26 Jun 2012

[If Complicated] Bab Tiga


Alunan musik jazz mengetuk langkah demi langkah yang seimbang, menciptakan keharmonisan dan rasa  elegan di antara dua menusia yang terhanyut dalam suasana pesta. Lengan putih dan lembut dengan senyum palsu menghiasi wajah cantik yang mempesona, menyembunyikan perasaan yang tidak bisa ditebak oleh para tamu yang hadir waktu itu. Musik jazz seakan mengantarkan orang-orang ke dalam rasa hanyut yang menenangkan, sehingga ada banyak hal yang orang-orang lewatkan dan tidak sadari.

Jantung Edward tidak setenang musik jazz yang sedang mengalun merdu, jantungnya berdetak agak lebih cepat daripada biasanya, tangannya berkeringat senyum iklasnya menghiasi setiap langkah pendek yang diambilnya.
Ketika musik selesai dan berhenti, puluhan tepuk tangan menghiasi sekitar ruangan, orang-orang yang berdiri dengan secangkir gelas kaca di tangan mereka, bersulang memberikan selamat pada dua pasangan yang terlihat bahagia itu.  Edward dan Eliana melangkah menuju meja yang memang sudah di siapkan untuk mereka.
Seorang laki-laki dan seorang perempuan sudah lebih dulu duduk di meja yang sama, mereka bangkit lalu menyalami Edward dan Eliana memberikan selamat, kemudian mereka berempat duduk bersamaan.
“Sudah hampir empat bulan kalian menikah, tapi kalian masih terlihat seperti pengantin baru!,” ucap perempuan tadi berkomentar sambil memakan sebiji anggur mungil yang terlihat manis.
Eliana tersenyum. “Terima kasih,” ucap Eliana sambil melirik kearah Edward.
“Kau belum memperkenalkannya pada kami berdua?,” kata laki-laki yang duduk di sebelah perempuan tadi.
“Ini Carlos dan ini Jesika—,“ ucap Edward memperkenalkan kedua temannya pada Eliana yang tersenyum ramah, lalu Eliana menyebutkan namanya. “Kalian berdua kapan menikah?,” pertanyaan Edward membuat Jesika tersedak.
“Menikah?. Kurasa nanti apabila kami sudah punya anak,” jawab Jesika sambil melirik kearah Carlos. Carlos mengangguk sambil tersenyum.
Eliana terdiam mendengar pernyataan Jesika yang bagi Eliana bukanlah hal yang wajar.
“Kau tak usah heran. Adat orang barat memang berbeda dengan adat orang timur!,” ucap Carlos sambil mengangkat segelas minuman dengan perlahan dan meminumnya.
Edward hanya tersenyum pelan kearah Eliana yang masih terlihat diam.
“Kau tahu Edward dulu adalah kekasihku,” Jesika berucap dengan tiba-tiba. “Dia memang laki-laki yang menggoda, baik wajahnya yang tampan dan juga hartanya yang melimpah.”
Eliana tidak mau menunjukan keterkejutannya, dia hanya tersenyum dan meminum sedikit minuman yang ada di hadapannya. Lalu menatap kearah Edward dengan ekspresi marah.
Edward yang sadar dengan kemarahan Eliana, mencoba mengalihkan pembicaraan. “Apa kabar ayahmu, Jesika?.”
“Oh, dia baik-baik saja, masih sama seperti dulu, dia sedang berbulan madu di Bali bersama istri barunya. Bagaimana ceritanya kau bisa bertemu dengan Eliana, apa sama seperti kita bertemu dulu?.”
Carlos tertawa mendengar pertanyaan Jesika yang terdengar nakal. “Di hotel maksut mu?,” ucap Carlos menambahkan.
Eliana hanya tersenyum mendengar bualan itu, dia bangkit lalu menarik dompetnya. “Aku mau ke kamar kecil dulu,” ucap Eliana yang kemudian melangkah meninggalkan meja.
Edward yang tahu betul bahwa Eliana kesal dan marah, langsung bangkit mengejar Eliana yang menghilang di balik pintu kamar kecil. Edward melirik kearah bentuk perempuan yang terpajang di pintu bagian atas, toilet perempuan akan tapi tanpa berpikir panjang Edward masuk menerobos. Semua mata perempuan yang ada di dalam menuju kearah Edward yang berdiri kaku.
“Kau marah?,” tanya Edward pada Eliana yang sedang membasuh tangan menghadap cermin—lalu melirik kearah bayang-bayang Eliana yang ada di dalam cermin.
“Sedikit pun aku tidak marah,” Ucap Eliana dengan nada penuh emosi.
Beberapa perempuan yang ada di sana keluar satu persatu, mereka tahu akan ada pertengkaran kecil di situ. Edward diam menunggu semua orang keluar, ketika sudah keluar puntu dikuncinya dari dalam. “Aku minta maaf atas sikap Jesika dan juga Carlos pada mu,” Edward mencoba mendekat kearah Eliana yang semakin membatasi jarak mereka.
“Ya, aku marah. Kenapa kau tidak marah dengan mereka, dengan perkataan mereka yang tidak sopan,” kali ini emosi Eliana benar-benar meledak.
“Mereka hanya bercanda,” Edward berusaha membujuk.
“Bercanda?!, itu namanya berlebihan. Aku bukan pelacur yang bisa kau temui di kamar hotel seperti Jesika, kekasihmu itu,” air mata menetes ke westapel bercampur dengan air yang  keluar dari keran. Mascara yang digunakan oleh Eliana luntur, berkali-kali disapunya dengan tisu yang berubah warna menjadi hitam
Edward memegang pundak Eliana mencoba menenangkan istrinya itu. “Itu hanya masa lalu, aku tak menyangkal bahwa itu pernah terjadi dulu, tapi saat ini aku telah bersama masa depanku yang kucintai sepenuh hati,” Edward mencium pundak Eliana.
Eliana berontak dan menjauh dari Edward. “Aku tidak suka dengan teman-teman mu itu,” Eliana memutar kunci pintu lalu keluar sambil terus menghapus air matanya dengan tisu. Berlari keluar  kearah jalan besar yang sudah sunyi.
Edward mengejar tapi terlambat, Eliana sudah menghilang bersamaan dengan gelapnya malam, Edward mulai gelisah, dia tahu Eliana tidak begitu hafal dengan jalan dan jika dia tersesat atau bertemu dengan orang jahat maka Edward adalah orang pertama yang akan dipersalahkan oleh keluarga Eliana.
~
Perjalanan berkuda yang melelahkan sekaligus membosankan, tak ada perbincangan, tak ada pandang-memandang, yang ada hanyalah kesunyian dan desahan panjang yang mewakili kebosanan Eliana.
Berhenti di depan pintu gerbang. Pegunungan Naras. Itulah kalimat yang tertulis besar dan berkarat di plang yang terbuat dari besi tua berwarna hitam legam. Edward turun dari kuda lalu mengikat tali kuda ke tiang gerbang. “Kau tidak mau turun?,” tanya Edward sambil melengak kearah Eliana yang masih saja memasang wajah cemberutnya.
“Kita belum sampai kan?,” Eliana bertanya tanpa menoleh kearah Edward.
“Kita sudah sampai, setengah kilometer dari sini kita akan mencapai villa,” Edward mengulurkan tangannya berniat untuk membantu Eliana turun.
“Kenapa tidak menggunakan kuda saja bukankah akan lebih cepat!.”
“Jalannya terlalu menanjak, kuda akan terjungkir balik jika dipaksakan. Apa kau mau mati tertimapa kuda,” Edward mulai terdengar  mengesalkan.
“Setengah kilometer itu kan jauh, mengapa tidak mencari tempat yang mudah dicapai saja,” Eliana masih belum mau turun dari kuda.
Edward menghela napas panjang lalu berjalan melewati pintu gerbang.
Eliana yang merasa ingin ditinggalkan langsung berteriak. “Kau mau meninggalkan aku lagi, dasar laki-laki yang tidak bertanggung—,“ kata-kata Eliana terhenti.
“Aku sudah mengajak mu untuk turun dan mulai berjalan, tapi kau sendiri yang mau tinggal, jangan pernah kau sebut aku tidak bertanggung jawab. Aku tahu kau ada disini karena aku, tapi aku hanya mau kau belajar menghargai perasaanku, sudah cukup kau sakiti aku dengan kejadian waktu itu, aku mungkin laki-laki yang paling bodoh yang pernah ada di dunia ini, bertahan dan terus berharap menunggu kau mau menerima cintaku. Tapi apa yang kudapatkan darimu, penghianatan, aku selalu mencoba memaafkan semua kesalahan yang pernah kau lakukan, alasanku hanya satu, karena aku benar-benar mencintaimu,” suara Edward penuh emosi dan keluhan.
Eliana menyerah, dia turun dengan perlahan dari kuda tanpa bicara sepatah kata pun. Perasaannya seakan terbelah menjadi dua sisi yang saling bersebrangan. Di sisi lain dia prihatian dengan perasaan Edward dan ingin mencoba memahami Edward tapi di sisi lain lagi dia juga tak bisa membohongi perasaan hatinya bahwa dia memang benar-benar tidak mencintai Edward. Hal itu membuat dia memilih untuk diam dan mengalah tanpa harus mengeluh lagi, walau lambat-laun keluhan berikutnya akan terlontar dari mulutnya.
Mereka berjalan melewati jalan yang menanjak dengan langkah yang semakin melamban, mereka berjalan di dua sisi jalan yang berbeda, tidak saling pandang atau pun saling bicara, walau sesekali Edward melirik untuk mengawasi pergerakan Eliana.
~
Eliana menyusuri jalan yang tidak dikenalinya, malam yang sunyi membuat dirinya mengawasi sekeliling jalan yang memang sangat sepi, dilepasnya sepatu yang membuatnya sulit untuk berjalan cepat, berayun-ayun ditangan kiri Eliana sepasang sepatu berwarna coklat dengan aksen mengkilat pada bagian tengahnya yang terdapat permata berbentuk bunga mekar, rapi dan sangat mendetil. Langkah Eliana terhenti ketika dua orang laki-laki berwajah bringaas berdiri dengan senyum nakal di samping jalan yang remang-remang.
Jantungnya mulai berdebar kencang, Eliana mundur selangkah, berpaling lalu berlari, dia merasakan sesuatu yang berbahaya akan terjadi pada dirinya. Berlari tanpa memperdulikan segala yang ada di depan dan sekitarnya. Dua orang tadi mengejar Eliana dengan sangat cepat, langkah mereka terdengar penuh ambisi. Ketika di persimpangan jalan, Eliana berbelok tanpa melihat ke depan, dia terjatuh tertabrak seorag laki-laki yang sedang melintas berjalan dengan sangat cepat. Eliana terguling di aspal yang keras. Laki-laki yang ditabrak Eliana, bangkit lalu berlari mendekat kearah Eliana yang juga perlahan bangkit. “Sepatuku, dompetku,” ucap Eliana dengan sangat gugup.
“Anda terlukan nyonya, sepatu dan dompet anda baik-baik saja, sebaiknya anda lebih menghawatirkan diri anda”.
      Dua orang laki-laki berwajah beringas terhenti berlari ketika menyadari sosok laki-laki lain bersama Eliana. Dua orang tadi berpaling dan lari menjauh.“Apakah anda diganggu oleh mereka. Saya Matthew, polisi disini, mereka berdua memang sering mengganggu warga sekitar sini.”
Eliana bangkit dengan senyum yang dipaksakannya. “Terima kasih sudah membantuku.
“Anda mau pulang kemana, nanti saya antar,” Metthew menawarkan.
“Aku tak tahu jalan pulang, tadi aku bersama suamiku, tapi kemudian aku keluar sebentar dan terpisah dengannya,” Eliana terlihat panik.
“Siapa suami anda, mungkin saja saya mengenalinya?”.
“Edward Norton.”
“Jadi anda istrinya Edward, dia adalah teman saya. Bagaimana jika anda ke rumah saya saja, tak jauh dari sini. Nanti saya akan menghubungi Edward dan memintanya menjemput anda.”
Tak ada pilihan lain bagi Eliana. Ingin kembali ke bar tadi dia sudah lupa jalan menuju kesana dan tidak tahu apa nama bar tadi,  Matthew juga terlihat sopan dan baik, lagi pula dia polisi. Eliana menyetujui saran Matthew.
“Sudah berapa lama kau berteman dengan Edward?,” Eliana bertanya sambil menyingkap rambut bergelombangnya yang menutupi mata.
“Saya berteman dengan suami anda sejak dari kecil Nyonya,” Matthew tersenyum.
“Kau tak usah memanggil aku Nyonya, panggil saja aku Ana. Berarti kau sangat mengenal Edward?,” Eliana bertanya lagi, dia melipat kedua tangannya di dada, hawa malam membuatnya kedinginan.
Matthew melepas jasnya lalu mengenakannya pada Eliana. “Yah, aku memang sangat mengenalnya. Edward itu tipe orang yang suka membantu, dia selalu rendah hati dan tidak kenal pamrih,” Matthew memuji temannya itu.
Perbincangan singkat itu membuat Eliana dan Matthew terasa terbebaskan dari berbagai masalah, dimana keduanya seakan sudah saling kenal sejak lama, mereka mulai  membicarakan hal-hal yang menjurus kemasalah-masalah yang mereka miliki lalu tertawa bersama mentertawakan masalah-masalah itu.
Sesampai di rumah Matthew langsung menghubungi Edward. Suara Edward begitu panik dia berkali-kali berterima kasih pada Matthew karena telah menjaga Eliana.
Eliana duduk di atas shopa dengan secangkir coklat hangat buatan Matthew. Tanpa disenghaja Eliana menjatuhkan cangkir coklat hingga pecah berserakan dilantai ubin yang keras. “Maafkan aku, aku akan membersihkannya,” ucap Eliana sambil mengambil tisu yang ada di atas meja.
“Tak repot-repot, nanti aku bersihkan,” Kata Matthew yang tunduk dan mengambil pecahan-pecahan kaca yang ada dilantai.
Eliana tunduk berhadapan dengan Matthew, lalu mencoba membantu Matthew untuk membersihkan tumpahan coklat dan pecahan gelas. Pecahan gelas yang tajam dan kecil itu menggores jari tengah Eliana. Eliana menarik tangannya yang berdarah. Matthew yang melihat hal itu dengan cepat menarik jemari Eliana dan mengisapnya. Eliana tak bisa berbuat apa-apa, dia terkejut dengan tindakan Matthew yang begitu cepat.
“Oh, maafkan aku. Aku bertindak tanpa berpikir lagi,” ucap Matthew sambil berdiri pelan.
“Oh, tak apa-apa, terima kasih sudah mau membantuku, seharusnya aku yang meminta maaf karena sudah  banyak menyusahkanmu,” Elaian terlihat gugup.
Entah mengapa mata mereka saling pandang dan suasana menjadi hening sejenak hingga suara pintu diketuk dari luar membuat keduanya terkejut dan buyar.
~
Edward mendekat kearah Eliana yang terduduk di pinggir jalan. “Kau tak apa-apa?,” tanyanya memberikan perhatian.
Eliana diam dengan air mata yang terus mengalir dari kedua bola matanya. Edward melihat kesekitar, tak ada siapapun yang bisa membantu mereka. Entah berapa jauh lagi perjalan mereka untuk mencapai Villa, tapi tak ada pilihan lain, Edward harus menggendong Eliana.
“Kau diam dan jangan banyak bergerak, aku akan menggendong mu hingga ke atas,” tanpa menunggu persetujuan dari Eliana Edward mengangkat tubuh Eliana dengan perlahan lalu mulai berjalan dengan langkah sangat pelan.
Eliana masih diam, dia masih menangis menahan sakit kakinya. Kakinya terkilir, jalan yang menanjak  membuatnya terjerebak. Eliana menyandarkan kepalanya  ke dada Edward sambil melingkarkan kedua tangannya keleher Edward, detak jantung Edward masih tak pernah berubah, ritmenya selalu terasa cepat ketika dia begitu dekat dengan Eliana. Eliana memejamkan matanya mencoba mendengarkan dentaman jantung yang membuatnya terasa tenang. Kesunyian lagi-lagi menyelimuti keduanya.
Jalan mulai rata, Edward terhenti sejenak mengambil napas panjang lalu berjalan menuju kearah dua Villa yang saling berhadapan. Hujan lebat mengguyur dengan tiba-tiba. Edward mempercepat langkahnya menuju Villa yang ada disebelah kiri lalu meletakan Eliana di bangku panjang yang ada di teras Villa. Edward langsung memeriksa kaki istrinya itu. melepas bajunya, merobeknya dan menyapu luka yang sebenarnya tidak terlalu parah.
Elaiana terdiam menatap kearah Edward yang begitu baik kepadanya. “Maafkan aku, karena telah menyusahkanmu,” ucap Eliana lirih.
Edward hanya diam dan fokus kepada luka yang sedang di balutnya, dia tidak mau menatap Eliana, entah dia masih marah atau memang karena tak kuasa membuat kedua bola mata mereka beradu pandang.
~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!