S
|
epeda onta tidak lagi
bergerak, sepeda tua itu bersandar pada tubuh laki-laki yang cukup tua,
mengenakan kaca mata berlensa tebal dengan gagang berwarna kecolatan. Wajah
yang dulunya tampan dan ambisius telah pudar tertutup kerut-kerut murung tanpa
sedikit pun senyuman. Rambutnya yang dulunya hitam pendek dan rapi kini sudah
berubah memerak serta menipis. Tubuhnya mengurus, otot-otot yang pernah ada
pada tubuh legamnya kini hanya menyisakan serangkaian tulang yang berjejer
merapuh.
Baju
coklat sapari yang di gunakannya terlihat sangat rapi, jam bundar yang sejak
lama dimilikinya tergantung di baju dengan bagian jam di dalam kantong baju
sebelah kiri. Mata yang tersembunyi dari lensa kaca mata tebal itu mengalirkan
sebuah tangis, tangis tentang kerinduan, tangis tentang perjuangan yang dulu
dilakukannya.
Bendera
merah putih yang terus saja berkibar tiada henti di ujung tiang bendera yang
tinggi, melambaikan perjuangan serta semangat yang dulu pernah dimiliki
olehnya. Di dalam tangis yang sunyi tanpa suara, wajah tua yang menyisa rindu
serta pilu tadi perlahan menekuk memberikan makna tunduknya kepada sang pusaka.
Lalu beberapa menit kemudian wajah itu kembali melengak kearah bendera sambil
memberikan hormat dengan telapak tangan kanannya.
Nuansa
ingatan masa lalu dimana lagu Indonesia Raya menghiasi sekitar lapangan,
mengarah kearah merah putih yang berkibar tiada henti di langit bumi pertiwi.
Hingga sumpah pemuda yang dulu di ucapkannya di waktu wajahnya masih tampan dan
ambisius masih selalu terngiang dan akan selalu menjadi sumpahnya hingga dia
mencapai akhir hidupnya kelak.
Setelah
beberapa waktu dihabiskan hanya untuk berdiri dan memberikan hormat, akhirnya
kedua kaki yang tidak kuat lagi itu mengulai pedal sepeda onta dengan perlahan,
menyusuri jalan pagi di atas jembatan ulin yang membentang dari ujung hulu
hingga ujung hilir akhir dari desa tempat dia tinggal.
Di
samping jembatan tumbuh belbagai pohon serta rumput lebat yang menghijau.
Melewati pekuburan yang sunyi serta keramat. Menghirup udara pagi yang
menyegarkan, dan ketika sampai di depan rumah, sepeda onta di sandarkan pada
tiang pelatar rumah, duduk di atas bangku kayu, memandangi tumbuhan
berwarna-warni yang terdiri dari beberapa jenis bunga. Mulai dari bunga
kacapiring, mawar, melati hingga anggrek yang merayapi pohon mangga kecil yang
tidak kunjung berbuah di depan rumah yang sunyi.
Secangkir
kopi di pagi hari tersaji di atas meja kayu yang ada di sampingnya, diamping
cangkir kopi tadi tergeletak sepucuk surat dengan amplop kumal tanpa tertutup
rapat. Sudah berates kali surat itu di baca berulang tapi rasa rindu yang ada
di dalam hatinya tidak akan pernah habis, bahwa ketika kiamat datang merajam
bumi.
Muara
Pahu, Juli 1945
Setiap
hari ketika pagi datang menjemput kesendirianku, aku selalu melantunkan semua
impian dalam hidupku untuk bisa bersama lagi denganmu. Mendengarkan suara
tegasmu, duduk di tebing pinggir sungai memandangi sungai Mahakam yang mengalir
deras. Cahaya mata hari memantulkan kilatan gemerlap bak berlian yang tak
pernah lelah memiliki cahaya.
Aku
merasakan lenganmu merangkul tubuhku yang kedinginan. Aku merasakan matamu
menatap mataku yang tajam memandangi sekawanan burung camar yang terbang
menerjang angin di atas sungai Mahakam. Aku merasakan kita menjadi satu di
dalam malam yang ternyata hanyalah sisa-sisa harapan dan kenangan belaka. Tapi
aku percaya kau akan segera datang untukku.
Dari Rina untuk Rodi tersayang
Begitu
pilu perasaan hati, hingga mata tak sanggup lagi menahan air mata yang menetes
di atas lensa kaca mata tebal karena wajah tua itu merunduk memandangi bagian
demi bagian dari huruf yang membentuk kata-kata rindu. Perlahan kaca mata di
lepas, surat tadi dimasukkan kembali ke dalam amplop lalu lensa kaca mata di
sapu dengan kain kecil yang kering. Menyapu air mata yang tidak pernah bisa
menyapu rasa rindu dan rasa pilu dalam hatinya.
Sebuah
langkah bergerak mendekat, membawa secangkir kopi yang sama seperti yang ada di
atas meja kayu, kopi yang sama dan dibuat oleh orang yang sama pula. Langkah
tadi berhenti di depan bangku yang ada di samping Lelaki tua tadi. langkah itu
berubah menjadi kaki yang sama rapat serta menekuk ke depan bangku kayu.
“Bisakah kakek menceritakan kisah kakek padaku?,” pertanyaan itu membuat lelaki
tua menyandarkan tubuhnya perlahan.
“Ini
tentang perasaan cinta. Cinta antara dua bagian yang memiliki nilai yang sama
kuat. Cinta dengan seorang Perempuan dan cinta ke pada Negara. Jika di suruh
untuk memilih dalam sebuah pilihan bijak, maka tidak akan ada pilihan yang
tepat yang bisa di ambil—Jika kedua pilihan itu bisa untuk tidak dipilih atau
bisa di pilih keduanya dalam waktu yang bersamaan mungkin aku akan melakukan
hal itu. karena perasaanku atas keduanya sama, sama kuat dan sama kerasnya.”
“Lalu
pilihan apa yang Kakek ambil?.”
“Pilihan
yang salah tetapi benar.”
“Apa
itu?.”
“Kau
yakin ingin mendengarkannya?.”[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!