3 Jul 2011

[Hendera] BAB 2 / Nasib Baik yang tak Mujur

Arianti adalah bekas calon mantan yang hampir menjadi istriku—wah ribet sekali aku menyebutkannya—mengakhiri hubungan kami begitu saja tanpa ada alasan yang bisa membuatku berpikir rasional.
Apa yang salah dengaku?, apakah aku dulu pernah melakukan hal yang sama kepada orang lain?. Aku mulai bertanya-tanya dalam hatiku mencari sesuatu hal yang bisa ku jadikan kambing hitam—bodoh.
Meskipin seperempat dari hatiku sudah bisa menerima keaadaan yang terjadi—berkat dukungan dan semangat yang telah diberikan oleh sahabat-sahabatku—tapi sisa dari seperempat itu masih menyimpan hal-hal manis yang memang sangat ingin ku lamunkan.
Karena aku sedang suka mengingat masalaluku bersama Arianti maka aku akan kembali kecerita di mana kami dulunya bertemu sehingga kami menjadi sepasang kekasih. Jika ku ingat-ingat sudah dua tahun waktu itu berlalu—wah dua tahun lama juga masa kami bersama. Ayo ku bawa kalian semua kedalam kejadian dua tahun yang lalu.

Dua tahun yang lalu…..
Sebenarnya kejadian ini biasa saja, tidak ada yang special, akan tetapi saat aku membayangkan kejadian itu aku malah menambahkan beberapa unsur yang membuatnya menjadi sangat dramatis. Karena kalian sangat ingin tahu beberapa hayalanku itu maka disini aku akan menceritakannya pada kalian.
Kebetulan hari itu adalah hari liburku. Walaupun hari libur tapi aku sangat kebingungan mau melakukan apa, hingga akhirnya Ridit menghubungiku.
“Hen, kamu lagi ngapain nih?.”
“Gak ada—lagi merenungkan diri didepan TV sambil main PS3.”
“Merenungkan diri?” Aku membayangkan Radit pasti mengerutkan keningnya.
“Kamu bisa bantuin aku gak?.”
“Ngapain?.”
“Belanja.”
“Hah, Belanja—kamu bukan lagi mau ganti propesi jadi wanita kan Dit?” aku mentertawakannya.
“Gila kamu, ya gak lah. Biasa Ibu lagi malas bergerak karena aku adalah anak yang berbakti jadi nurut terus apa kata orangtua.”
“Alah lagumu—Okey deh, kebetulan aku juga lagi suntuk nih. Jemput aku ya!.”
Seperti rencana Radit yang sebenarnya memang tidak pernah direncanakan. Kami pun berangkat menuju sebuah supermarket dan mulai membeli barang belanjaan yang dipesan oleh ibu Radit. Tolong jangan dibayangakn pesanan Ibu Radit karena pesanannya banyak banget. Yah kira-kira dua halaman kertas kecil yang dibagi oleh radit jadi dua.
Sambil memegang kertas belanjaan dan mendorong keranjang belanja, kami berdua berbaur besama para ibu-ibu dan perempuan-perempuan lainnya yang ada disana. Satu hal yang harus digaris bawahi kami berbaur bersama ibu-ibu dan perempuan-perempuan. Mengapa bisa?. Aku juga tidak mengerti kemana para suami ibu-ibu itu?.
Aku merasakan ada hal yang aneh. Mengapa pera perempuan dan ibu-ibu itu manatap kami berdua sambil tersenyum dan ada juga yang tertawa. Kalian mau tahu sebabnya?. Awalnya aku memperhatikan diriku sendiri. Aku bertanya dalam hati apa ada yang salah dengan diriku?. Ternyata satu hal yang baruku sadari. Mereka mentertawakanku karena aku memegang daftar belanjaan seperti para bapak-bapak yang disuruh istrinya berbelanja. Dan satu lagi yang langsung membuat aku benar-benar malu adalah . Aku dan Radit terlihat seperti sepasang kekasih homo yang sedang berbelanja.
Ketika ku beritahu Radit. Dia malah tertawa lalu berucap dengan suara yang lumayan keras.
“Sudah lengkap sayang belanjaanmu?.”
“Dasar stress…..” ucapku dengan nada kesal.
Dia hanya tertawa mentertawakanku.
Dengan wajah yang berusaha tidak malu-malu aku mulai mempercepat tugas dadakan itu, mengambil satu demi satu barang yang dipesan lalu berdiri dibelangan ibu-ibu yang sedang mengantri. Hari itu benar-benar gila, antriannya seperti kereta api yang panjang dengan gerbong-gerbong yang terisi penuh.
Tak lama kemudian Radit muncul dibelakangku bersama seorang perempuan cantik yang membuatku tersepona…..eh, maksudku terpesona.
Seperti perempuan idamanku. Bermata coklat, berambut lurus panajng dengan wajah ayu dan terasa keibuan. Sempurna-sempurna-sempurna. Ucapku dalam hati.
Itulah momen dimana aku bertemu dengan belahan jiwaku yang tak bisa terlupakan. Yah, seperti tebakan kalian itulah Arianti wanita yang saat ini telah menjadi bekas calon mantan yang hampir menjadi istriku.
Salaman pertamanya lembut membuat aku salah tingkah dan seperti orang bodoh. Sejak pertemuan singkat itu aku mulai tukaran nomor telpon genggam, kemudian sering SMS-an lalu sering telpon-telponan kemudian membuat rencana bertemu disuatu tempat—walau masih dalam batasan sebagai teman saja—lama-kelamaan jadi kebiasaan saling membangunkan tidur. Lalu berlanjut lagi dengan SMS-an gak penting menanyakan tentang kabar setiap harinya dan berlanjut lagi kehal yang lebih pribadi yaitu bercerita tentang masalah-masalah peribadi yang sedang kami alami.
Dan saat pertemuan kami yang kesekian kalinya, hari itu hujan rintik menghiasi jalan. tapi untunglah kami berada didalam sebuah kafe minum kopi yang harum dengan aroma moca sambil mendengarkan musik klasik yang terputar—entah lagu siapa itu aku tidak terlalu memperhatikan—kami saling pandang dan saat itulah aku memberitahunya tentang perasaanku.
“Yanti (itu panggilanku untuk Arianti) aku ingin memberi tahumu satu hal. Tapi sebelumnya aku ingin bertanya terlebih dahulu.”
Arianti tersenyum seakan dia tahu apa maksud hatiku ini “Tentang apa?.”
“Tentang kekasih—karena setahuku kamu belum punya kekasih dan begitu juga dengan diriku ini. Maka aku sebagai teman baik menyarankanmu untuk mencari seorang kekasih.”
“Maksudnya?.”
Dasar aku bodoh mau memberitahukan perasaan saja pakai acara berbelit-belit “Ya, kamu sebaiknya mencari kekasih secepatnya, karena jika tidak—.”
“Jika tidak kenapa?” kali ini Arianti malah penasaran.
“Jika tidak, ya, terpaksa dengan hati lapang dan jiwa harus menerima kamu jadi kekasihku.”
Aku seperti orang tolol yang penuh gelisah. Saat mengatakan itu aku seperti gunung yang sebentar lagi akan meledak. Bagaimana jika dia menolakku. Mungkin aku akan langsung menabrak kaca jendela yang ada disamping kami waktu itu.
Reaksi yang diberikan oleh Arianti membuat aku semakin gugup saja bagaimana tidak, dia malah tertawa dihadapanku hingga matanya berkaca-kaca. Seakan apa yang baru saja aku katakana tadi adalah hal terlucu yang pernah didengarnya.
“Mengapa tertawa?” tanyaku heran.
“Kamu lucu sekali—.”
“Lucu—aku serius Yanti.”
Lalu dia berhenti tertawa walau wajahnya masih saja senyum-senyum “Maksudku caramu itu. caramu mengucapkan itu, terdengar seperti mengejutkan tapi tidak biasa dan unik—aku suka kamu.”
Satu hal yang harus di garis bawahi adalah kata-kata Arianti terakhir itu : Aku suka kamu. Seakan itu adalah jawaban darinya. Yang ternyata jawabannya memang seperti itu.
Tak perlulah aku beritahu kamu apa yang di ucapkan Arianti padaku waktu itu karena aku malah jadi malu-malu sendiri ketika mengingat ucapannya itu. dan setelah kejadian di kafe tadi kami semakin dekat. Arianti jadi sering main kerumah dan menghabiskan waktu bersama.
Nah itulah cerita singkat tentang pertemuan kami berdua. Sebenarnya biasa saja kan tapi jika kalian masih mau mendengarkan apa hayalan yang aku harapkan, mari kita kembali lagi.
Hayalanku kumulai saat aku ingin mengungkapkan perasaanku. Kalau kejadian sebenarnya saat itu di kafe maka aku merubah seting kejadiannya menjadi disebuah rumah makan bambu dipinggir laut, dimana dari sana kamu bisa melihat pemandangan sekitar karena rumah makan itu tidak memiliki dinding.
Awalnya ada banyak orang di sana. Tetapi setelah hujan semakin lebat orang-orang pindah kedalam ruangan berase yang sejuk dan terlindung dari hujan. Saat itu Arianti ingin bangkit karena hujan. Aku malah mencegatnya.
“Kita disini saja ada yang ingin ku ucapkan.”
Arianti kembali duduk “Tentang apa?.”
Walau air hujan terus saja membasahi tubuh kami secara perlahan kami masih tetap bertahan dengan posisi berhadapan dan siling pandang.
“Aku ingin bilang—“ tangan ku bergerak memegang jemari-jemarinya yang lembut “Aku mencintaimu—maukah kau menjadi kekasihku?.”
Arianti diam sejenak lalu berdiri dan duduk melangkah mendekat, duduk disebelahku “Aku juga mencintaimu” sebuah jawaban yang sempurna bukan.
Dibalik hujan yang semakin lebat, dibalik angin yang semakin kencang diantara kehangatan yang tercipta karena genggaman kami yang semakin menyatu, cinta itu bersatu dalam asmara yang baru saja terbentuk.
Aku tersenyum, begitu juga dengan Arianti “Aku mencintaimu” ucapku mengulangi.
Dan terjadilah sebuah ciuman paling dalam yang pernah kurasakan untuk pertama kalinya. Dimana ciuman itu berhiaskan gulungan gelombang laut, angin kencang dan hujan yang smeakin lebat.
Sungguh sebuah hayalan yang sangat sempurna. Tapi jika dipikir-pikir hal seperti itu tidak akan mungkin terjadi, apalagi pakai acara ciuman segala. Ah, mengapa aku jadi memikirkan tentang ciuman itu bukanlah saat ini yang harusku pikirkan adalah keadaanku yang sedang berada dalam kondisi kritis. Ya Tuhan bantu aku menelpon semua tamu yang sudah terlanjur ku undang—memberitahu mereka bahwa pernikahanku dibatalkan karena pasanganku memutuskan untuk pergi meninggalkanku. Semoga saja kiamat datang lebih awal.
Berawal dari pertemuan kami yang mengisyaratkan nasib baik ternyata malah menjadi sesuatu yang tidak bisa dikatakan mujur. Nasib baik tidak selalu mujur.[]






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!