Debu
tersapu angina
Tak
bisa lagi membedakan malam dan siang, tak bisa lagi membedakan pagi dan sore.
Tak bisa lagi membedakan itu semua dengan keindahan yang seharusnya ternikmati
dengan lingkaran dua bola mata yang meredup sendu.
Pagi
datang ditandakan dengan kicauan burung gelatik yang hinggap di ranting pohon
di samping jendela kamar yang selalu menutup. Sore datang ditandai dengan
nyanyian para jangkrik yang berirama selalu sama, panas trik matahari
menandakan siang dan dingin angina malam yang datang merasuki jiwa hingga
menusuk tulang rusuk menterjemahkan bahwa waktu istirahat segera datang.
Wajah
tua renta itu berbaring di dalam kebisuanya, memadangi langit-lagit dalam
kekosongan, menyisaka ruang pikirnya merenung tentang celah sempit yang mulai
mengapit perasaan hatinya yang tiba-tiba memerih.
Dalam
dua bola mata yang menatap kosong itu, mengalir sebait airmata, sebait rasa
sakit, sebait cinta yang terendam dalam kerinduan. Hingga akhirnya nyanyian
airmata berakhir pada notasi tertinggi dalam kekuatan hati untuk bertahan.
-o0o-
Mata Bintang Kejora
Daun jendela mengkerut penuh keluh, gesekan yang membuatnya aus dan panas
merentahkan kebisuan dalam tidurnya. Tapi karena jabatan tangan gadis itu
terasa lembut menyejukkan hati. Keluh kesah itu tidak akan jadi memanjang lagi.
Kesunyian itu kembali mengepul bagaikan asap yang menghilang karena homogen
dengan udara sekitar.
Jabatan tangan gadis itu terasa lemah dan putus asa, “Ada apa gerangan
perasaan sang gadis ini?,” tanya pintu pada dirinya sendiri. Ketukan pelan
mengagetkan pintu dan juga gadis tadi.
Ketika wajah polos itu berpaling ada beberapa bekas basah di bawah mata
coklat yang di hiasi dengan bulu mata lentik dan indah. Ada beberapa bekas
kemarahan di raut wajah polos yang kemudian disapunya dengan ke dua telapak
tangannya yang halus.
Pintu baru saja mengerti ternyata ini tidak hanya tentang hati tapi juga
tentang sebuah mata indah yang pernah memberkan sebait janji, mata itu membinar
memberkan prakata maaf hingga akhirnya gadis merunduk dan berucap, “Aku minta
satu pada bintang dan kejora.”
Lalu pelukan menyelimuti kedalam ketenangan yang luas.
-o0o-
Bukan Kereta Kencana
Di dalam kereta kuda yang bergoyang seorang laki-laki bertopi bundar
duduk bersandar pada dinding yang berada di samping kiri kereta. Di samping
kanannya duduk seorang perempuan bangsawan yang berwajah keras bagaikan karang.
Di samping perempuan tadi duduk seorang dayang kerajaan yang rendah
kedudukannya di mata perempuan bangsawan tadi.
Laki-laki bertopi bundar terlihat pucat dan lemah, perempuan bangsawan
tadi terlihat resah dan berkali-kali memanggil laki-laki bertopi bundar dengan
sebutan sayang, sedangkan dayang yang dari tadi merunduk diam bisu tanpa
bicara.
Kedua mata itu
saling lirik di antara batasan besar yang menghalangi kebersamaan mereka. Suara
kaki kuda yang terus melangkah memberikan irama meragu yang menggelisahkan.
Dari belakang kereta itu terlihat dua tangan berjuntai saling menggenggam
penuh cinta, penuh rasa sayag. Hanya sekedar genggaman tangan yang berani
dilakukan lewat belakang bukan gengaman jiwa yang bisa saling memiliki secara
nyata.
Hingga akhirnya kereta itu melaju memasuki wilayah berkabut yang sunyi
menuju kastil tua terang yang terlihat sangat tua.
-o0o-
Catatan : semoga anda menikmat sastra pendek
ini dan mengerti pesan dari ketiga cerita di atas.
NB : Untuk damai di dalam kegaluhan……….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!