13 Des 2011

Andi Wabster, utara sebelah Gunung Roh mencakar langit


Prolog
Ini adalah pasir, terhampar di suatu pantai, seringkali tersentuh para gelombang yang menggulung. Ada kalanya di suatu ketika pasir-pasir itu  bersentuhan dengan ujung perahu yang tersesat, menempel pada telapak kaki yang basah karena baru saja tercebur di laut yang asin. Tanpa mereka inginkan, kaki tadi membawa beberapa kawanan pasir menuju daratan yang lebat dengan rerumputan hijau. Dari setiap langkah yang diciptakan kaki tadi, beberapa butiran pasir terlepas dan tercecer meninggalkan bekas pada dedaunan rumput. Hingga akhirnya langkah yang terpincang-pincang itu pun roboh di bawah pohon kelapa yang tua tak berbuah.
Di bawah lambayan pohon kelapa, di suatu ketika yang sepi, di malam yang berhiaskan dengan cahaya rembulan yang purnama. Andi bersembunyi di balik rerumputan tinggi yang merongga, tangannya gemetar sama seperti jantungnya yang berdetak begitu kencang memompa ketakutannya. Panah  berpeluru perak itu sudah terbilas oleh keringat Andi, keringat yang sejak lama terus bertambah keluar dari pori-porinya.

Sekelebat bayangan terlihat melintas di pandangan Andi, ketakutan itu pun semakin memuncak, hingga akhirnya rasa takut itu memaksa Andi untuk berlari menembus gelapnya hutan. Bayangan demi bayangan itu terus melintas dalam ketakutan, lesatan demi lesatan dari panah perak yang ada di tangan Andi pun dilontarkannya bertubi-tubi.
Tak ada yang mengenai sasaran karena Andi tidak benar-benar melihat dengan jelas bayangan-bayangan tadi. Batang pohon yang membentang di balik rerumputan tak tersadarkan oleh Andi, dia pun menabraknya, tubuhnya terjerebak ke rerumputan di depan sebuah danau kecil.
Di seberang danau tadi terdapat seekor rusa yang sedang minum, rusa tadi terkejut, tubuhnya terdiam mengawasi Andi yang perlahan bangkit lalu melangkah maju dan tunduk sembari menatap dirinya di air danau yang gelap. Di samping bayangan rembulan bayangan itu terlihat jelas. Rusa tadi berlari ke dalam gelap, semuanya menjadi senyap bahkan nyayian jangkrik pun padam begitu saja.
Epilog
Di depan lautan yang luas, di dalam kesepian yang berhiaskan kesedihan mendalam, Andi duduk menghadapi rembulan dan bintang yang cerah menghiasi langit. Malam itu gelombang tak terlihat, air tenang tak terusik. Airmata menetes ketumpukan pasir yang mulai menghangat.
Kini pasir yang selalu kesepian sedikit bertemankan sesuatu yang tidak biasa, walau pun hal itu berupa sebuah kesedihan yang tidak bisa mereka artikan dalam sebuah kapastian.
Andi bangkit dari duduknya, berjalan mendekati lautan yang luas dengan panah perak yang masih tergenggam kuat di tangan kirinya. Sebuah buku usang tergeletak di atas pasir, beberapa goresan dalam buku itu sudah  luntur tersapu air laut yang membasahinya.
Lalu lolongan keras memecah segalanya, lolongan Werewolf yang menyesali segalanya. Lolongan Werewolf yang meneriaki kesepian hatinya yang pilu akan kesedihan, entah panah perak itu menembus tubuhnya, entah airlaut telah menenggelamkannya, tapi sejak hari itu semuanya menghilang begitu saja, baik dalam ketakutan mau pun dalam penyesalan.
Yang tersisa hanyalah sebuah buku harian di pulau kecil yang terletak di utara sebelah Gunung Roh mencakar langit. Setiap 9 tahun lolongan itu menghilang, menjelma menjadi lagenda di Daratan Kerajaan Draconis.
NB : Kadang kita takut dengan sesuatu hal, walau pun kita tidak pernah sadar bahwa diri kita sendiri lebih berbahaya untuk kita, daripada apa yang kita takuti selama ini.
===================================================
Catatan Penulis : Cerita ini di tujukan kepada Andi Harianto yang akhirnya menciptakan tokoh Andi Wabster dalam kisah yang akan saya tulis di Januari 50.000 kata di bulan Januari nantinya “Thron: Blood of King”. Untuk mengetahui detilnya tentang Thron: Blood of King silahkan berkunjung ke blog khusus yang akan membahas lengkap tentang kisah ini : http://alfj50k.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!