4 Sep 2011

Jum’at Kelabu : Banjarmasin, 23 Mei 1997


Manusia adalah bagian dari kedatangan dan kepergian, seperti musim yang kerap berganti menghiasi bumi, kadang itu indah kadang itu sangat menyedihkan dan tak banyak dari manusia yang menyadari secara nyata bahwa apa yang telah dimiliki bisa saja menghilang dalam sekejab mata.
Namaku Rio Fahrul Abrizal, orang-orang memanggilku Rio aku lahir tanggal 21 april 1985 di Muara Pahu, Kalimantan Timur dan meninggal dunia tanggal 23 Mei 1997 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Aku adalah bagian dari keluarga yang penuh kebahagiaan, akan tetapi tidak setelah hari itu datang dan mengubah banyak hal dari kehidupan keluargaku. Mungkin ini adalah salah satu contoh bahwa hanya dalam sekejab semuanya terasa pergi dan direnggut dengan menyakitkan.
*
Banjarmasin, 23 Mei 2000
Azan zuhur menggema di masjid, cerah cuaca hari itu menyiram tanah Banjarmasin dengan hawa panas yang mengucur keringat di pelipis wajah , tepatnya di jalan Pangeran Samudra suara azan itu terdengar lantang, membawa beberapa langkah kaki yang lelah karena bekerja, mendekatkan diri kepada yang Maha Perkasa.
Segarnya air wudhu membasuh rasa panas dan letih, menyapu keringat yang tadinya membasahi baju kaos tipis yang dikenakan, lalu kupiah itu terpasang menutupi rambut hitam bercampur uban membawa sedikit senyum pada beberapa orang yang dijumpai dan disapa ramah.
Sholat berjalan seperti biasanya setelah berdoa tubuh cukup tua dengan kemeja lengan pendek berwarna biru laut itu keluar dari masjid, dia duduk beberapa waktu di teras masjid, memandang ke arah langit yang begitu cerah, hampir sama cerahnya dengan hari tiga tahun yang lalu, di tempat yang sama yaitu Masjid Noor, akan tetapi yang membuat hari itu berbeda hanyalah apa yang sedang terasa di hati saat itu. Seperti kata seorang bijak bahwa masalalu tak akan pernah bisa di rubah dan masa depan  adalah ketidak pastian.
Kini tubuh tua itu kurus seolah termakan oleh waktu, sepeda onta yang kerap kali menemani jejak perjalanannya baru saja dikeluarkannya dari gudang, lama dia tidak meniti masalalu, menggerakkan kaki mengayuh dengan rasa dingin membeku, menahan sedih membasuh pilu.
Siang yang masih sama, pergerakannya berlanjut dari Masjid menuju arah timur kantor Koran local yang setiap pagi dibacanya, dan dari sanalah dia berhenti di depan lapangan Kamboja yang sekarang lebih sepi berhiaskan rerumputan liar tak terurus, sempat dia melirik ketika berlalu kearah Gereja HKBP yang terletak di dekat kantor Koran lokal tadi dan tanpa disadari olehnya air itu mengalir begitu saja dari kedua bolamata yang mulai memerah, dia teringat sesuatu, teringat hawa panas yang pernah berkobar di sekitar situ.
Tak terasa beberapa jam telah di tempuhnya, dia pun sudah mulai mencapai jalan HM Hasanuddin yang dipenuhi dengan keramaian orang-orang karena di sepanjang jalan itu terdapat banyak ruko-ruko pedagang yang menjual bermacam-macam barang.
Kayuh terus mengayuh melewati mobil-mobil angkutan umum yang bersesakan menciptakan macet, berkali-kali keringat di sapu tapi niat hati menapak masalalu tidak urung dari hatinya. Apalagi ketika dia sudah memasuki wilayah pasar Sudimampir, macet semakin memadat, aktivitas jual beli bisa dengan jelas terlihat, dan di sepanjang jalan itu banyak para perempuan-perempuan tua berjejer menjual bunga-bunga harum yang di tusuk pada sebilah lidi dan kulit batang pisang. Mereka semua terlihat penuh senyum berbalutkan penderitaan.
Dan tepat di atas jembatan yang di bawahnya dialiri sungai Martapura, sepeda onta itu berhenti, di sandarkannya di pagar jembatan, sore sudah mulai menyigap langit, kelutuk serta jukung berlalu lalang menciptakan bunyi terbatuk-batuk melewati bangunan besar yang saat itu dipandanginya dengan lesu bersapu kelabu.
Plaza Mitra berdiri dengan lusuhnya, seperti polusi yang tersebar di setiap penjuru nafas. Lama dia berdiri di sana, lekat dia membangun kenangan yang diputarnya bagaikan potongan film lusuh hitam putih. Ditangisinya dan tidak lagi berusahan di bendungnya kesedihan itu.
*
Banjarmasin, 23 Mei 1997
Aku baru saja pulang dari sekolah, bersama bapak aku di boncengnya di atas sepeda ontanya yang sering terlepas rantainya. Bapak adalah seorang lelaki yang membuat aku kagum karena sebagian dari hidupnya diabdikannya kepada pekerjaannya menjadi seorang guru SMP.  Bapak sering bilang padaku. Bahwa aku jangan menjadi seorang guru seperti bapak, jadilah seseorang yang lebih besar yang bisa memiliki peranan penting dalam kemajuan Negara ini, bapak juga sering bercerita padaku tentang sosok Presiden pertama yang sangat karismatik dan menginspirasi itu.
Jadi guru memanglah bukan sesuatu yang besar walau sebenarnya seorang guru adalah seorang yang berperanan besar atas kesuksesan seseorang, karena tanpa guru tak ada yang mengajarkan banyak hal yang di butuhkan oleh orang-orang.
Pagi yang sudah hampir menjelang tengah hari, di rumah aku dan bapak bersiap-siap untuk berangkat sholat Jum’at, suara orang mengaji di masjid Noor yang berada tidak jauh dari rumah kami terdengar bagaikan nyanyian pengantar tidur, karena sudah beberapa kali aku ikut bapak sholat jum’at aku selalu tertidur di pangkuan bapak.
Tapi jum’at hari itu sungguh sangat berbeda, tidak seperti jum’at-jum’at biasanya, entah mengapa aku memakai baju dan sarung putih, biasanya aku hanya memakai baju kaos dan celana panjang seadanya, hari itu aku juga menggunakan wangi-wangian serta ketika ingin berangkat aku berpamitan kepada ibu dan menciumnya seolah aku sangat merindukannya.
Seperti saat aku pulang sekolah tadi, bapak menggoncengku dengan sepeda ontanya. Sepeda di parkirkan di bawah pohon akasia kecil lalu kami masuk ke masjid dan sholat seperti biasanya.
Awalnya jalan Pangeran Samudra tempat Mesjid Noor berada sepi karena orang-orang sedang sholat jum’at, tapi ketika sholat sudah hampir selesai. Aku dan bapak sedang berdoa di dalam masjid bersama jamaah-jamaah lainnya, kisruh itu mulai terdengar.
Hari itu memang akan berlangsung kampanye besar-besaran partai Golkar yang berchiri khas kuning dan pohon beringin, saat iring-iringan itu berlalu dan kami belum selesai berdoa kisruh itu memecah kehikmatan doa kami semua.
Di samping bapak aku duduk, tangan kananku di pegangnya erat, dari balik jendela kaca masjid aku bisa melihat warna kuning itu memicu marah, membuat banyak orang di dalam maupun di luar masjid gerah melihat itu semua. Dan ketia doa sudah selesai semua orang termasuk aku dan bapak keluar dari masjid, sebuah teriakan berlanjut menjadi langkah kaki yang saling desak.
Bapak cepat membawa aku pulang, dia terlihat penuh kegelisahan. Aku yang melihat kepanikan itu bertanya-tanya dalam hati apa yang sedang terjadi. Setengah jam kemudian aku di rumah bersama ibu sedangkan bapak keluar rumah mencari tahu perkembangan yang sedang berlangsung di jalan.
Tiba-tiba saja bapak datang, tubuhnya bermandikan keringat, dia panik, dia menarik ibu masuk ke kamar dan berbicara dengan nada gugup dan cemas. Tak lama setelah ibu dan bapak keluar dari kamar mereka membawaku keluar rumah. Tanpa memberitahuku ingin kemana aku hanya diam mengikuti tanpa bertanya.
Mobil Pak Jali, tetangga kami berhenti di depan rumah, kami masuk ke dalam mobilnya dan mulai menuju jalan.
“Kita mau kemana?,” bisikku pada Ibu.
“Kita ketempat nenek di Rantau,” jawab Ibu sambil memelukku resah.
Mobil melaju pelan karena massa sudah memenuhi jalan dan ketika sudah hampir mencapai kantor Banjarmasin Post mobil terhenti dan tak bisa bergerak lagi. Orang-orang berteriak dan tidak terkendali. Kami keluar dari mobil dan berjalan kaki mencari tempat aman yang tidak bisa kami temukan. Saat itu aku bisa melihat api berkobar tinggi, membakar sebuah gereja yang berada di dekat kantor Banjarmasin Post, aku ketakutan, aku menagis sambil mencengkram jemari ibuku dengan sangat kuat.
*
Ribuan massa dengan pakaian kuning bergambar pohon beringin di depan Hotel Istana Barito dan dari arah barat muncul massa lain yang menggunakan kaos berwarna hijau, mereka berteriak meneriaki sesuatu yang tidak bisa aku pahami, dan dari pinggir jalan aku bisa melihat batu berterbangan, mobil di bakar habis-habisan, kaca-kaca hotel pecah, orang-orang berteriak, massa berbaju kuning dipukuli ada yang terkapar ada yang meronta meminta ampun.
Aku ketakutan dan tetap berusahan mencari kedua orangtuaku. Entah mereka dimana aku tak bisa menemukan mereka, aku terpisah dengan mereka karena terbawa massa yag berjejal. Dan tepat jam 15.00 seperti yang ditunjukkan oleh jam tanganku semua listrik padam, lampu-lampu jalan padam yang menyala hanyalah kobaran api yang terus memakan bagian demi bagian bangunan.
Massa semakin berutal, fasilitas umum di hancurkan, mobil-mobil dibakar dan dijarah dan saat itulah aku bisa melihat bapak dan ibu di seberang jalan. Aku berteriak memanggil mereka tapi mereka tak bisa mendengar suaraku. Aku ingin menyebrang tapi tak bisa karena massa memenuhi jalan raya yang dihiasi asap menyesak dada.
Aku masuk kekerumunan orang-orang berusaha menembus untuk menyebrang, tapi hal itu sia-sia aku malah terbawa semakin jauh hingga di jalan A. Yani di kawasan Sudimampir.
Dari sana aku yang terus tergerak maju melihat pemandangan mengerikan, tepat di seberang sungai Martapura, Plaza Mitra di rusak, dilemparin dengan batu. Dan ketika aku sudah sampai di atas jembatan, aku berpegangan pada pagar jembatan, menahan agar tidak terbawa oleh massa.
Sebuah sedan putih di dorong dan di tabrakkan ke arah kaca etelase di lantai dasar Plaza Mitra, mobil itu terbakar api dan beberapa detik kemudian suara rasa menuli. Semua rasa melambat, lesatan besi hancur menyembur ke udara, mobil tadi meledak menciptakan api besar yang dengan cepat melahap Plaza Mitra.
Aku mendongok ke langit melihat kearah besi yang melayang ke arah pagar jembatan tempat ku berada. Aku tak bisa lari dan menghindar, besi itu menerjangku, menghempaskanku ke belakang, aku bisa merasakan sakit luar biasa merenggut tubuhku. Dan saat aku terbentur ke aspal aku bisa melihat langkah Bapakku berlari mendekat kearahku, tapi langkah itu tak pernah sampai ke arahku karena semua penglihatanku menggelap dan semuanya sunyi dan semuanya hening bagai kepulangan.
*
Epilog
Ini sudah tiga tahun berlalu, dan sudah selama itu juga rasa sakit di hati kebanyakan orang-orang yang tinggal di Banjamasin mengalir dan tak bisa hilang begitu saja. Seperti rasa sakit yang dialami oleh bapakku, seperti hari ini dia berdiri di atas jembatan dengan sepeda onta tuanya yang dulu seringkali mengantarkan kami ke sekolah.
Dulu bapak selalu menaruh banyak harapan kepada aku anak satu-satunya, dia berharap aku bisa menjadi lebih baik daripada dirinya. Dan tepat aku berdiri disebelahnya aku bisa melihat airmatanya, dia menundukkan kepala.
Seperti musik piano yang mengalir clasik, pedal sepeda ontanya dikayuhnya pelan, melewati banyak masa-masa sulit, dari jembatan itu dia menuju sebuah tempat yang lebih tepat ku sebut rumahku, rumah yang sudah tiga tahun terakhir ini aku tempati.
Dalam bayang-bayang tubuhku, bapak berjalan melewati rumah-ruamh lainnya yang ada di sekitar situ, dia hapal betul dimana aku berada karena setiap minggu dia mengunjungiku dengan tangis kerinduannya.
Aku selalu ada di sebelahnya ketika saat-saat seperti itu melanda dirinya tapi sangat disayangkan dia tak pernah bisa melihat keberadaanku, dia tidak bisa menjamak jiwa utuhku, mungkin sama seperti diriku yang hanya bisa bisu dan memandangnya di samping batu nisanku.
Tangan tuanya memegang batu nisan yang bertulisan “Rio Fahrul Abrizal, lahir 21 april 1983, meninggal dunia 23 mei 1997”. Aku bisa melihat lagi tetes demi tetes airmatanya menyentuh tanah pekuburanku.[]
NB : untuk korban dan keluarga korban di Jumat kelabu 23 mei 1997



3 komentar:

  1. Terasa nyata (ya iyalah/.. :D)

    Mantap Mas Alfi...
    lanjut deh...!

    BalasHapus
  2. @fandy: memang di angkat dari tragedi nyata kan hehehee
    @Granito: semoga bisa menikmatinya......

    terima kasih atas kunjungannya....salam

    BalasHapus

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!