Alunan musik jazz mengetuk langkah demi langkah yang
seimbang, menciptakan keharmonisan dan rasa
elegan di antara dua menusia yang terhanyut dalam suasana pesta. Lengan
putih dan lembut dengan senyum palsu menghiasi wajah cantik yang mempesona,
menyembunyikan perasaan yang tidak bisa ditebak oleh para tamu yang hadir waktu
itu. Musik jazz seakan mengantarkan orang-orang ke dalam rasa hanyut yang menenangkan,
sehingga ada banyak hal yang orang-orang lewatkan dan tidak sadari.
Jantung Edward tidak setenang musik jazz yang sedang
mengalun merdu, jantungnya berdetak agak lebih cepat daripada biasanya,
tangannya berkeringat senyum iklasnya menghiasi setiap langkah pendek yang
diambilnya.
Ketika musik selesai dan berhenti, puluhan tepuk
tangan menghiasi sekitar ruangan, orang-orang yang berdiri dengan secangkir
gelas kaca di tangan mereka, bersulang memberikan selamat pada dua pasangan
yang terlihat bahagia itu. Edward dan
Eliana melangkah menuju meja yang memang sudah di siapkan untuk mereka.
Seorang laki-laki dan seorang perempuan sudah lebih
dulu duduk di meja yang sama, mereka bangkit lalu menyalami Edward dan Eliana
memberikan selamat, kemudian mereka berempat duduk bersamaan.
“Sudah hampir empat bulan kalian menikah, tapi
kalian masih terlihat seperti pengantin baru!,” ucap perempuan tadi berkomentar
sambil memakan sebiji anggur mungil yang terlihat manis.
Eliana tersenyum. “Terima kasih,” ucap Eliana sambil
melirik kearah Edward.
“Kau belum memperkenalkannya pada kami berdua?,”
kata laki-laki yang duduk di sebelah perempuan tadi.
“Ini Carlos dan ini Jesika—,“ ucap Edward
memperkenalkan kedua temannya pada Eliana yang tersenyum ramah, lalu Eliana
menyebutkan namanya. “Kalian berdua kapan menikah?,” pertanyaan Edward membuat
Jesika tersedak.
“Menikah?. Kurasa nanti apabila kami sudah punya
anak,” jawab Jesika sambil melirik kearah Carlos. Carlos mengangguk sambil
tersenyum.
Eliana terdiam mendengar pernyataan Jesika yang bagi
Eliana bukanlah hal yang wajar.
“Kau tak usah heran. Adat orang barat memang berbeda
dengan adat orang timur!,” ucap Carlos sambil mengangkat segelas minuman dengan
perlahan dan meminumnya.
Edward hanya tersenyum pelan kearah Eliana yang
masih terlihat diam.
“Kau tahu Edward dulu adalah kekasihku,” Jesika
berucap dengan tiba-tiba. “Dia memang laki-laki yang menggoda, baik wajahnya
yang tampan dan juga hartanya yang melimpah.”
Eliana tidak mau menunjukan keterkejutannya, dia
hanya tersenyum dan meminum sedikit minuman yang ada di hadapannya. Lalu
menatap kearah Edward dengan ekspresi marah.
Edward yang sadar dengan kemarahan Eliana, mencoba
mengalihkan pembicaraan. “Apa kabar ayahmu, Jesika?.”
“Oh, dia baik-baik saja, masih sama seperti dulu,
dia sedang berbulan madu di Bali bersama istri barunya. Bagaimana ceritanya kau
bisa bertemu dengan Eliana, apa sama seperti kita bertemu dulu?.”
Carlos tertawa mendengar pertanyaan Jesika yang
terdengar nakal. “Di hotel maksut mu?,” ucap Carlos menambahkan.
Eliana hanya tersenyum mendengar bualan itu, dia
bangkit lalu menarik dompetnya. “Aku mau ke kamar kecil dulu,” ucap Eliana yang
kemudian melangkah meninggalkan meja.
Edward yang tahu betul bahwa Eliana kesal dan marah,
langsung bangkit mengejar Eliana yang menghilang di balik pintu kamar kecil.
Edward melirik kearah bentuk perempuan yang terpajang di pintu bagian atas,
toilet perempuan akan tapi tanpa berpikir panjang Edward masuk menerobos. Semua
mata perempuan yang ada di dalam menuju kearah Edward yang berdiri kaku.
“Kau marah?,” tanya Edward pada Eliana yang sedang
membasuh tangan menghadap cermin—lalu melirik kearah bayang-bayang Eliana yang
ada di dalam cermin.
“Sedikit pun aku tidak marah,” Ucap Eliana dengan
nada penuh emosi.
Beberapa perempuan yang ada di sana keluar satu
persatu, mereka tahu akan ada pertengkaran kecil di situ. Edward diam menunggu
semua orang keluar, ketika sudah keluar puntu dikuncinya dari dalam. “Aku minta
maaf atas sikap Jesika dan juga Carlos pada mu,” Edward mencoba mendekat kearah
Eliana yang semakin membatasi jarak mereka.
“Ya, aku marah. Kenapa kau tidak marah dengan
mereka, dengan perkataan mereka yang tidak sopan,” kali ini emosi Eliana
benar-benar meledak.
“Mereka hanya bercanda,” Edward berusaha membujuk.
“Bercanda?!, itu namanya berlebihan. Aku bukan
pelacur yang bisa kau temui di kamar hotel seperti Jesika, kekasihmu itu,” air
mata menetes ke westapel bercampur dengan air yang keluar dari keran. Mascara yang digunakan
oleh Eliana luntur, berkali-kali disapunya dengan tisu yang berubah warna
menjadi hitam
Edward memegang pundak Eliana mencoba menenangkan
istrinya itu. “Itu hanya masa lalu, aku tak menyangkal bahwa itu pernah terjadi
dulu, tapi saat ini aku telah bersama masa depanku yang kucintai sepenuh hati,”
Edward mencium pundak Eliana.
Eliana berontak dan menjauh dari Edward. “Aku tidak
suka dengan teman-teman mu itu,” Eliana memutar kunci pintu lalu keluar sambil terus
menghapus air matanya dengan tisu. Berlari keluar kearah jalan besar yang sudah sunyi.
Edward mengejar tapi terlambat, Eliana sudah
menghilang bersamaan dengan gelapnya malam, Edward mulai gelisah, dia tahu
Eliana tidak begitu hafal dengan jalan dan jika dia tersesat atau bertemu
dengan orang jahat maka Edward adalah orang pertama yang akan dipersalahkan
oleh keluarga Eliana.
~
Perjalanan berkuda yang melelahkan sekaligus
membosankan, tak ada perbincangan, tak ada pandang-memandang, yang ada hanyalah
kesunyian dan desahan panjang yang mewakili kebosanan Eliana.
Berhenti di depan pintu gerbang. Pegunungan Naras. Itulah kalimat yang
tertulis besar dan berkarat di plang yang terbuat dari besi tua berwarna hitam
legam. Edward turun dari kuda lalu mengikat tali kuda ke tiang gerbang. “Kau
tidak mau turun?,” tanya Edward sambil melengak kearah Eliana yang masih saja
memasang wajah cemberutnya.
“Kita belum sampai kan?,” Eliana bertanya tanpa
menoleh kearah Edward.
“Kita sudah sampai, setengah kilometer dari sini
kita akan mencapai villa,” Edward mengulurkan tangannya berniat untuk membantu
Eliana turun.
“Kenapa tidak menggunakan kuda saja bukankah akan
lebih cepat!.”
“Jalannya terlalu menanjak, kuda akan terjungkir
balik jika dipaksakan. Apa kau mau mati tertimapa kuda,” Edward mulai
terdengar mengesalkan.
“Setengah kilometer itu kan jauh, mengapa tidak
mencari tempat yang mudah dicapai saja,” Eliana masih belum mau turun dari
kuda.
Edward menghela napas panjang lalu berjalan melewati
pintu gerbang.
Eliana yang merasa ingin ditinggalkan langsung
berteriak. “Kau mau meninggalkan aku lagi, dasar laki-laki yang tidak
bertanggung—,“ kata-kata Eliana terhenti.
“Aku sudah mengajak mu untuk turun dan mulai
berjalan, tapi kau sendiri yang mau tinggal, jangan pernah kau sebut aku tidak
bertanggung jawab. Aku tahu kau ada disini karena aku, tapi aku hanya mau kau
belajar menghargai perasaanku, sudah cukup kau sakiti aku dengan kejadian waktu
itu, aku mungkin laki-laki yang paling bodoh yang pernah ada di dunia ini,
bertahan dan terus berharap menunggu kau mau menerima cintaku. Tapi apa yang
kudapatkan darimu, penghianatan, aku selalu mencoba memaafkan semua kesalahan
yang pernah kau lakukan, alasanku hanya satu, karena aku benar-benar mencintaimu,”
suara Edward penuh emosi dan keluhan.
Eliana menyerah, dia turun dengan perlahan dari kuda
tanpa bicara sepatah kata pun. Perasaannya seakan terbelah menjadi dua sisi
yang saling bersebrangan. Di sisi lain dia prihatian dengan perasaan Edward dan
ingin mencoba memahami Edward tapi di sisi lain lagi dia juga tak bisa
membohongi perasaan hatinya bahwa dia memang benar-benar tidak mencintai
Edward. Hal itu membuat dia memilih untuk diam dan mengalah tanpa harus
mengeluh lagi, walau lambat-laun keluhan berikutnya akan terlontar dari
mulutnya.
Mereka berjalan melewati jalan yang menanjak dengan
langkah yang semakin melamban, mereka berjalan di dua sisi jalan yang berbeda,
tidak saling pandang atau pun saling bicara, walau sesekali Edward melirik
untuk mengawasi pergerakan Eliana.
~
Eliana menyusuri jalan yang tidak dikenalinya, malam
yang sunyi membuat dirinya mengawasi sekeliling jalan yang memang sangat sepi,
dilepasnya sepatu yang membuatnya sulit untuk berjalan cepat, berayun-ayun
ditangan kiri Eliana sepasang sepatu berwarna coklat dengan aksen mengkilat
pada bagian tengahnya yang terdapat permata berbentuk bunga mekar, rapi dan
sangat mendetil. Langkah Eliana terhenti ketika dua orang laki-laki berwajah
bringaas berdiri dengan senyum nakal di samping jalan yang remang-remang.
Jantungnya mulai berdebar kencang, Eliana mundur
selangkah, berpaling lalu berlari, dia merasakan sesuatu yang berbahaya akan
terjadi pada dirinya. Berlari tanpa memperdulikan segala yang ada di depan dan
sekitarnya. Dua orang tadi mengejar Eliana dengan sangat cepat, langkah mereka
terdengar penuh ambisi. Ketika di persimpangan jalan, Eliana berbelok tanpa
melihat ke depan, dia terjatuh tertabrak seorag laki-laki yang sedang melintas
berjalan dengan sangat cepat. Eliana terguling di aspal yang keras. Laki-laki
yang ditabrak Eliana, bangkit lalu berlari mendekat kearah Eliana yang juga
perlahan bangkit. “Sepatuku, dompetku,” ucap Eliana dengan sangat gugup.
“Anda terlukan nyonya, sepatu dan dompet anda
baik-baik saja, sebaiknya anda lebih menghawatirkan diri anda”.
Dua orang
laki-laki berwajah beringas terhenti berlari ketika menyadari sosok laki-laki
lain bersama Eliana. Dua orang tadi berpaling dan lari menjauh.“Apakah anda
diganggu oleh mereka. Saya Matthew, polisi disini, mereka berdua memang sering
mengganggu warga sekitar sini.”
Eliana bangkit dengan senyum yang dipaksakannya.
“Terima kasih sudah membantuku.
“Anda mau pulang kemana, nanti saya antar,” Metthew
menawarkan.
“Aku tak tahu jalan pulang, tadi aku bersama
suamiku, tapi kemudian aku keluar sebentar dan terpisah dengannya,” Eliana
terlihat panik.
“Siapa suami anda, mungkin saja saya mengenalinya?”.
“Edward Norton.”
“Jadi anda istrinya Edward, dia adalah teman saya.
Bagaimana jika anda ke rumah saya saja, tak jauh dari sini. Nanti saya akan
menghubungi Edward dan memintanya menjemput anda.”
Tak ada pilihan lain bagi Eliana. Ingin kembali ke
bar tadi dia sudah lupa jalan menuju kesana dan tidak tahu apa nama bar tadi, Matthew juga terlihat sopan dan baik, lagi
pula dia polisi. Eliana menyetujui saran Matthew.
“Sudah berapa lama kau berteman dengan Edward?,”
Eliana bertanya sambil menyingkap rambut bergelombangnya yang menutupi mata.
“Saya berteman dengan suami anda sejak dari kecil
Nyonya,” Matthew tersenyum.
“Kau tak usah memanggil aku Nyonya, panggil saja aku
Ana. Berarti kau sangat mengenal Edward?,” Eliana bertanya lagi, dia melipat
kedua tangannya di dada, hawa malam membuatnya kedinginan.
Matthew melepas jasnya lalu mengenakannya pada
Eliana. “Yah, aku memang sangat mengenalnya. Edward itu tipe orang yang suka
membantu, dia selalu rendah hati dan tidak kenal pamrih,” Matthew memuji
temannya itu.
Perbincangan singkat itu membuat Eliana dan Matthew
terasa terbebaskan dari berbagai masalah, dimana keduanya seakan sudah saling
kenal sejak lama, mereka mulai
membicarakan hal-hal yang menjurus kemasalah-masalah yang mereka miliki
lalu tertawa bersama mentertawakan masalah-masalah itu.
Sesampai di rumah Matthew langsung menghubungi
Edward. Suara Edward begitu panik dia berkali-kali berterima kasih pada Matthew
karena telah menjaga Eliana.
Eliana duduk di atas shopa dengan secangkir coklat
hangat buatan Matthew. Tanpa disenghaja Eliana menjatuhkan cangkir coklat
hingga pecah berserakan dilantai ubin yang keras. “Maafkan aku, aku akan
membersihkannya,” ucap Eliana sambil mengambil tisu yang ada di atas meja.
“Tak repot-repot, nanti aku bersihkan,” Kata Matthew
yang tunduk dan mengambil pecahan-pecahan kaca yang ada dilantai.
Eliana tunduk berhadapan dengan Matthew, lalu
mencoba membantu Matthew untuk membersihkan tumpahan coklat dan pecahan gelas.
Pecahan gelas yang tajam dan kecil itu menggores jari tengah Eliana. Eliana
menarik tangannya yang berdarah. Matthew yang melihat hal itu dengan cepat
menarik jemari Eliana dan mengisapnya. Eliana tak bisa berbuat apa-apa, dia
terkejut dengan tindakan Matthew yang begitu cepat.
“Oh, maafkan aku. Aku bertindak tanpa berpikir
lagi,” ucap Matthew sambil berdiri pelan.
“Oh, tak apa-apa, terima kasih sudah mau membantuku,
seharusnya aku yang meminta maaf karena sudah banyak menyusahkanmu,” Elaian terlihat gugup.
Entah mengapa mata mereka saling pandang dan suasana
menjadi hening sejenak hingga suara pintu diketuk dari luar membuat keduanya
terkejut dan buyar.
~
Edward mendekat kearah Eliana yang terduduk di
pinggir jalan. “Kau tak apa-apa?,” tanyanya memberikan perhatian.
Eliana diam dengan air mata yang terus mengalir dari
kedua bola matanya. Edward melihat kesekitar, tak ada siapapun yang bisa
membantu mereka. Entah berapa jauh lagi perjalan mereka untuk mencapai Villa,
tapi tak ada pilihan lain, Edward harus menggendong Eliana.
“Kau diam dan jangan banyak bergerak, aku akan
menggendong mu hingga ke atas,” tanpa menunggu persetujuan dari Eliana Edward
mengangkat tubuh Eliana dengan perlahan lalu mulai berjalan dengan langkah
sangat pelan.
Eliana masih diam, dia masih menangis menahan sakit
kakinya. Kakinya terkilir, jalan yang menanjak
membuatnya terjerebak. Eliana menyandarkan kepalanya ke dada Edward sambil melingkarkan kedua
tangannya keleher Edward, detak jantung Edward masih tak pernah berubah,
ritmenya selalu terasa cepat ketika dia begitu dekat dengan Eliana. Eliana
memejamkan matanya mencoba mendengarkan dentaman jantung yang membuatnya terasa
tenang. Kesunyian lagi-lagi menyelimuti keduanya.
Jalan mulai rata, Edward terhenti sejenak mengambil
napas panjang lalu berjalan menuju kearah dua Villa yang saling berhadapan. Hujan
lebat mengguyur dengan tiba-tiba. Edward mempercepat langkahnya menuju Villa
yang ada disebelah kiri lalu meletakan Eliana di bangku panjang yang ada di
teras Villa. Edward langsung memeriksa kaki istrinya itu. melepas bajunya,
merobeknya dan menyapu luka yang sebenarnya tidak terlalu parah.
Elaiana terdiam menatap kearah Edward yang begitu
baik kepadanya. “Maafkan aku, karena telah menyusahkanmu,” ucap Eliana lirih.
Edward hanya diam dan fokus kepada luka yang sedang
di balutnya, dia tidak mau menatap Eliana, entah dia masih marah atau memang
karena tak kuasa membuat kedua bola mata mereka beradu pandang.
~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!