4 Sep 2011

Di atas batu karang, dihempas deru gelombang


Hari ini adalah kamis di bulan februari, bertepatan dengan hari pertemuan pertamaku dengan sosok lelaki yang aku sayangi, Dan tidak hanya dia aku juga banyak bertemu dengan beberapa orang lainnya yang akhirnya menjadi sahabat-sahabatku.

Waktu itu sudah cukup lama berlalu, 17 tahun yang lalu di sebuah rumah besar yang bertingkat tiga dengan halaman yang sangat luas, mungkin waktu itu adalah halaman terluas sebuah rumah yang pernah aku lihat. Hari itu juga merupakan 3 hari setelah kejadian kebakaran besar yang sangat mengerikan, kebakaran yang membuat semua keluarga besarku tak lagi tersisa. Aku adalah sebatang kara, aku adalah yatimpiatu.
*
17 tahun yang lalu
Kamis, Februari 1990
Aku bersandar di jendela mobil yang melukis pemandangan jalan, bukan berarti aku memperhatikan jalan yang melesat berlarian. Waktu itu aku lebih kepada lamunan yang beraroma kesedihan. Aku memikirkan wajah orang-orang yang aku sayangi yang telah menghilang bergantikan kilatan api yang memerah terus berkobar.
Lalu mobil memelan hingga berhenti di depan rumah besar itu, aku keluar mengikuti pergerakan langkah sopir yang mengantarkanku, saat melintasi halaman rumah aku melihat beberapa orang anak seusiaku bermain kejar-kejaran. Di balik jaket panjang yang digunakan oleh si sopir aku mengintip, pelan tanganku memegang jemari si sopir, aku ingin sekali bertanya. Apakah mereka mau menerimaku?.
Dan ketika langkah kikiku memasuki pintu rumah yang akan membawaku ke dunia baru kehidupanku, lonceng besar yang ada di puncak bagian tengah rumah berdentang keras, tuas lonceng itu seperti ditarik oleh seseorang, tapi aku tak bisa melihat siapa sosok yang menarik tuas itu.
Gema lonceng bergetar di pendengaran, dilanjutkan dengan langkah-langkah berlarian kecil menuruni anak tangga dari lantai atas, mereka semua berlarian menuju sebuah ruangan besar yang ada di sebelah kiri dari pintu utama. Beberapa orang anak juga terlihat berlarian dari luar rumah menuju ruangan yang sama.
Aku masih berdiri di samping si sopir, entah apa yang sedang kami tunggu hingga beberapa menit kemudian seorang perempuan agak tua datang menghampiri si sopir.
Setelah melewatkan perbincangan yang tidak terlalu aku dengarkan, akhirnya aku beralih pegangan dari jemari si sopir menuju jemari perempuan yang akhirnya membawaku kesebuah ruangan besar tempat dimana semua anak-anak berkumpul. Aku agak gugup waktu itu karena aku harus berdiri di depan dengan banyak pandangan mengarah kepadaku. Aku diminta oleh perempuan tadi untuk memperkenalkan namaku kepada anak-anak yang lainnya.
Setelah perkenalan singkatku, aku dipersilahkan duduk bersama anak-anak lainnya di bangku panjang yang sering kali berdenyit bila kami semua bergerak, aku duduk di saping seorang anak laki-laki dan seorang perempuan, itulah kedua orang yang akhirnya menjadi sahabatku. Naila dan Tomi.
*
Pantiasuhan Bunda Maria
Agustus, 1996
Tak terasa sudah 6 tahun aku berada di Pantiasuhan Bunda Maria, bersama banyak anak-anak yang lainnya yang tumbuh besar sama seperti diriku, kami sudah cukup besar untuk mengerti keadaan di sana. Kami tahu kami adalah sekumpulan orang-orang yang datang dengan keadaan tanpa keluarga lagi. Di pantiasuhan ini lah kami membangun keluarga baru.
Hari itu tepatnya jum’at sore, hari yang merupakan hari yang sangat ditunggu-tunggu semua orang karena hari itu merupakan hari memilih, hari yang akan memilih salah satu dari kami semua untuk mendapatkan kebebasan yang seringkali kebanyakan dari kami idamkan. Walau sebenarnya aku tak pernah ingin menjadi yang terpilih.
Ada hal yang berbeda yang terjadi saat hari pemilihan datang, kami semua diperiksa dengan seksama, diberikan paksin yang tidak aku megerti, serangkaian kegiatan hari itu pastilah berujung kepada harapan, harapan dan harapan.
Aku tahu baik Naila atau pun Tomi sama sepertiku, mereka tidak mau menjadi yang terpilih, kami bertiga menganggap jika salah satu dari kami akan menjadi yang terpilih maka terpilih sama dengan menghilang. Karena dari apa yang kami amati selama ini setiap dari anak yang terpilih tidak akan pernah lagi terlihat ataupun kembali, mereka menghilang bagai ditelan bumi. Menurut penjelasan yang ada mereka sudah menemukan orang tua yang mau mengadopsi mereka, mereka sudah memiliki keluarga baru.
Untunglah yang terpilih hari itu bukan salah satu dari kami bertiga, yang terpilih hari itu adalah Jesika seorang anak perempuan yang berumur 10 tahun. Jesika adalah anak paling pendiam yang pernah aku temui, dia tidak banyak bicara dan tidak suka bergaul bersama anak-anak yang lainnya, dia lebih suka mengahbiskan hari-harinya di loteng atap yang sepi.
Jesika hari itu menangis, entah apa yang ditangisinya, tapi dia terlihat sangat ketakutan, aku berpikir mungkin dia tidak bisa meninggalkan loteng atap yang lebih kerasan baginya. Atau mungkin dia takut karena dia tak bisa bergaul bersama orang-orang baru yang membuat dirinya tidak pernah terlihat merasa aman, dia seperti menderita pobia terhadap dunia luar.
Setelah hari itu, satu-persatu menjadi yang terpilih setiap 3 bulannya hingga yang tersisa hanya beberapa orang saja termasuk kami bertiga.
*
Semakin dewasa kami, maka semain luas kami berpikir, kami bertiga memang selalu memiliki pikiran yang berbeda, kami bertiga berencana untuk tidak akan pernah terpilih dan mulai membangun kehidupan baru diluar sana. Rencana demi rencana itu membuat kami semakin bersemangat menanti hari-hari yang kami bayangkan.
Tapi di balik rencana-rencana kami itu tersulam bayak kecemburuan, terutama di hatiku. Aku mulai memiliki perasaan sayang yang berlebih kepada Tomi, perasaan itu lebih tepatnya disebut sebagai cinta.
Kecemburuanku berawal saat Tomi dan Naila berdua di halaman belakang panti, saat itu aku berada di dapur, dari jendela dapur yang berdebu itulah aku melihat Tomi mencium Naila, rasa sakit hatiku mulai meracuniku. Hingga banyak cara yang aku lakukan untuk menarik perhatian Tomi agar lebih memperhatikanku.
Suatu hari di hari rabu yang merupakan hari bebas kami untuk menghirup udara segar dan bermain di pantai, kami bertiga bersama-sama menuju pelabuhan Ampera, di pelabuhan itulah kami duduk memandangi lautan, menikmati sekawanan camar terbang kejar-kejaran.
Pelan tanganku bergerak menyentuh jemari Tomi, Tomi tidak menariknya, dia hanya diam tanpa berucap apapun. Aku tahu Naila melihat apa yang aku laukan, hingga Naila pun bangkit dengan wajah tersenyum dipaksanya dan pergi meninggalkan kami.
Tomi bangkit ingin mengejarnya tapi Aku menahannya, Tomi berpaling kearahku sambil berucap. “Aku harus mengejarnya Hana!,” ucapannya itu seperti sinyal penolakan terhadapku, bahwa dia lebih memilih Naila daripada aku.
Dan dua hari kemudian tibalah saat pemilihan, saat itu aku sangat berharap Naila lah yang terpilih, karena dengan terpilihnya dia, aku bisa bersama Tomi tanpa gangguan darinya. Apa yang ku harapkan itu akhirnya terjadi. Naila terpilih dan tak lagi terlihat di pantiasuhan.
Sejak saat itu hubunganku dengan Tomi malah semakin merenggang, dia jadi tidak lagi banyak bicara, dia lebih sering menghabiskan waktunya ke pantai sendirian, termenung di dermaga seolah mengingat banyak masa lalunya bersama Naila.
Sebulan setelah kepergian Naila, sesosok bayangan sering terlihat di halaman, sosok itu menyerupai Naila, sosok itu hadir dalam malam yang begitu sunyi. Aku turun dari kamar tempat kami para perempuan tidur, aku penasaran dengan bayangan yang sering aku lihat beberapa malam terakhir itu. Saat aku mencapai halaman di bawah pohon ek yang rindang aku mendapati Naila bersama Tomi sedang berbincang serius.
Di bawah temaram lampu halaman aku berdiri kaku, menatap kearah jemari mereka berdua yang sedang menyatu.
“Hana!,” ucap Naila memanggil namaku, lalu dia berpaling pada Tomi. “Kita harus mengajaknya pergi, dia dalah bagian dari kita, dia juga berhak mengetahui kenyataan yang ada.”
Dan malam itu berjalan menjadi sangat panjang, sepanjang malam yang pernah aku rasakan. Kami melakukan pelarian.
*
Malam paling menegangkan dalam hidupku. Kami bertiga duduk bersebelahan, di atas bangku kayu yang hampa dan terasa rapuh, dengan tubuh bergetar, dengan kaki kalu tak bisa lagi berlari. Kami dihadapkan oleh beberapa orang yang sangat kami takuti, pemimpin panti dan beberapa stap yang terlihat bagaikan monster.
“Kalian sudah tau kenyataan yang ada?.”
Pertanyaan itu keluar dari mulut pimpinan panti, walau kata-kata itu terdengar tegas, tapi wajah santai yang ditunjukkan olehnya membuat aku sedikit melepas gugup.
Kami mengangguk, kami tahu apa yang sebenarnya berlangsung di panti selama ini, kami tahu dari Naila, hal yang mengejutkan tapi tak bisa dirubah karena itulah kenyataan yang ada.
“Aku hanya ingin kalian merahasiakan ini dari siapa pun.”
“Tapi kami ingin kau mengabulkan syarat kami,” ucap Tomi melakukan penawaran.
“Keselamatan? — itu akan diberikan. Naila, aku kira kau akan pergi setelah kami mengetahui apa yang sedang kau derita, tapi ternyata kau malah menambah masalah yang ada.”
Naila mengangkat wajahnya, memberanikan diri bicara.”Ini tentang perasaanku,” ketika dia berucap seperti itu aku pun mengerti ini tentang dirinya dan Tomi, tidak sama sekali tentang aku.
“Ini tentang cinta yang aku miliki. Aku dan Tomi ingin hidup, membentuk keluarga, walau sebenarnya aku tahu kenyataan yang akan aku terima, bahwa aku takakan bisa lama hidup bersamanya.”
“Bukankah itu hanya menyebabkan penderitaan!,” kepala panti berpendapat.
Tomi bangkit.”Tak akan ada yang menderita, kami saling mencintai dan apapun yang akan terjadi pada kami itulah jalan yang telah kami ambil,” pelan ku lihat jemari Naila memegang tangan Tomi.
“Jika kalian telah memiliki komitmen seperti itu aku tidak bisa memaksa, penyakit kelainan hati yang di derita Naila tidak akan membuat cinta kalian berdua bertahan lama. Tapi jika itu bisa membuat kalian berdua bertahan maka—.”
Aku hanya menyimak, aku tahu akhirnya aku pun tidak lagi memiliki pilihan untuk bisa bersama Tomi, Naila lah yang akhirnya bisa memiliki Tomi, dialah yang akhirnya dicintai oleh Tomi.
Malam itu Naila dan Tomi pergi meninggalkan panti, sedangkan aku menetap dan memutuskan bekarja di sana, menjalani kenyataan yang pilu tak bisa terobat lagi.
*
Namaku Adalah Hana Robiatul, mereka memanggilku Hana, aku 23 tahun dan hanya tinggal 2 hari lagi untuk mencapai usia kematanganku, hal itu berarti usiaku untuk menjalani kehidupan juga hanya tersisa 2 hari lagi. Tidak banyak hal yang bisa aku lakukan untuk menghadapi hari kupulanganku, aku tidak menyiapkan apa-apa, baik itu bagaimana aku dibaptis, ataupun di mana nantinya aku dikuburkan. Karena aku selalu merasa bahwa aku masih mempunyai cukup waktu menjalani kehidupan ini.
Setiap hari aku menatapi anak-anak di panti, memandangi mata mereka yang tidak berdosa, memikirkan tentang kehidupan mereka yang terbatas, mereka manusia tapi seperti manusia yang ditakdirkan untuk menjadi sosok yang dikorbankan. Mereka berharga tapi hidup mereka tak pernah bisa dihargai. Mereka adalah proyek dari masa depan kelangsungan hidup manusia, merekalah korban untuk menyambung hidup orang-orang yang sekarat.
Layaknya seperti buah yang hanya menunggu ranum dan dipetik untuk dijadikan penyehat tubuh. Merekalah proyek daur ulang manusia, proyek pengembangan organ tubuh untuk didonorkan.
Hari ini adalah hari yang sudah mencapai akhir dari waktuku. Aku sudah memilih dan memutuskan ini dengan sangat pasti. Aku sadar selamanya aku tidak akan bisa memiliki Tomi dan semoga dengan ini aku selalu merasa bersamanya untuk selamanya.
*
2 hari kemudian
Naila yang masih terbaring di atas tempat tidur di sebuah ruangan pucat yang pesi. Pelan dia membuka mata, saat dia melakukan itu aku berharap aku juga bisa melihat apa yang dilihatnya, tidak hanya indahnya dunia tapi indahnya wajah Tomi yang selalu melekat dalam ingatanku. Dan hari ini pun aku akhirnya pulang di dalam pengorbanan.
Aku berharap Naila bisa bahagia bersama Tomi untuk selama-lamanya.[]
NB : untuk para pembaca setiaku. Terima kasih untuk kalian semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!