18 Agu 2011

LONTEKU ….


_________________________
Dari balik pintu lemari yang renggang. Cahaya ruangan menyelinap, membentuk garis lurus pada sebelah mata yang mengintip. Bola mata hitam itu bergerak dengan jantung yang bergemuruh penuh gelisah. Pelatik pistol sudah siap di tekan, ujungnya sudah diarahkan keluar lewat celah yang sama. Tapi dia menunggu, menunggu kesempatan yang tidak punya batasan.
Desah menyambung tak bisa berhenti, seperti suara berisik ranjang besi yang terus bernyanyi. Selimut terberai, jemari-jemari dengan kuku panjang bercat merah jambu menggenggam menahan sakit berbalut nikmat.

Bibir liar dengan kumis tipis terus menjalari bagian demi bagian kenikmatan, bergerak ke bawah sampai bagian selangkangan. Sedikit tawa berat dari wajah keras yang penuh kerut, menandakan bahwa pelampiasan nafsunya belum juga mencapai klimaks.
Dengan kasarnya, kedua lengan yang berbulu itu menarik paha mendekat ke titik nikmat, dan gerakan liar berputar merajam-rajam bak mesin jahit listrik yang tidak mau berhenti.
Teriakan panjang mengakhiri pergerakan yang membabi buta, menelentangkan tubuh gempal tanpa busana di samping wajah cantik yang sudah menarik selimut menutupi tubuhnya.
Beberapa saat kemudian asap rokok sudah mengepul dari dua bibir yang mengecap kekosongan. Tersandar di besi ranjang, mencoba mengembalikan kekuatan untuk bisa beranjak pergi.
“Apa dia pernah bicara denganmu tentang suatu hal?,” tanya laki-laki yang terus mengisap rokok.
Wanita berbibir merah itu tersenyum lalu menyandarkan kepalanya pada lengan dengan posisi menghadap pada laki-laki tadi. “Dia tak banyak bicara, dia hanya datang beberapa kali dan tidak pernah lagi kembali. Datang, bercinta dan pergi. Tak ada yang istimewa dari dirinya kecuali nikmat yang dilampiaskannya.”
Batang rokok ditekan pada asbak yang ada di atas meja samping tempat tidur. Laki-laki berbadan gempal tadi bangkit lalu mulai mengenakan calna dan kemeja putihnya. Selembar kartu nama diletakkannya di atas meja samping asbak.
“Jika dia datang lagi beritahu aku.” Langkah itu menghilang di balik daun pintu yang ditutupnya perlahan.
Daun lemari didorong dari dalam, tubuh itu duduk bersandar dalam lemari dengan tangan masih mengenggam sebuah pistol yang kemudian diselipkannya di balik ikat pinggang.
Lampu kamar dimatikan oleh perempuan tadi dan Jacob berdiri di depan jendela kamar berlapis kaca. Matanya mengarah pada sosok lelaki gempal berteman bayangan dari lampu-lampu jalan yang meremang.
*
Jauh melangkah untuk mencari, sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dimengerti, bahkan di ketahui kenyataannya. Padahal apa yang dicari sebenarnya ada pada diri sendiri. Atau memang tak ada yang benar-benar di cari dari sekian banyak pencarian.
Jilatan api di subuh dingin membakar perlahan bagian demi bagian dari rumah kayu yang berdiri di antara pepohonana hutan yang merindang. Dari dalam perahu motor yang menyala dan bergerak pelan. Jacob menatapi semua itu. Untuk yang kesekian kalinya di harus pergi lagi.
Dari perahu motor beralih ke jalan raya yang masih sepi. Mobil melaju lurus di lintasan jalan yang tidak berujung. Mobil di jualnya dengan harga murah kemudian dia langsung menuju bandara untuk menuju perhentian selanjutnya.
Sendiri di tempat baru yang tidak terlalu dikenalnya. Sepeda gunung dengan sebuah kacamata hitam bergerak laju melewati sehamparan padi yang menguning. Sebuah tempat yang jauh dari keramaian tapi dekat dengan keramahan orang-orang yang tidak pernah mau dikenalnya.
Menjalani sesuatu yang tidak pernah merasa dijalani. Tak punya arah dan tujuan hidup pasti. Sekarat, menderita dan tak lagi punya makna. Seperti mengunci diri dari sebuah dosa-dosa yang tak bisa terlupa.
Malam di minggu kelima, Jacob menelusuri sisi lain dari kehidupan kota yang tenang di saat siang menjelang. Sebuah rumah pelampiasan nafsu dikunjunginya, di sanalah dia bertemu dengan seorang perempuan yang tidak biasa.
Perlahan Jacob duduk di atas tempat tidur, membiarkan perempuan yang tidak diketahuinya namanya itu membuka kancing demi kancing bajunya hingga mendorongnya terbaring dalam kebisuan.
Malam yang berlalu begitu panjang, setiap detiknya dilewati dengan desahan dan kenikmatan, hingga lemah terkulai tak lagi bisa menyadar, perempuan itu hanya bisa melingkarkan tangannya ke leher Jacob yang membabibuta.
Tanpa bicara, tanpa perkenalan nama yang sebenarnya tidak memiliki makna-makna. Jacob pulang dengan meninggalkan dua lembar uang yang dilipat lalu di selipkannya di bawah asbak yang penuh dengan puting rokok.
*
Senja sudah hampir tiba, waktu semangin mengheja, detik demi detik bergerak seperti aliran air yang tak kenal henti. Dalam rona yang tersisa, harapan kian mengabur, kegelisahan kiat menggusur. Berkali-kali wajah berpaling ke sisi jalan yang masih sepi.
Ketika matahari sudah rendah tak terbendung. Bergelombang di ujung jalan yang tenggelam, bayangan tak terlihat itu melangkah sendirian, dalam balutan jas hitam dan kemeja putih bersih. Bayangan itu berhenti di depan Eti, tapi tak berucap apa pun karena mulutnya kalu untuk membunyi.
Seperti burung dara yang berterbangan pulang ke sarang-sarang. Eti mulai melangkah di atas aspal hitam yang melegam. Menjuntaikan tas hitamnya, seperti syalnya yang bergerak mengikuti arah angin berhembus.
*
“Kemana dia?,” tanya Jacob pada seorang perempuan nakal yang berdiri di samping tangga.
“Dia tidak datang hari ini, yang lain masih banyak,” tawar perempuan itu genit.
Jacob hanya tersenyum lalu pergi menyatu malam. Baru beberapa langkah keluar dari pintu depan, sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan menarik perhatian Jacob.
Kaca mobil yang tadi terbuka kini perlahan menutup. Lewat cahaya lampu jalan Jacob bisa melihat jelas wajah itu. Jacob berpaling dan bergerak ke jalan sempit yang agak gelap.
Pintu mobil terbuka, seorang laki-laki bergerak pelan mengikuti pergerakan Jacob. Tapa melihat ke belakang Jacob terus berjalan, berputar dan bersembunyi di balik tembok gelap. Dia telah menemukanku. Ucap Jacob sambil berpikir.
Setelah sunyi cukup aman bagi Jacob. Dia kembali melangkah menyusuri jalan yang mengantarkannya ke depan sebuah rumah yang tertutup rapat. Seorang perempuan duduk di teras depan sambil mengisap sebatang rokok.
Jacob terhenti, sebait senyuman membuat dia bisa untuk mendekat, duduk di samping perempuan tadi kemudian berucap setengah berbisik.
“Aku tadi mencarimu di sana, kata mereka kau tidak masuk kerja hari ini?.”
“Aku hanya sedag malas.”
Perbincangan itu pun berlanjut ke dalam rumah, ke dalam kamar dan ke atas ranjang yang berdenyit tiada henti. dari balik jendela yang memantulkan bayang-bayang Jacob dan perempuan tadi, seorang laki-laki lain berdiri di luar rumah memandang ke atas lantai dua tempat bayangan tadi memadu cinta.
Helaan nafas panjang keluar dari mulut Jacob, di malam yang semakin dingin Perempuan tadi baring bersandar di dalam pelukan Jacob.
“Siapa namamu?. Aku belum mengenalmu.”
Pertanyaan itu tak mendapatkan suara balasan, hanya sebuah kecupan mesra yang semakin memanjakan. Dan ketika pagi datang seperti hari-hari sebelumnya dua lembar uang itu terselip di bawah asbak yang membisu.
*
Pintu kamar di buka separu. Lelaki berbadan gempal itu tersenyum ke arah Eti. “Kata mereka kau menerima tamu laki-laki, apa dia masih di sini?,” suara itu terdengar tegas.
“Iya, tapi dia sudah pergi.”
“Boleh aku masuk?.”
Eti membuka pintu lebar dan membiarkan lelaki tadi masuk. Mata itu menerawang ke seluruh ruangan yang sepi.
“Jika sudah masuk sayang jika pergi tanpa mendapatkan apa-apa,” ucap Eti menggoda sambil menarik tangan lelaki gempal tadi pelan.
Dengan senyuman nakal laki-laki tadi medekat dan memeluk Eti, menindihnya di atas ranjang yang langsung terhenyak. Berutal laki-laki tadi manarik baju Eti, mengecupi payudara dengan sangat bernafsu. Semakin ke bawah hingga kekemaluan yang disingkapnya dari balik celana dalam putih berenda.
Dari balik pintu lemari yang renggang. Cahaya ruangan menyelinap, membentuk garis lurus pada sebelah mata yang mengintip. Bola mata hitam itu bergerak dengan jantung yang bergemuruh penuh gelisah. Pelatik pistol sudah siap di tekan, ujungnya sudah diarahkan keluar lewat celah yang sama. Tapi dia menunggu, menunggu kesempatan yang tidak punya batasan.
*
“Mengapa dia mencarimu?.”
“Karena dia ingin membunuhku. Dia ingin membalas dendam atas kematian Istri dan anaknya. Aku tak bermasksut dengan senghaja membunuh mereka. Itu sebuah kecelakaan, itu hanyalah sebuah pekerjaan yang seharusnya tidak aku lakukan.”
“Siapa kau sebenarnya?.”
Jacob berbaring di samping Eti, kemudian mengecupnya penuh cinta.
“Terima kasih sudah membantuku — Kau mau hidup bersamaku?.”
Pertanyaan itu mengejutkan bagi Eti, karena dia sadar, sedikit pun dia tak mengenal laki-laki yang ada di hadapannya saat itu. Bahkan namanya pun dia tidak tahu. Eti hanya diam.
“Aku tak bisa menunggu — Jika kau ingin maka kau bisa menemuiku di barat pinggir jalan. Kau bisa membawa tas yang ada di dalam lemari, tas itu untukmu. Tunggu aku hingga senja datang.”
Ketika Jacob pergi, Eti mulai memutar pikirannya, dia gelisah dengan keputusan yang akan diambilnya. Tas di dalam lemari diambilnya. Tas berwarna hitam, tas yang membuat Eti terkejut, tas itu berisi penuh dengan uang kertas dan beberapa paspor.
*
Jacob memutar anak kunci. Pintu ternyata tidak terkunci,  masuk dengan pelan dan was-was sambil menarik pistol yang tersembunyi dari balik ikat pinggangnya. Ruangan acak-acakan, lampu semua padam.
Selangkah pergerakan menghentikan Jacob dalam keadaan berdiri kaku. Ujung piastol tertodong ke pelipis kepala Jacob.
“Susah aku mengejarmu, akhirnya kita bisa sedekat ini. Apa yang sedang kau hindari. Apa yang pernah kau lakukan.”
“Aku tidak tahu, aku tidak pernah tahu.”
“Mengapa kau tidak membertahuku tentang misi itu, mengapa kau melakukannya?.”
“Aku tidak melakukannya, merekalah yang melakukannya.”
“Ya, mereka — melakukannya lewat tanganmu. Membunuh Istri dan Anakku.”
Darah menetes. Sukma mengempes. Jiwa sepi tak lagi punya kendali. Ada yang pergi dan ada yang kehilangan begitu juga dengan dendam yang terbalaskan tanpa mendaaptkan penawar rasa kesakian. Keegoisan membuat manusia berubah menjadi makhluk yang mengerikan. Bukan binatang tapi menyerupai binatang.
Jauh di jalan, Senja sudah hampir tiba, waktu semangin mengheja, detik demi detik bergerak seperti aliran air yang tak kenal henti. Dalam rona yang tersisa, harapan kian mengabur, kegelisahan kiat menggusur. Berkali-kali wajah berpaling ke sisi jalan yang masih sepi.
Eti menarik syal yang menutupi lehernya, melingkarkannya pada tubuh yang mulai kedinginan, Layaknya sebuah kereta yang tidak pernah datang seperti kiasan harapan.[]
NB : Inspirasi dari lagu Iwan Fals “Lonteku”

2 komentar:

  1. alurnya membuat saya kebingungan, maaf. Tapi, tiap akhir paragraf selalu ada daya tarik untuk melanjutkannya. salut. salam

    BalasHapus
  2. terima kasih sudah mau membaca....semoga bisa menghibur. alur ceritanya memang saya buat maju mundur biar rasa penasaran pembaca terus di gali hingga akhir mendapatkan kesimpulan yg ada

    BalasHapus

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!