Manusia adalah bagian dari kedatangan
dan kepergian, seperti musim yang kerap berganti menghiasi bumi, kadang itu
indah kadang itu sangat menyedihkan dan tak banyak dari manusia yang menyadari
secara nyata bahwa apa yang telah dimiliki bisa saja menghilang dalam sekejab
mata.
Namaku Rio Fahrul Abrizal,
orang-orang memanggilku Rio aku lahir tanggal 21 april 1985 di Muara Pahu,
Kalimantan Timur dan meninggal dunia tanggal 23 Mei 1997 di Banjarmasin,
Kalimantan Selatan. Aku adalah bagian dari keluarga yang penuh kebahagiaan,
akan tetapi tidak setelah hari itu datang dan mengubah banyak hal dari
kehidupan keluargaku. Mungkin ini adalah salah satu contoh bahwa hanya dalam
sekejab semuanya terasa pergi dan direnggut dengan menyakitkan.
*
Banjarmasin,
23 Mei 2000
Azan zuhur menggema di masjid, cerah
cuaca hari itu menyiram tanah Banjarmasin dengan hawa panas yang mengucur
keringat di pelipis wajah , tepatnya di jalan Pangeran Samudra suara azan itu
terdengar lantang, membawa beberapa langkah kaki yang lelah karena bekerja,
mendekatkan diri kepada yang Maha Perkasa.
Segarnya air wudhu membasuh rasa panas
dan letih, menyapu keringat yang tadinya membasahi baju kaos tipis yang
dikenakan, lalu kupiah itu terpasang
menutupi rambut hitam bercampur uban membawa sedikit senyum pada beberapa orang
yang dijumpai dan disapa ramah.
Sholat berjalan seperti biasanya setelah
berdoa tubuh cukup tua dengan kemeja lengan pendek berwarna biru laut itu
keluar dari masjid, dia duduk beberapa waktu di teras masjid, memandang ke arah
langit yang begitu cerah, hampir sama cerahnya dengan hari tiga tahun yang
lalu, di tempat yang sama yaitu Masjid Noor, akan tetapi yang membuat hari itu
berbeda hanyalah apa yang sedang terasa di hati saat itu. Seperti kata seorang
bijak bahwa masalalu tak akan pernah bisa di rubah dan masa depan adalah ketidak pastian.
Kini tubuh tua itu kurus seolah termakan
oleh waktu, sepeda onta yang kerap kali menemani jejak perjalanannya baru saja
dikeluarkannya dari gudang, lama dia tidak meniti masalalu, menggerakkan kaki
mengayuh dengan rasa dingin membeku, menahan sedih membasuh pilu.
Siang yang masih sama, pergerakannya
berlanjut dari Masjid menuju arah timur kantor Koran local yang setiap pagi
dibacanya, dan dari sanalah dia berhenti di depan lapangan Kamboja yang
sekarang lebih sepi berhiaskan rerumputan liar tak terurus, sempat dia melirik
ketika berlalu kearah Gereja HKBP yang terletak di dekat kantor Koran lokal
tadi dan tanpa disadari olehnya air itu mengalir begitu saja dari kedua
bolamata yang mulai memerah, dia teringat sesuatu, teringat hawa panas yang
pernah berkobar di sekitar situ.
Tak terasa beberapa jam telah di
tempuhnya, dia pun sudah mulai mencapai jalan HM Hasanuddin yang dipenuhi
dengan keramaian orang-orang karena di sepanjang jalan itu terdapat banyak
ruko-ruko pedagang yang menjual bermacam-macam barang.
Kayuh terus mengayuh melewati
mobil-mobil angkutan umum yang bersesakan menciptakan macet, berkali-kali
keringat di sapu tapi niat hati menapak masalalu tidak urung dari hatinya. Apalagi
ketika dia sudah memasuki wilayah pasar Sudimampir, macet semakin memadat,
aktivitas jual beli bisa dengan jelas terlihat, dan di sepanjang jalan itu
banyak para perempuan-perempuan tua berjejer menjual bunga-bunga harum yang di
tusuk pada sebilah lidi dan kulit batang pisang. Mereka semua terlihat penuh
senyum berbalutkan penderitaan.
Dan tepat di atas jembatan yang di
bawahnya dialiri sungai Martapura, sepeda onta itu berhenti, di sandarkannya di
pagar jembatan, sore sudah mulai menyigap langit, kelutuk serta jukung
berlalu lalang menciptakan bunyi terbatuk-batuk melewati bangunan besar yang
saat itu dipandanginya dengan lesu bersapu kelabu.
Plaza Mitra berdiri dengan lusuhnya,
seperti polusi yang tersebar di setiap penjuru nafas. Lama dia berdiri di sana,
lekat dia membangun kenangan yang diputarnya bagaikan potongan film lusuh hitam
putih. Ditangisinya dan tidak lagi berusahan di bendungnya kesedihan itu.
*
Banjarmasin,
23 Mei 1997
Aku baru saja pulang dari sekolah,
bersama bapak aku di boncengnya di atas sepeda ontanya yang sering terlepas
rantainya. Bapak adalah seorang lelaki yang membuat aku kagum karena sebagian
dari hidupnya diabdikannya kepada pekerjaannya menjadi seorang guru SMP. Bapak sering bilang padaku. Bahwa aku jangan
menjadi seorang guru seperti bapak, jadilah seseorang yang lebih besar yang
bisa memiliki peranan penting dalam kemajuan Negara ini, bapak juga sering
bercerita padaku tentang sosok Presiden pertama yang sangat karismatik dan
menginspirasi itu.
Jadi guru memanglah bukan sesuatu yang
besar walau sebenarnya seorang guru adalah seorang yang berperanan besar atas
kesuksesan seseorang, karena tanpa guru tak ada yang mengajarkan banyak hal
yang di butuhkan oleh orang-orang.
Pagi yang sudah hampir menjelang tengah
hari, di rumah aku dan bapak bersiap-siap untuk berangkat sholat Jum’at, suara
orang mengaji di masjid Noor yang berada tidak jauh dari rumah kami terdengar
bagaikan nyanyian pengantar tidur, karena sudah beberapa kali aku ikut bapak
sholat jum’at aku selalu tertidur di pangkuan bapak.
Tapi jum’at hari itu sungguh sangat
berbeda, tidak seperti jum’at-jum’at biasanya, entah mengapa aku memakai baju
dan sarung putih, biasanya aku hanya memakai baju kaos dan celana panjang seadanya,
hari itu aku juga menggunakan wangi-wangian serta ketika ingin berangkat aku
berpamitan kepada ibu dan menciumnya seolah aku sangat merindukannya.
Seperti saat aku pulang sekolah tadi,
bapak menggoncengku dengan sepeda ontanya. Sepeda di parkirkan di bawah pohon
akasia kecil lalu kami masuk ke masjid dan sholat seperti biasanya.
Awalnya jalan Pangeran Samudra tempat
Mesjid Noor berada sepi karena orang-orang sedang sholat jum’at, tapi ketika
sholat sudah hampir selesai. Aku dan bapak sedang berdoa di dalam masjid
bersama jamaah-jamaah lainnya, kisruh itu mulai terdengar.
Hari itu memang akan berlangsung
kampanye besar-besaran partai Golkar yang berchiri khas kuning dan pohon
beringin, saat iring-iringan itu berlalu dan kami belum selesai berdoa kisruh
itu memecah kehikmatan doa kami semua.
Di samping bapak aku duduk, tangan
kananku di pegangnya erat, dari balik jendela kaca masjid aku bisa melihat
warna kuning itu memicu marah, membuat banyak orang di dalam maupun di luar
masjid gerah melihat itu semua. Dan ketia doa sudah selesai semua orang
termasuk aku dan bapak keluar dari masjid, sebuah teriakan berlanjut menjadi
langkah kaki yang saling desak.
Bapak cepat membawa aku pulang, dia
terlihat penuh kegelisahan. Aku yang melihat kepanikan itu bertanya-tanya dalam
hati apa yang sedang terjadi. Setengah jam kemudian aku di rumah bersama ibu
sedangkan bapak keluar rumah mencari tahu perkembangan yang sedang berlangsung
di jalan.
Tiba-tiba saja bapak datang, tubuhnya
bermandikan keringat, dia panik, dia menarik ibu masuk ke kamar dan berbicara
dengan nada gugup dan cemas. Tak lama setelah ibu dan bapak keluar dari kamar
mereka membawaku keluar rumah. Tanpa memberitahuku ingin kemana aku hanya diam
mengikuti tanpa bertanya.
Mobil Pak Jali, tetangga kami berhenti
di depan rumah, kami masuk ke dalam mobilnya dan mulai menuju jalan.
“Kita mau kemana?,” bisikku pada Ibu.
“Kita ketempat nenek di Rantau,” jawab
Ibu sambil memelukku resah.
Mobil melaju pelan karena massa sudah
memenuhi jalan dan ketika sudah hampir mencapai kantor Banjarmasin Post mobil
terhenti dan tak bisa bergerak lagi. Orang-orang berteriak dan tidak
terkendali. Kami keluar dari mobil dan berjalan kaki mencari tempat aman yang
tidak bisa kami temukan. Saat itu aku bisa melihat api berkobar tinggi,
membakar sebuah gereja yang berada di dekat kantor Banjarmasin Post, aku
ketakutan, aku menagis sambil mencengkram jemari ibuku dengan sangat kuat.
*
Ribuan massa dengan pakaian kuning
bergambar pohon beringin di depan Hotel Istana Barito dan dari arah barat
muncul massa lain yang menggunakan kaos berwarna hijau, mereka berteriak
meneriaki sesuatu yang tidak bisa aku pahami, dan dari pinggir jalan aku bisa
melihat batu berterbangan, mobil di bakar habis-habisan, kaca-kaca hotel pecah,
orang-orang berteriak, massa berbaju kuning dipukuli ada yang terkapar ada yang
meronta meminta ampun.
Aku ketakutan dan tetap berusahan
mencari kedua orangtuaku. Entah mereka dimana aku tak bisa menemukan mereka,
aku terpisah dengan mereka karena terbawa massa yag berjejal. Dan tepat jam
15.00 seperti yang ditunjukkan oleh jam tanganku semua listrik padam,
lampu-lampu jalan padam yang menyala hanyalah kobaran api yang terus memakan
bagian demi bagian bangunan.
Massa semakin berutal, fasilitas umum di
hancurkan, mobil-mobil dibakar dan dijarah dan saat itulah aku bisa melihat
bapak dan ibu di seberang jalan. Aku berteriak memanggil mereka tapi mereka tak
bisa mendengar suaraku. Aku ingin menyebrang tapi tak bisa karena massa memenuhi
jalan raya yang dihiasi asap menyesak dada.
Aku masuk kekerumunan orang-orang
berusaha menembus untuk menyebrang, tapi hal itu sia-sia aku malah terbawa
semakin jauh hingga di jalan A. Yani di kawasan Sudimampir.
Dari sana aku yang terus tergerak maju
melihat pemandangan mengerikan, tepat di seberang sungai Martapura, Plaza Mitra
di rusak, dilemparin dengan batu. Dan ketika aku sudah sampai di atas jembatan,
aku berpegangan pada pagar jembatan, menahan agar tidak terbawa oleh massa.
Sebuah sedan putih di dorong dan di
tabrakkan ke arah kaca etelase di lantai dasar Plaza Mitra, mobil itu terbakar
api dan beberapa detik kemudian suara rasa menuli. Semua rasa melambat, lesatan
besi hancur menyembur ke udara, mobil tadi meledak menciptakan api besar yang
dengan cepat melahap Plaza Mitra.
Aku mendongok ke langit melihat kearah
besi yang melayang ke arah pagar jembatan tempat ku berada. Aku tak bisa lari
dan menghindar, besi itu menerjangku, menghempaskanku ke belakang, aku bisa
merasakan sakit luar biasa merenggut tubuhku. Dan saat aku terbentur ke aspal
aku bisa melihat langkah Bapakku berlari mendekat kearahku, tapi langkah itu
tak pernah sampai ke arahku karena semua penglihatanku menggelap dan semuanya
sunyi dan semuanya hening bagai kepulangan.
*
Epilog
Ini sudah tiga tahun berlalu, dan sudah
selama itu juga rasa sakit di hati kebanyakan orang-orang yang tinggal di
Banjamasin mengalir dan tak bisa hilang begitu saja. Seperti rasa sakit yang
dialami oleh bapakku, seperti hari ini dia berdiri di atas jembatan dengan
sepeda onta tuanya yang dulu seringkali mengantarkan kami ke sekolah.
Dulu bapak selalu menaruh banyak harapan
kepada aku anak satu-satunya, dia berharap aku bisa menjadi lebih baik daripada
dirinya. Dan tepat aku berdiri disebelahnya aku bisa melihat airmatanya, dia
menundukkan kepala.
Seperti musik piano yang mengalir
clasik, pedal sepeda ontanya dikayuhnya pelan, melewati banyak masa-masa sulit,
dari jembatan itu dia menuju sebuah tempat yang lebih tepat ku sebut rumahku,
rumah yang sudah tiga tahun terakhir ini aku tempati.
Dalam bayang-bayang tubuhku, bapak
berjalan melewati rumah-ruamh lainnya yang ada di sekitar situ, dia hapal betul
dimana aku berada karena setiap minggu dia mengunjungiku dengan tangis
kerinduannya.
Aku selalu ada di sebelahnya ketika
saat-saat seperti itu melanda dirinya tapi sangat disayangkan dia tak pernah
bisa melihat keberadaanku, dia tidak bisa menjamak jiwa utuhku, mungkin sama
seperti diriku yang hanya bisa bisu dan memandangnya di samping batu nisanku.
Tangan tuanya memegang batu nisan yang
bertulisan “Rio Fahrul Abrizal, lahir 21 april 1983, meninggal dunia 23 mei
1997”. Aku bisa melihat lagi tetes demi tetes airmatanya menyentuh tanah
pekuburanku.[]
NB
: untuk korban dan keluarga korban di Jumat kelabu 23 mei 1997
Terasa nyata (ya iyalah/.. :D)
BalasHapusMantap Mas Alfi...
lanjut deh...!
alur dan detilnya memesona....
BalasHapus@fandy: memang di angkat dari tragedi nyata kan hehehee
BalasHapus@Granito: semoga bisa menikmatinya......
terima kasih atas kunjungannya....salam