_______________________
Dua lilin sudah saling tatap dengan posisi yang
berhadap-hadapan. Hidangan juga sudah ditata di samping dua lilin dengan dua
bangku yang masih kosong. Lampu dengan senghaja di biarkan meremang agar
suasana romantis dan hangat bisa bertahan pada malam yang sebenarnya sangat
dingin itu.
Jam baru saja berdentang Sembilan kali, Yana yang
sudah menggunakan gaun merah hati, menarik salah satu bangku dan duduk dalam
posisi menunggu. Suasana sunyi senyap, hingga detak waktu yang menghitung detik
demi detik semakin jelas terdengar, lalu dentangan sekali terdengar memecah
segalanya, menandakan bahwa sudah sertengah jam waktu berlalu begitu saja.
Rasa resah membuat Yana bangkit dan berdiri di
balik jendela, cahaya yang terbentuk dari lampu jalan memeluk seluruh tubuhnya
yang teguh untuk menunggu. Tak mau menguhubungi karena siang tadi Ilham sudah
berjanji akan pulang jam Sembilan malam.
Suara dering telpon membuat langkah Yana di atas
lantai kramik menghitung keras. Di dalam senyap yang kembali tercipta
perbincangan mereka berbalas biasa-biasa saja.
“Aku masih di Bandung, maafkan aku sayang aku tak
bisa pulang malam ini, aku ketinggalan pesawat,” suara serak di ujung
telpon bernada penuh penyesalan.
Yana diam sejenak, bersandar pada meja kecil tempat
telpon bersemayam. “Oh, tak apa-apa jika memang begitu. Aku hanya ingin ucapkan
— selamat ulang tahun sayang.”
Suara di ujung telpon terdiam sejenak. “Astaga aku
melupakan itu. Terima kasih sudah mengingatkannya untukku. Aku sayang kamu —.”
Perbincangan singkat itu pun berakhir begitu saja.
Yana menghela nafas panjang, dia kembali ke depan meja dengan dua cahaya lilin
yang bergoyang beriringan. Dengan berat hati kedua lilin tadi pun ditiupnya
hingga padam dan menyisakan asap yang juga menghilang.
*
Di café Mom’s itu mereka berdua bertemu. Rambut
berpirang coklat, secoklat warna bola mata yang indah dan menarik. Kulit halus,
cantik dan masih muda, wajar jika banyak dari laki-laki yang ada di café itu
langsung melirik ke sosok yang baru saja datang dan duduk santai dengan sedikit
senyum nakal.
Mereka berdua berjabatan tangan.
“Arumi,” ucap wanita cantik tadi dengan santai.
“Yana,” balas Yana sambil menyelipkan rambut
kebalik telinganya.
“Kau punya photonya kan?,” tanya Arumi.
Yana mengelurkan telpon genggamnya membuka sebuah
photo dan memberikan telpon genggamnya tadi kepada Arumi. “Namanya Ilham, dia
dokter hewan, siang ketika jam istirahat biasanya dia minum kofi di café Ben
yang ada di seberang kelinik. Kau bisa menemukannya di sana —.”
“Dia tampan juga ya?,” Arumi berkomentar sambil
menyerahkan telpon genggam tadi kembali kepada Yana.
“Ya, dia memang tampan. Ku harap kau bisa berkerja
professional, aku hanya ingin memastikannya saja. Jangan berlebihan,” Yana
menatap tajam ke arah Arumi.
Arumi tersenyum. “Aku tidak akan berlebihan. Boleh
aku bertanya satu hal?.”
Yana diam menunggu pertanyaan itu.
“Mengapa kau ingin melakukan ini?.”
“Aku — aku hanya ingin tahu saja. Akhir-akhir ini
dia sering kali pulang terlambat, dia sering beralasan macam-macam, aku merasa
dia membohongiku.”
Jemari Arumi bergerak menggenggam telapak tangan
Yana, memegangnya erat sambil berucap. “Baiklah aku akan melakukannya besok,
aku akan menghubungimu jika sudah ada hasilnya.”
Perbincangan itu pun berakhir dengan langkah kaki
yang bergerak menuju arah yang berlawanan. Langit Banjarmasin agak mendung sore
itu, hujan pun mulai merintik pelan.
*
Pagi hari Yana sibuk memasak di dapur sedangkan
Ilham duduk di ruang tamu sambil membalik halaman demi halaman Koran hari itu,
asap kopi masih belum sirna, membawa aroma cappuccino merasuk ke dalam indra
penciuman yang tenang. Beberapa menit kemudian Yana memanggil suaminya itu
untuk sarapan pagi. Duduk berhadapan tanpa ada pembicaraan seperti dulu lagi,
tiba-tiba saja telpon genggam Ilham berdering.
Ilham bangkit dan menerima telpon tadi, dia
berjalan ke ruangan tengah dan mulai bicara dengan seseorang. Yana diam
mengawasi dari dapur, walau dia tak bisa mendengar apa yang sedang dibicarakan
oleh suaminya itu.
Ketika Ilham sudah selesai dengan telpon
genggamnya, Yana pun bertanya.
“Siapa?.”
“Erik, katanya kucing yang menderita tumor itu
meninggal. Padahal kami sudah berusaha semampu kami, ku rasa sia-sia saja aku
ke Bandung hari itu, ternyata memang tak bisa diselamatkan.”
“Sudahlah. Hanya seekor kucing,” Yana berkomentar.
“Ya, hanya seekor kucing —.”
“Kau pulang jam berapa?,” Yana mengalihkan
pembicaraan.
“Sepertinya tak bisa cepat. Setelah dari kelinik
aku harus mengajar, kau tahukan hari libur memang sering kali mengacaukan
jadwal yang seharusnya bisa agak longgar.”
“Oh, ternyata padat ya jadwalmu.”
“Memangnya kenapa?,” Ilham mengerutkan keningnya.
“Tidak ada, ku kira kau bisa membantuku untuk
berbelanja — tapi tak apa aku bisa sendiri.”
*
Seperti hari-hari biasanya, toko suwalayan itu selalu
ramai dengan pengunjung. Yana juga setiap kali ingin berbelanja selalu ke toko
itu. Karena Ilham tak bisa membantunya berbelanja, Yana pun meminta Lela
menemaninya. Teman yang baru beberapa bulan terakhir ini di kenal olehnya,
teman yang di kenalnya saat sebuah acara arisan berlangsung.
Lena baru saja juga bercerai dengan suaminya,
pemicu itu karena perselingkuhan yang beralih ke saling tuduh, pertengkaran
hingga kuasa hati tak bisa lagi membendung untuk mempertahankan rumah tangganya
yang sudah dijalinnya selama tiga tahun.
“Kau yakin dia berselingkuh darimu?,” Lena mencoba
meyakinkan apa yang baru saja di katakannya temannya itu.
“Entahlah, aku masih tidak punya bukti. Tapi dia
sering pulang terlambat, membuat alasan, dan kami jarang bicara serta bercinta
— tidak seperti dulu lagi.”
“Apa kau pernah menanyakan hal itu langsung
dengannya?.”
“Aku tak bisa, aku tak mau nantinya malah berujung
pertengkaran panjang.”
Mereka berdua berhenti melangkah, dan mulai memilih
beberapa sambal botol serta tomat botol.
“Selain dua hal tadi ada hal lain yang bisa
menyimpulkan bahwa dia benar-benar selingkuh?,” nada Lena setengah berbisik.
“Dia sering ditelpon seseorang. Tapi katanya dari
temannya di Bandung, teman kerjanya.”
“Kau kenal teman kerjanya itu, jika kau kenal kau
bisa menanyakannya langsung.”
“Aneh saja menurutku jika aku tiba-tiba saja
menelpon Erik dan bertanya apa suamiku tadi ditelpon olehnya.”
Lena diam sejenak, kemudian melanjutkan lagi. “Aku
juga dulu seperti itu, dan Roni benar-benar selingkuh. Dulu aku menggunakan
seseorang yang aku kenal dari temanku untuk menyelidiki kelakuan suamiku.
Maksudku sekedar memastikan.”
“Maksudmu?,” Yana mulai tertarik.
“Jika kau ingin mencobanya aku bisa memberitahumu
nomor telpon genggamnya, kau bisa menghubunginya. Hanya ingin tahu saja apakah
suamimu itu benar-benar sedang berselingkuh.”
“Maksudmu?,” ulang Yana yang masih belum mengerti.
“Seperti jebakan, apakah suami mu itu termasuk
setia atau tidak, jika tidak berarti dia memang berselingkuh.”
“Maksudmu menyuruh orang lain untuk merayu suamiku
— apa itu tidak terlalu berlebihan?,” Yana mulai mengerti dan mengerutkan
kening.
“Tak apa jika kau tidak ingin mencobanya, aku hanya
mencoba mencarikan solusi saja,” Lena menarik sebotol tomat dan memasukkannya
ke dalam keranjang belanja.
*
Seperti pesan yang baru beberapa menit yang lalu
masuk ke telpon genggam Yana. Yana pun langsung menuju café Mom’s, bertemu lagi
dengan Arumi. Diawali dengan dua cangkir kopi penghilang ketegangan
perbincangan mereka pun semakin memanas.
“Aku bertemu dengannya hari ini dan dua hari yang
lalu, seperti yang kau katakana dia ada di café pada saat jam istirahat, aku
duduk di meja dekat mejanya, dia berkali-kali melirik kearahku, aku tersenyum
dan beberapa menit kemudian dia menghampiriku, mengajakku kenalan dan mulai
berbicara banyak tentang pekerjaannya. Dia sangat ramah, tapi dia jujur bahwa
dia sudah menikah.”
Yana menyandarkan kepalanya pada tangan,
mendengarkan.
“Dia meminta nomor telpon genggamku. Dua hari ini
kami sudah bertemu, dan siang tadi dia mengajakku bertemu lagi, dia mengajakku
nonton. Aku tak bisa menolaknya, kami pun nonton berdua, di dalam gedung biokop
tangannya memegang jemari-jemariku, kemudian pelan dia menciumku — maafkan aku
jika kau tak enak mendengarnya!,” Arumi berhenti.
Yana menunduk pelan. “Tak apa teruskan saja,”
pintanya.
“Ciuman itu dari bibir ke bibir, sangat basah. Dia
benar-benar terangsang hingga tangannya menjamah payudaraku. Aku hanya pasrah
saja.”
Yana kembali menatap Arumi. “Mengapa kau tidak
menolak — aku kan hanya menyuruhmu untuk merayunya saja,” kali ini Yana
terdengar penuh emosi.
“Maafkan aku aku tidak bermaksud begitu, tapi dia
melakukannya dengan tiba-tiba.”
Yana terlihat kesal, tapi amarahnya itu coba untuk
ditahannya. “Lalu ada lagi?.”
“Tidak ada, tapi petang nanti dia mengajakku
bertemu lagi.”
“Di mana?,” Yana berpikir sejenak. “Dia bilang
padaku bahwa dia mengajar malam ini.”
“Dia belum memastikannya.”
*
Suara mesin mobil berhenti di depan rumah. Yana
mendengarkan dari dalam kamar sambil mengintip dari balik gorden jendela kamar.
Ilham terlihat keluar dari mobil membawa beberapa berkas.
Suara anak kunci di putar dan denyit pintu
terdengar pelan. Yana naik ke atas tempat tidur dan mematikan lampu duduk, dia
berpura-pura tidur.
Pintu kamar dibuka dari luar, setumpuk berkas
terdengar diletakkan di atas meja di samping pintu kamar. lalu beberapa menit
kemudian suara air dari kamar mandi terdengar menyentuh lantai-lantai yang
dingin.
Setelah suara air berhenti, berlanjut suara pintu
lemari dibuka, lalu tubuh itu pelan masuk ke dalam selimut yang hangat, di sisi
yang berlawanan itu lampu duduk dinyalakan oleh Ilham, dia pun mulai menarik
buku dari balik laci kecil dan membaca ditemani malam.
Yana berpaling dan berpura-pura terbangun. Senyum
dipaksa terbesit sangat terlihat, Ilham membalasnya kemudian kembali fokus pada
buku yang sedang dibacanya.
“Bagaimana pekerjaanmu?,” tanya Yana.
“Seperti biasa, melelahkan tapi menyenangkan.”
“Sayang —.”
“Ya!.”
“Tak apa-apa,” Yana kembali membelakangi Ilham.
Lampu duduk di matikan oleh Ilham dia pun menarik
selimut menutupi seluruh tubuhnya, menghadap ke arah Yana yang membelakanginya,
lama dia menatap tubuh istrinya itu, kemudian dia pun berpaling dan terjaga
dalam pikiran yang tidak tentu pasti.
*
“Dia
mengajakku ke hotel malam itu,” Ariani diam sejenak. “Dia meniduriku, ternyata
dia sangat ahli dalam bercinta, berulang-ulang dia menciumiku dengan berutal,
melepaskan pakaianku dan menindisku dengan kasar tapi menyenangkan.”
“Dia
benar-benar melakukan itu. Oh Tuhan kami sudah lama tidak bercinta. Apakah dia
mengajakmu untuk bertemu lagi?,” kali ini Yana terdengar penasaran berlapis
amarah.
“Iya,
dia mengajakku untuk bertemu lagi, tapi dia tidak memberitahuku kapan.”
Setelah
perbincangan bersama Arini itu berakhir. Yana pulang dengan derai airmata, luka
hatinya terasa menyiksa, perselingkuhan itu membayang di kepalanya, menuang
segala emosinya hingga bendungan hati pun tak bisa lagi menahan itu semua.
Ketika
sudah sampai di rumah sore itu, ternyata Ilham sudah berada di rumah, saat
itulah limpahan rasa sakit itu terlampiaskan oleh Yana. Pertengkaran itu pun
terjadi dengan saling tuduh.
“Maafkan
aku jika aku tidak punya banyak waktu untukmu, tapi aku jujur aku tidak
berselingkuh dengan siapa pun,” Ilham bersikeras mengelak dari tuduhan Yana.
“Tapi
aku tahu bahwa kau berselingkuh, kau selalu beralasan bahwa kau sedang sibuk
sehingga harus pulang malam, kau tidur bersama perempuan lain kan. Aku tahu
itu,” nada Yana sangatlah kasar.
“Kau
tahu sejak kapan ini terjadi?,” Ilham memegang pundak Istrinya. “Sejak kau tak
pernah mau bicara, sejak kau selalu merasa takut untuk bicara padaku, sejak kau
di ponis tak bisa memberikanku keturunan. Tapi aku jujur aku selalu menerima
apapun yang ada pada dirimu, aku tak pernah berselingkuh darimu.”
“Aku
bisa membuktikan bahwa kau berselingkuh,” kali ini nada Yana terdengar
mengancam. Yana mengeluarkan telpon genggamnya mengirim pesan pada Arumi untuk
bertemu lagi di café biasa.
Dengan
rasa emosi yang menggebu, Ilham dan Yana pergi ke café tadi, tak ada lagi
pembicaraan di atara mereka berdua, wajah mereka terlihat penuh kusut. Beberapa
menit berlalu di café Arumi tidak juga kunjung tiba
Yana
mulai bercerita jujur tentang jebakan yang dilakukannya itu, tentang Arumi yang
mengaku berselingkuh dengan suaminya, tentang rasa cemburunya yang semakin
menekannya untuk terus mencari bukti-bukti. Di sana lah semuanya mulai terlihat
jelas, penjelasan demi penjelasan di kemukakan oleh Ilham, tentang
keterlambatannya yang ternyata memang ke tinggalan pesawat karena oprasi tumo
pada kucing. Sedangkan jadwalnya yang memang sangat padat untuk mengajar,
mengganti jam yang tertunda karena hari libur, tentang rasa takutnya menanyakan
tentang keadaan Yana yang terlihat semakin memburuk oleh banyak pikiran.
Ilham
memegang jemari Yana. “Kau bisa mempercayaiku sayang, aku merindukan istriku
yang dulunya penuh semangat bukan seperti ini yang terlihat banyak beban dan
pikiran. Aku sangat ingin bercinta denganmu tapi kau selalu terlihat lelah. Aku
sungguh mencintaimu.”
Langkah
sepatu melewati pintu café yang terbuka, akan tetapi baru beberapa langkah kaki
itu terhenti, kedua bola matanya mengarak kepada Yana dan Ilham yang saling
berpegangan tangan. Tubuh itu berpaling dan keluar dari café dengan berlari.
Yana
yang melihat Arumi langsung berlari mengejar diikuti oleh Ilham, berkali-kali
Yana memanggil Arumi tapi Arumi terus berlari, dan saat dia berlari ingin
menuju seberang jalan sebuah mobil melaju dengan kecepatan yang cukup deras,
tubuh ramping Arumi terlempar membentur aspal, menciptakan darah yang mengalir
dari tengkorak kepalannya yang retak, dia tak lagi bisa bergerak, dia tiada.
Di
pinggir jalan Yana berdiri, Ilham yang ada di sampingnya memeluk Yana, tangan
mereka saling cengkram, memandang ke jasad Arumi yang tergeletak di depan mobil
yang berhenti tiba-tiba.
*
Bandung,
Seminggu kemudian
Sepatu
kulit hitam itu melangkah keluar dari taxi, menuju ke pagar rumah yang tidak
terkunci, beberapa kali ketukan pintu menanti seseorang yang akan segera
membukakannya pintu. Tak lama kemudian pintu dibukan dari dalam, sepasang bola
mata menatap penuh senyuman.
“Mengapa
lama tidak ke sini?,” tanya perempuan tadi
Wajah
itu tersenyum. “Dia mulai curiga — tapi bisa aku atasi.”
Lelaki
yang menggunakan sepatu kulit hitam tadi pun masuk dan menghilang di balik
pintu rumah yang menutup kembali, telpon genggam berdering, panggilan itu
diterima.
“Sayang
kapan kau pulang?, sekarang ada di mana?.”
“Mungkin
besok. Aku sekarang di jalan menuju kelinik Erik.”[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!