7 Sep 2011

MELANCOLIS


Tiba-tiba rerumputan tadi membelah tersapu oleh langkah lain yang berlari, dengan kemeja hitam berlapiskan setelah jas rapi di kejauhan. Rambut coklat yang membelah kesamping itu bungsat berbasuh peluh yang terus mengalir ke pelipis wajah. Dan gambara dari warna kemerahan terlihat di kedua bola mata yang berkaca-kaca.
“Sunade—.” Teriak itu melengking menuju langit yang luas tak berbatas, membuat sekawanan burung pipit terbang bergerombol.
Yang terdengar hanyalah suara angin, desisan mesra yang lembut menyentuh setiap jengkal kulit yang tidak tertutup kain pakaian, dasi kupu-kupu yang beberajam lalu masih rapi berbentuk kupu-kupu kini terberai melingkar kusut di kerah kemeja. Langkah itu pun berhenti di tempat yang sepi di antara rerumputan tinggi yang sondong hampir merebah oleh derasnya angin.
“Sunade—.” Teriakan itu berulang lagi. Melebar ke seluruh penjuru hingga hilang lagi tersapu angin.
Sunyi, masih sama.
Sepi, tak ada jawaban.
Dari mata kemerahan berubah menjadi sebuah tangisan.
©
Temaram sinar rembulan yang terlukis di kaca jendela, menangkap wajah Sunade yang terbias sinarnya yang lembut. Lampu ruangan hanya menyala redup, seredup sebatang lilin yang terus bergoyang menunggu padam.
Di balik shopa coklat yang tadinya tertutup kain putih penghindar debu. Sunade duduk tersipu ayu, kedua bola matanya tidak lepas dari keindahan malam serta rembulan.
Bersamaan dengan ketenangan itu, aroma cappuccino pun merembah di indra penciuman, membuat Sunade berpaling pandang dari rembulan menuju arah tangga rumah yang sedikit petang, tak ada langkah yang datang menapak naik untuk menghampiri dirinya, hanya suara papan berdenyit di lantai bawah yang masih tak pasti.
Kini Sunade berdiri, bergerak sangat dekat kearah jendela, memegang kain gorden yang memang sudah tersingkap sejak tadi, dari sana dia tenggelam seutuhnya, oleh cahaya rembulan yang dari tadi terus mengawasinya.
“Sayang—,” suara serak itu mengalihkan dunia Sunade, membuat Sunade menatap senyum manis dengan dua bola mata tajam bagikan elang.
Lalu langkah sosok yang baru datang tadi bergabung bersama Sunade, berdiri di depan jendela kaca, membiarkan rembulan menangkap aktivitas mereka. Secangkir coppuccio di dalam cangkir melamin putih dengan piring kecil sebagai alas beralih ke tangan Sunade.
“Kau menyukai rancangan pesta kita itu?,” tanya suara serak yang pelan memegang pinggang Sunade.
“Asalkan kau suka akupun suka,” jawab Sunade sambil mengaduk coppuccino dengan sendok plastik kecil yang separuh tenggelam di dalam cappuccino.
Pelan tubuh Sunade terbawa menjauhi jendela, menuju sisi petang di balik gorden yang ditarik menutupi rembulan. Bahkan malam pun tak bisa mengintip apa yang sedang teradi seperti rembulan yang selalu ingin tahu akan tetapi terselubung oleh gorden tipis yang hanya menyirat bayangan remang.
Coppuccino tadi disedu, tak habis cairan agak kental berwarna coklat tadi di dalam cangkir melamin putih, cangkir itu sudah tergeletak di atas meja depan shopa coklat yang sama.
Seperti bayangan yang menghilang dari balik gorden yang menghalangi rembulan, dua tubuh itu menyatu dalam kemesraan, berawal dari tubuh Sunade yang di angkat menyusuri perabotan rumah yang masih tertutup kain putih, hingga akhirnya sampai pada sebuah kamar dengan daun pintu berukirkan bunga-bunga.
Di dalam kamar itulah mereka menyambung nikmat, nikmat cinta yang lebih dari segelas cappuccino hangat yang sudah mendingin di depan shopa coklat.
“Kita akan punya anak di rumah yang besar ini. Hingga kamar-kamar yang kosong terisi dengan tempat tidur bertingkat, di sanalah ada banyak cinta kita berada, wajah mereka sebagian mirip denganku dan sebagiannya lagi seperti wajahmu—,” suara serak tadi menggoda di samping telinga Sunade.
“Dan beberapa dari mereka juga pandai merayu seperti dirimu,” gurau Sunade sambil melingkarkan tangannya ke leher yang bergerak menciumi bibirnya.
Tangan mereka mencengkram, membiarkan jari telunjuk mereka menyatu seperti sepasang bibir yang mengecup mesra.
©
Sepeda motor vespa tipe GS V2 keluaran tahun 1956 itu berwarna abu-abu terparkir sendirian di pinggir jalan luas yang sepi, menghadap kearah lautan yang terbentang setelah hamparan pasir putih. Ada banyak bekas jejak kiki di pasir-pasir itu, jejak kaki yang tercipta dari tapak-tapak mesra memadu cinta.
Dan di balik deru gelombang kecil itu Kurni berlari-lari, mengheja nafas, menahan dinginnya angin laut yang menyentuh tubuhnya secara alngsung.
“Sayang kemari, di sini sangat menyegarkan,” Ajak Kurni pada Perempuan berambut coklat yang duduk di atas pasir putih.
“Tidak, aku di sini saja.”
Kurni berlari ke tepi, dengan tawa yang tak pernah lepas dari wajahnya, seperti lesung pipit yang dimilikinya tenggelam melukiskan ketampanan. Dengan gagah Kurni berdiri di depan Perempuan tadi, mengulurkan tangannya, mengajak bermain gelombang.
“Tidak, aku di sini saja,” ucap Perempuan itu lagi sambil tertawa.
Tapi godaan Kurni tak bisa dihindari olehnya, hingga gulungan sekawanan gelombang pun akhirnya menyentuh kulit halusnya.
Lama mereka bermain-main hingga matahari sudah sangat merendah. Kurni menarik baju kemeja lengan pendek bercorak batik, mengenakannya sambil menghadap ke ujung lautan. Dia tersenyum dan semakin yakin ingin melakukan niatnya dari awal pergi ke pantai itu.
Perempuan yang tadi bersamanya sudah berdiri menunggunya di samping vespa yang tenang tak bersuara. Kurni berpaling dari redupnya surya yang tenggelam setengah kearah perempuan pujaan hatinya. Dia melangkah bergerak meninggalkan sekawanan butiran pasir putih.
Ketika detik kepulangan matahari ke ujung barat sudah tinggal beberapa detik lagi, di samping vespa, di depan hamparan pasir putih yang mulai menguning karena biasan surya. Kurni mengambil sebuah benda dari dalam kantong kemeja batiknya.
Sebuh kotak kecil polos, berlapis kain lembut berwarna biru malam. Pelan kotak tadi di bukanya di hadapan Perempuan yang disayanginya. Dan bersamaan dengan itu terdengar lantunan mesra dari mulut Kurni.
“Maukah kau menikah denganku dan menghabiskan sisa hidup kita bersama untuk selamanya?.”
Terlihat wajah gugup di raut muka Perempuan yang tidak pernah menduga apa yang akan dilakukan kurni hari itu.
Kurni menanti jawaban.
Hingga petang menjemput kepulangan matahari yang tenggelam.
Sepeda motor vespa melaju di jalan luas, membawa mereka berdua kesuatu tempat yang berhiaskan dengan lampu remang-remang.
“Karena aku sudah menebaknya bahwa kau pasti menerimanya. Maka aku membeli sebuah rumah untuk kita di sekitar sini,” ucap Kurni sambil membelok di tikungan kecil yang membawa mereka menuju ke depan pagar rumah dengan halaman besar berhiaskan lampu-lampu bundar.
Vespa berhenti Kurni turun membuka pagar rumah.
“Sebesar ini, apa tidak berlebihan?,” tanya perempaun tadi heran.
“Ya, karena aku berencana kita akan punya banyak anak, kita akan menajdi keluarga besar nantinya.”
©
Bekas luka di wajah Kurni masih menggores dan belum kering, seperti kakinya yang terpincang-pincang bertumpu pada tongkat penyangga. Dia duduk menangis bersandar di samping ruangan pucat dengan pintu tertutup rapat.
Di genggaman tangannya terdapat sebuah benda yang pernah diberikannya pada seseorang. Semua sirna bagai debu yang terbang di sapu angin malapetaka.
Beberapa hari yang lalu ketika itu hujan lebat, di jalan menuju rumah besar yang akan menjadi tempat mereka berdua membangun rumah tangga. Kurni menyetir mobil dengan Sunade duduk di sebelahnya.
Kecepatan mobil tidak terlalu laju, tapi apapun itu semua memang akan terjadi seperti goresan takdir yang tidak mungkin bisa dipungkiri. Mobil truk kuning yang melaju sempoyongan itu bergerak di jalan yang salah. Sesalah kejadian selanjutnya yang tidak seharusnya terjadi.
Dan berselang waktu setelah itu yang terdengar di telinga baik Kurni atau pun Sunade hanyalah serine ambulan dengan kilatan lampu merah berputar di dalam hujan.
Kecelakaan.
Menyisakan penderitaan.
Dua hari setelah itu  Kurni terbangun dari tidurnya. Tidur yang berlapiskan mimpi-mimpi indah tentang pesta pernikahan yang sudah direncanakannya beberapa minggu lagi.
Bangun tubuh itu seperti berhilang jasad, ringan tapi dengan kepala yang berat serta pusing. Hingga jam-jam selanjutnya dia mulai bisa mencipta langkah.
Bekas luka di wajah Kurni masih menggores dan belum kering, seperti kakinya yang terpincang-pincang bertumpu pada tongkat penyangga. Dia duduk menangis bersandar di samping ruangan pucat dengan pintu tertutup rapat.
Cincin. Benda itulah yang ada di dalam genggaman tangan Kurni, cincin yang sebenarnya berada di jeri manis Sunade. yang beberapa menit yang lalu dilepasnya dengan tangis berbalut luka.
Tubuh Sunade tergeletak tak bernyawa di dalam kamar mayat yang semerbak dengan bau formalin. Kini harapan itu sirna, tak tahu lagi entah kemana.
©
Luka di wajah  masih belum sembuh, walau kaki sudah bisa melangkah tanpa tongkat penyangga. Hari itu Kurni menggunakan jas dengan setelan kemeja dan dasi kupu-kupu rapi melingkar di lehernya.
Hari itu di sebuah gereja, semua orang menggunakan baju hitam, di samping Kurni terdapat sebuah peti mati yang terbuka memperlihatkan isinya.
Sunade terbaring tenang, dengan riasan serta gaun pengantin putih yang indah dengan manik-manik berkilau. Hari bahagia yang berbalutkan kemelancolisan.
Kurni menangis ketika pendeta menyuruhnya memasangkan cincin kawinya ke jari manis Sunade yang sepi di dalam peti mati. Tidak hanya Kurni tapi semua orang yang hadir di acara pernikahan itu pun juga menangis.
Merebak tangis di mana-mana, merasuk sedih yang tergambar bagai dedaunan maple yang gugur di musim semi, seperti salju yang berhambur menggelut udara. Itulah rasa haru yang teramat dalam atas cinta sejati yang tak akan pernah bisa hilang begitu saja.
Bagai lilin padam, bagai secangkir cappuccino yang tidak lagi terhiraukan, semuaya pesi dalam rasa mati. Laksana waktu bergerak ketika peti mati di tutup dan dibopong meninggalan gereja, tangis-tangis itu semakin menjadi. Hingga tanah pekuburan menutupi semua kenyataan cinta yang hilang tersapu waktu.
Hari itu adalah hari pernikahan Kurni dan Sunade yang juga merupakan hari ke pulangan Sunade menuju surga yang juga memiliki tafsir sebagai hari perpisahan mereka berdua untuk selama-lamanya.
Ketika semua orang sudah pulang satu persatu dan hanya tersisa Kurni seorang, hembusan angin bertiup kearahnya, seolah membisikkan suara yang dikenalnya. Dia berpaing menuju kepenjuru rerumputan luas yang bergoyang. Dari penglihatanya terlihat selendang merah kuning hijau melambai-lambai mengiringi kemana angin berhembus, menjuntai hingga menyentuh rerumputan tinggi yang sondong hampir merebah oleh derasnya angin.
“Sunade—.” Teriak itu melengking menuju langit yang luas tak berbatas, membuat sekawanan burung pipit terbang bergerombol.
Yang terdengar hanyalah suara angin, desisan mesra yang lembut menyentuh setiap jengkal kulit yang tidak tertutup kain pakaian, dasi kupu-kupu yang beberajam lalu masih rapi berbentuk kupu-kupu kini terberai melingkar kusut di kerah kemeja. Langkah itu pun berhenti di tempat yang sepi di antara rerumputan tinggi yang sondong hampir merebah oleh derasnya angin.
“Sunade—.” Teriakan itu berulang lagi. Melebar ke seluruh penjuru hingga hilang lagi tersapu angin.
Sunyi, masih sama.
Sepi, tak ada jawaban.
Dari mata kemerahan berubah menjadi sebuah tangisan.[]
NB : Untuk Maisya Aisya dan Arya Ningtyas serta para pembaca setia dimana pun anda berada, semoga terhibur dengan cerpen yang sangat melancolis ini.
________________________________________________
Jangan lupa untuk berkunjung di halaman FIKSI.Com on Facebook: http://www.facebook.com/pages/FiksiCom/186544941415759


2 komentar:

  1. kukira mau jd crita stensil,wkwkwkwkw

    BalasHapus
  2. dasar otak kamu ngeres Ndra kikikiiiiiiiiii
    aku tetap mempertahankan judulnya kok Ndra hehehehee

    BalasHapus

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!