Namaku Adalah Hana Robiatul,
mereka memanggilku Hana, aku 23 tahun dan hanya tinggal beberapa hari lagi
untuk mencapai usia kematanganku, hal itu berarti usiaku untuk menjalani
kehidupan juga hanya tersisa beberapa hari lagi. Tidak banyak hal yang bisa aku
lakukan untuk menghadapi hari kupulanganku, aku tidak menyiapkan apa-apa, baik
itu bagaimana aku dibaptis, ataupun di mana nantinya aku dikuburkan. Karena aku
selalu merasa bahwa aku masih mempunyai cukup waktu menjalani kehidupan ini.
Hari
ini adalah kamis di bulan februari, bertepatan dengan hari pertemuan pertamaku
dengan sosok lelaki yang aku sayangi, Dan tidak hanya dia aku juga banyak
bertemu dengan beberapa orang lainnya yang akhirnya menjadi sahabat-sahabatku.
Waktu
itu sudah cukup lama berlalu, 17 tahun yang lalu di sebuah rumah besar yang
bertingkat tiga dengan halaman yang sangat luas, mungkin waktu itu adalah
halaman terluas sebuah rumah yang pernah aku lihat. Hari itu juga merupakan 3
hari setelah kejadian kebakaran besar yang sangat mengerikan, kebakaran yang
membuat semua keluarga besarku tak lagi tersisa. Aku adalah sebatang kara, aku
adalah yatimpiatu.
*
17
tahun yang lalu
Kamis,
Februari 1990
Aku
bersandar di jendela mobil yang melukis pemandangan jalan, bukan berarti aku
memperhatikan jalan yang melesat berlarian. Waktu itu aku lebih kepada lamunan
yang beraroma kesedihan. Aku memikirkan wajah orang-orang yang aku sayangi yang
telah menghilang bergantikan kilatan api yang memerah terus berkobar.
Lalu
mobil memelan hingga berhenti di depan rumah besar itu, aku keluar mengikuti
pergerakan langkah sopir yang mengantarkanku, saat melintasi halaman rumah aku
melihat beberapa orang anak seusiaku bermain kejar-kejaran. Di balik jaket
panjang yang digunakan oleh si sopir aku mengintip, pelan tanganku memegang
jemari si sopir, aku ingin sekali bertanya. Apakah
mereka mau menerimaku?.
Dan
ketika langkah kikiku memasuki pintu rumah yang akan membawaku ke dunia baru
kehidupanku, lonceng besar yang ada di puncak bagian tengah rumah berdentang
keras, tuas lonceng itu seperti ditarik oleh seseorang, tapi aku tak bisa
melihat siapa sosok yang menarik tuas itu.
Gema
lonceng bergetar di pendengaran, dilanjutkan dengan langkah-langkah berlarian
kecil menuruni anak tangga dari lantai atas, mereka semua berlarian menuju
sebuah ruangan besar yang ada di sebelah kiri dari pintu utama. Beberapa orang
anak juga terlihat berlarian dari luar rumah menuju ruangan yang sama.
Aku
masih berdiri di samping si sopir, entah apa yang sedang kami tunggu hingga
beberapa menit kemudian seorang perempuan agak tua datang menghampiri si sopir.
Setelah
melewatkan perbincangan yang tidak terlalu aku dengarkan, akhirnya aku beralih
pegangan dari jemari si sopir menuju jemari perempuan yang akhirnya membawaku
kesebuah ruangan besar tempat dimana semua anak-anak berkumpul. Aku agak gugup
waktu itu karena aku harus berdiri di depan dengan banyak pandangan mengarah
kepadaku. Aku diminta oleh perempuan tadi untuk memperkenalkan namaku kepada anak-anak
yang lainnya.
Setelah
perkenalan singkatku, aku dipersilahkan duduk bersama anak-anak lainnya di
bangku panjang yang sering kali berdenyit bila kami semua bergerak, aku duduk
di saping seorang anak laki-laki dan seorang perempuan, itulah kedua orang yang
akhirnya menjadi sahabatku. Naila dan Tomi.
*
Pantiasuhan
Bunda Maria
Agustus,
1996
Tak
terasa sudah 6 tahun aku berada di Pantiasuhan Bunda Maria, bersama banyak
anak-anak yang lainnya yang tumbuh besar sama seperti diriku, kami sudah cukup
besar untuk mengerti keadaan di sana. Kami tahu kami adalah sekumpulan
orang-orang yang datang dengan keadaan tanpa keluarga lagi. Di pantiasuhan ini
lah kami membangun keluarga baru.
Hari
itu tepatnya jum’at sore, hari yang merupakan hari yang sangat ditunggu-tunggu
semua orang karena hari itu merupakan hari memilih, hari yang akan memilih
salah satu dari kami semua untuk mendapatkan kebebasan yang seringkali
kebanyakan dari kami idamkan. Walau sebenarnya aku tak pernah ingin menjadi
yang terpilih.
Ada
hal yang berbeda yang terjadi saat hari pemilihan datang, kami semua diperiksa
dengan seksama, diberikan paksin yang tidak aku megerti, serangkaian kegiatan
hari itu pastilah berujung kepada harapan, harapan dan harapan.
Aku tahu
baik Naila atau pun Tomi sama sepertiku, mereka tidak mau menjadi yang
terpilih, kami bertiga menganggap jika salah satu dari kami akan menjadi yang
terpilih maka terpilih sama dengan menghilang. Karena dari apa yang kami amati
selama ini setiap dari anak yang terpilih tidak akan pernah lagi terlihat
ataupun kembali, mereka menghilang bagai ditelan bumi. Menurut penjelasan yang
ada mereka sudah menemukan orang tua yang mau mengadopsi mereka, mereka sudah
memiliki keluarga baru.
Untunglah
yang terpilih hari itu bukan salah satu dari kami bertiga, yang terpilih hari
itu adalah Jesika seorang anak perempuan yang berumur 10 tahun. Jesika adalah
anak paling pendiam yang pernah aku temui, dia tidak banyak bicara dan tidak
suka bergaul bersama anak-anak yang lainnya, dia lebih suka mengahbiskan
hari-harinya di loteng atap yang sepi.
Jesika
hari itu menangis, entah apa yang ditangisinya, tapi dia terlihat sangat
ketakutan, aku berpikir mungkin dia tidak bisa meninggalkan loteng atap yang
lebih kerasan baginya. Atau mungkin dia takut karena dia tak bisa bergaul
bersama orang-orang baru yang membuat dirinya tidak pernah terlihat merasa
aman, dia seperti menderita pobia terhadap dunia luar.
Setelah
hari itu, satu-persatu menjadi yang terpilih setiap 3 bulannya hingga yang
tersisa hanya beberapa orang saja termasuk kami bertiga.
*
Semakin
dewasa kami, maka semain luas kami berpikir, kami bertiga memang selalu
memiliki pikiran yang berbeda, kami bertiga berencana untuk tidak akan pernah
terpilih dan mulai membangun kehidupan baru diluar sana. Rencana demi rencana
itu membuat kami semakin bersemangat menanti hari-hari yang kami bayangkan.
Tapi
di balik rencana-rencana kami itu tersulam bayak kecemburuan, terutama di
hatiku. Aku mulai memiliki perasaan sayang yang berlebih kepada Tomi, perasaan
itu lebih tepatnya disebut sebagai cinta.
Kecemburuanku
berawal saat Tomi dan Naila berdua di halaman belakang panti, saat itu aku
berada di dapur, dari jendela dapur yang berdebu itulah aku melihat Tomi
mencium Naila, rasa sakit hatiku mulai meracuniku. Hingga banyak cara yang aku
lakukan untuk menarik perhatian Tomi agar lebih memperhatikanku.
Suatu
hari di hari rabu yang merupakan hari bebas kami untuk menghirup udara segar
dan bermain di pantai, kami bertiga bersama-sama menuju pelabuhan Ampera, di
pelabuhan itulah kami duduk memandangi lautan, menikmati sekawanan camar
terbang kejar-kejaran.
Pelan
tanganku bergerak menyentuh jemari Tomi, Tomi tidak menariknya, dia hanya diam
tanpa berucap apapun. Aku tahu Naila melihat apa yang aku laukan, hingga Naila
pun bangkit dengan wajah tersenyum dipaksanya dan pergi meninggalkan kami.
Tomi
bangkit ingin mengejarnya tapi Aku menahannya, Tomi berpaling kearahku sambil
berucap. “Aku harus mengejarnya Hana!,” ucapannya itu seperti sinyal penolakan
terhadapku, bahwa dia lebih memilih Naila daripada aku.
Dan
dua hari kemudian tibalah saat pemilihan, saat itu aku sangat berharap Naila
lah yang terpilih, karena dengan terpilihnya dia, aku bisa bersama Tomi tanpa
gangguan darinya. Apa yang ku harapkan itu akhirnya terjadi. Naila terpilih dan
tak lagi terlihat di pantiasuhan.
Sejak
saat itu hubunganku dengan Tomi malah semakin merenggang, dia jadi tidak lagi
banyak bicara, dia lebih sering menghabiskan waktunya ke pantai sendirian, termenung
di dermaga seolah mengingat banyak masa lalunya bersama Naila.
Sebulan
setelah kepergian Naila, sesosok bayangan sering terlihat di halaman, sosok itu
menyerupai Naila, sosok itu hadir dalam malam yang begitu sunyi. Aku turun dari
kamar tempat kami para perempuan tidur, aku penasaran dengan bayangan yang
sering aku lihat beberapa malam terakhir itu. Saat aku mencapai halaman di
bawah pohon ek yang rindang aku mendapati Naila bersama Tomi sedang berbincang
serius.
Di
bawah temaram lampu halaman aku berdiri kaku, menatap kearah jemari mereka
berdua yang sedang menyatu.
“Hana!,”
ucap Naila memanggil namaku, lalu dia berpaling pada Tomi. “Kita harus
mengajaknya pergi, dia dalah bagian dari kita, dia juga berhak mengetahui
kenyataan yang ada.”
Dan
malam itu berjalan menjadi sangat panjang, sepanjang malam yang pernah aku
rasakan. Kami melakukan pelarian.
*
Malam
paling menegangkan dalam hidupku. Kami bertiga duduk bersebelahan, di atas
bangku kayu yang hampa dan terasa rapuh, dengan tubuh bergetar, dengan kaki
kalu tak bisa lagi berlari. Kami dihadapkan oleh beberapa orang yang sangat
kami takuti, pemimpin panti dan beberapa stap yang terlihat bagaikan monster.
“Kalian
sudah tau kenyataan yang ada?.”
Pertanyaan
itu keluar dari mulut pimpinan panti, walau kata-kata itu terdengar tegas, tapi
wajah santai yang ditunjukkan olehnya membuat aku sedikit melepas gugup.
Kami
mengangguk, kami tahu apa yang sebenarnya berlangsung di panti selama ini, kami
tahu dari Naila, hal yang mengejutkan tapi tak bisa dirubah karena itulah
kenyataan yang ada.
“Aku
hanya ingin kalian merahasiakan ini dari siapa pun.”
“Tapi
kami ingin kau mengabulkan syarat kami,” ucap Tomi melakukan penawaran.
“Keselamatan?
— itu akan diberikan. Naila, aku kira kau akan pergi setelah kami mengetahui apa
yang sedang kau derita, tapi ternyata kau malah menambah masalah yang ada.”
Naila
mengangkat wajahnya, memberanikan diri bicara.”Ini tentang perasaanku,” ketika
dia berucap seperti itu aku pun mengerti ini tentang dirinya dan Tomi, tidak
sama sekali tentang aku.
“Ini
tentang cinta yang aku miliki. Aku dan Tomi ingin hidup, membentuk keluarga,
walau sebenarnya aku tahu kenyataan yang akan aku terima, bahwa aku takakan
bisa lama hidup bersamanya.”
“Bukankah
itu hanya menyebabkan penderitaan!,” kepala panti berpendapat.
Tomi
bangkit.”Tak akan ada yang menderita, kami saling mencintai dan apapun yang
akan terjadi pada kami itulah jalan yang telah kami ambil,” pelan ku lihat
jemari Naila memegang tangan Tomi.
“Jika
kalian telah memiliki komitmen seperti itu aku tidak bisa memaksa, penyakit
kelainan hati yang di derita Naila tidak akan membuat cinta kalian berdua
bertahan lama. Tapi jika itu bisa membuat kalian berdua bertahan maka—.”
Aku
hanya menyimak, aku tahu akhirnya aku pun tidak lagi memiliki pilihan untuk
bisa bersama Tomi, Naila lah yang akhirnya bisa memiliki Tomi, dialah yang
akhirnya dicintai oleh Tomi.
Malam
itu Naila dan Tomi pergi meninggalkan panti, sedangkan aku menetap dan
memutuskan bekarja di sana, menjalani kenyataan yang pilu tak bisa terobat
lagi.
*
Namaku
Adalah Hana Robiatul, mereka memanggilku Hana, aku 23 tahun dan hanya tinggal 2
hari lagi untuk mencapai usia kematanganku, hal itu berarti usiaku untuk
menjalani kehidupan juga hanya tersisa 2 hari lagi. Tidak banyak hal yang bisa
aku lakukan untuk menghadapi hari kupulanganku, aku tidak menyiapkan apa-apa,
baik itu bagaimana aku dibaptis, ataupun di mana nantinya aku dikuburkan.
Karena aku selalu merasa bahwa aku masih mempunyai cukup waktu menjalani
kehidupan ini.
Setiap
hari aku menatapi anak-anak di panti, memandangi mata mereka yang tidak
berdosa, memikirkan tentang kehidupan mereka yang terbatas, mereka manusia tapi
seperti manusia yang ditakdirkan untuk menjadi sosok yang dikorbankan. Mereka
berharga tapi hidup mereka tak pernah bisa dihargai. Mereka adalah proyek dari
masa depan kelangsungan hidup manusia, merekalah korban untuk menyambung hidup
orang-orang yang sekarat.
Layaknya
seperti buah yang hanya menunggu ranum dan dipetik untuk dijadikan penyehat
tubuh. Merekalah proyek daur ulang manusia, proyek pengembangan organ tubuh
untuk didonorkan.
Hari
ini adalah hari yang sudah mencapai akhir dari waktuku. Aku sudah memilih dan
memutuskan ini dengan sangat pasti. Aku sadar selamanya aku tidak akan bisa
memiliki Tomi dan semoga dengan ini aku selalu merasa bersamanya untuk
selamanya.
*
2
hari kemudian
Naila
yang masih terbaring di atas tempat tidur di sebuah ruangan pucat yang pesi.
Pelan dia membuka mata, saat dia melakukan itu aku berharap aku juga bisa
melihat apa yang dilihatnya, tidak hanya indahnya dunia tapi indahnya wajah
Tomi yang selalu melekat dalam ingatanku. Dan hari ini pun aku akhirnya pulang
di dalam pengorbanan.
Aku
berharap Naila bisa bahagia bersama Tomi untuk selama-lamanya.[]
NB :
untuk para pembaca setiaku. Terima kasih untuk kalian semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!