27 Mei 2011

Cermin KuntilanaK


Ketika gerakan perempuan itu sudah berhenti meliar, ketika dia bisa berdiri tegak, menatapi bayangan wajahnya yang cantik rupawan, penerjemahan bayangan seolah berbalik, yang nyata menjadi maya dan yang maya menjadi nyata. Dan bayangan menyeramkan yang sudah kembali terkurung di dalam cermin menghilang, cermin kosong tanpa bayangan, di dalam kesadaran yang tersisa, mata Perempuan tadi mulai mengunang, tubuhnya melemah dia pun roboh terbaring di lantai yang menyisakan bekas-bekas cakaran.
Nyanyian lagu jawa yang merdu mengalun manja, merasuki kepala memberikan rasa tidak enak yang semakin menguat, terutama rasa takut yang mulai menterjemahkan sebuah sosok menyeramkan dalam pikiran, sosok sama dengan rambut perak yang terurai menutupi wajah, sosok itu semakin mendekat dan berhenti di depan hidung yang bernapas tidak stabil. Dan teriakan melengking membangunkan tidur panjang yang bermandikan keringat.
Amanda mengikat rambutnya bergerak kedekat jendela dan menarik gorden, mempersilahkan cahaya matahari masuk menerangi ruangan kamarnya, menatap ke halaman rumah yang cukup luas, bayangan mulai bermunculan, dimulai dari bayangan seorang laki-laki tampan berbaring di atas rumput hijau mengangkat seorang bocah perempuan kearah langit, menggerakkannya bagaikan pesawat yang tak tentu arah, tawa bisa terdengar membahagiakan. Dan tak lama kemudian seorang perempuan berlari menghampiri, menyambut bocah perempuan tadi memeluknya dengan penuh sayang meletakkannya di atas rumput, lalu kecupan berikutnya membenam di bibir laki-laki yang masih berbaring.
Sebuh tangan mengagetkan Amanda, tangan putih yang berhiaskan cincin emas bermata merah. Amanda berpaling dengan cepat ke belakang dengan wajah pucat karena terkejut.
“Kau tak apa-apa?,” tanya perempuan tua yang merupakan ibu kost baru Amanda.
“Tidak apa-apa bu!.”
“Tadi kau berteriak?.”
“Hanya bermimpi buruk.”
Amanda berteriak histeris. Kedua tangannya terikat sedangkang kakinya di seret oleh seorang laki-laki tua menuju sebuah ruangan di ruang bawah tanah. Tubuhnya terhempas ke setiap anak tangga yang mengantarkannya ke ruang yang dipenuhi oleh cermin, tubuhnya yang melemah di angkat, didudukkan di atas bangku besi, di ikat dengan rantai, saat Amanda melihat bayangannya di setiap cermin yang menangkap jiwanya, Amanda berteriak histeris, jiwanya tersiksa, sosok-sosok menyeramkan muncul dalam bayangan di dalam cermin, sosok-sosok itu tersiksa, membalik dan bertukat dengan jiwa Amanda, Amanda terkurung di dalam cermin sedangkan sosok perempuan berambut perak dengan cakar-cakar runcing terikat di di atas bangku besi.
Laki-laki tadi menyiramkan bensin ke tubuh setan yang terus meronta, saat bensin sudah tersiram habis, laki-laki tadi mengeluarkan korek api dengan tangan yang bergetar, rasa gugupnya membuat jantungnya berdetak semakin menguat.
Nyala api mulai terbentuk di ujung batang korek api, melanbai-lambai di balik wajah serius yang penuh keringat. Batang korek api dilempar ke sosok tadi, api menjilat tubuh yang masih mencoba berontak.
Suara tangga berdenyit membuat laki-laki tadi berpaling ke belakang, menatap dengan terkejut kearah perempuan yang melangkah dengan senyum menyeramkan.
“Amanda…….kau…,” ketika laki-laki tadi berpaling kembali kearah sosok terbakar dia baru sadar bahwa yang di bakarnya tadi bukan Amanda melainkan Istrinya Lili.
Amanda berhenti melangkah, berdiri di hadapan laki-laki tadi, membiarkan tubuhnya tertangkap oleh cermin, membentuk bayangan tubuhnya yang berada di setiap penjuru ruangan. Lantunan lagu jawa mulai mengalun merdu, merayapi rasa katakutan yang semakin membesar, membentuk pertukaran bayangan, merubah sosk Amanda menjadi seorang perempuan mengerikan berwujud setan.
Di antara jilatan api yang semakin menjadi laki-laki tadi berteriak karena luka goresan yang semakin bertambah di wajahnya oleh cakar tajam yang mengais setiap sisi yang tertangkap cermin. Cermin-cermin memecah karena panas, laki-laki tadi roboh tanpa bisa bergerak.
Sosok setan berubah menjadi Amanda, langkah Amanda berhenti di samping laki-laki tadi sambil berucap. “Kau takut Ayah.” Lalu tawa mengerikan keluar dari mulut lebar yang memakan malam. Api membakar seluruh rumah.
Payung-payung hitam menahan laju hujan untuk menyentuh tanah pekuburan yang di tumbuhi oleh rumput menghijau. Petir yang menyambar-nyambar menandakan ingkar dunia atas jasad yang baru saja di benamkan di dalam bumi. Saat langkah-langkah pejiarah pergi meninggalkan pemakaman, perlahan tanah itu meretak, membentuk lubang, memberikan ruang untuk masuknya air hujan, dan dari dalam kuburan itu terdengar suara teriakan melengking yang di sertai dengan bau busuk yang menyengat. Tak ada yang sadar dengan hal itu, alam bawah sadar manusia tidak bisa mencapai dunia lain yang biasa di kenal dengan dunia pembalasan dan pertanggung jawaban.
Semua anggota keluarga yang sudah terkumpul duduk di ruang keluarga, perdebatan keras terdengar penuh keseriusan, Darmakusumo mengisap rokok keretek yang mengepulkan asap tebal dan kemudian berucap. “Siapa pun yang akan menerima wangsit dari Nyi Susmini harus siap menerima kematian, karena aku sangat yakin kutukan itu akan membunuh kita satu persatu.”
“Tidak bisakah kutukan itu di tiadakan?,” tanya Arini resah.
“Tidak…tidak…dan tidak akan pernah bisa. Kita hanya bisa menghindarinya, seperti Nyi Susmini yang kita rantai semasa hidupnya.” Prabu memberikan penjelasan.
Lima pasang mata itu tertuju pada sosok Amanda yang duduk tanpa bicara. Dengan sangat cepat Lili berucap cemas. “Amanda tidak mungkin mendapatkan wangsit ini, kemungkinannya hanya Aku atau Arini. Amanda adalah generasi berikutnya.”
Tak ada yang memberikan pembelaan, tak ada yang mengeluarkan argument lagi. Amanda bangkit dan meninggalkan semua orang. Amanda adalah perempuan modern yang tidak percaya dengan hal yang berbau gaib. Wangsit itu baginya hanyalah sebuah omong kosong belaka.
 Dan malam itu juga Amanda di seret ke ruang tahanan di bawah tanah, di ikat dengan wajah-wajah yang berat hati. Amanda hanya bisa menangis, hanya karena wangsit yang belum bisa diketahui kenyataannya menyisakan penderitaan dalam hidup Amanda. Arini turun setiap hari memberikan makan, mendengarkan cerita Amanda yang benar-benar menyedihkan. Tak sampai hati Arini melihat sepupunya itu  tersiksa, Arini melepaskan rantai di tangan Amanda, kemudian berucap pelan. “Kau harus ku bunuh.”
Arini mengeluarkan cermin dari dalam sakunya, kemudian dia mulai bernyanyi, Amanda bisa merasakan rasa takut tiba-tiba saja mengalir di dalam darahnya. Dan perlahan sebuah cakar keluar dari dalam cermin tadi, suara rintihan terdengar penuh siksa dari mulut Arini.
“Kau…..kau yang mewarisi kutukan itu!,” ucap Amanda cemas.
Amanda berjalan menju dapur, mengambil sebilah pisau, menggenggamnya erat penuh ambisi. Dalam kegelapan Amanda bergerak, lampu-lampu rumah mulai berkedip tak menentu, rasa takut mulai mengalir di dalam darahnya. Pintu sebuah kamar di bukanya dengan perlahan, Darmakusumo terlihat berbaring dalam tidur, menyamping menghadap kearah tembok sebelah kiri. Amanda bergerak ke sebelah kanan, duduk di samping Darmakusumo mengelus bahunya dengan penuh manja.
Darmakusumo terbangun, dia tersenyum, ketika berpaling kebelakang, terjangan benda tajam merajam wajahnya, menembus tengkorak kepalanya, mengucurkan darah, memenuhi selimut putih. Dalam hitungan detik kematian datang dengan sangat cepat.
Amanda bangkit berdiri di depan cermin, menatapi bayangan tubuhnya yang berlumuran darah, memegang kulit wajahnya, tak ada yang berubah, bayangannya tetap sama, dia tetaplah Amanda, perempuan cantik yang masih muda dan ambisius. Pisau pun diletakkan dengan perlahan di depan cermin.
“Apa mimpi burukmu, sehingga hampir setiap malam kau berteriak menghawatirkan?.”
“Aku mimpi tentang keluargaku.”
“Ibu tahu semua keluargamu telah meninggal dunia atas tragedi kebakaran itu. wajar jika kau masih merasakan trauma. Dulu Ibu juga pernah merasakan kehilangan, hingga Ibu harus masuk rumah sakit jiwa. Suami meninggal sedangkan anak Ibu menghilang diculik—jika kau mengalami kesulitan, bicaralah dengan Ibu, Ibu akan selalu mendengarkan kamu.”
Perbincangan singat itu berakhir ketika Ibu kost tadi pergi meninggalkan Amanda di kamarnya sendirian. Amanda membuat jendela kamarnya, menatapi pekat malam, tatapannya terarah ke halaman rumah yang membuat dirinya merasakan djavu tentang sebuah kejadian.
Bunga-bunga matahari bergoyang-goyang, seorang laki-laki dan bocah perempuan sedang menggali tanah, menanam beberapa tangkai bunga kaca piring. Senyum bahagian terlihat di wajah mereka.
Dari kejauhan sebuah kereta kuda terlihat semakin mendekat, awan hitam mulai menguasai langit, hujan pun mulai turun merintik. Laki-laki yang melihat pergerakan kereta tadi mengakat bocah perempuan ke dalam rumah menutup pintu dan menghilang. Kereta kuda berhenti, beberapa orang berpakaian serba hitam keluar dari dalam kereta, menuju pintu rumah dan menghilang dari pandangan.
Teriakan histeris memaksakan Amanda untuk berlari mencari asal suara tadi, di ruang utama sosok seorang laki-laki terbakar penuh rintih, bocah perempuan yang duduk di atas bangku terus saja menangis melihat Ayahnya terbakar menjemput ajal. Bocah perempuan tadi di bawa pergi dan rumah kembali sunyi. dari balik lemari yang ada di pojok sebelah kiri seorang perempuan muda keluar dengan tangis dan tubuh bergetar. Matanya tidak lagi pokus, air matanya tidak juga mau berhenti, dia mengalami depresi.
Ruangan menjadi sunyi. Amanda berdiri di tengah ruangan sendirian, perlahan pergerakan Amanda mendekat kearah beberapa foto yang terpajang rapi di dinding. Pandangannya tertuju pada foto dua orang perempuan yang ternyata di kenali olehnya. Ibu kostnya bersama Nyi Susmini.
“Itu kakak almarhum suamiku, namanya Susmini.”
Amanda berpaling kearah perempuan yang datang dengan tiba-tiba. “Dia cantik—di mana dia sekarang?.”
“Entahlah Ibu juga tidak tahu, dia menghilang sehari setelah pernikahan kami berlangsung. Keluarga Sumiku memang memiliki sikap aneh, mereka terlalu percaya dengan hal-hal yang berbau gaib, mereka adalah keluarga yang tertutup.”
“Pernah bertemu mereka?.”
“Tidak pernah sekali pun kecuali Susmini.”
Prabu melihat kearah perempuan yang ada di sebelahnya, kemudian kearah cermin yang menangkap bayangan mereka berdua yang sedang bercinta. Prabu terhenti, sosok menyeramkan itu tertangkap oleh cermin. Dengan sangat brutal, Prabu bangkit dan menjauh, tubuhnya bergetar ketakutan.
Perempuan tadi berpaling kearahnya, menatap dengan sangat tajam. Dan ketika nyanyian itu mengalun, sosok perempuan tadi terasa seperti Amanda yang berbaring dan mulai berubah menyeramkan. Amanda berteriak histeris. Kedua tangannya terikat sedangkang kakinya di seret oleh Prabu menuju sebuah ruangan di ruang bawah tanah. Tubuhnya terhempas ke setiap anak tangga yang mengantarkannya ke ruang yang dipenuhi oleh cermin, tubuhnya yang melemah di angkat, didudukkan di atas bangku besi, diikat dengan rantai, saat Amanda melihat bayangannya di setiap cermin yang menangkap jiwanya, Amanda berteriak histeris, jiwanya tersiksa, sosok-sosok menyeramkan muncul dalam bayangan di dalam cermin, sosok-sosok itu tersiksa, membalik dan bertukat dengan jiwa Amanda, Amanda terkurung di dalam cermin sedangkan sosok perempuan berambut perak dengan cakar-cakar runcing terikat di atas bangku besi.
Prabu menyiramkan bensin ke tubuh setan yang terus meronta, saat bensin sudah tersiram habis, dia mengeluarkan korek api dengan tangan yang bergetar, rasa gugupnya membuat jantungnya berdetak semakin menguat.
Nyala api mulai terbentuk di ujung batang korek api, melanbai-lambai di balik wajah serius yang penuh keringat. Batang korek api dilempar ke sosok tadi, api menjilat tubuh yang masih mencoba berontak.
Suara tangga berdenyit membuat Prabu berpaling ke belakang, menatap dengan terkejut kearah perempuan yang melangkah dengan senyum menyeramkan.
“Amanda…….kau…,” ketika Prabu berpaling kembali kearah sosok terbakar dia baru sadar bahwa yang di bakarnya tadi bukan Amanda melainkan Istrinya Lili.
Dengan tubuh gemetar Amanda berlari keluar rumah, terduduk di halaman rumah, menatap kearah api yang terus berkobar memakan setiap bagian rumah yang tersisa. Dan beberapa menit kemudian mobil pemadam kebakaran terdengar di telinganya, hingga menghilang ketika tubuh lemahnya roboh pingsan tak berdaya.
Seminggu kemudian…
Rumah kost itu besar dan tua, Amanda mengangkut tas besarnya menyusuri tangga, kemudian mengetuk pintu rumah, seorang perempuan tua tapi masih terlihat cantik membukakannya pintu, wajah ramah itu mengantarkan Amanda ke sebuah kamar sambil menjelaskan beberapa peraturan yang ada di sana.
Ketika malam datang Amanda berdiri menghadap cermin tua yang penuh ukiran di kamarnya. Sosok menyeramkan tertangkap dalam bayangan cermin, cakar-cakar, rambut perak serta mata yang tertutup gelap, merangkak perlahan keluar dari balik cermin, menukar kenyataan dengan ke tidak nyataan. Nyanyian jawa yang mengalun merdu akhirnya berakhir. Amanda terbangun dari tidurnya dengan teriakan histeris yang membelah malam.[]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!