21 Agu 2011

Kau yakin ingin mendengarkannya?


S
epeda onta tidak lagi bergerak, sepeda tua itu bersandar pada tubuh laki-laki yang cukup tua, mengenakan kaca mata berlensa tebal dengan gagang berwarna kecolatan. Wajah yang dulunya tampan dan ambisius telah pudar tertutup kerut-kerut murung tanpa sedikit pun senyuman. Rambutnya yang dulunya hitam pendek dan rapi kini sudah berubah memerak serta menipis. Tubuhnya mengurus, otot-otot yang pernah ada pada tubuh legamnya kini hanya menyisakan serangkaian tulang yang berjejer merapuh.
Baju coklat sapari yang di gunakannya terlihat sangat rapi, jam bundar yang sejak lama dimilikinya tergantung di baju dengan bagian jam di dalam kantong baju sebelah kiri. Mata yang tersembunyi dari lensa kaca mata tebal itu mengalirkan sebuah tangis, tangis tentang kerinduan, tangis tentang perjuangan yang dulu dilakukannya.

Bendera merah putih yang terus saja berkibar tiada henti di ujung tiang bendera yang tinggi, melambaikan perjuangan serta semangat yang dulu pernah dimiliki olehnya. Di dalam tangis yang sunyi tanpa suara, wajah tua yang menyisa rindu serta pilu tadi perlahan menekuk memberikan makna tunduknya kepada sang pusaka. Lalu beberapa menit kemudian wajah itu kembali melengak kearah bendera sambil memberikan hormat dengan telapak tangan kanannya.
Nuansa ingatan masa lalu dimana lagu Indonesia Raya menghiasi sekitar lapangan, mengarah kearah merah putih yang berkibar tiada henti di langit bumi pertiwi. Hingga sumpah pemuda yang dulu di ucapkannya di waktu wajahnya masih tampan dan ambisius masih selalu terngiang dan akan selalu menjadi sumpahnya hingga dia mencapai akhir hidupnya kelak.
Setelah beberapa waktu dihabiskan hanya untuk berdiri dan memberikan hormat, akhirnya kedua kaki yang tidak kuat lagi itu mengulai pedal sepeda onta dengan perlahan, menyusuri jalan pagi di atas jembatan ulin yang membentang dari ujung hulu hingga ujung hilir akhir dari desa tempat dia tinggal.
Di samping jembatan tumbuh belbagai pohon serta rumput lebat yang menghijau. Melewati pekuburan yang sunyi serta keramat. Menghirup udara pagi yang menyegarkan, dan ketika sampai di depan rumah, sepeda onta di sandarkan pada tiang pelatar rumah, duduk di atas bangku kayu, memandangi tumbuhan berwarna-warni yang terdiri dari beberapa jenis bunga. Mulai dari bunga kacapiring, mawar, melati hingga anggrek yang merayapi pohon mangga kecil yang tidak kunjung berbuah di depan rumah yang sunyi.
Secangkir kopi di pagi hari tersaji di atas meja kayu yang ada di sampingnya, diamping cangkir kopi tadi tergeletak sepucuk surat dengan amplop kumal tanpa tertutup rapat. Sudah berates kali surat itu di baca berulang tapi rasa rindu yang ada di dalam hatinya tidak akan pernah habis, bahwa ketika kiamat datang merajam bumi.
Muara Pahu, Juli 1945
Setiap hari ketika pagi datang menjemput kesendirianku, aku selalu melantunkan semua impian dalam hidupku untuk bisa bersama lagi denganmu. Mendengarkan suara tegasmu, duduk di tebing pinggir sungai memandangi sungai Mahakam yang mengalir deras. Cahaya mata hari memantulkan kilatan gemerlap bak berlian yang tak pernah lelah memiliki cahaya.
Aku merasakan lenganmu merangkul tubuhku yang kedinginan. Aku merasakan matamu menatap mataku yang tajam memandangi sekawanan burung camar yang terbang menerjang angin di atas sungai Mahakam. Aku merasakan kita menjadi satu di dalam malam yang ternyata hanyalah sisa-sisa harapan dan kenangan belaka. Tapi aku percaya kau akan segera datang untukku.
Dari Rina untuk Rodi tersayang
Begitu pilu perasaan hati, hingga mata tak sanggup lagi menahan air mata yang menetes di atas lensa kaca mata tebal karena wajah tua itu merunduk memandangi bagian demi bagian dari huruf yang membentuk kata-kata rindu. Perlahan kaca mata di lepas, surat tadi dimasukkan kembali ke dalam amplop lalu lensa kaca mata di sapu dengan kain kecil yang kering. Menyapu air mata yang tidak pernah bisa menyapu rasa rindu dan rasa pilu dalam hatinya.
Sebuah langkah bergerak mendekat, membawa secangkir kopi yang sama seperti yang ada di atas meja kayu, kopi yang sama dan dibuat oleh orang yang sama pula. Langkah tadi berhenti di depan bangku yang ada di samping Lelaki tua tadi. langkah itu berubah menjadi kaki yang sama rapat serta menekuk ke depan bangku kayu. “Bisakah kakek menceritakan kisah kakek padaku?,” pertanyaan itu membuat lelaki tua menyandarkan tubuhnya perlahan.
“Ini tentang perasaan cinta. Cinta antara dua bagian yang memiliki nilai yang sama kuat. Cinta dengan seorang Perempuan dan cinta ke pada Negara. Jika di suruh untuk memilih dalam sebuah pilihan bijak, maka tidak akan ada pilihan yang tepat yang bisa di ambil—Jika kedua pilihan itu bisa untuk tidak dipilih atau bisa di pilih keduanya dalam waktu yang bersamaan mungkin aku akan melakukan hal itu. karena perasaanku atas keduanya sama, sama kuat dan sama kerasnya.”
“Lalu pilihan apa yang Kakek ambil?.”
“Pilihan yang salah tetapi benar.”
“Apa itu?.”
“Kau yakin ingin mendengarkannya?.”[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!