12 Okt 2011

Kisah cinta Arjuna yang lain


Luka gigitan makhluk liar penghuni pegunungan Halilintar, membeku dengan rasa nyeri yang luar biasa. Kain merah yang berasal dari sobekan jubah penghangat tubuh itu masih terbelit di kaki sebelah kiri, tempat luka itu berada. Belitan kain itu sesekali di kencangkan agar tidak terlepas dari kaki karena berkali-kali kaki itu meronta kesakitan.
“Orang-orang pasti menemukan kita, mereka akan menyelamatkan kita, mereka akan mencari kita karena kita tidak kembali,” suara serak itu pelan berbisik di telinga Gabriel, memberikan energy semangat agar sahabatnya itu tidak putus asa dengan keadaan mereka.

“Aku kedinginan,” Gabriel berucap dan tidak bermaksud memberikan jawaban.
Dilepaskan oleh Edwardo jubah yang menutupi tubuhnya, jubah itu merah dengan sobekan diujung bagian kanannya, diselimutkannya jubah tadi ketubuh Gabriel yang menggigil, Kemudian dia duduk di samping jerami sambil menutupi tubuhnya dengan jerami, dia pun mengigil kedinginan.
Badai salju masih sangat tebal, saking tebalnya, Edwardo tak bisa melihat pepohonan cemara yang berjarak beberapa meter di depan gubuk tua tempat mereka berada. Semua terlihat putih dan dingin. Edwardo mundur dari celah kecil tempat dia mengintip, kemudian berpaling kearah Gabriel yang terbaring dengan nafas yang mulai stabil. Temannya itu tertidur dalam rasa sakit, dalam rasa lelah.
Bekal dalam kantong kain yang tergantung di pinggang sudah semakin menipis. Hanya tersisa beberapa potong roti saja yang jika di hitung-hitung hanya akan bertahan dalam beberapa hari saja.
“Eliza…Elizabeth…,” Gabriel mengigau menyebutkan nama seseorang, suaranya terdengar sekarat dan menghawarkan seperti warna bibirnya yang sudah sangat pucat.
Edwardo duduk di samping Gebriel, memegang tangannya yang sangat dingin, menggosokkannya pelan agar kembali hangat. Tapi hal itu mustahil bisa terjadi, hawa dingin mengalahkan segalanya.
“Gabriel,” bisik Edwardo di telinga temannya itu, dia berusaha membuat temannya itu terjaga.
Pelan kedua bila mata Gabriel  membuka, sorotan sandu mencerminkan bahwa dirinya sudah sangat sekarat. “Edwardo — apa mereka akan mencari dan menemukan kita?,” tanyanya penuh harap.
“Ya — mereka akan menemukan kita, kita akan selamat,” Edwardo memberikan harapan.
“Tapi aku sudah tak bisa menunggu lagi. Aku merasa sudah dekat untuk pulang,” kata-kata Gabriel meresah.
“Bertahanlah, aku akan selalu di sini. Kita akan selamat berdua — teruslah bicara, agar kau bisa melupakan rasa nyeri dan dingin,” Saran Edwardo.
“Edwardo, jika aku mati di sini dan tidak bisa lagi kembali untuk menemui Elizabeth maka aku ingin kau menyanyikan sebuah lagu tentang diriku yang sudah sangat berani datang ke sini dan mati secara kesatria karena telah dilukai oleh makhluk buas penghuni pegunungan Halilintar. Aku ingin kau memberitahu semua orang bahwa aku, Gabriel bukanlah seorang pencundang dan penakut, aku adalah seorang Arjuna yang rela mati demi mendapatkan cinta dari seorang perempuan yang sangat aku cintai.”
Edwardo diam mendengarkan, menanti kata-kata selanjutnya yang hanya menjadi bisu dan dingin. Tak ada lagi ucapan setelah itu, tak ada lagi permohonan setelah waktu berlalu pilu. Gabriel terbaring kaku dengan mata tertutup tenang dalam posisi tangan yang masih menggenggam jemari Edwardo.
.
Langkah terakhir Edwardo terhenti di depan gerbang besar, tubuhnya yang letih terjerebak di atas salju yang dingin. Tangannya merentang memberi isyarat meminta pertolongan.
Perlahan gerbang kayu itu terangkat, memperlihatkan Edwardo pemandangan hangat yang sangat dirindukannya. Lalu Edwardo bisa merasakan tubuhnya diangkat oleh dua orang laki-laki besar, dan kesadarannya pun menghilang, semuanya kembali menggelap
“Mengapa dia tidak kembali?,” tanya suara lembut itu di samping Edwardo.
Edwardo yang masih terbaring di atas tempat tidurnya berpaling kearah sosok perempuan berkerudung hitam panjang menutupi hampir seluruh tubuh. Sosok tadi tunduk, seolah tak mau memperlihatkan dirinya dari dunia.
“Elizabeth, kau kah itu?,” tanya Edwardo lirih.
“Ya ini aku. Di mana dia berada, aku tak bisa menemukannya,” jawaban itu bercampur air mata.
Pelan jemari Edwardo bergerak memegang tangan Elizabeth. “Maafkan aku Elizabeth, aku tak bisa membawanya pulang bersamaku, dia diserang oleh binatang buas di pegunungan.”
Elizabeth tidak lagi mengajukan pertanyaan, dia menangis, berlaki-kali menyapu tangisnya dengan jemari yang tersisa, dia inign histeris akan tetapi tak mampu dilakukannya. “Apa dia merindukanku?,” tanya Elizabeth akhirnya.
Cukup lama Edwardo diam, menatap mata Elizabeth begitu tajam, kemudian dia berucap dengan nada penuh penyesalan. “Dia berubah. Tapi aku tak menyalahkan sikapnya, aku tahu saat itu kami berada di dalam kesulitan. Saat detik terakhirnya dia begitu marah atas perasaannya, dia begitu marah karena telah bertindak bodoh hanya demi cinta yang semata-mata hanya mampu dihayalkannya. Dia marah dengan Ayahmu, bahkan dengan semuanya.”
Jawaban itu seperti ujung belati yang menusuk tajam, sekali ayunan tepat mengenai sasaran. Elizabeth semakin membanjiri matanya dengan tangisan. “Aku tak pernah bermaksud membuatnya berada di dalam sejuta kesulitan. Walau jujur aku juga sangat mencintainya, walau aku tahu semua yang dialaminya adalah kesalahanku. Aku tak bisa marah jika dia bersikap penuh sesal.” Elizabeth berhenti, ditariknya jemarinya dari genggaman Edwardo. “Terima kasih sudah membertahuku, terima kasih sudah tidak menutup-nutupinya dariku.”
Edwardo tak mampu berbuat apa-apa, dia hanya bisa menatap kearah Elizabeth yang bergerak menjauh dan keluar meninggalkannya, hingga ketika Elizabeth yang tertutup oleh kerudung hitam panjang melewati jendela rumahnya, Edwardo masih memperhatikannya dengan seksama.
Semua jadi sunyi, Edwardo mulai bernyanyi :

Masa itu saat perang sudah berakhir
Masa itu saat pedang sudah berukir
Masa itu musim dingin berjalan begitu panjang
Hidup seorang lelaki bekas tentara perang

Lelaki yang menamai dirinya Arjuna
Yang terlarut dalam jalinan asmara dan cinta
Yang akhirnya mengantarkan dirinya
Ke perjalanan panjang untuk mencari sebuah permata
Demi cintanya, demi syarat seorang raja atas putrinya

Di gunung Halilintar Arjuna mencari
Bersama seorang sahabat sejati
Hingga akhirnya petaka menghampiri
Arjuna terluka oleh makhluk buas bernafas api

Badai salju datang menghadang
Membuat Arjuna tak bisa lanjutkan perjalanan
Kini dia terkurung bersama seorang teman
Di gubuk tua berdinding papan

Arjuna hilang, Arjuna akhirnya berpulang bersama bayangan
.
Beberapa tahun sebelumny
Tumpukan surat di susun rapi dan dimasukkannya ke dalam kotak kayu yang kemudian di paku. Di kubur di pekarangan rumah yang sepi. Itu merupakan kotak kayu yang kesekian kalinya yang dikubur di pekarangan yang sama.
Sudah sekian lama surat-surat itu berdatangan, dari tangan yang sama yang seharusnya sampai pada orang-orang yang tepat. Tapi surat itu tak pernah sampai, melainkan selalu berubah menjadi surat lain yang isinya diganti dengan berbagai spekulasi yang mengejutkan.
Tangan kiri itu sudah sangat mahir meniru tulisan, tangan setan yang buta karena cinta. Hingga akhirnya tangan itu pun menulis sebuah pengakuan yang juga akhirnya dikubur dipekarangan rumah yang sama.
……………………
Akhirnya aku pun jatuh cinta padanya. Pada setiap banyak hal yang dimilikinya. Pada setiap kata yang dituliskannya dan kubaca, walau semua itu bukan ditujukan kepadaku.
Elizabeth, kau begitu cantik untuk aku lewatkan, kau begitu sempurna untuk tidak aku miliki. Sudah sekian lama aku menahan itu, merasakan sakit hati yang begitu kuat ketika surat kalian berdua saling balas mesra, saat kalian titipkan setiap kerinduan kalian kepadaku. Aku memang bagian dari kisah kalian tapi tidak pada bagian penting yang bisa kau anggap penting. Mengapa kau tidak pernah menyadari keberadaanku. Mengapa kau selalu menatap mata Gabriel daripada memilih mataku yang lebih mencintaimu?.
Elizabeth, jika kau temui setiap kata yang kau baca, maka sudah pasti kau akan selalu tersenyum, karena itu murni dariku bukan dari siapa-siapa bahkan bukan dari seseorang yang sangat kau harapkan dan kira menuliskannya.
Elizabeth, kapan aku bisa memilikimu, tanpa ada gangguan tanpa ada orang lain di hatimu?......
……………................
Edwardo berhenti menulis. Surat tadi dilipatnya dengan sangat rapi lalu dimasukkan kedalam amplok buram yang kemudian disegel dengan sangat kuat. Di bagian depan amplok ditulisnya. Dari Aarjunamu yang lain, Edwardo. Amplok tadi dimasukkan ke dalam kotak kayu kemudian di kubur dipekarangan yang sepi.[]
NB : Untuk para Arjuna yang menyimpan cinta mereka hingga hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!