12 Okt 2011

Perfect Family


Telpon genggamnya berdeting, sebuah panggilan yang sejak tadi terus saja ditolak olehnya, di layar telpon genggam miliknya itu tertulis sebuah kata yang sudah lama tidak diucapkannya secara jujur, “Sayang” itulah kata yang muncul.
Jony berpaling, melanjutkan langkahnya dan menerima panggilan itu, mendengarkan suara seorang perempuan yang sangat dikenalinya sepanjang sisa hidupnya.

“Aku akan segera kesana!,” ucap Jony mengakhiri pembicaraan ditelpon genggamnya.
Setengah jam kemudian dia sudah duduk di dalam kereta, menatapi lintasan cahaya dari lampu-lampu yang berasal dari tiang listrik, hingga akhirnya semua itu bagaikan padam karena kereta mulai memasuki sebuah terowongan.
Jony menutup kedua matanya, mencoba menyebrangi akalnya yang sudah sangat letih menghadapi kehidupan yang dijalaninya. Kehidupan keluarga yang semakin harinya semakin menjadi buruk, setiap harinya hanya terjalin sedikit percakapan, waktu berpisah lebih panjang. Setiap hari keluarga itu seperti tidak lagi serasa menjadi keluarga pada umumnya.
Jony membuka matanya, dia sudah berada di ruang tunggu sebuah rumah sakit bersama seorang perempuan berambut pirang dengan mata berkaca-kaca. Dirangkulkan Jony tangannya kearah Musda, perempuan yang tidak lain adalah istrinya sendiri.
“Tenanglah, Ayahmu akan baik-baik saja. Dia adalah laki-laki yang kuat,” Jony mencoba menenangkan.
Sudah lama rasa cemas seperti itu mereka lewati. Semua itu berawal sejak kepindahan Rowan, ayah Musda dari rehabilitas ke rumah mereka yang semakin harinya semakin sepi.
Musda melepaskan dekapan Jony, menyapu air matanya kemudian berpaling kearah Jony. “Sayang, Depp tidak pulang sejak sore tadi, dia pergi tanpa bilang apa-apa, aku sudah mencoba menghubunginya tapi dia tidak pernah mau menerimanya atau bahkan membalas pesan yang ku kirim. Kau bisa mencarinya?,” pinta Musda.
“Kau sudah menghubungi semua temannya?,” Jony balik bertanya.
“Sudah, tapi tak satu pun dari mereka yang tahu. Aku takut dia kenapa-kenapa.”
Jony bangkit dan bergerak menuju lift untuk mencari Depp, sesampai di lantai bawah, Jony langsung menelpon Depp tiada henti, hingga akhirnya panggilannya pun mendapatkan jawaban.
Suara musik menghentak diujung telpon. “Kau di mana?,” tanya Jony berusaha terdengar tenang.
“Aku akan segera pulang,” jawab Depp setengah berteriak.
“Kau di mana?. Ayah akan menjemputmu sekarang,” kali ini suara Jony terdengar tegas.
“Aku akan pulang sendiri,” ucap Depp bersikeras.
“Depp — ibumu mencemaskanmu, dia ada di rumah sakit, Kakek Steve sekarat.”
Ucapan Jony itu membuat semuanya saling membisu dalam beberapa menit. Kemudian akhirnya Depp pun memberikan jawaban. “Jemput aku di depan toko roti Mariam.” Panggilan pun terputus.
Jony melaju menggunakan mobil istrinya, melewati jalan yang mulai sepi, hingga akhirnya di depan toko roti yang sudah hampir tutup itu seorang laki-laki muda bersandar di tembok toko, menunggu seseorang yang tidak lain menunggu Jony.
“Dari mana kau?,” tanya Jony
“Tempat hiburan,” jawab Depp singkat.
“Apa kau menemukan seseorang yang kau suka?,” tanya Jony lagi.
“Tidak aku hanya sendirian. Maksudku aku tidak merasa tepat berada di sana — ya aku tidak bersama orang yang aku sukai,” jawab Depp agak gugup.
“Laki-laki?,” tanya Jony lagi.
“Ya, tapi tidak terlalu baik,” Depp tidak berani menatap wajah Ayahnya itu.
“Ku rasa suatu hari kau akan menemukannya,” Jony sedikit pun tidak terlihat marah.
“Ayah—,” Depp memberanikan dirinya untuk menatap wajah ayahnya yang terlihat keras. “Aku minta maaf jika selama ini Ayah tidak menyukaiku.”
Jony terlihat sedikit tersenyum lalu berucap pelan. “Ayah tidak pernah bilang begitu. Ayah juga meminta maaf jika pernah sangat marah dengan apa yang telah kau pilih. Tapi sekarang Ayah merasa kau pastilah memiliki banyak alasan untuk itu semua.”
Keadaan canggung di dalam mobil itu semakin terasa ketika keduanya diam tak lagi membuka pembicaraan hingga akhirnya Depp menyebutkan sebuah nama.
“Tommy, sudah satu minggu ini aku mengenalnya.”
Jony masih terlihat tenang. “Kau menyukainya?,” tanyanya.
“Awalnya ya — Dia sama sepertiku, seorang Gay. Dia tampan, awalnya baik. Tapi tadi dia menjadi orang yang sangat ku benci.”
“Apa dia menyakitimu?,” Jony hanya terus bertanya.
“Aku merasa dia semakin membawa banyak pengaruh buruk padaku, aku tidak lagi menyukainya, aku meninggalkannya,” kali ini Depp mulai terlihat santai.
“Ayah memang tidak terlalu mengerti cinta pasangan Gay. Maaf maksut Ayah itu sepertinya lebih rumit. Tapi saran Ayah belajarlah untuk memilih sesuatu yang sudah kau kenal terlebih dauhulu agar kau tidak terlalu jauh terlarut dan akhirnya tersakiti.”
Jony dan Depp setengah berlari setelah keluar dari lift rumah sakit, Musda terlihar duduk dengan tangis yang tidak kunjung henti. Jony memeluk istrinya itu, sedangkan Depp duduk di samping kedua orang tuanya. Saat itu Depp juga terlihat menangis.
“Dia tidak tertolong lagi,” ucap Musda lirih.
“Mungkin itulah yang terbaik untuknya dari Tuhan,” ucap Jony sambil mengelus kepala Istrinya itu.
“Aku menyesal karena begitu membencinya, aku menyesal telah mengatakan itu padanya,” Musda lagi-lagi mengeluh.
“Sudahlah, kita harus belajar merelakannya. Walau pun dia sangat pemarah tapi dia juga sangat menyayangi kita semua. Ini sudah waktunya Sayang, kita tak mungkin mencegah ini terjadi.”
“Kadang aku sering mengeluhkan semua tingkahnya yang sangat menggangguku. walau sebenarnya aku tak bisa menolaknya karena dia adalah seorang Ayah bagiku,” air mata Musda tidak juga kunjung henti.
“Kau hanya merasa lelah sehingga kau akhirnya marah dengan banyak hal. Aku minta maaf jika tidak pernah mencoba menyenangkanmu, aku minta maaf jika tahun-tahun ini aku begitu mementingkan pekerjaanku sehingga waktu bersama kalian begitu tersita. Aku tahu tahun-tahun ini menjadi tahun terberat dalam keluarga kita”
Malam itu Steve pun menjadi sejarah, sejarah yang menyisakan banyak kesedihan di hati orang-orang yang ditinggalkannya. Kadang dunia itu terlihat asing bagi sekian banyak orang, akan tetapi keasingan itulah yang membuat orang itu sulit untuk dilupakan saat ajal akhirnya memisahkan banyak hal yang ditinggalkan. Lahir dalam kesendirian maka kembali pun dalam kekosongan dan kesendirian. Tanpa ada orang bisa membantu atau mempungkiri kematian itu.
Sore sehari setelah kepergian Steve. Jony, Musda dan Depp pergi ke dermaga untuk menaburkan abu Steve seperti yang dulunya pernah diminta oleh Steve pada Musda anaknya.
Depp bergerak keujung dermaga, membuka kendi yang penuh berisi dengan abu, membiarkannya secara perlahan terbang terbawa oleh derasnya angin laut yang berhembus bersama beberapa ekor burung camar. Hingga akhirnya kendi pun di tumpahnya dan menyatu dengan air laut yang menggulungkan gelombang.
Sore itu rasa haru masih sama, Jony dan Musda berjalan menyusuri pantai, membiarkan Depp sendiri membuka ruang kesedihan di ujung dermaga yang sepi. Saat itulah Jony mulai mengungkap sebuah fakta tentang hal yang tidak pernah dibicarakannya pada Musda.
“Sayang, aku mencoba untuk menutupi ini tapi aku pun tak pernah sanggup melakukannya. Aku harus jujur padamu tentang ini semua. Aku berselingkuh bersama seorang teman lama, ku kira hal itu bisa membuat aku bahagia dan menghilangkan rasa resah di hatiku. Tapi aku ternyata salah, aku malah merasakan hal yang sebaliknya.”
Musda diam tak memberikan tanggapan, perlahan dilepaskannya jabatan tangan Jony.
“Aku minta maaf jika sekali lagi aku menyakiti hatimu. Malam saat Steve sekarat, saat kau menghubungiku malam itu, aku sudah mengakhiri semuanya, aku meninggalkan dirinya dan memberitahunya bahwa aku tak bisa terlalu lama terjerumus di dalam rasa bersalah yang telah aku ciptakan. Aku meninggalkanya di seberang jalan—.”
Kali ini mereka berdua terlihat memiliki jarak yang cukup jauh. “Aku tak sanggup lagi marah dengan semua itu, karena seberapa besar pun kemarahan yang aku miliki aku tak bisa merubahnya menjadi tidak pernah terjadi. Semua sudah terjadi seperti Ayah yang juga tak lagi mungkin kembali.”
“Maafkan aku,” Jony memohon.
“Saat kau begitu marah bahwa Depp memberitahu kita bahwa dia adalah Gay, aku sangat ingin bilang padamu bahwa semua itu terjadi karena kelalaianmu, karena kurangnya perhatian waktu yang kau berikan kepadanya. Tapi aku tak mengucapkan itu, karena aku tahu itu pun juga adalah kesalahanku, aku tidak pernah mencoba mengenal dirinya dengan sangat baik. Aku berpikir semuaya telah terjadi dan tak mungkin lagi bisa diulang dan digantikan.”
Jony diam sambil menatap Musda dengan sangat tajam.
“Aku ingin jujur padamu tentang perasaanku saat ini. Aku begitu marah denganmu, dengan semua yang terjadi di keluarga ini,” Musda pun berpaling dan berlari menuju dermaga tempat Depp berada.
Jony diam hanya mampu memandangi dua sosok manusia yang disayanginya yang merupakan bagian dari keluarganya yang dulunya terasa sangat sempurna. Tak ada kesempurnaan di dunia ini. Bahkan Tuhan pun terasa membuat sebuah kesalahan karena telah menciptakan manusia yang ternyata seringkali tidak patuh dengan apa yang diperintahkan-Nya.
Andai saja kata sempurna itu tidak pernah ada.[]
NB : Seperti apa keluargamu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!