6 Agu 2011

Aku lelaki bukan tuk dipilih


Pagar rumah itu tidak terkunci, begitu juga dengan halamannya yang sepi bagaikan mati, Jalan setapak yang akan dikitari, terdapat bangku-bangku kayu jati. Dari samping pekarang itulah, kedua bolamata melihat keadaan kamar lewat jendela, terberai seakan baru saja di kencani, dan langkah menapak pelan, berhenti di balik bunga-bunga mawar yang bermekaran.
Suara tawa terdengar jelas, tawa itu benar-benar lugas, bahagia seakan mengalir deras, walau airmata lain mencoba untuk melepas, kesakithatian yang kian meradang, hanya bisa bisu sambil mengintip di balik mawar-mawar yang bermekaran.
Di kolam renang itulah terlihat dua sosok sedang berenang, berpelukan di tengah kolam, berciuman bersambung bibir, bertukar liur, hingga tawa dan desahan mesra terdengar jelan di kedua telinga.
Penglihatan itu mengungkapkan sesuatu, tentang jati diri yang selama ini tak pernah menahu, yang lama jadi kekasih bisu, yang lama tak pernah terasa biru. Tak lagi bisa mengerti, tak lagi bisa pahami.
Setelah cukup rasa sakit itu mengalir, maka langkah itu pun berpaling dan memutuskan untuk pergi, berjalan santai melewati pagar dan bergerak menuju mobil yang terparkir di samping pagar. Mobil melaju, menghilang di jalan berdebu, melewati pepohonan yang membayang, melesat dan melambat di jalan bersambut gelap. Sore pun hilang, senja pun datang dan malam menghilangkan bayang-bayang.
Pelan pintu gerbang besar itu terbuka, mobil masuk dan terparkir di bawah pohon maple. Sosok lelaki berbadan agak gempal dengan kerut menghiasi wajah, serta resah yang tak pernah tercurah keluar dari pintu depan mobil, membawa beberapa lembar berkas-berkas yang penuh dengan kertas-kertas buram.
Sebelum masuk wajah itu sempat tersenyum, kearah seorang lelaki yang membawa beberapa peralatan bersih-bersih.
“Sudah berapa hari Nyonya tidak pulang?.”
“Dua hari Tuan!.”
Setelah pertanyaan singkat itu langkah pun masuk ke rumah yang sudah sunyi. Penjaga Rumah paruh waktu itu pulang setelah membersihkan kolam renang.
Satu jam berlalu hanya dihabiskan duduk di depan perapian sambil membaca buku, melihat di balik kacamamata berlensa tebal, bersandar tenang dalam jiwa yang lemah akan kegelisahan. Suara mobil melemah dan berhenti dilanjutkan dengan suara pintu dibuka dari luar dan kaki yang mengenakan sepatu ber-hak melangkah masuk. Langkah itu pun terhenti di depan lorong yang memperlihatkan sosok seorang yang sedang duduk di depan perapian.
“Kau sudah pulang sayang?,” tanya May sambil kembali melangkah, mendekat.
“Ya, baru saja.”
“Mengapa tidak memberi kabar?.”
“Aku hanya ingin membuat kejutan untukmu.”
Kecupan dalam pun terjadi di balik bibir merah, menyentuh pipi keripit yang tidak merespon.
“Dari mana kau?,” Tanya Antony pelan.
“Berenang bersama teman-teman.” May duduk di atas pangkuan Antony. “Bagaimana pekerjaanmu?.”
“Tidak terlalu menyenangkan. Minggu depan harus menghabiskan hari-hari di lab lagi. Aku minta cuti untuk istirahat dan melepas rindu bersamamu.”
May turun dari pangkuan, melepas sepatunya, menjentengnya sambil berucap. “Mau kopi?.”
Pertanyaan itu dijawab dengan anggukan kepala yang di barengi dengan kedipan mata sendu serta senyum palsu yang terlihat semu.
*
Selalu terungkap tanya, benarkah kini dirimu, wanita yang kukenal hatinya. Aku tak bisa memahamimu. Antony menatap May dalam remang-remangnya lampu kamar, dia menatapi May yang tertidur pulas. Hatinya bertanya-tanya tentang sosok yang sudah cukup lama jadi pendamping hidupnya.
Suara detak jam, pecah di malam kelam, langkah Antony beranjank dari atas ranjang, keluar kamar, menyelinap bagaikan kelelawar. Mata coklat itu berhenti di depan pigura besar. Ada senyum di dalam pigura itu, senyum yang sudah lama menghilang, terlupakan bagai orang asing yang tersesat tak bisa pulang.
Digeser pigura tadi, sebuah ruang kecil terlihat, pigura itu menyembunyikan sebuah ruang kecil tempat sesuatu disimpan tanpa ada yang tahu selain dirinya sendiri.
Langkah di belakang membuat Antony terhenti dan berpaling. May terlihat berdiri kaku, menatap tajam kearah Antony.
“Kau tidak tidur?,” tanya May sambil menggosok matanya.
“Tidak — Aku tak bisa tidur. Aku tak bisa….”
*
Antony bergerak menuju dapur, bersandar pada lemari, menatap May yang membelakanginya, mengaduk kopi yang sedang dibuatnya. Dari belakang Antony memeluk May. Ada rasa yang berbeda.
“Kadang aku rindu, setiap kali hanya dihabiskan bersama rekan-rekan yang sama. Aku merindukanmu,” kecupnya pelan.
“Dengan siapa saja kau melewati hari-harimu.”
“Banyak orang, bagaimana denganmu. Apa saja yang telah aku lewatkan?.”
“Hanya sering berenang saja,” May menjauh dan mematikan kompor.
Setelah menyedu kopi malam itu, mereka pun tidur dan mulai memadu kasih, kadang Antony diam dan mulai merasa tak pantas, dia pun akhirnya berucap.
Bisakah kita hanya tidur saja, aku sudah sangat lelah,” ucapnya sambil berbisik. Lampu duduk pun dimatikan, mereka bisu di dalam remang-remang.
Ketika malam tiba kurela kau bertanya. “Dengan siapa kau melewatinya?.” Aku tak bisa memahamimu.
*
Tangan Antony bergetar, selonsong pistol mengarah kepada May, matanya berkaca-kaca, tangisnya tak bisa reda. Lalu dia berucap penuh kepiluan. “Aku lelaki, tak mungkin menerimamu bila ternyata kau mendua, membuatku terluka,” Antony menarik nafas. “Tinggalkan saja diriku yang tak mungkin menunggu. Jangan pernah memilih aku bukan pilihan.”
May menagis, memohon maaf atas apa yang telah dilakukannya. Dia mulai jujur tentang hatinya, tentang cintanya yang telah pergi dan berpaling.
Tapi tangan yang bergetar itu sudah keras, kegeliahan itu sirna terpendam dendam yang menggebu. Memicu kilatan api, memecah keheningan yang sepi, melancarkan sekali ledakan yang mencabut nyawa membawa May ke dalam kematian.
Pistol yang masih berasap, di balut oleh Antony dengan  saputanganya, Sidik jari itu di sapu kemudian di letakkan di samping telapak tangan May yang kaku. Pakaian dilepas oleh Antony, dia telanjang. Baju yang sudah bercampur dengan bau misiu di bakar di perapian bersama saputangan, dia mandi air hangat, membersihkan badanya.
Menggunakan baju tidur, menyisir rambutnya rapi, kemudian duduk di depan perapian. Di sana dia menelpon polisi. Dalam suaranya yang serak bercampur pilu dia berucap. “Istriku menembak dirinya sendiri. Dia bunuh diri……….”[]
NB : Seperti tema bulan ini “Iwan Fals” terisnpirasi dari “Aku Bukan Pilihan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!