[Prolog]
Setiap detik adalah kehidupan,
setiap detik adalah kematian. Setiap detik ada banyak kejadian yang terjadi, di
mana dari setiap kejadian itu secara tidak langsung saling mempengaruhi satu
sama lainnya. Baik itu hal sepele atau pun hal besar yang terjadi di dalam
dunia manusia. Kehidupan adalah kepatian. Kematian adalah kepastian yang
menakutkan. [Loganue Saputra Jr].
[01]
Suara
mesin mobil di halaman rumah baru saja terdengar memelan, lampu sorot yang tadi
melintasi jendela bertutup gorden transparan membentuk cahaya yang bergerak dan
akhirnya padam—sama seperti suara mesin yang juga menghilang—membuat Aji yang
tertidur di shopa ruang tengah terbangun.
Dengan
helaan nafas panjang, jemarinya mencari-cari kacamata berlensa tebalnya di atas
meja kaca, bangkit sambil mengenakan kacamata dan menyisir ramburnya dengan
jari-jari renggangnya. Belum sempat dia mencapai saklar lampu untuk menyalakan
lampu di ruang utama, pintu depan sudah terbuka pelan dari luar.
“Kau
menungguku?,” tanya suara lembut yang sudah sangat dirindukan oleh Aji.
Aji
menyalakan lampu lalu tersenyum kearah perempuan cantiknya yang melepas sepatu
hak dan meletakkan sepatu tadi ke atas rak sepatu yang berada di samping pintu
rumah yang sudah kembali ditutup.
“Bagaimana
harimu?,” tanya Aji basa-basi.
“Melelahkan
seperti biasa—apa Yusuf sudah tidur?.” Pertanyaan itu berlalu di belakang Aji
yang menunduk mengangkat cangkir putih yang berisi setengah kopi coklat.
“Dia
sangat aktif hari ini, perlu dua kali aku membacakannya buku cerita kesukaannya
baru dia mau memejamkan matanya.” Aji menyedu kopi kemudian melanjutkan lagi.
“Apa kau pekan ini akan bersama kami?.”
“Apa
rencanamu pekan ini?,” pertanyaan balik yang membuat Aji tersenyum
disembunyikannya.
“Aku
hanya ingin memastikan apakah kau bisa pergi bersama kami untuk berkunjung ke
rumah Ibuku dan memancing di sana—tapi jika kau sangat sibuk aku bisa
menundanya lain kali!.”
“Akan
aku usahakan,” senyum yang akhirnya berpaling menuju tangga kayu yang akan
mengantarkannya ke lantai 2 itu memberikan jawaban yang tidak berupa kepastian.
“Aku mau mandi dulu, melepaskan letih sejenak.”
Ketika
langkah kaki tanpa alas itu menapak anak tangga ke-5, Aji pun menghentikannya.
“Tidak usah kau pikirkan jika kau memang sibu dan banyak pekerjaan di kantor.”
Tanpa
tanggapan berikutnya langkah itu pun berlanjut menuju kamar yang berada di
lantai 2. Aji menghabiskan sisa kopi yang ada di dalam cangkir, lalu mengikuti
langkah Istrinya yang sudah tidak terdengar lagi.
Malam
sudah terlal larut, dingin subuh mulai merasuki jiwa mereka berdua yang kini
sudah tertidur pulas di balik selimut tebal. Tiba-tibas saja rintihan pelan itu
membangunakn Aji. Istrinya seperti sedang bermimpi, entah apa yang sedang
dimimpikan, tapi terdengar sangat menyiksa.
Aji
memeluk istrinya, mencoba menenangkan sosok yang dicintainya itu. Di balik
lengan baju tidur yang longgar sebuah lebam biru terkuak di lengan Istrinya.
Aji terdiam mengalihkan pandangannya pada langit-langit kamar yang bisu. Seolah
dia bertanya pada dirinya sendiri. Mengapa
hal ini bisa berlangsung cukup lama?. Tapi seperti biasanya pertanyaan itu
pun menguap bagaikan embun subuh yang mulai memenuhi udara.
[02]
Gerbong
kereta melesat dilintasan rel kereta yang kokoh. Suara gesekan yang tercipta
menggema dan menghilang di setiap tempat yang dilewatinya. Dua orang berdiri di
belakang gerbong kedua, kedunya memegang pistol tipe Barreta 92 buatan Italia, ke-2 pistol tadi menggunakan peredam
suara.
Dari
kaca pintu kereta, salah satu dari orang tadi mengitip ke dalam, kearah bangku
penumpang yang sepi. Pergerakan cepat melompat di balik bangku penumpang sambil
mengarahkan pistol ke arah jendela ujung gerbong, membuat sosok yang tadi
mengitip di balik jendela kaca kembali menarik dan bersembunyi sambil menarik
nafas penuh keterkejutan.
Peluru
panas menembus kaca jendela, memecahkan dan menghamburkan serpihan kaca yang
terbawa oleh angin dari lesatan kereta. Lelaki dengan setelan kemeja biru
memberikan isyarat pada rekannya yang perempuan bahwa dia akan naik ke atas
gerbong.
Pistol
diselipkan di belakang, ransel yang ada di samping, dibuka dan sebuah senjata Corner Shot tipe CSM3
yang sudah dimodifikasi. Ujung
pistol diputar mengarah kearah jendela kaca gerbong. Dari kamera senjata,
keadaan gerbong terlihat sepi, sosok yang tadi menembak sudah tidak terlihat
lagi.
Dari
salah satu bangku penumpang, sesosok lelaki ber-jas hitam berlari cepat ke
ujung gerbong seberang menuju gerbong pertama. Pergerakaan yang tertangkap di
kamera memicu lesatan senjata yang membabi buta menuju target yang terus
bergerak menerjang pintu gerbong.
Tak
satu pun peluru mengenai sasaran, hingga akhirnya target berhasil menembus
pintu gerbong. Lelaki yang berada di atas gerbong menembak berkali-kali ke
bawah ketika target melewati celah pintu gerbong, tapi lagi-lagi tak satu pun
peluru itu mengenai sasaran.
Lelaki
yang ada di atas gerbong turun mengejar target yang sudah berada di gerbong
seberang, sedangkan Perempuan yang membawa Corner
shot berlari melintasi gerbong kedua, mengikuti pergerakan rekannya yang
sudah berada di gerbong pertama.
Langkah
mereka berdua memelan, mengawasi setiap bangku kosong yang berjejer rapi, tak
ada siapa-siapa di sana, yang terlihat hanyalah sebuah tas hitam tergeletak di
samping pintu ujung gerbong.
Perempuan
tadi memungut tas, akan tetapi belum sempat dibukanya sebuah suara di atas
gerbong bergemuruh dan konstan, suara itu menembus suara gesekan kereta dengan
relnya.
Sebuah
helicopter merendah dan mengikuti laju kereta, merendah keatas gerbong pertama.
Dua agen yang mendengar suara tadi langsung berlari menuju pintu gerbong,
melihat keatas kearah helicopter yang berjarak sangat dekat.
Suara
kaki di atas gerbong membuat mereka berdua menaiki atas gerbong, ketika mereka
berdua sampai di atas gerbong helicopter mulai meninggi. Sosok yang mereka
kejar sudah duduk di atas bangku di samping pilot, melambaikan tangan dan
kemudian menutup pintu helicopter.
Dua
agen yang berdiri menahan tubuh karena tempuhan angin yang melesat dalam
kelajuan kereta yang semakin bertambah, menembaki helicopter yang semakin
menjauh, hingga akhirnya target menghilang di kejauhan.
Wajah
kecewa berselimutkan kesepian tanpa bicara, dua sosok yang masih memadang lekat
kearah helicopter yang sudah tidak lagi terlihat, kejutan berikutnya membuat
keduanya panik. Ledakan keras terjadi di gerbong paling ujung, bergerak cepat
secepat pergerakan kereta, menyambar dengan cepat kejar-kejaran hingga akhirnya
api membakar seluruh gerbong kereta.
[03]
Aji
memegang erat lengan anaknya yang masih kecil, berdiri di bawah pohon rindang,
di sore yang semakin tenang. Keindahan matahari membias serbuk keemasan tidak
bisa mengobati rasa kepergiannya yang berbasuh kesedihan.
Sudah
3 tahun hal itu berlangsung, tapi Aji selalu merasa tidak pernah kehilangan
sosok yang dicintainya, walau pun pada akhirnya dia hanya menangis di malam
hari yang sepi.
Daun
kering terlepas dari ranting pohon, jatuh perlahan dibawa oleh angin spoi-spoi,
metergeletakkannya di atas sebuah tanah berumput rapi dengan tangkai bungamawar
putih yang tumbuh subur. Makam itu sering kali dikujungi oleh Aji, membasuh
kerinduannya yang mengaca di balik kacamata berlensa tebalnya.
“Ayah,
kita pulang!,” ajak Yusuf sambil menarik lengan Ayahnya itu.
Tanpa
memberikan jawaban Aji melangkah bersama anaknya, pulang menuju mobilnya yang
terparkir tidak jauh dari tempat mereka berada.
Ketika
malam datang Aji seperti biasanya tidur di shopa, menunggu kedatangan seseorang
yang tidak mungkin pernah lagi datang seperti malam-malam 3 tahun yang lalu.
“Kau
menungguku?,” tanya suara lembut yang sudah sangat dirindukan oleh Aji.
Aji
menyalakan lampu lalu tersenyum kearah perempuan cantiknya yang melepas sepatu
hak dan meletakkan sepatu tadi ke atas rak sepatu yang berada di samping pintu
rumah yang sudah kembali ditutup.
“Bagaimana
harimu?,” tanya Aji basa-basi.
“Melelahkan
seperti biasa—apa Yusuf sudah tidur?.” Pertanyaan itu berlalu di belakang Aji
yang menunduk mengangkat cangkir putih yang berisi setengah kopi coklat.
“Dia
sangat aktif hari ini, perlu dua kali aku membacakannya buku cerita kesukaannya
baru dia mau memejamkan matanya.” Aji menyedu kopi kemudian melanjutkan lagi.
“Apa kau pekan ini akan bersama kami?.”
………
[04]
“Apa
yang sedang kau tulis?,” tanya suara manis di belakang Aji yang duduk di depan computer.
“Aku
sedang menulis semua tentang dirimu, aku menulis semua pertualanganmu,” jawab
Aji tanpa mau berpaling.
“Di
bagian mana sekarang?.”
“Kejar-kejaran
terakhirmu di atas kereta—.”
Jemari
Aji berhenti mengetik, dia menoleh
kebelakang kearah kekosongan yang sepi. Malam sudah semakin larut, jam
juga sudah hampir melewati pukul 12 malam. Sedikit
lagi. Ucap Aji dalam hari dan dia pun melanjutkan tulisannya.
………………………………..
Suara
kaki di atas gerbong membuat mereka berdua menaiki atas gerbong, ketika mereka
berdua sampai di atas gerbong helicopter mulai meninggi. Sosok yang mereka
kejar sudah duduk di atas bangku di samping pilot, melambaikan tangan dan
kemudian menutup pintu helicopter.
Dua
agen yang berdiri menahan tubuh karena tempuhan angin yang melesat dalam
kelajuan kereta yang semakin bertambah, menembaki helicopter yang semakin
menjauh, hingga akhirnya target menghilang di kejauhan.
……………………………………
NB
: Untuk Pak Ajinatha dan para pembaca yang membaca cerita ini hingga akhir…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!