25 Jun 2012

[If Complicated] Bab Satu


Wilayah pegunungan Naras, 1960
20 km dari Desa Rangkat

Hujan rintik terkadang memang menyenangkan, tapi tidak untuk Eliana hari itu. duduk di atas koper dengan perasaan kesal bercampur bosan. Memegang tangkai payung dengan tangan kananya yang sudah terasa letih. Pemandangan alam yang terpapar di hadapannya memang indah. Pegunungan, persawahan yang hijau, jalan setapak serta kesunyian yang menenangkan seharusnya dapat membuat Eliana tersenyum bahagia. Tapi semua itu seolah pergi dan tidak terlalu dipikirkannya, karena hal besar yang ada di dalam kepalanya hanyalah rasa kesal yang dipendam tanpa bisa dicurahkan pada siapa pun.

Eliana berpura-pura mengawasi sekitar, kemudian tatapannya berhenti pada sosok seorang laki-laki kurus, tinggi mengenakan jas dengan topi bundar yang melingkar di kepala. Laki-laki itu diam menatap kearah buku yang ada di tangan kirinya, sedangkan tangan kananya memegang tangkai payung yang berdiri kokoh melindunginya dari tetesan-tetesan hujan yang masih belum berhenti.
Edward, lelaki dengan wajah santai dan tidak terlalu banyak bicara itu adalah suami Eliana. Sudah 4 bulan mereka menikah, bertemu di sebuah pesta pernikahan sahabat Eliana yang bernama Ratih.
Hujan sudah mereda. Edward bangkit menutup buku dan payung, meletakannya di atas tumpukan koper lalu berjalan ketengah jalan setapak, melihat ke ujung jalan yang masih sunyi dan tertutup kabut tipis. Belum ada tanda-tanda kereta kuda yang seharusnya sudah datang dari tadi menjemput mereka berdua. Edward melihat kearah jam tangannya. Seharusnya sudah satu jam dari tadi kereta kuda itu datang, tapi sampai saat itu belum ada tanda-tanda akan segera datang.
Eliana hanya diam memandang kearah Edward dengan wajah cemberutnya, dia tidak mau berkomentar. Berkomentar sama saja dengan memperkeruh suasana.
Edward melangkah menyusuri jalan, meninggalkan Eliana. Tatapannya mengarah ke ujung jalan, wajahnya mulai terlihat meresah, kedua tangannya dimasukkannya ke dalam saku celananya.
Eliana bangkit sambil menutup payung. “Mau kemana?,” tanya Eliana berdiri kaku dengan ekspresi kesal.
Edward terhenti lalu berpaling kearah Eliana. “Kau tunggu disitu, aku akan mencari seseorang yang bisa membantu kita,” lalu dia berpaling untuk melanjutkan langkahnya.
Eliana melangkah mengiringi Edward dari belakang. Baru beberapa langkah, Edward sudah berhenti lagi, berpaling kearah Eliana dengan wajah kesal. “Sudah ku bilang kau tunggu di situ, jangan mengikutiku, aku tidak akan lama,” suara Edward terdengar lebih tegas, wajah kesalnya membuat Eliana mematung kaku.
“Aku hanya—.“
“Kau tunggu aku disana,”  jari telunjuknya menunjuk kearah tumpukan koper. Suara Edward terdengar penuh emosi.
Eliana tak bisa menyangkal, dia berpaling dengan wajah kesal, menuju tumpukan koper dan duduk memandang Gunung Naras yang jauh dan tinggi dengan puncak yang masih tertutup awan tipis. Dalam hati Eliana berharap Edward kembali menghampirinya dan memohon maaf atas tindakan kasarnya itu, tapi saat dia melirik untuk melihat sosok Edward, lelaki itu malah bergerak menjauh tanpa berpaling melihatnya kebelakang. Eliana hanya mempu menghela nafas panjang.
~
4 Bulan yang lalu
Pesta pernikahan Ratih

Selendang merah jambu yang berayun menghiasi pintu-pintu rumah melambai dengan penuh tenang. Edward berjalan menyusuri pemandangan luar rumah lewat selendang merah jambu yang transparan. Mengawasi sesosok perempuan cantik dengan gaun coklat. Senyuman, cara berbicaranya, gerak-griknya selalu diperhatikan Edward dengan sangat serius.
“Mau minum?,” suara itu membuat Edward terkejut lalu tersenyum kearah David yang menghampirinya dengan dua gelas minuman dingin. “Ada apa?,” tanya David sambil menjenguk di balik selendang merah jambu—David tersenyum.
Edward meminum minumannya lalu menyandarkan diri ke tembok ruangan. “Selamat ya, kau sudah menikah.”
David tersenyum. “Terima kasih juga kau mau datang jauh-jauh dari London, bagaimana kabar Jesika?.”
Edward meletakan gelas yang sudah kosong di atas meja kecil yang ada disebelahnya lalu melihat keluar di balik selendang jingga. “Hubungan kami sudah berakhir. Jesika berselingkuh dengan temanku yang ku perkenalkan padanya.”
“Waw, aku benar-benar tak percaya!. Seorang pewaris tunggal keluarga Norton ditinggal oleh seorang perempuan,” nada bicara David sedikit  mengejek.
Edward hanya tersenyum. “Yah, kadang cinta itu bisa berbelok kelain hati!. Ngomong-ngomong bagaimana ceritanya kau bisa bertemu dengan Ratih?.”
“Kami bertemu di Sanghai setahun yang lalu. Kau tak usah mengalihkan pembicaraan kelain hal jika kau ingin bertanya tentang perempuan yang mengenakan gaun coklat itu!,” David tersenyum mengejek sambil menunjuk kearah perempuan bergaun coklat yang sedang berbincang dengan tamu lainnya.
Edward tertawa lepas. Sahabatnya itu memang selalu bisa membaca apa yang ada di pikirannya. “Bagaimana kau bisa tahu?.”
“Aku sudah mengenal mu sangat lama kawan,” David tertawa. “Namnya Eliana, dia tinggal bersama Ibunya, tiga saudara kandung dan dua saudara tiri, Ayahnya sudah meninggal, kehidupannya tidak terlalu beruntung,” David menatap Eliana dari balik tirai dengan tatapan iba.
Edward tak berkomentar, di kepalanya mulai terpikir sesuatu yang menurutnya terasa gila. “Aku akan melamarnya,” ucap Edward tiba-tiba.
David tediam menatap sahabatnya itu. “Kau bercanda?.”
“Tidak, aku serius.”
“Kau belum mengenalnya,“ David keheranan melihat tingkahnya sahabatnya itu.
“Kami akan saling mengenal secara perlahan,” Edward berucap dengan senyum mengembang di antara bibirnya, semudian dia melangkah maju melewati selendang merah jambu menuju ke halaman Rumah yang dipenuhi dengan orang-orang.
David mengikutinya. “Terkadang aku memang mengakui kau benar-benar gila kawan!,” David berlari kecil mengikuti Edward yang terlihat bersemangat melangkah mendekat kearah perempuan bergaun coklat.
~
Edward berhenti disamping sebuah gubuk tua. Di depan gubuk terikat seekor kuda berwarna putih terawat. Seorang laki-laki muncul dari balik pintu gubuk yang terbuka pelan. “Ada yang bisa saya bantu pak?,” tanya laki-laki tadi.
“Dari sini ke desa Rangkar seberapa jauh?,” Tanya Edward sambil menunjuk keujung jalan yang tak terlihat jelas.
“Kurang lebih 20 km, memang ada apa, bapak mau kesana?.”
“Aku ingin menemui seorang teman, namanya Alvin, dia mengajakku bergabung bersamanya untuk membantu warga yang terserang wabah demam berdarah.”
“Oh, jadi anda teman pak Alvin itu. Ketika saya mau kekebun tadi saya bertemu dengan rombongan kereta kuda yang katanya mau menjemput bapak, ban keretanya masuk ke dalam parit, sepertinya akan memakan waktu lama. Bagaimana kalau bapak pakai kuda saya saja dulu, barang bapak nanti saya simpan di gubuk saya.”
“Terima kasih, aku juga sudah cukup lama menunggu, nama bapak siapa?,” Edward mendekat kearah kuda yang masih terikat.
“Saya Suryo.”
Kuda mulai melangkah dengan pelan menyusuri jalan yang berhiaskan tanah dan batu kerikil. Edward bersama Pak Suryo berjalan sambil menarik tali kekang kuda, mereka berbincang-bincang banyak hal, hingga akhirnya sampailah mereka ke tumpukan koper-koper yang sunyi. Tak ada siapa pun disana, bahkan Eliana sekali pun, Edward berlari dengan hati penuh gelisah, mencari-cari kesekitar, Eliana masiih tak terlihat.
 “Eliana—,“ teriak Edward dengan perasaan penuh salah dan gelisah.
~



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!