Eliana
bersandar pada pagar pelabuhan menatap indahnya sang surya yang separuh
tertelan lautan tanpa ujung. Awan-awan yang terlihat, hanyalah awan-awan tipis
yang bergerak pelan seirama dengan hembusan angin sepoi-sepoi. Suara mesin
kapal yang merapat dan suara orang-orang yang sedang sibuk di pelabuhan
menghiasi setiap detik yang berlalu.
Tarian
burung camar meliuk-liuk dengan sayap putih yang indah dan terlihat lembut,
terbang beriringan membentuk pormasi yang rapi lalu berlalu begitu saja. Eliana
berpaling dari menatap matahari beralih pada Matthew yang berada di sampingnya.
Matthew bersandar dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca oleh Eliana.
“Raut-raut
wajahmu selalu membuat aku penasaran?,” ucap Eliana dengan penuh senyuman.
Matthew
membalas senyuman Eliana. “Semoga rasa penasaranmu itu tidak membuat kau jatuh
hati,” dia mulai bergurau.
Eliana
tidak berkomentar, dia kembali melihat kearah matahari yang sudah sangat
rendah, warna oranye mulai menghilang di langit yang mulai gelap gulita—fajar
menyongsong dengan sanggat cepat. Eliana dan Matthew berjalan pelan mneyusuri
jalan yang cukup ramai meninggalkan pelabuhan yang mulai tenang.
“Aku
ingin bertanya dengan mu, ketika kita terlihat memiliki segalanya, serta
terlihat bahagia, tapi sesungguhnya kenyataan yang ada adalah sebaliknya lalu
kita tidak bisa keluar dari kenyataan yang ada apakah langkah paling tepat yang
harus kita ambil?,” Eliana bertanya dengan wajah serius.
Matthew
terhenti melangkah lalu berpaling kearah Eliana. “Ini tentang dirimu?,”
tanyanya dengan kening berkerut.
Eliana
terdiam menatap mata Matthew dalam. “Bagaimana pendapat mu?,” tannyanya masih
dengan nada serius.
Matthew
pun kembali melanjutkan langkahnya. “Mungkin ini masalah sudut pandang dan
keputusan. Laki-laki dan perempuan mungkin memiliki jawaban dengan persi mereka
masing-masing, terkadang perlunya fakta penyebab yang harus lengkap untuk bisa menjawab
pertanyaan ini. Jika hanya mendengar sekilas pernyataan tadi mungkin semua
orang akan menjawab; mengapa tidak
berhenti dan mengikuti kata hati mu?. Tapi jika tahu fakta yang terjadi
dibalik permasalah ini mungkin akan muncul pernyataan dan jawaban yang
sebaliknya.”
Angin
sore menjelang malam membuat Eliana merasakan hawa dingin yang menusuk, dia
merapat kearah Matthew dan merangkul tangan Matthew. “Kau selalu memberikan
jawaban yang berbeda dan terdengar menarik.”
Matthew
melirik kearah Eliana. “Mungkin semua orang akan menjawab dengan jawaban yang
sama.”
~
Hujan
semakin lebat Eliana sudah sangat kedinginan. Edward berlari menerobos butiran-butiran air yang semakin
membasahi tubuhnnya. Edward berlari kearah villa yang ada diseberang mengetuk
pintu villa berkali-kali hingga seorang perempuan dengan ekspresi heran menatap
kearah Edward sambil bertanya. “Anda siapa?,” tannyanya polos.
Dibalik
perempuan tadi terlihat seorang laki-laki menjengun dengan ekspresi terkejut.
“Edward,” ucapnya sambil keluar dan memeluk temannya itu. “Sejak kapan kau
datang?.”
Edward
tersenyum dengan ekspresi tergesa-gesa. “Kau punya kunci villa seberang?.”
“Ada,
masuk saja dulu, Septi sangat ahli dalam membuat teh.”
“Lain
kali saja, istriku kedinginan menunggu di luar, tadi kakinya terkilir,” Edward masih
terlihat tergesa-gesa.
Laki-laki
tadi menyuruh perempuan yang membukakan Edward tadi pintu untuk mengambilkan
kunci yang tergantung di balik pintu lalu menyerahkannya pada Edward.
“Nanti
malam aku akan kesini lagi bersama istriku,” ketika berpaling ingin berlari
Edward terhenti. “Maaf Alvin sebelumnya aku tidak membalas surat mu tempo hari,
aku ingin membuat kejutan padamu,” kali ini Edward memperlihatkan senyumnya.
Alvin
membalas senyum Edward lalu menatap Edward yang berlari menabrak hujan yang memang
sangat lebat. “Kau tahu dia memang selalu memberi kejutan”. Ucap Alvin sambil
menutup pintu dan memeluk Septi.
Eliana
menggigil kedinginan. Edward yang basah kuyup membuka pintu villa lalu
menggendong Eliana masuk, ruangan itu lumayan besar. Edward menuju kesebuah
kamar yang berada di pojok kanan, pintu kamar memang sudah terbuka, masuk dan
meletakan Eliana di atas tempat tidur.
Eliana
masih saja menggigil, ditarik Edward selimut tebal yang ada di atas tempat
tidur menutupi sebagian tubuh Eliana. “Kau bisa melepas bajumu sendiri?,” tanya
Edward.
Tak
ada jawaban dari Eliana, dia benar-benar kedinginan hingga terlihat seperti
orang yang kehilangan kesadarannya. Tanpa meminta persetujuan, Edward melepas
baju Eliana dengan perlahan lalu menutupi tubuh Eliana dengan selimut tebal.
Edward benar-benar gelisah. Tak ada perapian yang bisa membuat mereka hangat,
tapi selimut itu sudah cukup membuat Eliana hangat. Perlahan napas Eliana
menjadi normal. Dia tertidur pulas dengan wajah yang terlihat letih.
Edward
berdiri di samping tempat tidur melepas bajunya dan mengambil selimut tipis
terlipat di rak bambu yang menempel pada dinding di samping pintu kamar.
Sebelum keluar dari kamar Edward menatap wajah Eliana yang terlihat tenang
bercampur letih. Edward tersenyum sinis. Andai
saja semuanya menjadi mudah. Pikirnya yang kemudian mencium Eliana dan
keluar dari kamar menuju bangku kayu panjang yang menghadap kearah jendela
besar. Dari situ Edward bisa melihat tenangnya tetesan hujan yang semakin
melemah dan kemudian berhenti.
~
Suara
mesin ketik menggema diruangan yang sunyi itu. Eliana yang sedang mengisi
pot-pot bunga dengan bunga-bunga segar menatap kearah Edward yang terlihat
marah. Sedikit pun Edward tidak bergeming dari tempat duduknya mengetik sebuah
surat dengan sangat serius. Setelah suara dentingan sekali suara selanjutnya
menjadi sunyi. Edward melirik kesamping kearah Eliana yang melarikan
pandangannya kearah pot-pot bunga yang mulai dimasukannya bunga-bunga mawar
merah dan putih.
“Besok
kita akan pergi dari sini—,“ ucap Edward sambil berdiri dan memegang selembar
kertas yang baru selesai diketiknya.
Eliana
terhenti, berpaling kearah Edward. “Pergi kemana?.”
“Kita
akan pindah ke desa Rangkat. Seminggu yang lalu Alvin mengirimiku surat dan mengajaku
untuk membantu penduduk desa Rangkat yang terserang wabah demam berdarah. Besok
kita akan berangkat.”
“Mengapa
aku harus ikut, tidakkah kau bisa berangkat sendiri?.” Eliana mencari celah
agar dia bisa memberikan alasan untuk tidak ikut Edward ke desa Rangkat.
“Kita
bukan berkunjung, tapi menetap hingga semua wabah demam berdarah bisa di
atasi,” Edward menjelaskan sambil bersandar pada meja dan menatap kearah Eliana
yang tidak mau manatapnya.
“Tapi
itu berbahaya?!, aku tak mau ikut!,” nada Eliana terdengar mengeluh.
“Kita
akan berangkat besok, kemasi barang-barang yang ingin kau bawa kita akan
tinggal lama disana,” ucapannya itu tak ingin dibantah. Bahkan dengan alasan
yang memang tidak ingin didengar olehnya. “Dan ingat kau tak bisa tinggal di
sini karena kau adalah istriku,” Kali ini pernyataan Edward bernada tegas.
“Tapi
aku tak mau ikut,” Eliana bersikeras.
Edward
menghempas meja dengan tangan kanannya. “Kau harus ikut jika tidak aku akan
menceraikanmu,” dia mengancam istrinya itu. Emosinya meledak begitu saja, sorot
matanya yang tajam bagaikan seekor elang menusuk menembus bola mata Eliana. Eliana
terdiam tak bisa berkomentar, dia menunduk kearah pot bunga yang diletakannya
perlahan di meja kecil yang ada dihadapannya, air matanya mulai menetes. Dan
setelah itu dia pergi ke kamar meninggalkan Edwar yang kemudian melanjutkan
mengetik surat yang sudah hampir selesai.
~
Langit
sudah gelap, dua sosok manusia yang tadinya berjalan bersama kini masuk ke
dalam sebuah rumah, di rumah udara terasa hangat. Eliana duduk di atas shopa,
memandang perawakan Metthew yang bergerak menuju kotak music di pojok ruangan
sebelah kiri.
“Kadang
kita memiliki banyak masalah yang bisa membuat kita rapuh dan tak bisa lepas
dari masalh itu,” Matthew menghela napas panjang sambil menyalakan musik dari
alat pemutar musik.
Eliana
yang tadinya duduk perlahan bangkit dan mendekat kearah Matthew. “Yah,
masalah-masalah itu mengurungku hingga aku merasa tersiksa.”
Matthew
menyambut tangan Eliana dan mulai melangkah beriringan dengan irama musik yang
santai, mereka berdua berdansa bersama gelapnya malam yang perlahan datang
tanpa ada yang memperhatikan.
“mengapa
aku tidak medapatkan laki-laki seperti mu saja?,” ucap Eliana yang kemudian
bersandar di dada Matthew.
Matthew
berhenti melangkah—keduanya terhenti—.“Aku juga berpikir hal yang sama
denganmu.” Kecupan manis menyentuh kening Eliana lalu turun ke bibir merah yang
tipis, ciuman itu dalam dan penuh hawa nafsu. Terlarut dalam perasaan sesaat
yang memang membuat keduanya terasa terbebaskan.
Hempasan
pintu menutup membuat semuanya berubah. Edward berdiri di depan pintu dengan
setangkai bunga mawar merah di tangan kanannya—dia tercengan dan tak bisa
berkata-kata, semuanya sunyi saling tatap dengan mata penuh tanya.
Edward
berpaling dan kembali keluar. Eliana berlari mengejar begitu juga dengan
Matthew. “Edward, ini tak seperti yang kau pikirkan.” Matthew berteriak sambil
mengejar sahabatnya itu.
Edward
berhenti berpaling dan mendekat kearah Matthew. Pukulan keras menghantam wajah
Matthew. “Ku kira kau adalah teman baik selama ini.”
Eliana
menahan tubuh Edward yang ingin melancarkan pukulan berikutnya. “Sudah ini hanyalah
salah paham,” ucapan Eliana membuat Edward berhenti lalu menjauh dari Eliana
selangkah sembari menatapnya begitu dalam. “Ku kira kau jauh berbeda dengan
Jesika, ternyata kau sama saja seorang perempuan murahan,” Edward pergi
meninggalkan Eliana dan Matthew yang berdiri kaku di tengah jalan yang sunyi.
~
Eliana
kembali keluar dari kamar, sepertinya dia sudah memiliki alasan untuk tinggal,
tapi sebelum dia mengutarakan alasannya itu Edward berucap lebih dulu dengan
nada yang cukup kasar.
“Aku
sudah membeli tiket kapal untuk besok,” Edward menegaskan.
“Ku
mohon itu berbahaya, aku tak mau mati di tengah-tengah desa terpencil terserang
demam berdarah, sekarat tanpa ada orang yang bisa menolong,” Eliana memohon.
“Kau
sudah bisa memilih, tinggal dan kuceraikan atas tuduhan perselingkuhan dan
pejinahan atau ikut bersamaku besok. Semoga pilihanmu tidak mengecewakan ibumu
kali ini,” ucap Edward sambil berlalu menuju kamar.
“Tapi
aku belum memberi tahu ibu tentang hal ini, dia pasti tidak akan setuju,”
Eliana mencoba mencari alasan.
Edward
kembali kehadapan Eliana sambil menujukan surat yang baru saja diselesaikannya
tadi. “Aku sudah membuat surat untuk ibumu.”
Eliana
bersandar di meja di depan pot bunga yang hanya terisi beberapa tangakai bunga
mawar yang masih segar. Dan setelah itu yang hanya bisa dilakukan oleh Eliana
hanyalah menangis dengan penuh sesal
tanpa bisa melakukan apa pun.
~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!