18 Agu 2011

Horror dalam Toples


Suara tawa beberapa orang anak menghiasi setiap bagian pohon-pohon galam yang bergoyang, menyelipkan sekelibat bayangan pucat yang berlari kemudian bersembunyi di balik pohon-pohon tadi.
Langkah kaki berhenti di seret, jangkrik kembali bernyanyi, dedaunan malah menyepi, pepohonan berhenti begoyang. Toples kaca yang tadinya tertutup rapat kini dibuka pelan. Diletakkan di atas daun-daun kering. Kemudian mata menegang, memelototi sekitar, mengawasi kegelapan malam yang remang oleh rembula yang menyabit.

Dan suara tawa terdengar lagi, kali ini lebih jelas, melintas di balik tubuh yang mengawasi sekitar, menghilang kemudian muncul lagi, seperti suara dedaunan kering yang juga bergesek dan menyepi tiba-tiba.
Toples bergoyang, para jangkrik kembali sunyi dalam ketakutan. Dan dengan perlahan toples tadi diangkat kemudian ditutup lagi hingga rapat. Awalnya kosong kini sudah berisi penuh. Langkah kaki deseret di atas dedaunan kering pun terdengar lagi, begitu juga dengan gesekan daun di atas pohon serta angin yang membuat pohon-pohon bergoyang.
Sambil menyapu keringat yang mengalir di pelipis hingga leher, napas lega itu terdengar menghembus longgar.
.
“Aku sudah tak sanggup lagi kang mas.”
“Ah, ini juga demi kebutuhanmu, tuntutanmu yang banyak itu—sedikit pengorbanan bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan, ingat setelah ini, ingat—.”
“Kang mas mudah bicara, saya yang merasakan siksaan  iblis itu, saya tak sanggup setiap kali payudara saya di hisapnya hingga berdarah.”
“Tahan saja, sebulan lagi kita juga akan berhenti, setelah kita bisa menemukan pengganti yang mau memeliharanya.”
Perempuan yang semakin hari semakin kurus itu hanya bisa beranjak dengan penuh kesal pada suaminya yang duduk di atas shopa sambil menonton tv. “Sebulan lagi, aku akan mencarikan orang yang mau—sabarlah,” ulangnya pada istrinya yang sudah menghilang di balik pintu kamar yang terbanting.
.
Pekuburan itu sunyi. sore tak seperti sore pada umumnya. Mungkin karena sore itu adalah sore jumat yang akan mengantar malam yang tidak biasa, tanggal 13 jumat malam memang menjadi waktu yang tepat untuk sore yang menguning. Sebuah sore yang memiliki pertanda kematian dan kebangkitan kembali.
Sore kuning pun berlalu dengan hujan yang merintik dan bertahan sangat lama. Sehingga lampu-lampu rumah yang menyala terasa seperti berproresensi memancar cahaya kengerian. Dan seperti kebiasaan dari para sumpah-sumpah sakral itu, yang mati akan hidup dalam kematian dan yang hidup akan melanjutkan mencari peninggalan.
Dan toples yang sama pun berayun dari tangan seorang laki-laki yang berbeda. Melintasi pepohonan, menginjakkan kaki di dedaunan kering yang bertegang. Toples itu di bawa tanpa tutup, kini toples itu terisi dengan tetesan hujan yang merintik bercampur dengan cairan merah kental dan sepenggal kepala seorang lelaki yang sudah setengah busuk karena sudah tersimpan di balik tanah selama 13 hari.
Di tempat yang sama di tengah hutan, toples itu diletakkan. Memancing makhluk yang memang ingin di pancingnya dengna aroma darah segar yang di dapat dari majikan yang dulu hidup dan kini mati karena tak mampu lagi memberikan makanan.
Kulit pucat, kepala gundul, sepasang mata membolak sebesar buah jambu biji. Dengan beberapa lintasan sekejab, kepala dalam toples pun hilang beserta air dan darah yang tercempur.
Toples itu kering, seperti hujan yang tidak lagi menetes. Toples itu tidak kosong, toples itu sudah terisi, bukan dengan kepala tapi dengan uang, emas dan permata.#
NB : Untuk yang punya toples

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!