18 Agu 2011

Antara Aku, Kau Dan Bekas Pacarmu


_____________________
Jesika duduk di atas karang di antara pasir putih yang terhampar luas mengawasinya. Diam dia bukan merenung tapi memandang sosok yang mulai menjadikan banyak tanda tanya di kepalanya.
Sekawanan gelombang saling kejar-kejaran, menyentuh pinggiran pasir yang terbawa dan bergoyang, selaras dengan pergerakan yang akhirnya berhenti merentangkan tangan, menahan gelombang, merasakan tubuhnya yang terdorong karena gelombang menerjang. Tak sama seperti kuatnya karang, sosok itu terduduk dengan sejuta senyuman.

Wajah itu mengarah pada Jesika, disertai dengan lambaian tangan yang menyarukan agar Jesika bergabung bersamanya. Tapi Jesika hanya menggelengkan kepala sambil membalas senyuman mesra.
“Ayo kesini!,” ajaknya lagi pada Jesika.
Jesika hanya tersenyum mencoba melupakan pikiran yang sebenarnya tak mampu di hapusnya. Hingga akhirnya Sosok tadi bangkit, mendekat pada Jesika lalu mengangkat tubuh Jesika, berlari membawa Jesika menerjang gelombang bersama-sama. Tawa itu pecah ketika keduanya terduduk di atas pasir yang ditinggalkan oleh deru gelombang sesaat.
Apa yang tersembunyi di balik manis senyummu?. Jesika bertanya dalam hatinya.
*
Mobil itu berhenti di depan rumah sakit yang memang sangat sering dikunjunginya akhir-akhir itu. Sempat Rizal terhenti tidak melanjutkan langkahnya, dia mulai meragu atas jalan dari keputusan yang akan diambilnya.
Dia merasa seperti tiba di simpang jalan kemudian dihantui rasa bimbang untuk temukan arah tujuan. Walau akhirnya jalan yang bagi Rizal seperti jalan gelap itu tetap ditapakinya. Dia sadar suatu kelak langkah itu akan terhenti karena banyaknya lubang dan jalan mendaki.
Melewati lorong-lorong pucat menuju kamar inap yang sering dia tatap, dia sampai di depan pintu yang tertutup rapat lalu memutar gagang pintu pelan beriringan dengan denyit yang memecah senyap. Senyuman terbit bak mentari pagi kepada seorang perempuan yang sudah duduk di atas korsiroda dengan seorang perawat di sampingnya.
“Hari ini kau sudah bisa pulang, itu yang dokter katakana—kau sudah siap?,” tanya Rizal sambil mendekat kearah kursiroda.
Senyum manis itu terlihat membalas, memberikan jawaban persetujuan atas ucap Rizal yang terdengar ihklas. Pelan jemari itu bergerak di pinggiran korsiroda, memegang jemari Rizal, membawa kursiroda bergerak keluar ruangan seperti saat-saat bahagia akan segera tiba, di antara mereka, di antara dua hati yang terbalut cinta.
*
Pintu kamar membuka renggang, menyelipkan sedikit cahaya yang membuat ruang meremang, ada isekan tangis yang disembunyikan, dibalik bening dua bolamata yang menegang.
Sosok itu di depan jendela yang menggambarkan malam, menunduk mengartikan sebuah penyesalan. Lalu isekan itu terhenti ketika daun pintu bergeraka melebar.
“Kau di sini sayang?,” tanya Jesika pelan.
Kepala itu berpaling, menatap Jesika dengan mata masih berkaca. Dengan cepat mata itu disapu, seolah tangis dari kesedihan itu menghilang dengan berlalu. “Iya, Sayang.” Jawabnya sambil memaksakan senyumnya di dalam remang-remang.
Apa yang tersembunyi di balik bening matamu?. Labil tawamu, tak pasti tangismu. Jelas membuat aku sangat ingin mencari. Jesika bertanya dalam hatinya sambil merasakan hangatnya pelukan jiwa yang membagi rasa cintanya.
“Besok kita akan kepantai, dulu kita sering kesana.”
“Pantai….apa aku suka tempat itu dulu?,” tanya Jesika.
“Ya, sangat hampir setiap senja kau mengajakku ke sana, untuk melihat berakhirnya siang di hari yang telah kita lewati. Kau menunggu kunang-kunang di atas dermaga papan, lalu kita bergabung bersama indahnya mereka.”
*
Telpon genggam Jesika terus berdering. Berkali-kali panggilan itu selalu ditolak olehnya. Suara mobil masih mendengung menciptakan kebisingan, seirama dengan suara radio yang terus menyanyikan lagu-lagu nostalgia.
Tak mau dia bicara dengan orang yang terus saja menelponya, ada rasa sakit di hatinya saat itu, tapi dia mencoba terlihat kuat di hadapan semua keluarganya yang ada di dalam mobil itu.
Puluhan pesan juga masuk ke telpon genggamnya itu, tapi tak satu pun mendapat balasan darinya. Setiap kali dia melihat nama itu muncul di telpon genggamnya dia selalu merasakan sakit yang luar biasa. Selama 3 tahun hubungan itu berlangsung tapi sirna dalam waktu beberapa menit saja. Ada banyak kesalahan dalam cinta, tapi perselingkuhan bukan bagian dari kesalahan yang bisa termaafkan bagi Jesika.
Walau janur kuning itu sudah hampir melingkar, ketidak jadian hal itu sedikit membuat jesika bersyukur, Tuhan menunjukkan padanya bahwa lelaki yang di cintainya selama ini bukanlah lelaki yang tepat.
Jesika sangat ingat kejadian itu. Di mana dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, kekasihnya itu bercumbu dengan seorang perempuan, ciuman membuat luka tertorehkan begitu dalam.
Hingga saputangan yang tergenggam di tangan Jesika terlepas dan terbang terbawa angin menuju sekawanan ilalang yang bergoyang. Dari kekasih hati menjadi bekas pacar yang menyakiti hati.
Pikiran Jesika kembali, dia mendapati dirinya berada di dalam mobil lagi, melaju bersama keluarganya. Tepat di tikungan yang tajam sebuah bus melaju dengan sangat keras, teriak dengan mata membinar menguasai seisi mobil. Sama seperti telpon genggam yang terus berdering.
Tabrakan itu tak lagi bisa di hindari. Darah mencecer di sepanjang tikungan berhiaskan kepulan asap dan tangis rintih yang keluar dari dalam mobil yang terbalik.
Jesika memaksa tubuhnya keluar dari dalam mobil,melangkah renta, beberapa menit kemudian ledakan menggema langit cerah yang berubah menghitam. Jesika terbaring pingsan di samping telpon genggamnya yang tersu berdering.
*
Rizal bergegas menuju Rumah sakit itu setelah telpon dari telpon genggam Jesika menghubunginya. Sebuah kecelakaan, banyak korban begitu juga dengan kematian. Hitam sehitam awan yang mendung, hitam sehitam pakain yang bermakna berkabung.
“Hanya dia yang selamat. Semua keluarganya meninggal, mobilnya meledak,” ucap suara serak yang penuh gelisah.
Rizal menagis, menangis penuh sesal atas apa yang perah di perbuatnya, menangis takut cintanya itu tak bisa pernah mendapat kenyataan, seperti maaf yang selalu diharapkan.
Ketika Jesika sadarkan diri, Rizal tak bisa berucap apa-apa. Tapi sebuah prakata Jesika membuat Rizal berpikir gelap. Jesika lupa atas semua kehidupan sebelumnya, dia melupakan tentang kekasihnya, serta tentang keluarganya.
*
Jesika berlari kembali ke tepi pantai. Rizal berdiri di antara gelombang, dalam pikirnya dia meresah. Tabir gelap yang dulu hinggap, lambat laun mulai terungkap, dan hari itu pasti akan datang. Walau aku tak pernah rela untuk kehilangan lagi.
Di belakang Jesika berdiri seorang perempuan lain, perempuan itu mengenakan selendang jingga, matanya menatap tajam kearah Rizal yang terkejut tak bisa bersuara.[]
NB : Inspirasi dari lagu Iwan Fals “Antara Aku Kau dan Bekas Pacarmu” di persembahkan untuk Mas Hamzet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!