20
km dari Desa Rangkat
Hujan
rintik terkadang memang
menyenangkan, tapi tidak untuk Eliana hari itu. duduk di atas koper dengan
perasaan kesal bercampur bosan. Memegang tangkai payung dengan tangan kananya
yang sudah terasa letih. Pemandangan alam yang terpapar di hadapannya memang
indah. Pegunungan, persawahan yang hijau, jalan setapak serta kesunyian yang
menenangkan seharusnya dapat membuat Eliana tersenyum bahagia. Tapi semua itu
seolah pergi dan tidak terlalu dipikirkannya, karena hal besar yang ada di
dalam kepalanya hanyalah rasa kesal yang dipendam tanpa bisa dicurahkan pada
siapa pun.
Eliana
berpura-pura mengawasi sekitar, kemudian tatapannya berhenti pada sosok seorang
laki-laki kurus, tinggi mengenakan jas dengan topi bundar yang melingkar di
kepala. Laki-laki itu diam menatap kearah buku yang ada di tangan kirinya,
sedangkan tangan kananya memegang tangkai payung yang berdiri kokoh
melindunginya dari tetesan-tetesan hujan yang masih belum berhenti.
Edward,
lelaki dengan wajah santai dan tidak terlalu banyak bicara itu adalah suami
Eliana. Sudah 4 bulan mereka menikah, bertemu di sebuah pesta pernikahan
sahabat Eliana yang bernama Ratih.
Hujan
sudah mereda. Edward bangkit menutup buku dan payung, meletakannya di atas
tumpukan koper lalu berjalan ketengah jalan setapak, melihat ke ujung jalan
yang masih sunyi dan tertutup kabut tipis. Belum ada tanda-tanda kereta kuda
yang seharusnya sudah datang dari tadi menjemput mereka berdua. Edward melihat
kearah jam tangannya. Seharusnya sudah satu jam dari tadi kereta kuda itu
datang, tapi sampai saat itu belum ada tanda-tanda akan segera datang.
Eliana
hanya diam memandang kearah Edward dengan wajah cemberutnya, dia tidak mau
berkomentar. Berkomentar sama saja dengan memperkeruh suasana.
Edward
melangkah menyusuri jalan, meninggalkan Eliana. Tatapannya mengarah ke ujung
jalan, wajahnya mulai terlihat meresah, kedua tangannya dimasukkannya ke dalam
saku celananya.
Eliana
bangkit sambil menutup payung. “Mau kemana?,” tanya Eliana berdiri kaku dengan
ekspresi kesal.
Edward
terhenti lalu berpaling kearah Eliana. “Kau tunggu disitu, aku akan mencari seseorang
yang bisa membantu kita,” lalu dia berpaling untuk melanjutkan langkahnya.
Eliana
melangkah mengiringi Edward dari belakang. Baru beberapa langkah, Edward sudah
berhenti lagi, berpaling kearah Eliana dengan wajah kesal. “Sudah ku bilang kau
tunggu di situ, jangan mengikutiku, aku tidak akan lama,” suara Edward
terdengar lebih tegas, wajah kesalnya membuat Eliana mematung kaku.
“Aku
hanya—.“
“Kau
tunggu aku disana,” jari telunjuknya
menunjuk kearah tumpukan koper. Suara Edward terdengar penuh emosi.
Eliana
tak bisa menyangkal, dia berpaling dengan wajah kesal, menuju tumpukan koper
dan duduk memandang Gunung Naras yang jauh dan tinggi dengan puncak yang masih
tertutup awan tipis. Dalam hati Eliana berharap Edward kembali menghampirinya
dan memohon maaf atas tindakan kasarnya itu, tapi saat dia melirik untuk
melihat sosok Edward, lelaki itu malah bergerak menjauh tanpa berpaling
melihatnya kebelakang. Eliana hanya mempu menghela nafas panjang.
~
4
Bulan yang lalu
Pesta
pernikahan Ratih
Selendang
merah jambu yang berayun menghiasi pintu-pintu rumah melambai dengan penuh
tenang. Edward berjalan menyusuri pemandangan luar rumah lewat selendang merah
jambu yang transparan. Mengawasi sesosok perempuan cantik dengan gaun coklat. Senyuman,
cara berbicaranya, gerak-griknya selalu diperhatikan Edward dengan sangat
serius.
“Mau
minum?,” suara itu membuat Edward terkejut lalu tersenyum kearah David yang
menghampirinya dengan dua gelas minuman dingin. “Ada apa?,” tanya David sambil
menjenguk di balik selendang merah jambu—David tersenyum.
Edward
meminum minumannya lalu menyandarkan diri ke tembok ruangan. “Selamat ya, kau
sudah menikah.”
David
tersenyum. “Terima kasih juga kau mau datang jauh-jauh dari London, bagaimana
kabar Jesika?.”
Edward
meletakan gelas yang sudah kosong di atas meja kecil yang ada disebelahnya lalu
melihat keluar di balik selendang jingga. “Hubungan kami sudah berakhir. Jesika
berselingkuh dengan temanku yang ku perkenalkan padanya.”
“Waw,
aku benar-benar tak percaya!. Seorang pewaris tunggal keluarga Norton ditinggal
oleh seorang perempuan,” nada bicara David sedikit mengejek.
Edward
hanya tersenyum. “Yah, kadang cinta itu bisa berbelok kelain hati!. Ngomong-ngomong
bagaimana ceritanya kau bisa bertemu dengan Ratih?.”
“Kami
bertemu di Sanghai setahun yang lalu. Kau tak usah mengalihkan pembicaraan
kelain hal jika kau ingin bertanya tentang perempuan yang mengenakan gaun
coklat itu!,” David tersenyum mengejek sambil menunjuk kearah perempuan bergaun
coklat yang sedang berbincang dengan tamu lainnya.
Edward
tertawa lepas. Sahabatnya itu memang selalu bisa membaca apa yang ada di pikirannya.
“Bagaimana kau bisa tahu?.”
“Aku
sudah mengenal mu sangat lama kawan,” David tertawa. “Namnya Eliana, dia
tinggal bersama Ibunya, tiga saudara kandung dan dua saudara tiri, Ayahnya
sudah meninggal, kehidupannya tidak terlalu beruntung,” David menatap Eliana
dari balik tirai dengan tatapan iba.
Edward
tak berkomentar, di kepalanya mulai terpikir sesuatu yang menurutnya terasa
gila. “Aku akan melamarnya,” ucap Edward tiba-tiba.
David
tediam menatap sahabatnya itu. “Kau bercanda?.”
“Tidak,
aku serius.”
“Kau
belum mengenalnya,“ David keheranan melihat tingkahnya sahabatnya itu.
“Kami
akan saling mengenal secara perlahan,” Edward berucap dengan senyum mengembang
di antara bibirnya, semudian dia melangkah maju melewati selendang merah jambu
menuju ke halaman Rumah yang dipenuhi dengan orang-orang.
David
mengikutinya. “Terkadang aku memang mengakui kau benar-benar gila kawan!,”
David berlari kecil mengikuti Edward yang terlihat bersemangat melangkah
mendekat kearah perempuan bergaun coklat.
~
Edward
berhenti disamping sebuah gubuk tua. Di depan gubuk terikat seekor kuda
berwarna putih terawat. Seorang laki-laki muncul dari balik pintu gubuk yang
terbuka pelan. “Ada yang bisa saya bantu pak?,” tanya laki-laki tadi.
“Dari
sini ke desa Rangkar seberapa jauh?,” Tanya Edward sambil menunjuk keujung
jalan yang tak terlihat jelas.
“Kurang
lebih 20 km, memang ada apa, bapak mau kesana?.”
“Aku
ingin menemui seorang teman, namanya Alvin, dia mengajakku bergabung bersamanya
untuk membantu warga yang terserang wabah demam berdarah.”
“Oh,
jadi anda teman pak Alvin itu. Ketika saya mau kekebun tadi saya bertemu dengan
rombongan kereta kuda yang katanya mau menjemput bapak, ban keretanya masuk ke dalam
parit, sepertinya akan memakan waktu lama. Bagaimana kalau bapak pakai kuda
saya saja dulu, barang bapak nanti saya simpan di gubuk saya.”
“Terima
kasih, aku juga sudah cukup lama menunggu, nama bapak siapa?,” Edward mendekat
kearah kuda yang masih terikat.
“Saya
Suryo.”
Kuda
mulai melangkah dengan pelan menyusuri jalan yang berhiaskan tanah dan batu
kerikil. Edward bersama Pak Suryo berjalan sambil menarik tali kekang kuda,
mereka berbincang-bincang banyak hal, hingga akhirnya sampailah mereka ke
tumpukan koper-koper yang sunyi. Tak ada siapa pun disana, bahkan Eliana sekali
pun, Edward berlari dengan hati penuh gelisah, mencari-cari kesekitar, Eliana
masiih tak terlihat.
“Eliana—,“ teriak Edward dengan perasaan penuh
salah dan gelisah.
~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!