26 Jun 2012

[If Complicated] Bab Empat


Eliana bersandar pada pagar pelabuhan menatap indahnya sang surya yang separuh tertelan lautan tanpa ujung. Awan-awan yang terlihat, hanyalah awan-awan tipis yang bergerak pelan seirama dengan hembusan angin sepoi-sepoi. Suara mesin kapal yang merapat dan suara orang-orang yang sedang sibuk di pelabuhan menghiasi setiap detik yang berlalu.

Tarian burung camar meliuk-liuk dengan sayap putih yang indah dan terlihat lembut, terbang beriringan membentuk pormasi yang rapi lalu berlalu begitu saja. Eliana berpaling dari menatap matahari beralih pada Matthew yang berada di sampingnya. Matthew bersandar dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca oleh Eliana.
“Raut-raut wajahmu selalu membuat aku penasaran?,” ucap Eliana dengan penuh senyuman.
Matthew membalas senyuman Eliana. “Semoga rasa penasaranmu itu tidak membuat kau jatuh hati,” dia mulai bergurau.
Eliana tidak berkomentar, dia kembali melihat kearah matahari yang sudah sangat rendah, warna oranye mulai menghilang di langit yang mulai gelap gulita—fajar menyongsong dengan sanggat cepat. Eliana dan Matthew berjalan pelan mneyusuri jalan yang cukup ramai meninggalkan pelabuhan yang mulai tenang.
“Aku ingin bertanya dengan mu, ketika kita terlihat memiliki segalanya, serta terlihat bahagia, tapi sesungguhnya kenyataan yang ada adalah sebaliknya lalu kita tidak bisa keluar dari kenyataan yang ada apakah langkah paling tepat yang harus kita ambil?,” Eliana bertanya dengan wajah serius.
Matthew terhenti melangkah lalu berpaling kearah Eliana. “Ini tentang dirimu?,” tanyanya dengan kening berkerut.
Eliana terdiam menatap mata Matthew dalam. “Bagaimana pendapat mu?,” tannyanya masih dengan nada serius.
Matthew pun kembali melanjutkan langkahnya. “Mungkin ini masalah sudut pandang dan keputusan. Laki-laki dan perempuan mungkin memiliki jawaban dengan persi mereka masing-masing, terkadang perlunya fakta penyebab yang harus lengkap untuk bisa menjawab pertanyaan ini. Jika hanya mendengar sekilas pernyataan tadi mungkin semua orang akan menjawab; mengapa tidak berhenti dan mengikuti kata hati mu?. Tapi jika tahu fakta yang terjadi dibalik permasalah ini mungkin akan muncul pernyataan dan jawaban yang sebaliknya.”
Angin sore menjelang malam membuat Eliana merasakan hawa dingin yang menusuk, dia merapat kearah Matthew dan merangkul tangan Matthew. “Kau selalu memberikan jawaban yang berbeda dan terdengar menarik.”
Matthew melirik kearah Eliana. “Mungkin semua orang akan menjawab dengan jawaban yang sama.”
~
Hujan semakin lebat Eliana sudah sangat kedinginan. Edward berlari  menerobos butiran-butiran air yang semakin membasahi tubuhnnya. Edward berlari kearah villa yang ada diseberang mengetuk pintu villa berkali-kali hingga seorang perempuan dengan ekspresi heran menatap kearah Edward sambil bertanya. “Anda siapa?,” tannyanya polos.
Dibalik perempuan tadi terlihat seorang laki-laki menjengun dengan ekspresi terkejut. “Edward,” ucapnya sambil keluar dan memeluk temannya itu. “Sejak kapan kau datang?.”
Edward tersenyum dengan ekspresi tergesa-gesa. “Kau punya kunci villa seberang?.”
“Ada, masuk saja dulu, Septi sangat ahli dalam membuat teh.”
“Lain kali saja, istriku kedinginan menunggu di luar, tadi kakinya terkilir,” Edward masih terlihat tergesa-gesa.
Laki-laki tadi menyuruh perempuan yang membukakan Edward tadi pintu untuk mengambilkan kunci yang tergantung di balik pintu lalu menyerahkannya pada Edward.
“Nanti malam aku akan kesini lagi bersama istriku,” ketika berpaling ingin berlari Edward terhenti. “Maaf Alvin sebelumnya aku tidak membalas surat mu tempo hari, aku ingin membuat kejutan padamu,” kali ini Edward memperlihatkan senyumnya.
Alvin membalas senyum Edward lalu menatap Edward yang berlari menabrak hujan yang memang sangat lebat. “Kau tahu dia memang selalu memberi kejutan”. Ucap Alvin sambil menutup pintu dan memeluk Septi.
Eliana menggigil kedinginan. Edward yang basah kuyup membuka pintu villa lalu menggendong Eliana masuk, ruangan itu lumayan besar. Edward menuju kesebuah kamar yang berada di pojok kanan, pintu kamar memang sudah terbuka, masuk dan meletakan Eliana di atas tempat tidur.
Eliana masih saja menggigil, ditarik Edward selimut tebal yang ada di atas tempat tidur menutupi sebagian tubuh Eliana. “Kau bisa melepas bajumu sendiri?,” tanya Edward.
Tak ada jawaban dari Eliana, dia benar-benar kedinginan hingga terlihat seperti orang yang kehilangan kesadarannya. Tanpa meminta persetujuan, Edward melepas baju Eliana dengan perlahan lalu menutupi tubuh Eliana dengan selimut tebal. Edward benar-benar gelisah. Tak ada perapian yang bisa membuat mereka hangat, tapi selimut itu sudah cukup membuat Eliana hangat. Perlahan napas Eliana menjadi normal. Dia tertidur pulas dengan wajah yang terlihat letih.
Edward berdiri di samping tempat tidur melepas bajunya dan mengambil selimut tipis terlipat di rak bambu yang menempel pada dinding di samping pintu kamar. Sebelum keluar dari kamar Edward menatap wajah Eliana yang terlihat tenang bercampur letih. Edward tersenyum sinis. Andai saja semuanya menjadi mudah. Pikirnya yang kemudian mencium Eliana dan keluar dari kamar menuju bangku kayu panjang yang menghadap kearah jendela besar. Dari situ Edward bisa melihat tenangnya tetesan hujan yang semakin melemah dan kemudian berhenti.
~
Suara mesin ketik menggema diruangan yang sunyi itu. Eliana yang sedang mengisi pot-pot bunga dengan bunga-bunga segar menatap kearah Edward yang terlihat marah. Sedikit pun Edward tidak bergeming dari tempat duduknya mengetik sebuah surat dengan sangat serius. Setelah suara dentingan sekali suara selanjutnya menjadi sunyi. Edward melirik kesamping kearah Eliana yang melarikan pandangannya kearah pot-pot bunga yang mulai dimasukannya bunga-bunga mawar merah dan putih.
“Besok kita akan pergi dari sini—,“ ucap Edward sambil berdiri dan memegang selembar kertas yang baru selesai diketiknya.
Eliana terhenti, berpaling kearah Edward. “Pergi kemana?.”
“Kita akan pindah ke desa Rangkat. Seminggu yang lalu Alvin mengirimiku surat dan mengajaku untuk membantu penduduk desa Rangkat yang terserang wabah demam berdarah. Besok kita akan berangkat.”
“Mengapa aku harus ikut, tidakkah kau bisa berangkat sendiri?.” Eliana mencari celah agar dia bisa memberikan alasan untuk tidak ikut Edward ke desa Rangkat.
“Kita bukan berkunjung, tapi menetap hingga semua wabah demam berdarah bisa di atasi,” Edward menjelaskan sambil bersandar pada meja dan menatap kearah Eliana yang tidak mau manatapnya.
“Tapi itu berbahaya?!, aku tak mau ikut!,” nada Eliana terdengar mengeluh.
“Kita akan berangkat besok, kemasi barang-barang yang ingin kau bawa kita akan tinggal lama disana,” ucapannya itu tak ingin dibantah. Bahkan dengan alasan yang memang tidak ingin didengar olehnya. “Dan ingat kau tak bisa tinggal di sini karena kau adalah istriku,” Kali ini pernyataan Edward bernada tegas.
“Tapi aku tak mau ikut,” Eliana bersikeras.
Edward menghempas meja dengan tangan kanannya. “Kau harus ikut jika tidak aku akan menceraikanmu,” dia mengancam istrinya itu. Emosinya meledak begitu saja, sorot matanya yang tajam bagaikan seekor elang menusuk menembus bola mata Eliana. Eliana terdiam tak bisa berkomentar, dia menunduk kearah pot bunga yang diletakannya perlahan di meja kecil yang ada dihadapannya, air matanya mulai menetes. Dan setelah itu dia pergi ke kamar meninggalkan Edwar yang kemudian melanjutkan mengetik surat yang sudah hampir selesai.
~
Langit sudah gelap, dua sosok manusia yang tadinya berjalan bersama kini masuk ke dalam sebuah rumah, di rumah udara terasa hangat. Eliana duduk di atas shopa, memandang perawakan Metthew yang bergerak menuju kotak music di pojok ruangan sebelah kiri.
“Kadang kita memiliki banyak masalah yang bisa membuat kita rapuh dan tak bisa lepas dari masalh itu,” Matthew menghela napas panjang sambil menyalakan musik dari alat pemutar musik.
Eliana yang tadinya duduk perlahan bangkit dan mendekat kearah Matthew. “Yah, masalah-masalah itu mengurungku hingga aku merasa tersiksa.”
Matthew menyambut tangan Eliana dan mulai melangkah beriringan dengan irama musik yang santai, mereka berdua berdansa bersama gelapnya malam yang perlahan datang tanpa ada yang memperhatikan.
“mengapa aku tidak medapatkan laki-laki seperti mu saja?,” ucap Eliana yang kemudian bersandar di dada Matthew.
Matthew berhenti melangkah—keduanya terhenti—.“Aku juga berpikir hal yang sama denganmu.” Kecupan manis menyentuh kening Eliana lalu turun ke bibir merah yang tipis, ciuman itu dalam dan penuh hawa nafsu. Terlarut dalam perasaan sesaat yang memang membuat keduanya terasa terbebaskan.
Hempasan pintu menutup membuat semuanya berubah. Edward berdiri di depan pintu dengan setangkai bunga mawar merah di tangan kanannya—dia tercengan dan tak bisa berkata-kata, semuanya sunyi saling tatap dengan mata penuh tanya.
Edward berpaling dan kembali keluar. Eliana berlari mengejar begitu juga dengan Matthew. “Edward, ini tak seperti yang kau pikirkan.” Matthew berteriak sambil mengejar sahabatnya itu.
Edward berhenti berpaling dan mendekat kearah Matthew. Pukulan keras menghantam wajah Matthew. “Ku kira kau adalah teman baik selama ini.”
Eliana menahan tubuh Edward yang ingin melancarkan pukulan berikutnya. “Sudah ini hanyalah salah paham,” ucapan Eliana membuat Edward berhenti lalu menjauh dari Eliana selangkah sembari menatapnya begitu dalam. “Ku kira kau jauh berbeda dengan Jesika, ternyata kau sama saja seorang perempuan murahan,” Edward pergi meninggalkan Eliana dan Matthew yang berdiri kaku di tengah jalan yang sunyi.
~
Eliana kembali keluar dari kamar, sepertinya dia sudah memiliki alasan untuk tinggal, tapi sebelum dia mengutarakan alasannya itu Edward berucap lebih dulu dengan nada yang cukup kasar.
“Aku sudah membeli tiket kapal untuk besok,” Edward menegaskan.
“Ku mohon itu berbahaya, aku tak mau mati di tengah-tengah desa terpencil terserang demam berdarah, sekarat tanpa ada orang yang bisa menolong,” Eliana memohon.
“Kau sudah bisa memilih, tinggal dan kuceraikan atas tuduhan perselingkuhan dan pejinahan atau ikut bersamaku besok. Semoga pilihanmu tidak mengecewakan ibumu kali ini,” ucap Edward sambil berlalu menuju kamar.
“Tapi aku belum memberi tahu ibu tentang hal ini, dia pasti tidak akan setuju,” Eliana mencoba mencari alasan.
Edward kembali kehadapan Eliana sambil menujukan surat yang baru saja diselesaikannya tadi. “Aku sudah membuat surat untuk ibumu.”
Eliana bersandar di meja di depan pot bunga yang hanya terisi beberapa tangakai bunga mawar yang masih segar. Dan setelah itu yang hanya bisa dilakukan oleh Eliana hanyalah  menangis dengan penuh sesal tanpa bisa melakukan apa pun.
~


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!