Tidak
selamanya salju itu menyenangkan, apalagi jika salju itu bertahan selama
bertahun-tahun tanpa mencair, langit mendung, udara dingin dengan aurora
menghiasi kadang-kadang. Matahari tak lagi pernah muncul. Kata orang dunia
sudah hampir kiamat, dan saat ini berada di dalam titik sekarat.
Persediaan
makanan sudah menipis dan bahkan beberapa keluarga sudah tidak lagi memiliki
makanan, tubuh menjadi kurus di dalam rasa dingin, malam itu adalah malam natal
semua orang yang tersisa berkumpul di dalam gereja, berdoa kepada kekudusan
yang maha tahu segalanya.
Tapi
aku tidak pergi kegereja untuk berdoa, aku malah bersembunyi di ruang atap
rumah yang gelap, aku bersembunyi dan ketakutan. Bunyi lonceng di gereja
berdentang keras berhambur kesetiap penjuru bersama suara ketakutan dan
teriakan, suara ledakan senjata membanjiri jalan.
Aku
mengintip dari celah kecil yang ada di dekatku, mengawasi jalanan yang putih
berhiaskan warna merah yang mengerikan, warna merah yang idetik dengan natal,
natal yang mencekam.
Aku
meringkuk sambil menangis, tapi aku tidak bersuara, aku takut mereka tahu
keberadaanku. Dalam ketakutanku akhirnya aku tertidur pulas di balik jaket
tebal dari bulu serigala.
Saat
aku terbangun semua sepi, aku mengintip ke jalan, jalan pun sepi walau pun
warna merah tetap menghiasi salju yang putih pucat. Aku memutuskan untuk keluar
dari tempat persembunyianku, berjalan keluar menapaki salju dengan sepatu kulit
panjang yang menghangatkan jari-jariku.
Aku
bergerak menuju gereja, gereja yang juga sepi yang tidak menandakan adanya
penghuni. Kudorong pintu gereja yang besar lalu aku berdiri memandang kearah
bangku-bangku yang penuh dengan orang-orang, penuh dengan orang-orang yang
tidak bernyawa, penuh dengan mayat-mayat yang bertumpuk mati bersimbah darah.
Aku menangis dan ketakutan.
Sebuah
langkah terdengar dibelakangku, langkah seorang bocah seumuran denganku,
seorang bocah laki-laki yang juga sama ketakutannya denganku. Dia mendekatiku
menggenggam jemari tanganku.
“Semua
orang bunuh diri!,” ucapnya lirih.
Kami
berdua berdiri di depan mayat-mayat yang mengerikan, berdiri tanpa lagi ada
harapan tentang kehidupan.
“Mereka
mengabaikan harapan,” ucapku pelan sambil menguatkan genggaman tanganku pada
jemarinya.
*
Kami
berdua duduk di depan tumpukan salju, memandang kearah laut yang beku,
memandangi langit yang masih gelap. “Ku rasa harapan itu pun memang tidak
ada!,” ucapku lirih.
Pelukan
menghangatkan tubuhku. “Sebentar lagi harapan itu akan datang. Jika tidak
datang—,” ucapannya terhenti, sebuah pistol dikeluarkannya dari saku jaketnya
dan diletakkannya di atas salju yang dingin.
Langit
masih gelap dan apa yang kami tunggu tidak juga kunjung datang hingga akhirnya
ledakan pistol menggema di dalam malam yang tidak pernah berakhir. Ternyata siang tak pernah datang, ternyata
matahari tak pernah lagi bersinar.
Beberapa
jam kemudian seberkas sinar terlihat merona di ujung timur, membuat salju-salju
meleleh dengan perlahan.[]
NB
: Tak ada salahnya jika ingin terus bertahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!