27 Mei 2011

Ingin Bersamamu Selamanya . . .


ina duduk di sebelah Lz, sambil menyandarkan kepalanya di pundak Lz yang kuat dan keras. Cengkraman tangan Aina menguat pada setangkai bunga sepatu yang masih segar. Pemadangan lautan yang menghempas gelombang menghiasi penglihatan mereka berdua. Dari atas jurang yang terjal itu kuasa jiwa Aina dipenuhi dengan rasa keharapan.
“Apakah kau tidak tahu cinta?,” pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Aina.
Lz berpaling memandang mata Aina yang tajam memohon sebuah jawaban yang tidak menimbulkan ketidak jelasan. “Kami tidak diciptakan untuk itu—tapi dari buku yang ditulis oleh William Shakespeare dengan judul Romeo and Juliet,
cinta adalah rasa saling memiliki atau merupakan perasaan berlebih yang terpokuskan kepada sesosok orang lain. Di mana William Shakespear juga menggambarkan perasaan cinta itu di dalam drama Othello, sebuah rasa cemburu yang menjadi pertanda bahwa cinta itu memang seperti energi kuat yang menimbulkan rasa perhatian dan tarik menarik bagaikan muatan positif dan negatif dalam hukum magnet.”
“Kau tahu dari buku yang kau baca?.”
“Ya, dan akan selalu teringat kecuali ku hapus dari A.I (Artificial Intelligence) yang aku miliki. Kau suka membaca novel William Shakespear?.”
Aina beranjak dari pundak Lz sambil merapikan rambut hitamnya yang terurai di tiup angin laut menyegarkan. “Ya, aku membaca semuanya, something is rotten in the state of Denmark, Hamlet, di bagian :To be or not to be, That is the question, itu kesukaanku. Bagiku Shakespear selalu memberikan banyak harapan dalam tulisannya yang sering kalai berakhir dengan tragis tanpa sedikit pun harapan. Benar-benar manusiawi.”
“Dia memang penulis yang cerdas. Aku membaca semua itu untuk bisa merasakan apa yang manusia rasakan, layaknya seperti yang kau rasakan ketika membacanya. Aku ingin memahami apa yang manusia pahami tentang perasaan hati mereka. Aku ingin merasakan air mata, aku ingin merasakan tawa bahagia yang nyata dan aku perlahan ingin menjadi seperti manusia. Walau pun akhirnya aku sadar aku hanyalah sebuah robot yang diciptakan oleh manusia untuk sebuah pelengkap yang akan berakhir di tumpukan sampah robot rongsokan yang tidak terpakai lagi.”
Saat kata demi kata yang di ucapkan oleh Lz keluar dari mulutnya. Aina memandangi wajah Lz yang terlihat tenang tanpa beban ketika mengucapkan kata-kata yang terdengar lebih menggunakan perasaan dari pada A.I seorang robot. Perlahan tangan Aina mendekati jari-jari Lz lalu menyerahkan setangkai bunga sepatu yang dipetiknya di ladang bunga sepatu yang terpapar di belakang mereka. Bergoyang di tiup angin laut yang menyegarkan.
Aina bangkit sambil tersenyum dan berlari menuju ratusan bunga sepatu yang siap menyambut gerakan cepatnya itu. Lz juga bangkit sambil mengejar Aina, mereka berdua bersama menerobos ratusan bunga sepatu yang terlihat bergoyang-goyang malu, seolah mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Walau kenyataannya tidak seperti banyak harapan.
.
21 April 2019, ketika perang berakhir
Afganistan masih sama, gersang dan panas. Tapi di atas pasir yang seolah bergelombang itu, ratusan bahkan ribuan serpihan dari kehancuran para robot berserakan bagaikan air mata yang tidak pernah ada hingga terasa tidak pernah berhenti.
Perang sudah berkhir, senja mengantarkan wajah-wajah tanpa ekspresi duduk bagai termenung dalam rasa kebersalahan.
Lz  yang duduk di antara Alva dan Tx berdiri tanpa memalingkan wajahnya dari pemandangan yang ada di hadapan mereka. “Apa kalian akan menghapus ini dari A.I kalian?.”
“Tidak . . .” Tx menyusul Lz berdiri.
“Tidak akan pernah, karena ini adalah memori tersedih yang bisa aku terjemahkan sebagai sebuah rasa yang dirasakan oleh manusia, jika ditanya seperti apa kesedihan itu, maka seperti inilah kesedihan itu,” lalu Alva juga berdiri.
“Kesedihan!?, aku masih belum bisa memahami itu, dan mungkin tidak akan pernah memahami tentang kesedihan. Tapi entah mengapa ada sebuah lintasan yang berbeda pada A.I ku ketika hal ini terjadi, aku merasakan sebuah gangguan yang membuat dadaku menyesak begitu saja. Walau ini masih belum bisa aku sebah sebagai sebuah kesedihan,” Lz mulai berpaling dan berjalan maju mendaki bukit pasir yang tidak terlalu tinggi.
“Kau akan kemana?,” tanya Alva setengah berteriak kearah Lz.
“Kembali ke Borneo.”
Tx melangkah ke samping. “Aku juga pulang kembali ke Jepang.”
Alva berdiri terpaku sambil memandang ke arah Lz dan Tx secara bergantian. “Baiklah—aku akan sendiri di sini!.” Alva bergerak menuju keserpihan robot yang hancur sambil memperhatikan, hingga langkahnya terhenti di depan sebuah robot dalam kondisi terpenggal dua tubuhnya. Alva membalik tubuh robot tadi dengan kakinya, kemudian menarik memori yang terpasang di balik kepala robot tadi.
Alva duduk di atas pasir kemudian memasang memori tadi ke dalam kepalanya.
Suara air keran mengalir deras, piring putih yang tadinya kotor oleh noda minyak kini sudah mulai disapu dengan spon dan busa sabun. Beberapa menit kemudian air keran dihentikan. Monitor beralih ke pemandangan lain yang masih sunyi. dan beberapa menit kemudian suara pintu dibuka dan ditutup kembali. Tangis tersedu mulai terdengar di ruangan sebelah.
Monitor bergerak menatap fokus kearah tiga orang manusia dari celah pintu yang senghaja dibiarkannya sedikit terbuka. Di situ terlihat kesedihan.
“Mungkin Dogi sudah waktunya kembali ke pada Tuhan, dia tidak senang jika ka uterus menagisinya.” Ucap laki-laki dewasa yang sepertinya adalah seorang Ayah. Tangan itu tak henti-hentinya mengelus kepala anaknya yang tersu saja menangis.
“Sudahlah besok kita akan ke penampungan anjing mencari anjing yang sama seperti Dogi.” Ucap perempuan yang adalah ibu dari anak tadi.
Tangis itu masih saja belum berhenti, mulut mungil itu tidak juga mengeluarkan kata-kata. Dengan cepat tubuh kecil itu bangkit dan berlari membawa kesedihan menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Suara anak tangga yang berdenyit dan di akhiri dengan suara pintu tertutup keras menutup suasana itu sejenak.
Monitor beralih memandang dinding, lalu setengah jam kemudian monitor bergerak menaiki tangga, menuju kamar yang masih tertutup rapat. Ketukan pintu terdengar kemudian dilanjutkan dengan bunyi gagang pintu di buka sendiri karena tidak juga mendapatkan jawaban.
Segelas susu coklat diletakkan di atas meja kecil, sedangkan monitor tidak henti-hentinya memperhatikan sosok bocah yang duduk dengan suara rintihan tangis di depan jendela kaca dengan gorden yang melambai sendu.
Monitor bergerak mendekat kearah sosok tadi kemudian merendah dan berhenti memandang jendela yang menggambarkan langit biru cerah.
“Susunya sudah ku letakkan di atas meja kecil, Tuan.”
Bocah tadi menoleh menatap monitor sambil menyau air mata. “Jo, apa benar robot tidak bisa merasakan kesedihan?.”
Perlahan tangan itu bergerak menyentuh kepala bocah tadi, menyapu-nyapunya pelan, kemudian suara serak terndengar. “Mungkin iya—tapi, mungkin saja tidak semuanya seperti itu. Aku saja mencoba merasakan kesedihan seperti yang Tuan rasakan, aku mulai paham begitu sakitnya rasa kehilangan itu. Sosok yang hadir sejak kecil hingga besar, bersama menjalani hidup kemudian pergi begitu saja seperti robot yang rusak. Aku perlahan sedih.”
“Jika kau sedih mengapa kau tidak menangis?.”
“Karena robot tidak diciptakan untuk itu.” Pelan tangan itu merengkul Jo yang membalas renkulan itu.
“Terima kasih Jo—.”
“Atas apa?.”
“Kesedihanmu untuk Dogi.”
“Robot pembantu ya sebelumnya?.” Alva melepaskan memori tadi dari kepalanya kemudian diam menunduk sejenak. Dari kedua bola mata yang perlahan menegang itu muncul beberapa tetes air mata, entahlah apakah itu benar-benar air mata!.
.
35 tahun kemudian
Jas hitam elegan menutupi tubuh bidang Lz, rambut cepak yang sama begitu juga dengan raut yang sama ketika lautan di tepi jurang menghempaskan gelombangnya, ketika angin laut meniupkan ke arah sekawanan bunga sepatu yang bergoyang. Bersama dua sahabatnya Tx dan Alva, Lz melangkah meninggalkan bebatuan nisan yang tersusun rapi penuh ke harmonisan.
Setangkai bunga sepatu yang perlahan melayu tergeletak di depan batu nisan yang bertuliskan : Aina, meninggal pada usia 59 tahun. Angin bertiup pelan, mengeser setangkai bunga sepatu yang akhirnya jatuh di samping pekuburan, bersembunyi dari dunia yang mengisyaratkan kesedihan.
Ketika Tx pergi menuju mobil dan menyisakan Alva dan Lz, Alva mulai bertanya. “Apa kau sedih dengan kepergian Aina?.”
Lz berpaling terkejut dengan pertanyaan Alva yang tidak terduga itu. “Aku diciptakan tidak untuk itu—.”
Alva pun pergi setelah berpamitan dan menghilang di persimpangan jalan menuju jalan raya yang tidak terlalu padat.
Lz kembali menuju pemakaman, memungut kembali setangkai bunga sepatu yang terjatuh dan meletakkannya di depan batu nisan Aina. Ada tetesan air mata yang tercipta dari kedua bola mata Lz yang ditutupnya denga  kedua telapak tangannya.
“Kini aku mengerti apa itu kesedihan!.”[]
NB : Untuk gambaran kesedihan pada sosok yang tidak paham kesedihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!