18 Agu 2011

Belum Ada Judul

 
Hutan Wyszkow, 1940

Dedaunana bergoyang menyelipkan silaunya sinar matahari, mengusik kerindangan lembab yang menyelubungi rasa aman dalam marabahaya. Langkah hati-hati bahkan hingga menginjak ranting pun tak berani lagi bergerak. Kematian bisa datang kapan saja seperti mayat-mayat yang bertumpuk di got panjang mengitari hutan yang dibuat oleh tentara Nazi Jerman.
Kain putih panjang berlapis noda darah itu beberapa kali di kencangkan, membelit perut yang sejak beberapa hari itu tidak terisi makanan, suara rintihan dalam perut tak bisa lagi terdengar seperti airmata yang tidak cukup lagi untuk menetes. Lelah dalam penderitaan.
Avram berhennti melangkah, dia duduk dan bersandar pada sebatang pohon yang bisu, botol minuman yang tergantung di bahu ditariknya, tetes-tetes terakhir air mencoba membenam dahaganya yang haus untuk beberapa saat.
Sesosok melintas di balik rerumputan tinggi, mengintip di antara celah semak yang rapat membentuk ruang sembunyi. Avram menyadari hal itu, belati yang tersembunyi di sarung pinggangnya di tarik, kilatan matahari memantul dari cemerlangnya belati tajam. Avram siaga.
Dengan sebilah kayu di hadapan Avram dalam jarak yang cukup jauh, seorang lelaki remaja berdiri menatap tajam ke arah Avram, tatapan itu penuh ketakutan, wajah itu lusuh seperti pakaian yang juga dikenakannya. Lelah bisa terlihat jelas, dan dia berdiri tak juga bergegas pergi.
“Siapa kau?,” tanya Avram sambil bangkit pelan.
Tak ada jawaban kecuali langkah berpaling dan berlari ke dalam hutan.
Avram mengejar, melewati semak belukar, hingga langkah itu terhenti pada sosok lelaki yang menodongkan senjata kearahnya. Lelaki remaja itu bersembunyi di balik lelaki yang lebih tua yang memegang senjata.
“Aku Avram Brankovich — Aku seorang Yahudi.”
Pelan senjata itu turun dan langkah itu mendekat, sambutan hangat berupa pelukan mendekap di tubuh Avram.
“Aku Cohen dan ini adikku Pavic,” tunjuknya pada lelaki remaja yang tadi berlari meninggalkkan Avram.
Kini mereka bertiga. Pelan kain pembalut perut dilonggarkan oleh Avram, sebuah roti dilahapnya hanya dalam hitungan detik, roti yang berasal dari kantong baju Cohen, roti yang dibagi menjadi tiga bagian, yang dibagi untuk penyambung nyawa mereka.
Dingin malam pun datang, mereka bertiga hanya bisa diam bersembunyi dalam kegelapan di bawah semak-semak tinggi yang menutupi tubuh mereka, mereka terperangkap di dinginnya malam, lebih mengerikan daripada penjara yang berlapiskan tembok-tembok tebal dan kokoh.
Pavic sudah tidur bersandar pada batang pohon, sedangkan Cohen dan Avram berjaga sambil berbincang-bincang.
“Apa mereka juga membunuh keluargamu?,” tanya Cohen singkat.
“Mereka membunuh semuanya seperti binatang, tanpa rasa ampun.” Avram diam mencoba menahan air mata yang membayang sosok istri dan anaknya yang ditembus oleh timah panas dari pistol tanpa belas kasihan. “Mereka menembak Istri dan Anakku, membakar rumah kami — Semuanya.”
Cohen tunduk lalu dia berucap lirih. “Apakah kau takut menemui kematian?.”
“Aku tidak memikirkan bahwa aku akan mati di hutan ini,” Avram menyapu airmatanya yang mengalir tanpa suara.
*
Prancis, 1951

Wajah tua renta itu duduk di atas kursi goyang menyedu segelas kopi hangat sambil memandangi indahnya pemandangan alam dengan lukisan matahari yang perlahan terbit menyiratkan kehangatan, dia mengenang dan berucap dalam beberapa bait yang terangkai.
Pernah kita sama-sama rasakan panasnya mentari hanguskan hati sampai saat kita yaris tak percaya bahwa roda nasib memang berputar — Sahabat masih ingatkah kau . . .
Lalu suara harmonika menyudahi kalimat-kalimat itu, menyayat banyak kenangan yang tidak bisa mereka lupakan.
“Kadang aku berpikir!.”
Harmonika berhenti. “Tentang apa Av?.”
“Ternyata aku tidak terlalu memikirkannya,” lanjutnya lagi.
“Banyak yang berubah. Ya, semuanya tapi tidak dengan kenangan itu.”
*
Di bawah kayu gelondongan dan cabang-cabang dari ranting pohon yang bertumpuk mereka bertiga berteduh, tak bisa dipukngkiri bahwa tetes-tetes hujan tak bisa lepas dari dingin yang menyentuh pakaian dan kepala mereka, begitu juga kala musim dingin datang mereka hanya bisa saling merapat di depan kayu yang menyalakan api kecil, mereka mencoba membuat tubuh mereka tetap hangat.
“Makanan kita hanya cukup untuk besok saja,” Pavic berucap lesu sambil memandang kearah kakanya yang terbaring dengan tubuh panas, Cohen terserang demam tinggi.
Avram yang juga duduk di sebelah Cohen menarik pistol yang ada di balik baju Cohen.
“Kau jaga kakakmu, aku akan mencari makan,” ucap Avram  sambil berjalan ke balik pohon-pohon. Dia terduduk cukup lama di sana, dia menangis meratapi apa yang sedang mereka hadapi dan telah lalui.
Pistol itu berisi empat peluru, empat untuk tiga orang memang sebuah hitungan yang lebih, tapi apa kematian sudah siap menjemput jiwa mereka yang ragu untuk kematian itu. Gejolak itu menyiksa jiwa Avram.
Dua hari berlalu Avram tidak juga kunjung datang. Cohen sudah semakin sekarat sedangkan Pavic mencoba menahan lapar demi kakaknya, jatahnya diberikannya pada Cohen, dua hari hanya di isi dengan air dan kain putih yang membelit perut.
Di balik tumpukan jerami Avram bersembunyi, mengawasi aktivitas yang ada pada sebuah rumah tunggal yang berisi orang-orang jerman. Sebuah keluarga. Asap mengepul dari cerobong asap mereka, membawa aroma harum yang dari daging dan makanan lainnya.
Malam di pengintaian terakhir, Avram sudah menghitung dengan seksama. Ada empat orang manusia Jerman yang menghuni rumah itu, lilin-lilin di meja makan mereka meremang, membentuk titik kecil dari balik jendela rumah yang keras tertutup sedikit salju.
Avram bergerak mengendap-ngendap, meyakinkan dirinya bahwa salah satu dari empat orang itu tidak sedang memegang senjata. Pintu rumah di dorongnya dari luar dan dengan sangat cepat Avram muncul di hadapan empat orang yang terdiam dalam ketakutan. Mata-mata ketakutan itu sama seperti mata istri dan anaknya yang di tembak tanpa ampun. Lalu ledakan senjata berdentam empat kali menggema ke dalam hutan yang sepi.
Darah mengalir pada lantai kayu, beberapa senjata di masukkan ke dalam karung goni begitu juga dengan roti-roti dan daging dan botol minuman yang ada di atas meja. Avram berlari kembali ke dalam hutan.
Saat Avram kembali Pavic meringkuk lemah di samping Cohen, mereka berdua yang tadi ditinggalkannya kini berada di ujung malapetaka.
“Aku tidak memikirkan bahwa aku akan mati di hutan ini,” bisik Avram pada dua telinga sahabat yang dianggapnya seperti saudaranya sendiri.
*
Ledakan senjata mempercepat langkah mereka bertiga, melewati pepohonan yang sudah lepas dari salju dingin yang tergantikan terik sinar matahari. Mereka dikejar oleh beberapa tentara yang menemukan mereka.
Mereka berpencar ke tiga sudut berbeda, mengarahkan senjata di balik pohon kecil yang mampu menyembunyikan tubuh kurus mereka. Dan ketika peluru sudah mencapai lesatan yang terakhir, mereka bertiga hanya bisa berlari terbirit-birit tanpa bisa melakukan perlawanan lagi, dekat di sebuah jurang salah satu peluru dari senjata musuh menembus kepala salah satu dari mereka bertiga.
Tubuh itu lunglai dan terhempas ke batu keras, darah mengalir tak tertahankan. Pavic tertembak, dia tak lagi bisa bernafas.Cohen yang berusahan mengangkat tubuh Pavic ditarik oleh Avram dengan keras.
“Tinggalkan saja dia, kita tak punya pilihan,” ucap Avram.
Senjata-senjata pembunuh itu sudah semakin dekat, ujung jurang mereka berdua pijak dengan kaki bergetar. Sungai yang mengalir deras di bawah jurang meraung penuh kegelisahan.
Mata mereka memejam, mereka berdua melompat menembus ruang udara, terhempas di sungai hingga terseret ke tepi sungai yang sepi.
“Aku tak bisa menjaganya,” Cohen menangis penuh sesal.
Avram berdiri di hadapannya, mencoba menenangkan sahabatnya itu.
“Aku ingin bunuh diri saja,” ucap Cohen sambil menarik belati dari sarung yang tergantung di pinggang Avram.
Pukulan keras melepaskan pisau tadi dari tangan Cohen. Dalam tangis Avram berucap kesal. “Ada banyak nyawa yang sudah pergi, ada banyak waktu yang terlah terlewati, penderitaan yang tidak pernah henti kita hadapi, kau tahu untuk apa semua ini, apakah untuk putus asa lalu bunuh diri?. Dulu aku sempat berpikir seperti kau. Cukup lama aku jalan sendiri tanpa teman di dalam hutan hingga saat aku bertemu kalian berdua, kalian memberiku semangat, semangat berupa tamparan yang membangkitkan jiwaku, aku selalu percaya. Kita tidak akan mati sia-sia.”
*
Januari 1942

Jauh kaki sudah melangkah, banyak rintangan telah menyudah, tangis jadi hiasan, tawa tak kunjung datang, tapi hidup selalu bergantung pada kepercayaan dan juga harapan. Akan tiba waktu dimana senyum bahagia bisa mengembang di bibir pucat yang mengelupas itu.
Toulouse, Prancis perjalanan itu akhirnya berhenti mereka berdua ditemukan oleh Armee Juive AJ  yang merupakan kelompok-kelompok Zionis di Toulouse, Avram dan Cohen bergabung dengan angkatan darat Yahudi ini dan bersama-sama mereka membentuk kekuatan untuk mendapatkan kemerdekaan jiwa yang lama mereka rindukan.
Tanggal 23 September 1943. Kelompok terakhir pejuang perlawanan berhasil lolos dari penghancuran, mereka yang tersisa pergi meninggalkan ghetto lewat saluran roil dan bergabung dengan para partisan di hutan Rudninkai dan Naroch, dua orang dar beberapai pejuang itu adalah Avram dan Cohen.
*
Avram turun dari kursi goyang lalu berdiri membelakangan Cohen yang meniup harmonika mengenang rasa luka yang tidak pernah sirna.
Avram berucap pelan. “Terberkati jantung yang berketabahan untuk menghentikan detak demi kehormatan. Terberkati korek api yang habis terbakar oleh nyala api.”[] 
 NB : Terinspirasi dari lagu Iwan Fals “Belum Ada Judul”
Referensi dari United States Holocaust Memorila Museum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!