4 Sep 2011

Firasat



_______________________
Dua lilin sudah saling tatap dengan posisi yang berhadap-hadapan. Hidangan juga sudah ditata di samping dua lilin dengan dua bangku yang masih kosong. Lampu dengan senghaja di biarkan meremang agar suasana romantis dan hangat bisa bertahan pada malam yang sebenarnya sangat dingin itu.
Jam baru saja berdentang Sembilan kali, Yana yang sudah menggunakan gaun merah hati, menarik salah satu bangku dan duduk dalam posisi menunggu. Suasana sunyi senyap, hingga detak waktu yang menghitung detik demi detik semakin jelas terdengar, lalu dentangan sekali terdengar memecah segalanya, menandakan bahwa sudah sertengah jam waktu berlalu begitu saja.

Rasa resah membuat Yana bangkit dan berdiri di balik jendela, cahaya yang terbentuk dari lampu jalan memeluk seluruh tubuhnya yang teguh untuk menunggu. Tak mau menguhubungi karena siang tadi Ilham sudah berjanji akan pulang jam Sembilan malam.
Suara dering telpon membuat langkah Yana di atas lantai kramik menghitung keras. Di dalam senyap yang kembali tercipta perbincangan mereka berbalas biasa-biasa saja.
“Aku masih di Bandung, maafkan aku sayang aku tak bisa pulang malam ini, aku ketinggalan pesawat,” suara serak di ujung telpon  bernada penuh penyesalan.
Yana diam sejenak, bersandar pada meja kecil tempat telpon bersemayam. “Oh, tak apa-apa jika memang begitu. Aku hanya ingin ucapkan — selamat ulang tahun sayang.”
Suara di ujung telpon terdiam sejenak. “Astaga aku melupakan itu. Terima kasih sudah mengingatkannya untukku. Aku sayang kamu —.”
Perbincangan singkat itu pun berakhir begitu saja. Yana menghela nafas panjang, dia kembali ke depan meja dengan dua cahaya lilin yang bergoyang beriringan. Dengan berat hati kedua lilin tadi pun ditiupnya hingga padam dan menyisakan asap yang juga menghilang.
*
Di café Mom’s itu mereka berdua bertemu. Rambut berpirang coklat, secoklat warna bola mata yang indah dan menarik. Kulit halus, cantik dan masih muda, wajar jika banyak dari laki-laki yang ada di café itu langsung melirik ke sosok yang baru saja datang dan duduk santai dengan sedikit senyum nakal.
Mereka berdua berjabatan tangan.
“Arumi,” ucap wanita cantik tadi dengan santai.
“Yana,” balas Yana sambil menyelipkan rambut kebalik telinganya.
“Kau punya photonya kan?,” tanya Arumi.
Yana mengelurkan telpon genggamnya membuka sebuah photo dan memberikan telpon genggamnya tadi kepada Arumi. “Namanya Ilham, dia dokter hewan, siang ketika jam istirahat biasanya dia minum kofi di café Ben yang ada di seberang kelinik. Kau bisa menemukannya di sana —.”
“Dia tampan juga ya?,” Arumi berkomentar sambil menyerahkan telpon genggam tadi kembali kepada Yana.
“Ya, dia memang tampan. Ku harap kau bisa berkerja professional, aku hanya ingin memastikannya saja. Jangan berlebihan,” Yana menatap tajam ke arah Arumi.
Arumi tersenyum. “Aku tidak akan berlebihan. Boleh aku bertanya satu hal?.”
Yana diam menunggu pertanyaan itu.
“Mengapa kau ingin melakukan ini?.”
“Aku — aku hanya ingin tahu saja. Akhir-akhir ini dia sering kali pulang terlambat, dia sering beralasan macam-macam, aku merasa dia membohongiku.”
Jemari Arumi bergerak menggenggam telapak tangan Yana, memegangnya erat sambil berucap. “Baiklah aku akan melakukannya besok, aku akan menghubungimu jika sudah ada hasilnya.”
Perbincangan itu pun berakhir dengan langkah kaki yang bergerak menuju arah yang berlawanan. Langit Banjarmasin agak mendung sore itu, hujan pun mulai merintik pelan.
*
Pagi hari Yana sibuk memasak di dapur sedangkan Ilham duduk di ruang tamu sambil membalik halaman demi halaman Koran hari itu, asap kopi masih belum sirna, membawa aroma cappuccino merasuk ke dalam indra penciuman yang tenang. Beberapa menit kemudian Yana memanggil suaminya itu untuk sarapan pagi. Duduk berhadapan tanpa ada pembicaraan seperti dulu lagi, tiba-tiba saja telpon genggam Ilham berdering.
Ilham bangkit dan menerima telpon tadi, dia berjalan ke ruangan tengah dan mulai bicara dengan seseorang. Yana diam mengawasi dari dapur, walau dia tak bisa mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh suaminya itu.
Ketika Ilham sudah selesai dengan telpon genggamnya, Yana pun bertanya.
“Siapa?.”
“Erik, katanya kucing yang menderita tumor itu meninggal. Padahal kami sudah berusaha semampu kami, ku rasa sia-sia saja aku ke Bandung hari itu, ternyata memang tak bisa diselamatkan.”
“Sudahlah. Hanya seekor kucing,” Yana berkomentar.
“Ya, hanya seekor kucing —.”
“Kau pulang jam berapa?,” Yana mengalihkan pembicaraan.
“Sepertinya tak bisa cepat. Setelah dari kelinik aku harus mengajar, kau tahukan hari libur memang sering kali mengacaukan jadwal yang seharusnya bisa agak longgar.”
“Oh, ternyata padat ya jadwalmu.”
“Memangnya kenapa?,” Ilham mengerutkan keningnya.
“Tidak ada, ku kira kau bisa membantuku untuk berbelanja — tapi tak apa aku bisa sendiri.”
*
Seperti hari-hari biasanya, toko suwalayan itu selalu ramai dengan pengunjung. Yana juga setiap kali ingin berbelanja selalu ke toko itu. Karena Ilham tak bisa membantunya berbelanja, Yana pun meminta Lela menemaninya. Teman yang baru beberapa bulan terakhir ini di kenal olehnya, teman yang di kenalnya saat sebuah acara arisan berlangsung.
Lena baru saja juga bercerai dengan suaminya, pemicu itu karena perselingkuhan yang beralih ke saling tuduh, pertengkaran hingga kuasa hati tak bisa lagi membendung untuk mempertahankan rumah tangganya yang sudah dijalinnya selama tiga tahun.
“Kau yakin dia berselingkuh darimu?,” Lena mencoba meyakinkan apa yang baru saja di katakannya temannya itu.
“Entahlah, aku masih tidak punya bukti. Tapi dia sering pulang terlambat, membuat alasan, dan kami jarang bicara serta bercinta — tidak seperti dulu lagi.”
“Apa kau pernah menanyakan hal itu langsung dengannya?.”
“Aku tak bisa, aku tak mau nantinya malah berujung pertengkaran panjang.”
Mereka berdua berhenti melangkah, dan mulai memilih beberapa sambal botol serta tomat botol.
“Selain dua hal tadi ada hal lain yang bisa menyimpulkan bahwa dia benar-benar selingkuh?,” nada Lena setengah berbisik.
“Dia sering ditelpon seseorang. Tapi katanya dari temannya di Bandung, teman kerjanya.”
“Kau kenal teman kerjanya itu, jika kau kenal kau bisa menanyakannya langsung.”
“Aneh saja menurutku jika aku tiba-tiba saja menelpon Erik dan bertanya apa suamiku tadi ditelpon olehnya.”
Lena diam sejenak, kemudian melanjutkan lagi. “Aku juga dulu seperti itu, dan Roni benar-benar selingkuh. Dulu aku menggunakan seseorang yang aku kenal dari temanku untuk menyelidiki kelakuan suamiku. Maksudku sekedar memastikan.”
“Maksudmu?,” Yana mulai tertarik.
“Jika kau ingin mencobanya aku bisa memberitahumu nomor telpon genggamnya, kau bisa menghubunginya. Hanya ingin tahu saja apakah suamimu itu benar-benar sedang berselingkuh.”
“Maksudmu?,” ulang Yana yang masih belum mengerti.
“Seperti jebakan, apakah suami mu itu termasuk setia atau tidak, jika tidak berarti dia memang berselingkuh.”
“Maksudmu menyuruh orang lain untuk merayu suamiku — apa itu tidak terlalu berlebihan?,” Yana mulai mengerti dan mengerutkan kening.
“Tak apa jika kau tidak ingin mencobanya, aku hanya mencoba mencarikan solusi saja,” Lena menarik sebotol tomat dan memasukkannya ke dalam keranjang belanja.
*
Seperti pesan yang baru beberapa menit yang lalu masuk ke telpon genggam Yana. Yana pun langsung menuju café Mom’s, bertemu lagi dengan Arumi. Diawali dengan dua cangkir kopi penghilang ketegangan perbincangan mereka pun semakin memanas.
“Aku bertemu dengannya hari ini dan dua hari yang lalu, seperti yang kau katakana dia ada di café pada saat jam istirahat, aku duduk di meja dekat mejanya, dia berkali-kali melirik kearahku, aku tersenyum dan beberapa menit kemudian dia menghampiriku, mengajakku kenalan dan mulai berbicara banyak tentang pekerjaannya. Dia sangat ramah, tapi dia jujur bahwa dia sudah menikah.”
Yana menyandarkan kepalanya pada tangan, mendengarkan.
“Dia meminta nomor telpon genggamku. Dua hari ini kami sudah bertemu, dan siang tadi dia mengajakku bertemu lagi, dia mengajakku nonton. Aku tak bisa menolaknya, kami pun nonton berdua, di dalam gedung biokop tangannya memegang jemari-jemariku, kemudian pelan dia menciumku — maafkan aku jika kau tak enak mendengarnya!,” Arumi berhenti.
Yana menunduk pelan. “Tak apa teruskan saja,” pintanya.
“Ciuman itu dari bibir ke bibir, sangat basah. Dia benar-benar terangsang hingga tangannya menjamah payudaraku. Aku hanya pasrah saja.”
Yana kembali menatap Arumi. “Mengapa kau tidak menolak — aku kan hanya menyuruhmu untuk merayunya saja,” kali ini Yana terdengar penuh emosi.
“Maafkan aku aku tidak bermaksud begitu, tapi dia melakukannya dengan tiba-tiba.”
Yana terlihat kesal, tapi amarahnya itu coba untuk ditahannya. “Lalu ada lagi?.”
“Tidak ada, tapi petang nanti dia mengajakku bertemu lagi.”
“Di mana?,” Yana berpikir sejenak. “Dia bilang padaku bahwa dia mengajar malam ini.”
“Dia belum memastikannya.”
*
Suara mesin mobil berhenti di depan rumah. Yana mendengarkan dari dalam kamar sambil mengintip dari balik gorden jendela kamar. Ilham terlihat keluar dari mobil membawa beberapa berkas.
Suara anak kunci di putar dan denyit pintu terdengar pelan. Yana naik ke atas tempat tidur dan mematikan lampu duduk, dia berpura-pura tidur.
Pintu kamar dibuka dari luar, setumpuk berkas terdengar diletakkan di atas meja di samping pintu kamar. lalu beberapa menit kemudian suara air dari kamar mandi terdengar menyentuh lantai-lantai yang dingin.
Setelah suara air berhenti, berlanjut suara pintu lemari dibuka, lalu tubuh itu pelan masuk ke dalam selimut yang hangat, di sisi yang berlawanan itu lampu duduk dinyalakan oleh Ilham, dia pun mulai menarik buku dari balik laci kecil dan membaca ditemani malam.
Yana berpaling dan berpura-pura terbangun. Senyum dipaksa terbesit sangat terlihat, Ilham membalasnya kemudian kembali fokus pada buku yang sedang dibacanya.
“Bagaimana pekerjaanmu?,” tanya Yana.
“Seperti biasa, melelahkan tapi menyenangkan.”
“Sayang —.”
“Ya!.”
“Tak apa-apa,” Yana kembali membelakangi Ilham.
Lampu duduk di matikan oleh Ilham dia pun menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya, menghadap ke arah Yana yang membelakanginya, lama dia menatap tubuh istrinya itu, kemudian dia pun berpaling dan terjaga dalam pikiran yang tidak tentu pasti.
*
“Dia mengajakku ke hotel malam itu,” Ariani diam sejenak. “Dia meniduriku, ternyata dia sangat ahli dalam bercinta, berulang-ulang dia menciumiku dengan berutal, melepaskan pakaianku dan menindisku dengan kasar tapi menyenangkan.”
“Dia benar-benar melakukan itu. Oh Tuhan kami sudah lama tidak bercinta. Apakah dia mengajakmu untuk bertemu lagi?,” kali ini Yana terdengar penasaran berlapis amarah.
“Iya, dia mengajakku untuk bertemu lagi, tapi dia tidak memberitahuku kapan.”
Setelah perbincangan bersama Arini itu berakhir. Yana pulang dengan derai airmata, luka hatinya terasa menyiksa, perselingkuhan itu membayang di kepalanya, menuang segala emosinya hingga bendungan hati pun tak bisa lagi menahan itu semua.
Ketika sudah sampai di rumah sore itu, ternyata Ilham sudah berada di rumah, saat itulah limpahan rasa sakit itu terlampiaskan oleh Yana. Pertengkaran itu pun terjadi dengan saling tuduh.
“Maafkan aku jika aku tidak punya banyak waktu untukmu, tapi aku jujur aku tidak berselingkuh dengan siapa pun,” Ilham bersikeras mengelak dari tuduhan Yana.
“Tapi aku tahu bahwa kau berselingkuh, kau selalu beralasan bahwa kau sedang sibuk sehingga harus pulang malam, kau tidur bersama perempuan lain kan. Aku tahu itu,” nada Yana sangatlah kasar.
“Kau tahu sejak kapan ini terjadi?,” Ilham memegang pundak Istrinya. “Sejak kau tak pernah mau bicara, sejak kau selalu merasa takut untuk bicara padaku, sejak kau di ponis tak bisa memberikanku keturunan. Tapi aku jujur aku selalu menerima apapun yang ada pada dirimu, aku tak pernah berselingkuh darimu.”
“Aku bisa membuktikan bahwa kau berselingkuh,” kali ini nada Yana terdengar mengancam. Yana mengeluarkan telpon genggamnya mengirim pesan pada Arumi untuk bertemu lagi di café biasa.
Dengan rasa emosi yang menggebu, Ilham dan Yana pergi ke café tadi, tak ada lagi pembicaraan di atara mereka berdua, wajah mereka terlihat penuh kusut. Beberapa menit berlalu di café Arumi tidak juga kunjung tiba
Yana mulai bercerita jujur tentang jebakan yang dilakukannya itu, tentang Arumi yang mengaku berselingkuh dengan suaminya, tentang rasa cemburunya yang semakin menekannya untuk terus mencari bukti-bukti. Di sana lah semuanya mulai terlihat jelas, penjelasan demi penjelasan di kemukakan oleh Ilham, tentang keterlambatannya yang ternyata memang ke tinggalan pesawat karena oprasi tumo pada kucing. Sedangkan jadwalnya yang memang sangat padat untuk mengajar, mengganti jam yang tertunda karena hari libur, tentang rasa takutnya menanyakan tentang keadaan Yana yang terlihat semakin memburuk oleh banyak pikiran.
Ilham memegang jemari Yana. “Kau bisa mempercayaiku sayang, aku merindukan istriku yang dulunya penuh semangat bukan seperti ini yang terlihat banyak beban dan pikiran. Aku sangat ingin bercinta denganmu tapi kau selalu terlihat lelah. Aku sungguh mencintaimu.”
Langkah sepatu melewati pintu café yang terbuka, akan tetapi baru beberapa langkah kaki itu terhenti, kedua bola matanya mengarak kepada Yana dan Ilham yang saling berpegangan tangan. Tubuh itu berpaling dan keluar dari café dengan berlari.
Yana yang melihat Arumi langsung berlari mengejar diikuti oleh Ilham, berkali-kali Yana memanggil Arumi tapi Arumi terus berlari, dan saat dia berlari ingin menuju seberang jalan sebuah mobil melaju dengan kecepatan yang cukup deras, tubuh ramping Arumi terlempar membentur aspal, menciptakan darah yang mengalir dari tengkorak kepalannya yang retak, dia tak lagi bisa bergerak, dia tiada.
Di pinggir jalan Yana berdiri, Ilham yang ada di sampingnya memeluk Yana, tangan mereka saling cengkram, memandang ke jasad Arumi yang tergeletak di depan mobil yang berhenti tiba-tiba.
*
Bandung, Seminggu kemudian
Sepatu kulit hitam itu melangkah keluar dari taxi, menuju ke pagar rumah yang tidak terkunci, beberapa kali ketukan pintu menanti seseorang yang akan segera membukakannya pintu. Tak lama kemudian pintu dibukan dari dalam, sepasang bola mata menatap penuh senyuman.
“Mengapa lama tidak ke sini?,” tanya perempuan tadi
Wajah itu tersenyum. “Dia mulai curiga — tapi bisa aku atasi.”
Lelaki yang menggunakan sepatu kulit hitam tadi pun masuk dan menghilang di balik pintu rumah yang menutup kembali, telpon genggam berdering, panggilan itu diterima.
“Sayang kapan kau pulang?, sekarang ada di mana?.”
“Mungkin besok. Aku sekarang di jalan menuju kelinik Erik.”[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!