26 Jun 2012

[If Complicated] Bab Dua


Beberapa tangkai bunga matahari bergoyang-goyang seirama dengan langkah Eliana yang santai. Ujung-ujung tangkai bunga matahari dibungkus dengan Koran bekas lalu dirangkul bagaikan bayi mungkil yang sedang tertidur pulas. Pagi yang sangat cerah berhiaskan bunga-bunga yang indah berwarna-warni di sekeliling taman.
Eliana baru saja selesai memetik bunga-bunga matahari untuk mengisi pot bunga di rumahnya. Hal itu dilakukannya dua kali sehari dan terkadang dia merasakan ketenangan  di balik persoalan keluarganya yang semakin besar.

Setelah sang Ayah meninggal dunia, perkebunan yang luas milik keluarganya terpaksa dijual karena hutang yang ditinggalkan Ayahnya begitu banyak, rumah yang ditempati keluarganya pun tak lama lagi akan disita oleh pihak bank. Hidup sulit seakan tak ada pilihan yang bisa dipilih.
Ketika Eliana sudah sampai di depan rumahnya dan ingin membuka pintu rumahnya, pintu terbuka lebih dulu, seseorang membukanya dari dalam. Eliana terdiam sejenak ketika melihat Edward kluar dari rumahnya sambil memasang topi bundar dan tersenyum pada Eliana lalu pada ibu Eliana yang berdiri di depan pintu. Eliana masuk tanpa terpikir sedikit pun tentang hal yang baru saja brlangsung di rumahnya.
“Eliana—ibu ingin bicara dengan mu,” kata ibu Rosita pada anaknya.
Selesai menaruh bunga-bunga matahari pada pot bunga Eliana langsung menuju kamar ibunya. “ Ada apa bu?,” Elianan duduk di atas tempat tidur bersama Ibunya.
“Ibu ingin memberitahumu satu hal, tapi sebelumnya kau harus berjanji menyetujui keputusan ibu ini.”
Eliana diam sejenak, mencoba menerka apa yang sedang mereka bicarakan, walau pun demikian sedikit pun tak ada gambaran yang bisa terbayang di benak Eliana. “Tentang apa bu?,” nanyaa Eliana terdengar penasaran.
“Kau harus janji untuk  ibu,” nada Ibu Rosita terdengar tegas.
Karena memang tak ada gambaran di benak Eliana. dia tersenyum lalu menganggukkan kepalanya.
“Kau sudah berjanjikan,” Ibu Rosita meyakinkan anaknya tadi. “Kau tahu sendiri keadaan keluarga kita sekarang?, kau tahu kan bahwa rumah kita akan disita dan kita tak tahu harus tinggal dimana?. Ibu tak bisa lagi memikirkan cara bagaimana agar kita bisa lepas dari masalah ini,” nada ibu Rosita terdengan sedih. “Untuk mengurangi beban keluarga ibu akan menikahkan kamu dengan seorang laki-laki, dia baik dan sopan, ibu bisa menjamin itu.”
Eliana mulai mengerti kemana arah pembicaraan itu akan berlanjut. Tapi dia tak mau berkometar dulu.
“Ibu akan menikahkan kamu dengan laki-laki tadi, dia seorang Apoteker.” Ibu Rosita diam menunggu komentar dari anaknya.
Eliana diam sejenak menatap kearah dinding yang kosong. “Maaf bu, saya tahu saya disini adalah beban bagi ibu dan keluarga ini, tapi saya belum siap untuk menikah, apalagi dengan orang yang belum saya kenal,” nada Eliana sedikit menegas.
“Ibu tahu kamu pasti akan bilang begitu. Tapi, kamu bisa mengenal Edward dengan perlahan, dan mencoba mencintainya seperti ayah dan ibu dulu!.”
Eliana bangkit dari duduknya. “Tapi saya belum siap untuk ini bu, dan saya tidak mau menikah dengan orang yang belum saya kenal,” dia mengulangi kata-katanya lagi.
Ibu Rosita menatap wajah Eliana yang menekuk ke bawah. “Tapi kau sudah berjaji.” Mata Ibu Rosita berkaca-kaca resah. “Ibu sudah menerimanya, maafkan Ibu nak, Ibu tak ada pilihan lain. Jika cinta yang jadi persoalannya, cinta bisa datang secara perlahan.”
 Eliana bangkit, matanya berkaca meradang. “Jangan pernah samakan hidup yang akan dialami oleh Eli sama dengan ibu. Ibu tak pernah mengenal bapak sebelumnya oleh sebab itu ibu dipermainkan oleh bapak,” Eliana mulai bersikap tegas. “Dan apa yang diberikan bapak dengan ibu selama ini; kebahagiaan. Cinta. Tidak kan bu, ibu hidup di dalam penderitaan hati dan juga jiwa.” Eliana berpaling dan berlari menuju kamarnya.
Ibu Rosita mengejar anaknya itu dan terhenti di depan pintu kamar Eliana yang menutup keras. “Maafkan Ibu nak, ibu tidak punya pilihan lain. Ibu sudah menerima lamaran dari Edward, ibu berharap hanya padamu nak,” suara ibu Rosita lirih dan penuh mohon.
Eliana tidak memberikan jawaban apa pun, yang terdengar hanyalah suara tangis tersedu yang berusaha ditahannya.
~
“Eliana—,” Edward berteriak dengan rasa bersalah. Teriakan itu adalah teriakan ketiga kali yang dilakukannya, wajahnya penuh kegelisahan dan kecemasan.
Dari balik ilalang yang tinggi, muncul seorang perempuan dengan payung yang melindunginya dari tetesan hujan rintik, dia menatap kearah Edward dengan wajah kesalnya.
Saat melihat Eliana wajah Edward yang semulanya penuh gelisah berubah menjadi marah, kecemasannya sirna begitu saja. Edward melepas jasnya yang sudah membuatnya berkeringat, meski pun saat itu udara tidak begitu panas. Tidak lagi dia meneriakkan nama Eliana, yang dia lakukan hanyalah menatap Eliana begitu tajam seolah bersaru; cepat kembali kesini dengan nada kasar.
Eliana berjalan mendekat kearah tumpukan koper tanpa berani menatap mata Edward. Dia berlalu kemudian duduk kembali ke atas koper sambil memasang wajah cemberutnya.
“Sebelumnya sudah ku katakana untuk tetap disini dan jangan kemana-mana,” ucap Edward mendekat kearah Eliana yang masih tidak mau menatapnya. “Kau jangan membuat kondisi kita semakin sulit.”
Eliana bangkit mendorong koper hingga berhambur, lalu berjalan menjauh. “Kau yang meninggalkan aku sendirian disini, aku hanya ingin melihat pemandangan gunung dari sana, sedikit pun aku tak bermaksud untuk menyusahkanmu. Tapi, aku tak mau terima jika semua keletiahan yang kita rasakan dikatakana akibat kesalahanku, kau tahu aku disini karena kemauanmu bukan.”
“Aku….aku tidak menyalah—,“ Edward terdengar kesal dan sulit untuk memilih kata-kata yang tepat. Dia berpaling mendekat kearah kuda dan memberitahu kepada Suryo bahwa koper-koper yang berserakan itu adalah koper-kopernya lalu Edward naik menunggangi kuda. Memutar kuda kearah yang berlawanan “Kau mau tinggal disini?,” tanya Edward pada Eliana dengan nada yang kasar.
Eliana melirik kearah Edward lalu melarikan pandangannya, dia masih diam dan tidak berkomentar.
“Kalau kau mau tinggal, aku tidak akan memaksa,” ucap Edward sambil memacu kuda perlahan.
“Kau mau meninggalkan ku dan melihat aku mati dimakan binatang buas disini?,” Ucap Eliana dengan mata berkaca-kaca.
Suryo hanya mampu menggelengkan kepalanya tanpa berani berkomentar, ikut berkomentar hanya akan membuat dirinya terjebak di dalam pertengkaran yang tidak ada hubungannya dengan dirinya. Dia pun mendekat kearah tumpukan koper dan merapikannya.
“Kalau kau mau ikut ayo naik,” ucap Edward sambil turun dan tersenyum sekilas dengan wajah berpaling membelakangi Eliana.
Eliana menutup payungnya, melempar payung ke tengah jalan lalu berjalan perlahan kearah Edward dan naik dengan bantuan Edward ke atas kuda lalu Edward juga naik ke atas kuda dibelakang Eliana.
“Pak Suryo kami menginanp di villa yang ada di lereng gunung Naras, koper-kopernya nanti bisa diantar kesana,” Edward mulai memacu kuda.
Tak pernah mereka berdua sedekat itu sebelumnya. Eliana tak mau bicara, wajahnya masih terlihat masam sedangkan Edward, wajah kerasnya juga terlihat walau seringkali dia tersenyum sesekali dengan sembunyi-sembunyi di balik Eliana yang duduk dihadapannya.
Tangan Edward yang memegang tali kekang kuda seakan memeluk Eliana, dia membisikkan sebuah kalimat di balik rambut Eliana yang bergelombang. “Aku minta maaf.”
Eliana tak berubah, dia hanya diam seolah tidak mendengar ucapan Edward. Sepanjang perjalanan semua terasa kaku. Wajah cemberut Eliana menciptakan kebisuan yang menimbulkan rasa canggung di antara mereka berdua.
~
Malam Seusai Acara Pernikahan

Eliana bersandar pada jendela kaca yang berlapis ukiran besi dengan pola melingkar, sedangkan Edward duduk di atas tempat tidur dengan segelas minuman di tangannya. Dan dengan suara luruk Eliana berucap. “Maafkan aku, aku tidak bisa—.”
Edward bangkit lalu meletakan gelas di atas meja kecil di samping tempat tidur. Mendekat kearah Elianan, bersandar di hadapan Eliana. “Aku juga tak bisa memaksamu, aku tahu ini memang sulit, aku akan menunggu hingga kau bisa suatu saat nanti.”
Setitik air mata mengalir pelan di pipi Eliana. “Aku minta maaf,” tangannya berpegangan pada besi jendela, mencoba menguatkan dirinya.
Edward menyapu air mata itu. “Aku selalu memaafkanmu, cinta memang tak bisa datang dengan cepat, tapi akan datang dengan perlahan. Kau bisa tidur di kasur malam ini, aku akan tidur di situ,” ucap Edward sambil menunjuk kearah shopa panjang yang berada di seberang tempat tidur.
Air mata Eliana semakin membanjiri wajahnya. “Aku benar-benar minta maaf.”
Edward memeluknya pelan, Eliana tidak bergerak dia bisa merasakan detak jantung Edward semakin kencang. “Aku mencintaimu”. Ucap Edward sambil mengecup dahi Eliana dan melepaskan pelukannya.
Malam pertama yang terlewatkan begitu saja. Eliana berbaring di kasur membelakangai Edward yang berbaring di atas shopa merah menghadap kearah Eliana, lalu keduanya memejamkan mata, mencoba untuk tidur, walau pada kenyataannya keduanya tak bisa tidur nyenyak karena diselimuti oleh perasaan bersalah.
~


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!