28 Mei 2011

Tidak Rasional


B
ola mata melotot tajam, geraman berulang-ulang tidak beraturan, jari-jari menggaru dasar meja, rambut panjang terurai acak tak karuan. Tubuh mulai berontak, urat-urat menegang bergerak-gerak. Bersamaan dengan hal itu, lilin-lilin yang menyala di sepanjang dinding kamar membentuk persegi empat meleleh sambil menggoyangkan nyala api yang tidak setabil.
Jam berdenting menggema di ruangan, jam besar yang berada di pojok kanan ruangan melangkahi detik demi detik yang terlihat dari jarum jam kecil, berujung runcing, bergerak mengitari sudut 360 derajat. Bersatu dengan kegaluhan penuh gelisah yang ada di hati Yusuf.
Sosok tua berjubah hitam berdiri menghadapi wajah seorang perempuan yang berada dalam keadaan memperihatinkan. Dari keadaan yang terlihat, sebuah roh jahat sedang bersarang di dalam inang baru yang lemah dengan pikiran kosong. Ketika sepercik air putih yang diambil dari cawan teransparan menyentuh kulit putih perempuan tadi, teriakan menggema hingga keluar rumah, bersamaan dengan suara lonceng gereja yang berdentang 12 kali menjadi suara paling menyeramkan yang pernah didengar oleh orang-orang sekitar.
Yusuf berkeringat duduk di samping pintu yang tertutup, tubuhnya bergetar seperti tidak percaya dengan apa yang tertangkap oleh kedua bola matanya. Dalam hidupnya dia tidak pernah percaya dengan hal-hal yang berbau mistik, dalam hidupnya dia hanya percaya dengan kerasionalan pikiran yang bisa di terima oleh akal sehat, padat penjelasan dan bisa dibuktikan dengan sebuah penelitian dan percobaan. Kali ini hal mistik pun menjadi sesuatu yang rasional bagi Yusuf.
Perlahan suara teriakan perempuan tadi melemah dan berhenti menjadi sunyi. lilin-lilin padam dalam detakan yang bersamaan, suasana ruangan menjadi remang-remang karena, cahaya bulan purnama masuk lewat pintu ruangan yang berada di setiap sisi ruangan.
Napas perempuan tadi kembali setabil, matanya memejam perlahan dan ketenangan yang pergi telah kembali ke dalam jiwanya. Tudung kepala yang terpasang di kepala lelaki tua tadi perlahan dibukanya, kepala botak dengan sedikit rambut di dua sisi kepalanya, rambut-rambut itu telah putih, menandakan bahwa kerut-kerut yang juga ada di wajahnya semakin hari semakin bertambah, seimbang dengan umurnya yang juga semakin menjadi sedikit alias dekat dengan kematian.
“Kau melihatnya hari ini?.”
“Aku melihatnya!,” jawab Yusuf sambil menyapu keringat yang membasahi wajahnya.
“Kau mempercayainya?.”
“Entahlah, tapi menemukan kerasionalan di dalam ke tidak rasionalan yang seringkali aku anggap sesuatu yang salah dan tidak nyata. Ini seperti keajaiban yang terkadang datang tanpa pernah bisa kita sadari sebelumnya, bukan begitu Pak Deni?,” tanya Yusuf balik.
“Menarik!,” Pak Deni tersenyum sambil bangkit menuju pintu yang di bukanya perlahan. Ketika langkah itu sudah hampir meninggalakan ruangan, suaranya kembali muncul. “Yusuf tolong bawakan Nyonya Erika ke kamarnya, sepertinya dia sangat lelah setelah melakukan perlawanan terhadap roh yang baru saja menguasainya.”
Dengan helaan nafas panjang Yusuf mengangkat Nyonya Erika, membawanya kekamar yang berada di ujung lorong rumah sebelah kiri, setiap langkah kakinya yang menapak Yusuf tidak pernah berani menatap kearah wajah Nyonya Erika yang pucat dan dingin.
Pintu kamar kembali di tutup oleh Yusuf dari luar, langkahnya perlahan menuruni tangga, menuju lantai satu, di saat anak-anak tangga yang di pijaknya berdenyit pelan, aroma kemenyan mulai masuk ke dalam dua lubang hidungnya yang merasa menyesak.
Aroma itu membawanya ke sebuah ruangan yang tertutup rapat dengan daun pintu berukir mahkluk-mahkluk menyeramkan yang mewakili 7 iblis atas 7 dosa besar. Di dorongnya pintu tadi dengan perlahan. Ketika tatapnnya bisa melihat ke dalam, kearah rak-rak buku yang bersusun rapi, sebuah suara mengagetkannya.
“Sedang apa kau di sana?.”
Yusuf berpaling dengan cepat kearah sosok lelaki tua yang berdiri di tengah tangga memutar. Perlahan pintu ditarik oleh Yusuf dan ditutupnya kembali, kemudian berjalan menaiki anak tangga, berlalu di samping Pak Dani yang mengerutkan keningnya.
“Saranku jangan masuk ke ruangan yang tidak pernah kau masuki sebelumnya!,” suara itu terdengar mengancam dan tegas.
Yusuf berhenti melangkah lalu berpaling kearah Pak Dani yang masih berdiri mematung. “Ya, maafkan aku.”
***
Di bawah hujan yang sangat lebat, berlindung dengan payung hitam yang bergetar karena tetesan hujan membebani kain yang memberat. Tatapan kosong terpancar dari kedua bola mata, tangan kasar itu tak bisa lagi menggenggam kuat begitu juga dengan bibirnya yang sudah kalu tak bisa lagi mengucapkan prakata yang ada di dalam hatinya.
Batu-batu nisan yang bersusun rapi menghiasi tanah lapang yang membecek, rumput-rumput hijau yang tertata rapi tak bisa lagi berdiri tegak karena sebagian dari tubuhnya terendam oleh genangan air yang mencoklat. Di antara bebetuan nisan gerakan sepatu bot menginjak genangan air terlihat pelan dengan irama yang terus konstan, langkah kaki itu berhenti pada sebuah batu nisan terakhir yang berada di ujung tanah pekuburan, dibatasi oleh pagar kayu yang rapuh.
Di batu nisan terakhir tertulis “Fadli, lahir 21 April 1960, meniggal 21 April 2000”. Tangan kasar dan keriput itu memegang ujung batu nisan dengan mata yang meneteskan air mata. Kemudian langkah itu berlanjut menuju pagar pembatas, berdiri bisu menghadap kearah barat yang menggelap. Payung hitam dilepasnya, tetesan-tetesan hujan mulai terasa di kepala gundulnya, dingin akan tetapi tidak membuatnya bergeming untuk beringsut dari tempatnya berdiri.
Pistol hitam ditariknya dari balik pinggang, ujungnya di arahkan ke pelipis kepala bagian kiri, detaman kencang menggema bersamaan dengan hujan yang berhenti dengan tiba-tiba, tubuh tua itu roboh menyentuh lumpur, mengalirkan darah kental yang keluar dari lubang kecil di pelipis kepalanya. Dan payung hitam yang tergeletak di atas rumput berlumpur, terbang ditiup angin kencang yang menguat.
***
“Jika kau merindukan kehidupan lamamu, jika kau sangat ingin tahu tentang masa-masa kecilmu, sebaiknya cobalah untuk berhenti mengingat semua itu. Anggap saja semua yang telah terjadi sebagai kehidupan lain di masa yang telah lalu dan hari ini kehidupanmu adalah kehidupan kedua, kehidupan yang harus diisi dengan segala sesuatu yang baru—terkadang tidak semua kehidupan harus tahu darimana asal kehidupan itu dimulai.”
“Tapi saya datang ke sini untuk itu pak!, untuk mengetahui siapa saya dulunya, siapa saya sebelum masuk rehabilitas, siapa saya?, apakah seorang yang baik atau memang seorang yang jahat?.”
Pak Dani bangkit dari kursi goyang. “Ku rasa semua manusia itu adalah orang baik dan orang jahat, tidak ada manusia yang benar-benar baik dan benar-benar jahat. Dan menurutku kau juga berada di dua tempat itu. Baik dan jahat,” langkah Pak Dani pergi meninggalkan Yusuf yang diam berpikir. “Begitu juga dengan diriku, baik dan jahat.”
Yusuf bangkit mengikuti langkah Pak Dani yang berhenti di depan jendela rumah menatap kearah kereta kuda yang terparkir di samping pagar. Nyonya Erika berjalan beriringan dengan seorang kusir kuda yang mengangkut koper-kopernya, memasukkan ke dalam kereta kuda dan beberapa menit kemudian kereta kuda mulai bergerak maju dan menghilang di dalam kabut yang mulai menipis.
“Nyonya Erika sudah mengerti apa kesalahan yang pernah diperbuatnya, Perselingkuhan terkadang membuat dirinya bertindak dan menghabisi nyawa seseorang yang telah menuntut balas atas semua kesalahannya di masa lalu. Itulah mengapa kita harus meninggalkan masa lalu, karena terkadang masa lalu hidup itu tidak semuanya ingin kita ingat, namun masa lalu itu terkadang juga sering menghantui kita hingga kita tak bisa lepas dari kehidupan masa lalu itu.”
“Lalu iblis yang merasukinya malam itu?.”
“Iblis yang di janjikannya atas permintaan kematian yang dimintanya di waktu yang lalu—dia dirasuki oleh Iblis tapi dia juga harus sadar bahwa tanpa di rasuki Iblis dia pun sudah memiliki hati seorang Iblis.”
Yusuf merapat kearah jendela memandang halaman luar yang mulai dihiasi tetesan hujan rintik. Pak Dani berjalan menaiki tangga memutar, ketika Pak Dani sudah tidak terlihat lagi. Suara pintu berdenyit membuat Yusuf berpaling kearah daun pintu yang penuh ukiran. Bau kemenyan mulai merasuki indra penciuman Yusuf.
Pelan langkah itu mendekat kearah pintu, dan masuk serta menghilang ketika daun pintu itu menutup pelan hampir tak bersuara. Ruangan itu adalah perpustakaan, perpustakaan yang di penuhi dengan buku-buku yang hangus bekas terbakar. Teriakan menggema di ruangan itu. kunci-kunci pintu berdenting mengeras. Sosok bayangan laki-laki tua masuk dengan sebuah pistol di tangan kirinya. Beberapa orang sedang duduk di meja baca yang panjang bertemankan lentera-lentera yang terletak di sekitar meja panjang.
“Dani, apa yang ingin kau lakukan,” suara itu terlihat gugup karena melihat kearah pistol yang mengarah kearah Linda yang mulai menangis.
Bocah laki-laki yang bergetar turun dari bangku kayu duduk meringkuk di samping lemari buku, matanya di tutupnya penuh takut.
Suara dentaman senjata menggema di ruangan baca, kilatan api yang keluar dari ujung pistol menyambar-nyambar bagaikan kilat. Teriakan, tangisa menghiasi ruang baca. Lalu pertengkaran terjadi, pukulan dan pergulatan menjadi sesuatu yang mengerikan, hingga lentera tumpah, minyak membajiri meja panjang, membakar semua yang ada di atasnya. Dentaman senjata kedua menembus tengkorak kepala yang meroboh.
Dani menangi, terduduk di samping saudara kandungnya yang telah di tembaknya. “Maafkan aku Fadli, aku hanya lelah melihat kau merebut pujaan hatiku, aku lelah berselingkuh di belakangmu, aku telah lelah mencintai wanita yang sama dengan yang telah kau miliki. Kau selalu memiliki apa yang aku inginkan, tapi tidak setelah itu.
Buku-buku yang berada di rak terbakar, semuanya terbakar. Bocah laki-laki yang meringkuk dengna tubuh bergetar di seret keluar ruangan lalu di bawa menuju halaman rumah. Hujan lebat menghiasi tatapan mata mereka yang saling beradu. Dari tatapan itu Dani bisa melihat sepasang bola mata yang sama persis dengan miliknya. “Kau anakku—kau anakku!—,” teriaknya histeris dan dentaman senjata merajam langit malam yang dingin.
Yusuf berteriak histeris, tubuhnya meringkuk di samping ruangan, tubuh itu bergetar penuh ketakutan. Trauma yang pernah singgah dalam jiwanya kini kembali lagi, trauma yang menjadi alasan mengapa dia harus kembali kerumah itu. trauma masa kecil. Siapa aku?. Tanyanya pada dirinya sendiri.
“Jika kau telah merasakan apa yang pernah kau rasakan!. Jika kau sudah mengenal siapa dirimu di masa lalu. Jika kau sudah tahu apa itu baik dan apa itu buruk maka aku akan memberitahumu sebuah kebenaran lainnya!,” suara Pak Dani terdengar dari tangga beriringan dengan suara langkah kakinya yang menggema serta merambat di dinding yang penuh dengan lukisan.
Yusuf masih bergetar dan meringkuk. “Kaulah pembunuh Ayah dan Ibuku,” ucap Yusuf sambil menangis ketakutan.
Pistol hitam yang terpegang di tangan kirinya berayun-ayun menghadap lantai. “Aku melakukannya karena Fadli bukan Ayahmu, dia hanyalah saudaraku yang selalu menjadi nomor satu, yang selalu mendaptkan apa yang aku inginkan. Kau adalah anakku, anak hasil perselingkuhan Ibumu dengan ku.”
“Kau berbohong, kau meracuni pikiranku, kau pengusir Iblis yang berhati Iblis.”
“Kadang untuk bisa mengusir Iblis, seseorang harus kenal dengan Iblis itu, cara mudah agar bisa kenal adalah dengan menjadi bagian dari Iblis itu. selama bertahun-tahun aku menjadi pengusir Iblis, dan selama bertahun-tahun itu juga aku tersiksa atas dosa besar yang pernah aku lakukan dalam hidupku. Kau adalah dosa terbesar yang pernah aku lakukan!.”
Suara hujan lebat semakin mengeras di luar rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!