3 Jul 2011

[Hendera] BAB 1 / Penterjemah perasaan



Tapi poin yang harus diberi tanda merah adalah, jangan bunuh diri hanya karena dia mengucapkan itu—maksutku memutuskan hubungan—sebaiknya minum racun saja tapi jangan terlalu banyak nanti bisa mati. Jangan berpikir bahwa suatu saat dia akan meminta cintanya kembali pada kamu dan saat itu membayangkan kamu berada dalam kemenangan perasaan ini—ingat saat ini kamu berada di dalam keadaan yang keritis. Ucapanku ini seolah menceramahi diriku sendiri.
Apa yang aku katakana di atas hanya sekedar pembuka saja untuk cerita hudupku yang akan panjang ini. Anggap saja kalian sedang berbincang dengan ku akan tetapi hanya aku yang boleh bicara—tapi jika kalian inign bertanya, tanyakan saja, aku akan memberikan jawaban dari apa yang akan kuceritakan kedepannya.
Hal di atas itu terjadi apabila posisi hanya dalam keadaan sepasang kekasih yang saling mencintai. Lalu bagaimana dengan keadaanku sekarang—mohon tidak usah iba melihat keadaanku karena aku sendiri merasa belum sadar bahwa aku mengalami hal ini.
Aku dan kekasihku yang bernama Arianti akan segera menikah. Bahagianya perasaan hatiku saat itu, kau tahu apa yang sedang ku bayangkan saat rencana kami itu sudah semakin dekat—jangan sebut aku memikirkan tentang malam pertama—aku memikirkan lebih kedepan dari sekedar hal itu.
Berikut hayalan persi senetron yang sangat ku idamkan :
Aku Hendera adalah seorang suami dari seorang perempuan yang bernama Arianti sudah 2 tahun menikah dan saat ini Arianti sedang mengandung seorang bayi yang menurut pengamatanku bayi kami ini adalah bayi perempuan. Mengapa perempuan?. Ah jangan terlalu dipermasalahkan yang penting kami akan memiliki seorang bayi imut yang akan mengisi kebahagiaan di malam-malam kehidupan kami.
Ketika Arianti hamil aku sudah menyiapkan sebuah nama untuk anak kami. Karena aku sangat yakin anak kami itu perempuan maka aku sudah menyiapkan nama seorang anak perempuan : Adesti Wulansari—bagaimana menurut anda namanya? Bagus bukan—tapi ternyata aku terlalu percaya diri akan hal itu.
Ketika Arianti melahirkan ternyata anak kami laki-laki. Ah, laki-laki pun tidak apa-apa, semoga bukan pertanda kiamat akan segera datang. Karena anak kami laki-laki jadi kami berinama Lukman Sardi—semoga nama ini tidak membuat anda ingat dengan seseorang.
Stop. Cerita masalah anaknya berhenti dulu. Mari kita pokuskan ke perjalanan rumah tangga kami yang penuh bahagia tanpa ada sedikit tangis di dalamnya. Sepurna kah? Oh tidak juga. Karena aku adalah orangnya realities jadi aku tambahi sedikit garam dan gula deh biar ada rasa yang lainnya.
Siapa bilang punya anak gampang!. Punya anak itu melelahkan, serasa tidak sebanding dengan saat membuatnya—semoga anda tidak membayangkannya—yah, setiap malam dia menangis, terkadang kami tak bisa tidur, sering berkelahi karena jam tidur kami jadi banyak berkurang. Tapi tak apa lah semuanya kan demi keluarga—sekali lagi demi keluarga.
Ketika anak kami sudah dewasa, dia kami didik dengan baik agar dia tidak menjadi malin kundang—wah bisa bahaya kalau dia sampai durhaka, istri ku bisa mengutuk dia jadi batu. Jika sampai itu terjadi maka aku akan bilang pada istriku seperti ini :
“Sayang jangan kutuk dia jadi batu, kamu lupa begitu susahnya kita dulu merawat dia hingga kita sering bertengkar setiap malamnya, kutuk saja dia jadi anak yang berbakti kepada kita.”
Sudah dulu menghayalnya jika aku ceritakan hayalanku mungkin tidak akan ada habisnya. Ayo, aku akan menceritakan keadaan yang sedang terjadi sesungguhnya.
Kejadian ini terjadi 2 hari sebelum hari pernikahanku bersama Arianti—jangan menebak apa yang sedang terjadi karena ini sangatlah mengerikan. Bukan pula jika kalian menebak aku membunuh Arianti, sungguh tuduhan yang tidak berdasar—yang terjadi adalah Arianti menelponku malam itu. tak tega aku memberitahumu apa yang diucapkannya lewat gelombang sinyal telpon.
Saat itu aku berharap gelombang suara yang ku dengar adalah kesalah operator saja. Tapi itu mustahil terjadi, ucapannya tidak panjang hanya beberapa kalimat tapi beberapa kalimat itu hampir membuat jantungku berhenti berdetak—syukurlah tidak sampai membunuhku. Biar lebih enak dipahami akan ku buat dalam bentuk dialog :
“Ada apa sayang, tengah malam menelponku?” tidak biasanya dia menelponku tengah malam.
“Aku ingin memberitahumu satu hal.”
“Jika ini masalah gaun pengantin, besok saja kita bicarakan sayang—.”
“Bukan ini lebih penting—ini tentang kita.”
Aku mulai serius dan mendengarkan, ketika kata demi kata itu terucap dari mulutnya mata ku mulai berkaca-kaca dan saat dia menanyakan apakah aku menangis, aku berucap “Tidak aku hanya sedang terserang flu.”
Dia hanya berucap “Maafkan aku, setelah ku piker panjang aku mendapatkan sebuah jawaban baru dalam hatiku—sekali lagi maafkan aku, aku belum siap untuk menikah. Aku akan pergi ke Italia untuk melanjutkan kuliahku dan—“ tak sanggup lagi aku ceritakan hal itu pada kalian. Seakan itu adalah luka pahit yang sedang ku alami saat ini. pahit, getir dan sangat menyakitkan.
Apa yang akan aku lakukan selanjutnya?. Bunuh diri?, membunuh Arya?, memujuknya untuk mau menikah denganku atau jika perlu aku memaksanya?. Ah, pilihan-pilihan itu bukanlah pilihan yang baik. Hidup ini bagaikan roda—itu kata orang bijak tapi kataku, hidup bagaikan perjalanan nasib. Ada kalanya nasib baik dan ada kalanya nasib buruk—tapi apapun yang terjadi kehidupan belum berakhir—jika dikatakan tanggal 21 Desember 2012 akan kiamat ah, itukan masih 1 tahun lagi dari sekarang, masih ada waktu untuk aku mencari pasangan baru.
Seakan aku tidak mengalami sakit hati. Sebenarnya setelah itu aku tak bisa tidur nyenyak, setelah itu aku jadi prustasi, mandi pun aku tidak, hingga keluar kamar pun aku tidak. Rasa sakit itu menyiksaku dari dalam lalu mengalir keotakku yang mulai berpikir tentang hal-hal yang tidak-tidak.
Setelah 1 hari kejadian itu aku langsung menghubungi teman-temanku seperti Yoga, Joko, Ikbal dan Radit. Bersyukurlah aku memiliki orang-orang yang sangat baik terhadapku. Mereka semua memberikan dukungan kepadaku untuk kembali bangkit dari keterpurukan ini.
Sahabat-sahabatku itu datang bersama-sama kerumahku membantuku membereskan semua yang memang harus dibereskan seperti pesanan makanan, pesanan gaun pengantin, undangan yang sudah terlanjur tersebarkan dan banyak hal lain lagi yang penting dan menentukan kehidupanku kedepan nanti.
Seperti yang dikatakan joko padaku : “Tenang saja kawan mungkin Tuhan memiliki seorang bidadari untukmu yang lebih baik daripada Arianti—kau tidak ingin hidupmu berakhir hanya sampai disini kan?.”
Lucu sekali semua ini. dan ketika aku bangun pagi dari tidurku aku berdiri di depan cermin tanpa busana. Menatap bayanganku tanpa berkedip sedikitpun—maaf ini bukan terapi untuk menghilangkan perasaan sakit hati, tapi ini lebih kesebuah perenungan jiwa—lalu aku bertanya pada diriku sendiri. Bermimpikah aku?. Aku menggelengkan kepalaku “Kau tiak bermimpi kawan” aku menjawab pertanyaanku sendiri.[]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!