Lonceng
berdentang, menggema di halaman luas menghampari bebatuan lusuh berlapis debu.
Ada yang hanya berbentuk biasa berwarna hitam dan putih, ada yang berbentuk
luar biasa dengan lekukan seni serta ukiran nama-nama jiwa yang telah menghilang,
ada juga yang berbentuk malaikat bersayap mengangkat tangan kanannya dengan
telunjuk mengheja langit. Halaman tadi dihiasi oleh hitam serta langkah-langkah
lemah, di atas dedaunan kering yang sebelumnya berguguran tersapu angin
kerinduan, kaki orang-orang mulai beranjak pergi dan sebelum itu terjadi, ada
banyak air mata berbelasungkawa yang mencoba menguatkan nafas kehidupan lain
yang kehilangan untuk terus bertahan.
Kereta
api memang sering berhenti di banyak tempat. Tapi kehidupan akan selalu berjalan,
dengan waktu, dengan kepastian yang disembunyikan oleh Tuhan.
Jemari
bocah itu mencengkram erat jari Ayahnya, tidak ada kemarahan, tapi lebih kepada
gugup dan takut. Dalam hatinya dia bertanya; Apakah mereka berbuat kesalahan, dosa, atau sesuatu yang Tuhan tidak
sukai. Sehingga Tuhan mengambil kembali apa yang sudah diberikan-Nya!?.
Tapi bibirnya tidak bergerak, bahkan bergetar pun tidak, walau lidahnya naik
turun di dalam mulutnya. Layu, tetap saja tidak bersuara.
Pelangi
mulai sirna, perlahan warnanya akan menghilang, tergantikan lalu terlupakan,
mungkin seperti itu kehidupan. Tapi tidak berlaku bagi Tuhan, Dia maha
segalanya dan memiliki rencana yang sangat rahasia. Bukankah itu terasa tidak
adil bagi manusia?. Walau pun demikian tak ada satu pun dari mereka berani
mempertanyakannya. Dan dengan Kun
maka jadilah segala semesta, dalam sekejab semua sirna diambilnya kembali tanpa
terselip atau bahkan tersisa, Tuhan selalu teliti, lebih teliti dari siapa pun,
apa pun, di mana pun, serta kapan pun.
Karena
sudah tak sanggup menahan nafas yang tersesak akibat rasa ingin tahu tentang
keberadaan Tuhan serta yang Tuhan lakukan, maka bocah tadi bertanya pada
Ayahnya. “Mengapa Tuhan memberi, lalu mengambilnya lagi. Mengapa Tuhan
membiarkan kita semua tertawa, lalu juga membiarkan kita menangis. Apakah Tuhan
mendengarkan doa kita?.”
Petir
menggelegar di dalam jantung, membuat kedua bola mata coklat tadi menatap
sedikit rendah kearah bocah yang menunggu. Dedaunan berguguran lagi ketika
angin bernafas untuk dunia.
“Kau
tahu mengapa Tuhan itu ada?,”
Rembulan
jadi purnama, air laut berubah pasang berkepanjangan, di bibir pantai gelombang
menyentuh pasir-pasir berubah padat. Bocah tadi membalas tatapan Ayahnya,
kemudian mereka berjalan pulang di antara manusia, bebatuan dan burung gagak.
Selendang berkibar membentuk pelangi, dan di dalam mata terlukis gambaran yang
indah serta berbeda, di kiri mau pun di kanan.
Kebingungan
itu berbuah pertanyaan yang sama dari si bocah kepada Ayahnya. “Mengapa Tuhan
itu ada?.” Dan apel tetaplah apel, akan berada di pohon apel, tidak di pohon
jeruk, tidak di pohon anggur, apa lagi di pohon mati dengan ranting bercabang
merekah seolah berteriak untuk diselamatkan. Bumi berputar dan mengitari
matahari, bulan berputar dan mengitari bumi, manusia berputar mengarungi
kehidupan, dan semuanya itu berujung pada kepunahan, pada kematian.
Sekilas
senyuman bukanlah jawaban, tapi membuat si bocah melarikan tatapan matanya, jika
ingin memetik bunga mawar maka jangan meminta orang lain untuk memetiknya,
petiklah sendiri lalu rasakan begitu nyerinya jari tertusuk duri, merah hingga
akhirnya berdarah. Di perjalanan pulang di dalam mobil yang mengulang batuk,
wajah mungil hanya menekuk ke bawah, bisa saja prihal itu menuju alam bawah
sadar, atau lebih menenangkan jika menuju alam pikiran yang menguat.
Ω
Kedua
lubang telinga ditutup dengan telapak tangan, menghindari suara yang terus
terdengar di balik pintu, di bawah lampu yang baru saja dinyaakan. Tubuh
bersandar pada daun pintu kayu. Daun pintu yang dulunya adalah pohon tua, besar
di tengah hutan yang kejam, yang kuat yang bertahan, yang pintar pandai menawar
hidup, yang lemah belajar bersembunyi dan yang bodoh pasrah meratapi kehidupan.
Suara
kaca pecah melanjutkan kegelisahan, entah itu suara kaca jendela, atau mungkin
juga suara piring yang terbang menghempas lantai keramik bercorak bunga tulip.
Badai pasir menggulung menelan peradaban, meteor berjatuhan kelaut lepas,
gelombang tsunami, gunung meletus, dan semua kebahagiaan yang pernah dirasakan
sirna berganti kesedihan. Mengapa dia
tidak mati saja. Pikiran itu bertanya pada Tuhan. Kau ada di mana?. Tak lelah untuk bertanya. Apa Kau mendengarkan pertanyaanku?. Mengapa Kau biarkan pertengkaran?.
Apa kami berbuat salah pada-Mu?. Dilepas kedua telapak tangan agar bisa
mendengarkan jawaban, tapi suara itu tak pernah terdengar, yang ada hanyalah
teriakan, ketakutan, tangisan, penderitaan. Di
mana Tuhan berada.
Ω
Matahari.
Gelombang panas memijar keseluruh penjuru, bergetar dengan kuasa-Nya, di dalam energi
kosmos yang kentara, serpihan batu dari gas matahari berhambur, bersusun dengan
sendirinya, dengan kehendak Tuhan, dan terciptalah benda langit yang masih
panas, mendingin, berevolusi, hingga akhirnya di antara benda langit tadi, di
sebuah planet biru, muncul cikal bakal kehidupan. Tuhan memerulukan waktu untuk
melakukan penciptaan, tapi bukan berarti Dia tidak mampu membuatnya dalam
sekejap, semua itu selalu ada tujuannya, pelajaran, dan sandi pemaknaan
kehidupan. Yang hampa menjadi hidup, raga jadi bernyawa, kecil menjadi besar,
kesempurnaan hanyalah milik Tuhan.Berawal dari kehidupan, berakhir dengan
kematian.
Secercah
cahaya muncul di pelipis mata, di samping pekarangan, tanah tersisa, masa kecil
merangkak di atas rumput hijau segar, dia sudah bisa berjalan, tapi merangkak
mengikuti Ayahnya. Tanah digali dan akar-akar dimasukkan ke dalamnya, dikubur
dengan ujung batang menghadap langit, daunnya masih sedikit, sama sedikitnya
seperti ranting yang dimilikinya. Tangan mungil dan telapak tangan sang Ayah
menepuk gundukan tanah yang mengubur akar-akar tadi. Kemudian si Ibu berucap
dengan senyumnya.
“Pohon
ini akan tumbuh bersamaan denganmu, atau mungkin akan lebih tinggi serta besar
daripada dirimu.”
Sang
Ayah tersenyum, memperlihatkan rasa bangganya, benihnya adalah masa depan
hidupnya, istrinya adalah jiwanya yang lain dan mereka seakan menjadi keluarga
yang luput dengan ketidak sempurnaan. Si bocah akhirnya berubah dewasa, hidup
mulai berubah, tak ada yang pasti, tak ada yang bisa menebak apa yang akan
terjadi selanjutnya. Bahkan air mata tak pernah direncanakan oleh mereka.
Pohon
tumbuh besar, akar-akarnya tidak hanya tumbuh di tanah, tapi juga bergantungan,
berayun ditiup angin. Cat rumah yang dulunya menyegarkan sekarang sudah mulai
terkelupas, dimakan panas, dimakan hujan, dimakan waktu.
Ω
Hujan
menetes di kaca mobil, temaram wajah kesedihan tergambar di balik embun kaca
belakang mobil, dari kaca spion rambut pirang itu menatap pohon kehidupan, kini
pohon itu tumbang, kini pohon itu rantingnya rapuh dan patah. Kemeja coklat,
celana panjang kain hitam, kaca mata berbingkai tanduk dilepaskan karena
mengabur tersentuh hujan, tidak hanya kaca mata yang basah, tapi kemeja, celana,
jiwa dan raga menajdi basah. Penyesalan tergambar di wajah, yang dibalik kaca
jadi meresah. Apa ini juga rencana
Tuhan?. Nafas dihela. “Begitu kejamnya Tuhan terhadap manusia.”
Perasaan
marah melepas sirna, kini tak ingin ditinggalkan, tak ingin ada yang diambil
kembali, semua yang diberi terasa menjadi milik sendiri, padahal pada
hakekatnya Tuhan memiliki hak besar untuk mengambilnya kembali, kehidupan
hanyalah titipan, pelihara apa yang dititipkan, karena yang baik akan menjadi
baik dan yang jahat tidak bisa dihindari oleh manusia. Di balik hujan, kabut
itu bersarang.
Bocah
yang hidup bahagia, melihat kematian, melihat penderitaan dan berujung pada
perpisahan. Untuk apa tuhan itu?. Jika
memberi tapi diambil kembali. Dan kini kita pun tahu jawabnya.
“Kau
tahu mengapa Tuhan itu ada?.”
“Jawabnya………..”
Ω
NB : untuk Adesti Wulansari.
Selamat menikmati cerpen dengan gaya Eksperimental ini.
Bagus fiksinya.. nuansa dunia/manusia dan tuhan begitu nyata penggambarannya.. Al suka.... sukses ya..
BalasHapusMakasih Alia sudah berkunjung dan membaca...cerpen ini memang membicarakan tentang dunia, manusia dan Tuhan. Tiga unsur yang berkaitan besar dalam kehidupan :)
BalasHapussalam