Badai
salju tidak juga kunjung berhenti, butiran putihnya masih terlihat jelas dari
celah jendela kayu yang terikat tali kulit kayu. Suara angin berhembus kencang,
menabrak daun pintu yang tertutup rapat dengan kayu panjang kokoh yang menjadi
penahan agar pintu itu selalu terjaga dalam posisi tertutup.
Luka
gigitan makhluk liar penghuni pegunungan Halilintar, membeku dengan rasa nyeri
yang luar biasa. Kain merah yang berasal dari sobekan jubah penghangat tubuh
itu masih terbelit di kaki sebelah kiri, tempat luka itu berada. Belitan kain
itu sesekali di kencangkan agar tidak terlepas dari kaki karena berkali-kali
kaki itu meronta kesakitan.
“Orang-orang
pasti menemukan kita, mereka akan menyelamatkan kita, mereka akan mencari kita
karena kita tidak kembali,” suara serak itu pelan berbisik di telinga Gabriel,
memberikan energy semangat agar sahabatnya itu tidak putus asa dengan keadaan
mereka.
“Aku
kedinginan,” Gabriel berucap dan tidak bermaksud memberikan jawaban.
Dilepaskan
oleh Edwardo jubah yang menutupi tubuhnya, jubah itu merah dengan sobekan
diujung bagian kanannya, diselimutkannya jubah tadi ketubuh Gabriel yang
menggigil, Kemudian dia duduk di samping jerami sambil menutupi tubuhnya dengan
jerami, dia pun mengigil kedinginan.
Badai
salju masih sangat tebal, saking tebalnya, Edwardo tak bisa melihat pepohonan
cemara yang berjarak beberapa meter di depan gubuk tua tempat mereka berada.
Semua terlihat putih dan dingin. Edwardo mundur dari celah kecil tempat dia
mengintip, kemudian berpaling kearah Gabriel yang terbaring dengan nafas yang
mulai stabil. Temannya itu tertidur dalam rasa sakit, dalam rasa lelah.
Bekal
dalam kantong kain yang tergantung di pinggang sudah semakin menipis. Hanya
tersisa beberapa potong roti saja yang jika di hitung-hitung hanya akan
bertahan dalam beberapa hari saja.
“Eliza…Elizabeth…,”
Gabriel mengigau menyebutkan nama seseorang, suaranya terdengar sekarat dan
menghawarkan seperti warna bibirnya yang sudah sangat pucat.
Edwardo
duduk di samping Gebriel, memegang tangannya yang sangat dingin,
menggosokkannya pelan agar kembali hangat. Tapi hal itu mustahil bisa terjadi,
hawa dingin mengalahkan segalanya.
“Gabriel,”
bisik Edwardo di telinga temannya itu, dia berusaha membuat temannya itu
terjaga.
Pelan
kedua bila mata Gabriel membuka, sorotan
sandu mencerminkan bahwa dirinya sudah sangat sekarat. “Edwardo — apa mereka
akan mencari dan menemukan kita?,” tanyanya penuh harap.
“Ya
— mereka akan menemukan kita, kita akan selamat,” Edwardo memberikan harapan.
“Tapi
aku sudah tak bisa menunggu lagi. Aku merasa sudah dekat untuk pulang,”
kata-kata Gabriel meresah.
“Bertahanlah,
aku akan selalu di sini. Kita akan selamat berdua — teruslah bicara, agar kau
bisa melupakan rasa nyeri dan dingin,” Saran Edwardo.
“Edwardo,
jika aku mati di sini dan tidak bisa lagi kembali untuk menemui Elizabeth maka
aku ingin kau menyanyikan sebuah lagu tentang diriku yang sudah sangat berani
datang ke sini dan mati secara kesatria karena telah dilukai oleh makhluk buas
penghuni pegunungan Halilintar. Aku ingin kau memberitahu semua orang bahwa
aku, Gabriel bukanlah seorang pencundang dan penakut, aku adalah seorang Arjuna
yang rela mati demi mendapatkan cinta dari seorang perempuan yang sangat aku
cintai.”
Edwardo
diam mendengarkan, menanti kata-kata selanjutnya yang hanya menjadi bisu dan
dingin. Tak ada lagi ucapan setelah itu, tak ada lagi permohonan setelah waktu
berlalu pilu. Gabriel terbaring kaku dengan mata tertutup tenang dalam posisi
tangan yang masih menggenggam jemari Edwardo.
.
Langkah
terakhir Edwardo terhenti di depan gerbang besar, tubuhnya yang letih
terjerebak di atas salju yang dingin. Tangannya merentang memberi isyarat
meminta pertolongan.
Perlahan
gerbang kayu itu terangkat, memperlihatkan Edwardo pemandangan hangat yang
sangat dirindukannya. Lalu Edwardo bisa merasakan tubuhnya diangkat oleh dua
orang laki-laki besar, dan kesadarannya pun menghilang, semuanya kembali
menggelap
“Mengapa
dia tidak kembali?,” tanya suara lembut itu di samping Edwardo.
Edwardo
yang masih terbaring di atas tempat tidurnya berpaling kearah sosok perempuan
berkerudung hitam panjang menutupi hampir seluruh tubuh. Sosok tadi tunduk,
seolah tak mau memperlihatkan dirinya dari dunia.
“Elizabeth,
kau kah itu?,” tanya Edwardo lirih.
“Ya
ini aku. Di mana dia berada, aku tak bisa menemukannya,” jawaban itu bercampur
air mata.
Pelan
jemari Edwardo bergerak memegang tangan Elizabeth. “Maafkan aku Elizabeth, aku
tak bisa membawanya pulang bersamaku, dia diserang oleh binatang buas di
pegunungan.”
Elizabeth
tidak lagi mengajukan pertanyaan, dia menangis, berlaki-kali menyapu tangisnya
dengan jemari yang tersisa, dia inign histeris akan tetapi tak mampu
dilakukannya. “Apa dia merindukanku?,” tanya Elizabeth akhirnya.
Cukup
lama Edwardo diam, menatap mata Elizabeth begitu tajam, kemudian dia berucap
dengan nada penuh penyesalan. “Dia berubah. Tapi aku tak menyalahkan sikapnya,
aku tahu saat itu kami berada di dalam kesulitan. Saat detik terakhirnya dia
begitu marah atas perasaannya, dia begitu marah karena telah bertindak bodoh
hanya demi cinta yang semata-mata hanya mampu dihayalkannya. Dia marah dengan
Ayahmu, bahkan dengan semuanya.”
Jawaban
itu seperti ujung belati yang menusuk tajam, sekali ayunan tepat mengenai
sasaran. Elizabeth semakin membanjiri matanya dengan tangisan. “Aku tak pernah
bermaksud membuatnya berada di dalam sejuta kesulitan. Walau jujur aku juga
sangat mencintainya, walau aku tahu semua yang dialaminya adalah kesalahanku.
Aku tak bisa marah jika dia bersikap penuh sesal.” Elizabeth berhenti,
ditariknya jemarinya dari genggaman Edwardo. “Terima kasih sudah membertahuku,
terima kasih sudah tidak menutup-nutupinya dariku.”
Edwardo
tak mampu berbuat apa-apa, dia hanya bisa menatap kearah Elizabeth yang
bergerak menjauh dan keluar meninggalkannya, hingga ketika Elizabeth yang
tertutup oleh kerudung hitam panjang melewati jendela rumahnya, Edwardo masih
memperhatikannya dengan seksama.
Semua
jadi sunyi, Edwardo mulai bernyanyi :
Masa itu saat perang sudah berakhir
Masa itu saat pedang sudah berukir
Masa itu musim dingin berjalan
begitu panjang
Hidup seorang lelaki bekas tentara
perang
Lelaki yang menamai dirinya Arjuna
Yang terlarut dalam jalinan asmara
dan cinta
Yang akhirnya mengantarkan dirinya
Ke perjalanan panjang untuk mencari
sebuah permata
Demi cintanya, demi syarat seorang
raja atas putrinya
Di gunung Halilintar Arjuna mencari
Bersama seorang sahabat sejati
Hingga akhirnya petaka menghampiri
Arjuna terluka oleh makhluk buas bernafas
api
Badai salju datang menghadang
Membuat Arjuna tak bisa lanjutkan
perjalanan
Kini dia terkurung bersama seorang
teman
Di gubuk tua berdinding papan
Arjuna hilang, Arjuna akhirnya
berpulang bersama bayangan
.
Beberapa tahun sebelumny
Tumpukan
surat di susun rapi dan dimasukkannya ke dalam kotak kayu yang kemudian di
paku. Di kubur di pekarangan rumah yang sepi. Itu merupakan kotak kayu yang
kesekian kalinya yang dikubur di pekarangan yang sama.
Sudah
sekian lama surat-surat itu berdatangan, dari tangan yang sama yang seharusnya
sampai pada orang-orang yang tepat. Tapi surat itu tak pernah sampai, melainkan
selalu berubah menjadi surat lain yang isinya diganti dengan berbagai spekulasi
yang mengejutkan.
Tangan
kiri itu sudah sangat mahir meniru tulisan, tangan setan yang buta karena
cinta. Hingga akhirnya tangan itu pun menulis sebuah pengakuan yang juga
akhirnya dikubur dipekarangan rumah yang sama.
……………………
Akhirnya aku pun jatuh cinta
padanya. Pada setiap banyak hal yang dimilikinya. Pada setiap kata yang
dituliskannya dan kubaca, walau semua itu bukan ditujukan kepadaku.
Elizabeth, kau begitu cantik untuk aku
lewatkan, kau begitu sempurna untuk tidak aku miliki. Sudah sekian lama aku
menahan itu, merasakan sakit hati yang begitu kuat ketika surat kalian berdua
saling balas mesra, saat kalian titipkan setiap kerinduan kalian kepadaku. Aku
memang bagian dari kisah kalian tapi tidak pada bagian penting yang bisa kau
anggap penting. Mengapa kau tidak pernah menyadari keberadaanku. Mengapa kau
selalu menatap mata Gabriel daripada memilih mataku yang lebih mencintaimu?.
Elizabeth, jika kau temui setiap
kata yang kau baca, maka sudah pasti kau akan selalu tersenyum, karena itu
murni dariku bukan dari siapa-siapa bahkan bukan dari seseorang yang sangat kau
harapkan dan kira menuliskannya.
Elizabeth, kapan aku bisa
memilikimu, tanpa ada gangguan tanpa ada orang lain di hatimu?......
……………................
Edwardo
berhenti menulis. Surat tadi dilipatnya dengan sangat rapi lalu dimasukkan
kedalam amplok buram yang kemudian disegel dengan sangat kuat. Di bagian depan
amplok ditulisnya. Dari Aarjunamu yang
lain, Edwardo. Amplok tadi dimasukkan ke dalam kotak kayu kemudian di kubur
dipekarangan yang sepi.[]
NB
: Untuk para Arjuna yang menyimpan cinta mereka hingga hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!