuku bersedih,” Air mata Eliana langsung membanjiri wajahnya.
Matthew merentangkan tangannya memberikan pelukan hangat pada Eliana lalu berucap dengan lirih. “Andai saja saat ini aku masih sendiri aku akan membantu mu semampuku, tapi saat ini aku sudah memiliki keluarga yang tidak bisa ku tinggalkan, jujur seja pertemuan pertama kita di malam itu membuat aku merasakan sebuah getaran yang berbeda, getaran hati yang kuartikan sebagai perasaan cinta.”
Eliana larut dalam tangis yang semakin kuat, pelampiasan emosi lewat air mata membuatnya perlahan kembali kuat. Dilepasnya pelukan Matthew lalu disapunya kedua matanya. “Aku tak mungkin memaksamu untuk menjadi milikku, aku tak mungkin mau menghancurkan keluargamu yang sangat kau sayangi, aku hanya bisa berucap terima kasih padamu karena telah membagi sedikit kehidupanmu padaku untuk beberapa hari ini, semoga ini bukan menjadi pertemuan terakhir kita.”
“Aku juga berharap kita bisa bertemu lagi,” ucap Matthew sambil memegang kedua tangan Eliana dengan sangat erat.
Dan setelah hari itu tak ada lagi hari-hari bersama, senja di dermaga, berjalan menyusuri terotoar jalan yang kadang ramai dengan anak-anak yang asik bermain kejar-kejaran. Waktu bergerak tanpa bisa di duga, walau pun sesungguhnya sanga waktu memiliki detakan yang selalu sama.
~
Aroma harum dari asap dufa menghiasi setiap sudut ruangan, selaras dengan alunan musik santai yang terdengar menenangkan. Edward dan Alvin duduk dibangku ruang utama sedangkan Eliana dan Septi berbincang-bincang di dapur sambil membuat teh.
Eliana bersandar pada meja dapur dengan senyum santai kearah Septi yang sedang mengaduk teh yang  ada di dalam teko. “Kau asli warga sini?” tanya Eliana.
“Ya, ayah dan ibuku asli orang sini,” Septi mengangkat teko dan empat gelas kaca yang sudah diletakannya di atas baki bercorakan bunga-bunga lili meletakannya di atas meja disamping Eliana.
“Sudah berapa lama kamu mengenal Alvin. Ku lihat kau begitu menyayanginya,” Eliana berkomentar sambil membalik gelas-gelas kaca lalu mengisi gelas-gelas itu dengan teh yang masih berasap.
“Aku mengenalnya kurang lebih enam bulan yang lalu ketika ayah, ibu dan adikku meniggal terserang demam berdarah—saat ini aku sebatangkara—aku bersyukur Alvin mau menerimaku,” Septi merapikan kotak-kotak teh menyusunya kembali kerak-rak yang terbuat dari bambu. “Aku memang sayang padanya karena dia juga menyayangi ku dan baik pada ku, tapi untuk dikatakan cinta, aku belum merasakan hal itu.”
Kata-kata terakhir Septi tadi membuat Eliana mendekat dan penasaran. “Maksudmu kau tidak mencintai Alvin tapi kau bisa menerimanya dan perlahan mencoba mencintainya?,” pertanyaan itu terdengar menarik.
Septi tersenyum lalu bersandar disebelah Eliana. “Mengapa aku tidak mencoba menerima kenyataan yang ada. Alvin begitu baik denganku, disaat-saat tersusah dalam hidup ku, disaat aku hanya sendirian, dia datang dan mengurusku dengan sangat baik, menyayangiku dengan penuh ikhlas, jadi sudah sepantasnya aku membalas semua yang telah diberikannya kepadaku dengan perasaan sayang dan cinta yang perlahan aku coba bangun, dia tidak pernah memaksakan aku untuk mencintainya tapi dia selalu bilang bahwa dia sangat menyayangiku.”
“Tapi apakah kau tidak merasa membohongi perasaanmu sendiri?,” tanya Eliana yang semakin penasaran.
“Ah, membuhongi perasaan, terkadang kita selalu berpikir seperti itu, sebenarnya yang membohongi diri kita adalah diri kita sendiri, kita melihat dengan nyata sebuah cinta dan kasih sayang di hadapan kita, tapi kita selalu mengharapkan hal lebih yang tidak lain hanyalah perasaan hati kita, jika kita hanya mengikuti kata hati dan perasaan maka dunia ini pun tidak akan pernah cukup memuaskan perasaan kita, jadi mengapa harus mencari, jika cinta yang jujur sudah ada di depan mata—bukan kah mencari hanya akan membuang-buang waktu saja?,” Septi berucap dengan wajah penuh renung.
“Masalah hati dan perasaan memang sulit ya untuk di mengerti, aku salut dengan mu, bisa bertahan dan mencoba mencintai lelaki baru yang memang sangat berpengaruh terhadap hidupmu,” Eliana berkomentar.
“Yah, saat ini aku hanya bisa berharap seperti pepatah. Tak kanal maka tak sayang. Aku mencoba mengenali kehidupan baruku agar aku bisa lebih menyukurinya dengan perasaan sayangku, perlahan aku mengenalnya agar perasaan sayang ini semakin besar hingga membentuk sebuah cinta yang ikhlas lewat hatiku,”
Perbincangan yang cukup panjang itu membuat Eliana dan Septi menjadi sangat akrab, kisah kehidupan yang ternyata memiliki pon-poin dari berbagai kunci keikhlasan dalam menjalani hidup yang tidak pernah selaras dengan perasaan, setiap kata yang mereka ucapakan menjadi kunci dari pencerahan pikiran yang sudah terlanjur dibutakan oleh hati dan perasaan, kadang kerasionalan itu perlu dan sangat membantu dan kadang hati itu sering kali membuat orang-orang berandai-andai, walau sebenarnya yang namanya hidup itu tidak baik jika hanya dijalani dengan berandai-andai.
~


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!