Beberapa
tangkai bunga matahari bergoyang-goyang seirama dengan langkah Eliana yang
santai. Ujung-ujung tangkai bunga matahari dibungkus dengan Koran bekas lalu
dirangkul bagaikan bayi mungkil yang sedang tertidur pulas. Pagi yang sangat
cerah berhiaskan bunga-bunga yang indah berwarna-warni di sekeliling taman.
Eliana
baru saja selesai memetik bunga-bunga matahari untuk mengisi pot bunga di
rumahnya. Hal itu dilakukannya dua kali sehari dan terkadang dia merasakan
ketenangan di balik persoalan
keluarganya yang semakin besar.
Setelah
sang Ayah meninggal dunia, perkebunan yang luas milik keluarganya terpaksa
dijual karena hutang yang ditinggalkan Ayahnya begitu banyak, rumah yang
ditempati keluarganya pun tak lama lagi akan disita oleh pihak bank. Hidup
sulit seakan tak ada pilihan yang bisa dipilih.
Ketika
Eliana sudah sampai di depan rumahnya dan ingin membuka pintu rumahnya, pintu
terbuka lebih dulu, seseorang membukanya dari dalam. Eliana terdiam sejenak
ketika melihat Edward kluar dari rumahnya sambil memasang topi bundar dan
tersenyum pada Eliana lalu pada ibu Eliana yang berdiri di depan pintu. Eliana
masuk tanpa terpikir sedikit pun tentang hal yang baru saja brlangsung di
rumahnya.
“Eliana—ibu
ingin bicara dengan mu,” kata ibu Rosita pada anaknya.
Selesai
menaruh bunga-bunga matahari pada pot bunga Eliana langsung menuju kamar
ibunya. “ Ada apa bu?,” Elianan duduk di atas tempat tidur bersama Ibunya.
“Ibu
ingin memberitahumu satu hal, tapi sebelumnya kau harus berjanji menyetujui
keputusan ibu ini.”
Eliana
diam sejenak, mencoba menerka apa yang sedang mereka bicarakan, walau pun
demikian sedikit pun tak ada gambaran yang bisa terbayang di benak Eliana.
“Tentang apa bu?,” nanyaa Eliana terdengar penasaran.
“Kau
harus janji untuk ibu,” nada Ibu Rosita
terdengar tegas.
Karena
memang tak ada gambaran di benak Eliana. dia tersenyum lalu menganggukkan
kepalanya.
“Kau
sudah berjanjikan,” Ibu Rosita meyakinkan anaknya tadi. “Kau tahu sendiri
keadaan keluarga kita sekarang?, kau tahu kan bahwa rumah kita akan disita dan
kita tak tahu harus tinggal dimana?. Ibu tak bisa lagi memikirkan cara
bagaimana agar kita bisa lepas dari masalah ini,” nada ibu Rosita terdengan
sedih. “Untuk mengurangi beban keluarga ibu akan menikahkan kamu dengan seorang
laki-laki, dia baik dan sopan, ibu bisa menjamin itu.”
Eliana
mulai mengerti kemana arah pembicaraan itu akan berlanjut. Tapi dia tak mau
berkometar dulu.
“Ibu
akan menikahkan kamu dengan laki-laki tadi, dia seorang Apoteker.” Ibu Rosita
diam menunggu komentar dari anaknya.
Eliana
diam sejenak menatap kearah dinding yang kosong. “Maaf bu, saya tahu saya
disini adalah beban bagi ibu dan keluarga ini, tapi saya belum siap untuk
menikah, apalagi dengan orang yang belum saya kenal,” nada Eliana sedikit
menegas.
“Ibu
tahu kamu pasti akan bilang begitu. Tapi, kamu bisa mengenal Edward dengan
perlahan, dan mencoba mencintainya seperti ayah dan ibu dulu!.”
Eliana
bangkit dari duduknya. “Tapi saya belum siap untuk ini bu, dan saya tidak mau
menikah dengan orang yang belum saya kenal,” dia mengulangi kata-katanya lagi.
Ibu
Rosita menatap wajah Eliana yang menekuk ke bawah. “Tapi kau sudah berjaji.”
Mata Ibu Rosita berkaca-kaca resah. “Ibu sudah menerimanya, maafkan Ibu nak,
Ibu tak ada pilihan lain. Jika cinta yang jadi persoalannya, cinta bisa datang
secara perlahan.”
Eliana bangkit, matanya berkaca meradang.
“Jangan pernah samakan hidup yang akan dialami oleh Eli sama dengan ibu. Ibu
tak pernah mengenal bapak sebelumnya oleh sebab itu ibu dipermainkan oleh
bapak,” Eliana mulai bersikap tegas. “Dan apa yang diberikan bapak dengan ibu
selama ini; kebahagiaan. Cinta. Tidak kan bu, ibu hidup di dalam penderitaan
hati dan juga jiwa.” Eliana berpaling dan berlari menuju kamarnya.
Ibu
Rosita mengejar anaknya itu dan terhenti di depan pintu kamar Eliana yang
menutup keras. “Maafkan Ibu nak, ibu tidak punya pilihan lain. Ibu sudah
menerima lamaran dari Edward, ibu berharap hanya padamu nak,” suara ibu Rosita
lirih dan penuh mohon.
Eliana
tidak memberikan jawaban apa pun, yang terdengar hanyalah suara tangis tersedu
yang berusaha ditahannya.
~
“Eliana—,”
Edward berteriak dengan rasa bersalah. Teriakan itu adalah teriakan ketiga kali
yang dilakukannya, wajahnya penuh kegelisahan dan kecemasan.
Dari
balik ilalang yang tinggi, muncul seorang perempuan dengan payung yang melindunginya
dari tetesan hujan rintik, dia menatap kearah Edward dengan wajah kesalnya.
Saat
melihat Eliana wajah Edward yang semulanya penuh gelisah berubah menjadi marah,
kecemasannya sirna begitu saja. Edward melepas jasnya yang sudah membuatnya
berkeringat, meski pun saat itu udara tidak begitu panas. Tidak lagi dia
meneriakkan nama Eliana, yang dia lakukan hanyalah menatap Eliana begitu tajam
seolah bersaru; cepat kembali kesini dengan nada kasar.
Eliana
berjalan mendekat kearah tumpukan koper tanpa berani menatap mata Edward. Dia
berlalu kemudian duduk kembali ke atas koper sambil memasang wajah cemberutnya.
“Sebelumnya
sudah ku katakana untuk tetap disini dan jangan kemana-mana,” ucap Edward
mendekat kearah Eliana yang masih tidak mau menatapnya. “Kau jangan membuat
kondisi kita semakin sulit.”
Eliana
bangkit mendorong koper hingga berhambur, lalu berjalan menjauh. “Kau yang
meninggalkan aku sendirian disini, aku hanya ingin melihat pemandangan gunung
dari sana, sedikit pun aku tak bermaksud untuk menyusahkanmu. Tapi, aku tak mau
terima jika semua keletiahan yang kita rasakan dikatakana akibat kesalahanku,
kau tahu aku disini karena kemauanmu bukan.”
“Aku….aku
tidak menyalah—,“ Edward terdengar kesal dan sulit untuk memilih kata-kata yang
tepat. Dia berpaling mendekat kearah kuda dan memberitahu kepada Suryo bahwa
koper-koper yang berserakan itu adalah koper-kopernya lalu Edward naik
menunggangi kuda. Memutar kuda kearah yang berlawanan “Kau mau tinggal
disini?,” tanya Edward pada Eliana dengan nada yang kasar.
Eliana
melirik kearah Edward lalu melarikan pandangannya, dia masih diam dan tidak
berkomentar.
“Kalau
kau mau tinggal, aku tidak akan memaksa,” ucap Edward sambil memacu kuda
perlahan.
“Kau
mau meninggalkan ku dan melihat aku mati dimakan binatang buas disini?,” Ucap
Eliana dengan mata berkaca-kaca.
Suryo
hanya mampu menggelengkan kepalanya tanpa berani berkomentar, ikut berkomentar
hanya akan membuat dirinya terjebak di dalam pertengkaran yang tidak ada
hubungannya dengan dirinya. Dia pun mendekat kearah tumpukan koper dan merapikannya.
“Kalau
kau mau ikut ayo naik,” ucap Edward sambil turun dan tersenyum sekilas dengan
wajah berpaling membelakangi Eliana.
Eliana
menutup payungnya, melempar payung ke tengah jalan lalu berjalan perlahan
kearah Edward dan naik dengan bantuan Edward ke atas kuda lalu Edward juga naik
ke atas kuda dibelakang Eliana.
“Pak
Suryo kami menginanp di villa yang ada di lereng gunung Naras, koper-kopernya
nanti bisa diantar kesana,” Edward mulai memacu kuda.
Tak
pernah mereka berdua sedekat itu sebelumnya. Eliana tak mau bicara, wajahnya
masih terlihat masam sedangkan Edward, wajah kerasnya juga terlihat walau
seringkali dia tersenyum sesekali dengan sembunyi-sembunyi di balik Eliana yang
duduk dihadapannya.
Tangan
Edward yang memegang tali kekang kuda seakan memeluk Eliana, dia membisikkan
sebuah kalimat di balik rambut Eliana yang bergelombang. “Aku minta maaf.”
Eliana
tak berubah, dia hanya diam seolah tidak mendengar ucapan Edward. Sepanjang
perjalanan semua terasa kaku. Wajah cemberut Eliana menciptakan kebisuan yang
menimbulkan rasa canggung di antara mereka berdua.
~
Malam
Seusai Acara Pernikahan
Eliana
bersandar pada jendela kaca yang berlapis ukiran besi dengan pola melingkar,
sedangkan Edward duduk di atas tempat tidur dengan segelas minuman di
tangannya. Dan dengan suara luruk Eliana berucap. “Maafkan aku, aku tidak
bisa—.”
Edward
bangkit lalu meletakan gelas di atas meja kecil di samping tempat tidur.
Mendekat kearah Elianan, bersandar di hadapan Eliana. “Aku juga tak bisa
memaksamu, aku tahu ini memang sulit, aku akan menunggu hingga kau bisa suatu
saat nanti.”
Setitik
air mata mengalir pelan di pipi Eliana. “Aku minta maaf,” tangannya berpegangan
pada besi jendela, mencoba menguatkan dirinya.
Edward
menyapu air mata itu. “Aku selalu memaafkanmu, cinta memang tak bisa datang
dengan cepat, tapi akan datang dengan perlahan. Kau bisa tidur di kasur malam
ini, aku akan tidur di situ,” ucap Edward sambil menunjuk kearah shopa panjang
yang berada di seberang tempat tidur.
Air
mata Eliana semakin membanjiri wajahnya. “Aku benar-benar minta maaf.”
Edward
memeluknya pelan, Eliana tidak bergerak dia bisa merasakan detak jantung Edward
semakin kencang. “Aku mencintaimu”. Ucap Edward sambil mengecup dahi Eliana dan
melepaskan pelukannya.
Malam
pertama yang terlewatkan begitu saja. Eliana berbaring di kasur membelakangai
Edward yang berbaring di atas shopa merah menghadap kearah Eliana, lalu
keduanya memejamkan mata, mencoba untuk tidur, walau pada kenyataannya keduanya
tak bisa tidur nyenyak karena diselimuti oleh perasaan bersalah.
~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!