15 Des 2011

Saya Ajinatha, Istri saya . . . !


 [Prolog]
Setiap detik adalah kehidupan, setiap detik adalah kematian. Setiap detik ada banyak kejadian yang terjadi, di mana dari setiap kejadian itu secara tidak langsung saling mempengaruhi satu sama lainnya. Baik itu hal sepele atau pun hal besar yang terjadi di dalam dunia manusia. Kehidupan adalah kepatian. Kematian adalah kepastian yang menakutkan. [Loganue Saputra Jr].
[01]
Suara mesin mobil di halaman rumah baru saja terdengar memelan, lampu sorot yang tadi melintasi jendela bertutup gorden transparan membentuk cahaya yang bergerak dan akhirnya padam—sama seperti suara mesin yang juga menghilang—membuat Aji yang tertidur di shopa ruang tengah terbangun.
Dengan helaan nafas panjang, jemarinya mencari-cari kacamata berlensa tebalnya di atas meja kaca, bangkit sambil mengenakan kacamata dan menyisir ramburnya dengan jari-jari renggangnya. Belum sempat dia mencapai saklar lampu untuk menyalakan lampu di ruang utama, pintu depan sudah terbuka pelan dari luar.

“Kau menungguku?,” tanya suara lembut yang sudah sangat dirindukan oleh Aji.
Aji menyalakan lampu lalu tersenyum kearah perempuan cantiknya yang melepas sepatu hak dan meletakkan sepatu tadi ke atas rak sepatu yang berada di samping pintu rumah yang sudah kembali ditutup.
“Bagaimana harimu?,” tanya Aji basa-basi.
“Melelahkan seperti biasa—apa Yusuf sudah tidur?.” Pertanyaan itu berlalu di belakang Aji yang menunduk mengangkat cangkir putih yang berisi setengah kopi coklat.
“Dia sangat aktif hari ini, perlu dua kali aku membacakannya buku cerita kesukaannya baru dia mau memejamkan matanya.” Aji menyedu kopi kemudian melanjutkan lagi. “Apa kau pekan ini akan bersama kami?.”
“Apa rencanamu pekan ini?,” pertanyaan balik yang membuat Aji tersenyum disembunyikannya.
“Aku hanya ingin memastikan apakah kau bisa pergi bersama kami untuk berkunjung ke rumah Ibuku dan memancing di sana—tapi jika kau sangat sibuk aku bisa menundanya lain kali!.”
“Akan aku usahakan,” senyum yang akhirnya berpaling menuju tangga kayu yang akan mengantarkannya ke lantai 2 itu memberikan jawaban yang tidak berupa kepastian. “Aku mau mandi dulu, melepaskan letih sejenak.”
Ketika langkah kaki tanpa alas itu menapak anak tangga ke-5, Aji pun menghentikannya. “Tidak usah kau pikirkan jika kau memang sibu dan banyak pekerjaan di kantor.”
Tanpa tanggapan berikutnya langkah itu pun berlanjut menuju kamar yang berada di lantai 2. Aji menghabiskan sisa kopi yang ada di dalam cangkir, lalu mengikuti langkah Istrinya yang sudah tidak terdengar lagi.
Malam sudah terlal larut, dingin subuh mulai merasuki jiwa mereka berdua yang kini sudah tertidur pulas di balik selimut tebal. Tiba-tibas saja rintihan pelan itu membangunakn Aji. Istrinya seperti sedang bermimpi, entah apa yang sedang dimimpikan, tapi terdengar sangat menyiksa.
Aji memeluk istrinya, mencoba menenangkan sosok yang dicintainya itu. Di balik lengan baju tidur yang longgar sebuah lebam biru terkuak di lengan Istrinya. Aji terdiam mengalihkan pandangannya pada langit-langit kamar yang bisu. Seolah dia bertanya pada dirinya sendiri. Mengapa hal ini bisa berlangsung cukup lama?. Tapi seperti biasanya pertanyaan itu pun menguap bagaikan embun subuh yang mulai memenuhi udara.
[02]
Gerbong kereta melesat dilintasan rel kereta yang kokoh. Suara gesekan yang tercipta menggema dan menghilang di setiap tempat yang dilewatinya. Dua orang berdiri di belakang gerbong kedua, kedunya memegang pistol tipe Barreta 92 buatan Italia, ke-2 pistol tadi menggunakan peredam suara.
Dari kaca pintu kereta, salah satu dari orang tadi mengitip ke dalam, kearah bangku penumpang yang sepi. Pergerakan cepat melompat di balik bangku penumpang sambil mengarahkan pistol ke arah jendela ujung gerbong, membuat sosok yang tadi mengitip di balik jendela kaca kembali menarik dan bersembunyi sambil menarik nafas penuh keterkejutan.
Peluru panas menembus kaca jendela, memecahkan dan menghamburkan serpihan kaca yang terbawa oleh angin dari lesatan kereta. Lelaki dengan setelan kemeja biru memberikan isyarat pada rekannya yang perempuan bahwa dia akan naik ke atas gerbong.
Pistol diselipkan di belakang, ransel yang ada di samping, dibuka dan sebuah senjata Corner Shot  tipe CSM3  yang sudah dimodifikasi. Ujung pistol diputar mengarah kearah jendela kaca gerbong. Dari kamera senjata, keadaan gerbong terlihat sepi, sosok yang tadi menembak sudah tidak terlihat lagi.
Dari salah satu bangku penumpang, sesosok lelaki ber-jas hitam berlari cepat ke ujung gerbong seberang menuju gerbong pertama. Pergerakaan yang tertangkap di kamera memicu lesatan senjata yang membabi buta menuju target yang terus bergerak menerjang pintu gerbong.
Tak satu pun peluru mengenai sasaran, hingga akhirnya target berhasil menembus pintu gerbong. Lelaki yang berada di atas gerbong menembak berkali-kali ke bawah ketika target melewati celah pintu gerbong, tapi lagi-lagi tak satu pun peluru itu mengenai sasaran.
Lelaki yang ada di atas gerbong turun mengejar target yang sudah berada di gerbong seberang, sedangkan Perempuan yang membawa Corner shot berlari melintasi gerbong kedua, mengikuti pergerakan rekannya yang sudah berada di gerbong pertama.
Langkah mereka berdua memelan, mengawasi setiap bangku kosong yang berjejer rapi, tak ada siapa-siapa di sana, yang terlihat hanyalah sebuah tas hitam tergeletak di samping pintu ujung gerbong.
Perempuan tadi memungut tas, akan tetapi belum sempat dibukanya sebuah suara di atas gerbong bergemuruh dan konstan, suara itu menembus suara gesekan kereta dengan relnya.
Sebuah helicopter merendah dan mengikuti laju kereta, merendah keatas gerbong pertama. Dua agen yang mendengar suara tadi langsung berlari menuju pintu gerbong, melihat keatas kearah helicopter yang berjarak sangat dekat.
Suara kaki di atas gerbong membuat mereka berdua menaiki atas gerbong, ketika mereka berdua sampai di atas gerbong helicopter mulai meninggi. Sosok yang mereka kejar sudah duduk di atas bangku di samping pilot, melambaikan tangan dan kemudian menutup pintu helicopter.
Dua agen yang berdiri menahan tubuh karena tempuhan angin yang melesat dalam kelajuan kereta yang semakin bertambah, menembaki helicopter yang semakin menjauh, hingga akhirnya target menghilang di kejauhan.
Wajah kecewa berselimutkan kesepian tanpa bicara, dua sosok yang masih memadang lekat kearah helicopter yang sudah tidak lagi terlihat, kejutan berikutnya membuat keduanya panik. Ledakan keras terjadi di gerbong paling ujung, bergerak cepat secepat pergerakan kereta, menyambar dengan cepat kejar-kejaran hingga akhirnya api membakar seluruh gerbong kereta.
[03]
Aji memegang erat lengan anaknya yang masih kecil, berdiri di bawah pohon rindang, di sore yang semakin tenang. Keindahan matahari membias serbuk keemasan tidak bisa mengobati rasa kepergiannya yang berbasuh kesedihan.
Sudah 3 tahun hal itu berlangsung, tapi Aji selalu merasa tidak pernah kehilangan sosok yang dicintainya, walau pun pada akhirnya dia hanya menangis di malam hari yang sepi.
Daun kering terlepas dari ranting pohon, jatuh perlahan dibawa oleh angin spoi-spoi, metergeletakkannya di atas sebuah tanah berumput rapi dengan tangkai bungamawar putih yang tumbuh subur. Makam itu sering kali dikujungi oleh Aji, membasuh kerinduannya yang mengaca di balik kacamata berlensa tebalnya.
“Ayah, kita pulang!,” ajak Yusuf sambil menarik lengan Ayahnya itu.
Tanpa memberikan jawaban Aji melangkah bersama anaknya, pulang menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka berada.
Ketika malam datang Aji seperti biasanya tidur di shopa, menunggu kedatangan seseorang yang tidak mungkin pernah lagi datang seperti malam-malam 3 tahun yang lalu.
“Kau menungguku?,” tanya suara lembut yang sudah sangat dirindukan oleh Aji.
Aji menyalakan lampu lalu tersenyum kearah perempuan cantiknya yang melepas sepatu hak dan meletakkan sepatu tadi ke atas rak sepatu yang berada di samping pintu rumah yang sudah kembali ditutup.
“Bagaimana harimu?,” tanya Aji basa-basi.
“Melelahkan seperti biasa—apa Yusuf sudah tidur?.” Pertanyaan itu berlalu di belakang Aji yang menunduk mengangkat cangkir putih yang berisi setengah kopi coklat.
“Dia sangat aktif hari ini, perlu dua kali aku membacakannya buku cerita kesukaannya baru dia mau memejamkan matanya.” Aji menyedu kopi kemudian melanjutkan lagi. “Apa kau pekan ini akan bersama kami?.”
………
[04]
“Apa yang sedang kau tulis?,” tanya suara manis di belakang Aji yang duduk di depan computer.
“Aku sedang menulis semua tentang dirimu, aku menulis semua pertualanganmu,” jawab Aji tanpa mau berpaling.
“Di bagian mana sekarang?.”
“Kejar-kejaran terakhirmu di atas kereta—.”
Jemari Aji berhenti mengetik, dia menoleh  kebelakang kearah kekosongan yang sepi. Malam sudah semakin larut, jam juga sudah hampir melewati pukul 12 malam. Sedikit lagi. Ucap Aji dalam hari dan dia pun melanjutkan tulisannya.
………………………………..
Suara kaki di atas gerbong membuat mereka berdua menaiki atas gerbong, ketika mereka berdua sampai di atas gerbong helicopter mulai meninggi. Sosok yang mereka kejar sudah duduk di atas bangku di samping pilot, melambaikan tangan dan kemudian menutup pintu helicopter.
Dua agen yang berdiri menahan tubuh karena tempuhan angin yang melesat dalam kelajuan kereta yang semakin bertambah, menembaki helicopter yang semakin menjauh, hingga akhirnya target menghilang di kejauhan.
……………………………………
NB : Untuk Pak Ajinatha dan para pembaca yang membaca cerita ini hingga akhir…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!