21 Agu 2011

Serial Sastra Pendek Klasik


Debu tersapu angina

Tak bisa lagi membedakan malam dan siang, tak bisa lagi membedakan pagi dan sore. Tak bisa lagi membedakan itu semua dengan keindahan yang seharusnya ternikmati dengan lingkaran dua bola mata yang meredup sendu.
Pagi datang ditandakan dengan kicauan burung gelatik yang hinggap di ranting pohon di samping jendela kamar yang selalu menutup. Sore datang ditandai dengan nyanyian para jangkrik yang berirama selalu sama, panas trik matahari menandakan siang dan dingin angina malam yang datang merasuki jiwa hingga menusuk tulang rusuk menterjemahkan bahwa waktu istirahat segera datang.
Wajah tua renta itu berbaring di dalam kebisuanya, memadangi langit-lagit dalam kekosongan, menyisaka ruang pikirnya merenung tentang celah sempit yang mulai mengapit perasaan hatinya yang tiba-tiba memerih.

Dalam dua bola mata yang menatap kosong itu, mengalir sebait airmata, sebait rasa sakit, sebait cinta yang terendam dalam kerinduan. Hingga akhirnya nyanyian airmata berakhir pada notasi tertinggi dalam kekuatan hati untuk bertahan.
-o0o-

Mata Bintang Kejora

Daun jendela mengkerut penuh keluh, gesekan yang membuatnya aus dan panas merentahkan kebisuan dalam tidurnya. Tapi karena jabatan tangan gadis itu terasa lembut menyejukkan hati. Keluh kesah itu tidak akan jadi memanjang lagi. Kesunyian itu kembali mengepul bagaikan asap yang menghilang karena homogen dengan udara sekitar.
Jabatan tangan gadis itu terasa lemah dan putus asa, “Ada apa gerangan perasaan sang gadis ini?,” tanya pintu pada dirinya sendiri. Ketukan pelan mengagetkan pintu dan juga gadis tadi.
Ketika wajah polos itu berpaling ada beberapa bekas basah di bawah mata coklat yang di hiasi dengan bulu mata lentik dan indah. Ada beberapa bekas kemarahan di raut wajah polos yang kemudian disapunya dengan ke dua telapak tangannya yang halus.
Pintu baru saja mengerti ternyata ini tidak hanya tentang hati tapi juga tentang sebuah mata indah yang pernah memberkan sebait janji, mata itu membinar memberkan prakata maaf hingga akhirnya gadis merunduk dan berucap, “Aku minta satu pada bintang dan kejora.”
Lalu pelukan menyelimuti kedalam ketenangan yang luas.
-o0o-

Bukan Kereta Kencana

Di dalam kereta kuda yang bergoyang seorang laki-laki bertopi bundar duduk bersandar pada dinding yang berada di samping kiri kereta. Di samping kanannya duduk seorang perempuan bangsawan yang berwajah keras bagaikan karang. Di samping perempuan tadi duduk seorang dayang kerajaan yang rendah kedudukannya di mata perempuan bangsawan tadi.
Laki-laki bertopi bundar terlihat pucat dan lemah, perempuan bangsawan tadi terlihat resah dan berkali-kali memanggil laki-laki bertopi bundar dengan sebutan sayang, sedangkan dayang yang dari tadi merunduk diam bisu tanpa bicara.
Kedua mata itu saling lirik di antara batasan besar yang menghalangi kebersamaan mereka. Suara kaki kuda yang terus melangkah memberikan irama meragu yang menggelisahkan.
Dari belakang kereta itu terlihat dua tangan berjuntai saling menggenggam penuh cinta, penuh rasa sayag. Hanya sekedar genggaman tangan yang berani dilakukan lewat belakang bukan gengaman jiwa yang bisa saling memiliki secara nyata.
Hingga akhirnya kereta itu melaju memasuki wilayah berkabut yang sunyi menuju kastil tua terang yang terlihat sangat tua.
-o0o-
Catatan : semoga anda menikmat sastra pendek ini dan mengerti pesan dari ketiga cerita di atas.
NB : Untuk damai di dalam kegaluhan……….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!