26 Des 2011

Natal di malam yang panjang


Persediaan makanan sudah menipis dan bahkan beberapa keluarga sudah tidak lagi memiliki makanan, tubuh menjadi kurus di dalam rasa dingin, malam itu adalah malam natal semua orang yang tersisa berkumpul di dalam gereja, berdoa kepada kekudusan yang maha tahu segalanya.

Tapi aku tidak pergi kegereja untuk berdoa, aku malah bersembunyi di ruang atap rumah yang gelap, aku bersembunyi dan ketakutan. Bunyi lonceng di gereja berdentang keras berhambur kesetiap penjuru bersama suara ketakutan dan teriakan, suara ledakan senjata membanjiri jalan.
Aku mengintip dari celah kecil yang ada di dekatku, mengawasi jalanan yang putih berhiaskan warna merah yang mengerikan, warna merah yang idetik dengan natal, natal yang mencekam.
Aku meringkuk sambil menangis, tapi aku tidak bersuara, aku takut mereka tahu keberadaanku. Dalam ketakutanku akhirnya aku tertidur pulas di balik jaket tebal dari bulu serigala.
Saat aku terbangun semua sepi, aku mengintip ke jalan, jalan pun sepi walau pun warna merah tetap menghiasi salju yang putih pucat. Aku memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyianku, berjalan keluar menapaki salju dengan sepatu kulit panjang yang menghangatkan jari-jariku.
Aku bergerak menuju gereja, gereja yang juga sepi yang tidak menandakan adanya penghuni. Kudorong pintu gereja yang besar lalu aku berdiri memandang kearah bangku-bangku yang penuh dengan orang-orang, penuh dengan orang-orang yang tidak bernyawa, penuh dengan mayat-mayat yang bertumpuk mati bersimbah darah. Aku menangis dan ketakutan.
Sebuah langkah terdengar dibelakangku, langkah seorang bocah seumuran denganku, seorang bocah laki-laki yang juga sama ketakutannya denganku. Dia mendekatiku menggenggam jemari tanganku.
“Semua orang bunuh diri!,” ucapnya lirih.
Kami berdua berdiri di depan mayat-mayat yang mengerikan, berdiri tanpa lagi ada harapan tentang kehidupan.
“Mereka mengabaikan harapan,” ucapku pelan sambil menguatkan genggaman tanganku pada jemarinya.
*
Kami berdua duduk di depan tumpukan salju, memandang kearah laut yang beku, memandangi langit yang masih gelap. “Ku rasa harapan itu pun memang tidak ada!,” ucapku lirih.
Pelukan menghangatkan tubuhku. “Sebentar lagi harapan itu akan datang. Jika tidak datang—,” ucapannya terhenti, sebuah pistol dikeluarkannya dari saku jaketnya dan diletakkannya di atas salju yang dingin.
Langit masih gelap dan apa yang kami tunggu tidak juga kunjung datang hingga akhirnya ledakan pistol menggema di dalam malam yang tidak pernah berakhir. Ternyata siang tak pernah datang, ternyata matahari tak pernah lagi bersinar.
Beberapa jam kemudian seberkas sinar terlihat merona di ujung timur, membuat salju-salju meleleh dengan perlahan.[]

NB : Tak ada salahnya jika ingin terus bertahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!