Prolog
Ini
adalah pasir, terhampar di suatu pantai, seringkali tersentuh para gelombang
yang menggulung. Ada kalanya di suatu ketika pasir-pasir itu bersentuhan dengan ujung perahu yang
tersesat, menempel pada telapak kaki yang basah karena baru saja tercebur di
laut yang asin. Tanpa mereka inginkan, kaki tadi membawa beberapa kawanan pasir
menuju daratan yang lebat dengan rerumputan hijau. Dari setiap langkah yang
diciptakan kaki tadi, beberapa butiran pasir terlepas dan tercecer meninggalkan
bekas pada dedaunan rumput. Hingga akhirnya langkah yang terpincang-pincang itu
pun roboh di bawah pohon kelapa yang tua tak berbuah.
Di
bawah lambayan pohon kelapa, di suatu ketika yang sepi, di malam yang berhiaskan
dengan cahaya rembulan yang purnama. Andi bersembunyi di balik rerumputan
tinggi yang merongga, tangannya gemetar sama seperti jantungnya yang berdetak
begitu kencang memompa ketakutannya. Panah berpeluru perak itu sudah terbilas oleh
keringat Andi, keringat yang sejak lama terus bertambah keluar dari
pori-porinya.
Sekelebat
bayangan terlihat melintas di pandangan Andi, ketakutan itu pun semakin
memuncak, hingga akhirnya rasa takut itu memaksa Andi untuk berlari menembus
gelapnya hutan. Bayangan demi bayangan itu terus melintas dalam ketakutan, lesatan
demi lesatan dari panah perak yang ada di tangan Andi pun dilontarkannya
bertubi-tubi.
Tak
ada yang mengenai sasaran karena Andi tidak benar-benar melihat dengan jelas
bayangan-bayangan tadi. Batang pohon yang membentang di balik rerumputan tak
tersadarkan oleh Andi, dia pun menabraknya, tubuhnya terjerebak ke rerumputan
di depan sebuah danau kecil.
Di
seberang danau tadi terdapat seekor rusa yang sedang minum, rusa tadi terkejut,
tubuhnya terdiam mengawasi Andi yang perlahan bangkit lalu melangkah maju dan
tunduk sembari menatap dirinya di air danau yang gelap. Di samping bayangan
rembulan bayangan itu terlihat jelas. Rusa tadi berlari ke dalam gelap,
semuanya menjadi senyap bahkan nyayian jangkrik pun padam begitu saja.
Epilog
Di depan lautan
yang luas, di dalam kesepian yang berhiaskan kesedihan mendalam, Andi duduk
menghadapi rembulan dan bintang yang cerah menghiasi langit. Malam itu
gelombang tak terlihat, air tenang tak terusik. Airmata menetes ketumpukan
pasir yang mulai menghangat.
Kini pasir yang
selalu kesepian sedikit bertemankan sesuatu yang tidak biasa, walau pun hal itu
berupa sebuah kesedihan yang tidak bisa mereka artikan dalam sebuah kapastian.
Andi bangkit dari
duduknya, berjalan mendekati lautan yang luas dengan panah perak yang masih
tergenggam kuat di tangan kirinya. Sebuah buku usang tergeletak di atas pasir,
beberapa goresan dalam buku itu sudah
luntur tersapu air laut yang membasahinya.
Lalu lolongan
keras memecah segalanya, lolongan Werewolf yang menyesali segalanya. Lolongan
Werewolf yang meneriaki kesepian hatinya yang pilu akan kesedihan, entah panah
perak itu menembus tubuhnya, entah airlaut telah menenggelamkannya, tapi sejak
hari itu semuanya menghilang begitu saja, baik dalam ketakutan mau pun dalam
penyesalan.
Yang tersisa
hanyalah sebuah buku harian di pulau kecil yang terletak di utara sebelah
Gunung Roh mencakar langit. Setiap 9 tahun lolongan itu menghilang, menjelma
menjadi lagenda di Daratan Kerajaan Draconis.
NB : Kadang kita
takut dengan sesuatu hal, walau pun kita tidak pernah sadar bahwa diri kita
sendiri lebih berbahaya untuk kita, daripada apa yang kita takuti selama ini.
===================================================
Catatan Penulis :
Cerita ini di tujukan kepada Andi Harianto yang akhirnya menciptakan tokoh Andi
Wabster dalam kisah yang akan saya tulis di Januari 50.000 kata di bulan
Januari nantinya “Thron: Blood of King”. Untuk mengetahui detilnya tentang
Thron: Blood of King silahkan berkunjung ke blog khusus yang akan membahas
lengkap tentang kisah ini : http://alfj50k.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!