22 Jun 2012

Tuhan itu tidak pernah adil?


Lonceng berdentang, menggema di halaman luas menghampari bebatuan lusuh berlapis debu. Ada yang hanya berbentuk biasa berwarna hitam dan putih, ada yang berbentuk luar biasa dengan lekukan seni serta ukiran nama-nama jiwa yang telah menghilang, ada juga yang berbentuk malaikat bersayap mengangkat tangan kanannya dengan telunjuk mengheja langit. Halaman tadi dihiasi oleh hitam serta langkah-langkah lemah, di atas dedaunan kering yang sebelumnya berguguran tersapu angin kerinduan, kaki orang-orang mulai beranjak pergi dan sebelum itu terjadi, ada banyak air mata berbelasungkawa yang mencoba menguatkan nafas kehidupan lain yang kehilangan untuk terus bertahan.

Kereta api memang sering berhenti di banyak tempat. Tapi kehidupan akan selalu berjalan, dengan waktu, dengan kepastian yang disembunyikan oleh Tuhan.
Jemari bocah itu mencengkram erat jari Ayahnya, tidak ada kemarahan, tapi lebih kepada gugup dan takut. Dalam hatinya dia bertanya; Apakah mereka berbuat kesalahan, dosa, atau sesuatu yang Tuhan tidak sukai. Sehingga Tuhan mengambil kembali apa yang sudah diberikan-Nya!?. Tapi bibirnya tidak bergerak, bahkan bergetar pun tidak, walau lidahnya naik turun di dalam mulutnya. Layu, tetap saja tidak bersuara.
Pelangi mulai sirna, perlahan warnanya akan menghilang, tergantikan lalu terlupakan, mungkin seperti itu kehidupan. Tapi tidak berlaku bagi Tuhan, Dia maha segalanya dan memiliki rencana yang sangat rahasia. Bukankah itu terasa tidak adil bagi manusia?. Walau pun demikian tak ada satu pun dari mereka berani mempertanyakannya. Dan dengan Kun maka jadilah segala semesta, dalam sekejab semua sirna diambilnya kembali tanpa terselip atau bahkan tersisa, Tuhan selalu teliti, lebih teliti dari siapa pun, apa pun, di mana pun, serta kapan pun.
Karena sudah tak sanggup menahan nafas yang tersesak akibat rasa ingin tahu tentang keberadaan Tuhan serta yang Tuhan lakukan, maka bocah tadi bertanya pada Ayahnya. “Mengapa Tuhan memberi, lalu mengambilnya lagi. Mengapa Tuhan membiarkan kita semua tertawa, lalu juga membiarkan kita menangis. Apakah Tuhan mendengarkan doa kita?.”
Petir menggelegar di dalam jantung, membuat kedua bola mata coklat tadi menatap sedikit rendah kearah bocah yang menunggu. Dedaunan berguguran lagi ketika angin bernafas untuk dunia.
“Kau tahu mengapa Tuhan itu ada?,”
Rembulan jadi purnama, air laut berubah pasang berkepanjangan, di bibir pantai gelombang menyentuh pasir-pasir berubah padat. Bocah tadi membalas tatapan Ayahnya, kemudian mereka berjalan pulang di antara manusia, bebatuan dan burung gagak. Selendang berkibar membentuk pelangi, dan di dalam mata terlukis gambaran yang indah serta berbeda, di kiri mau pun di kanan.
Kebingungan itu berbuah pertanyaan yang sama dari si bocah kepada Ayahnya. “Mengapa Tuhan itu ada?.” Dan apel tetaplah apel, akan berada di pohon apel, tidak di pohon jeruk, tidak di pohon anggur, apa lagi di pohon mati dengan ranting bercabang merekah seolah berteriak untuk diselamatkan. Bumi berputar dan mengitari matahari, bulan berputar dan mengitari bumi, manusia berputar mengarungi kehidupan, dan semuanya itu berujung pada kepunahan, pada kematian.
Sekilas senyuman bukanlah jawaban, tapi membuat si bocah melarikan tatapan matanya, jika ingin memetik bunga mawar maka jangan meminta orang lain untuk memetiknya, petiklah sendiri lalu rasakan begitu nyerinya jari tertusuk duri, merah hingga akhirnya berdarah. Di perjalanan pulang di dalam mobil yang mengulang batuk, wajah mungil hanya menekuk ke bawah, bisa saja prihal itu menuju alam bawah sadar, atau lebih menenangkan jika menuju alam pikiran yang menguat.
Kedua lubang telinga ditutup dengan telapak tangan, menghindari suara yang terus terdengar di balik pintu, di bawah lampu yang baru saja dinyaakan. Tubuh bersandar pada daun pintu kayu. Daun pintu yang dulunya adalah pohon tua, besar di tengah hutan yang kejam, yang kuat yang bertahan, yang pintar pandai menawar hidup, yang lemah belajar bersembunyi dan yang bodoh pasrah meratapi kehidupan.
Suara kaca pecah melanjutkan kegelisahan, entah itu suara kaca jendela, atau mungkin juga suara piring yang terbang menghempas lantai keramik bercorak bunga tulip. Badai pasir menggulung menelan peradaban, meteor berjatuhan kelaut lepas, gelombang tsunami, gunung meletus, dan semua kebahagiaan yang pernah dirasakan sirna berganti kesedihan. Mengapa dia tidak mati saja. Pikiran itu bertanya pada Tuhan. Kau ada di mana?. Tak lelah untuk bertanya. Apa Kau mendengarkan pertanyaanku?. Mengapa Kau biarkan pertengkaran?. Apa kami berbuat salah pada-Mu?. Dilepas kedua telapak tangan agar bisa mendengarkan jawaban, tapi suara itu tak pernah terdengar, yang ada hanyalah teriakan, ketakutan, tangisan, penderitaan. Di mana Tuhan berada.
Matahari. Gelombang panas memijar keseluruh penjuru, bergetar dengan kuasa-Nya, di dalam energi kosmos yang kentara, serpihan batu dari gas matahari berhambur, bersusun dengan sendirinya, dengan kehendak Tuhan, dan terciptalah benda langit yang masih panas, mendingin, berevolusi, hingga akhirnya di antara benda langit tadi, di sebuah planet biru, muncul cikal bakal kehidupan. Tuhan memerulukan waktu untuk melakukan penciptaan, tapi bukan berarti Dia tidak mampu membuatnya dalam sekejap, semua itu selalu ada tujuannya, pelajaran, dan sandi pemaknaan kehidupan. Yang hampa menjadi hidup, raga jadi bernyawa, kecil menjadi besar, kesempurnaan hanyalah milik Tuhan.Berawal dari kehidupan, berakhir dengan kematian.
Secercah cahaya muncul di pelipis mata, di samping pekarangan, tanah tersisa, masa kecil merangkak di atas rumput hijau segar, dia sudah bisa berjalan, tapi merangkak mengikuti Ayahnya. Tanah digali dan akar-akar dimasukkan ke dalamnya, dikubur dengan ujung batang menghadap langit, daunnya masih sedikit, sama sedikitnya seperti ranting yang dimilikinya. Tangan mungil dan telapak tangan sang Ayah menepuk gundukan tanah yang mengubur akar-akar tadi. Kemudian si Ibu berucap dengan senyumnya.
“Pohon ini akan tumbuh bersamaan denganmu, atau mungkin akan lebih tinggi serta besar daripada dirimu.”
Sang Ayah tersenyum, memperlihatkan rasa bangganya, benihnya adalah masa depan hidupnya, istrinya adalah jiwanya yang lain dan mereka seakan menjadi keluarga yang luput dengan ketidak sempurnaan. Si bocah akhirnya berubah dewasa, hidup mulai berubah, tak ada yang pasti, tak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Bahkan air mata tak pernah direncanakan oleh mereka.
Pohon tumbuh besar, akar-akarnya tidak hanya tumbuh di tanah, tapi juga bergantungan, berayun ditiup angin. Cat rumah yang dulunya menyegarkan sekarang sudah mulai terkelupas, dimakan panas, dimakan hujan, dimakan waktu.
Hujan menetes di kaca mobil, temaram wajah kesedihan tergambar di balik embun kaca belakang mobil, dari kaca spion rambut pirang itu menatap pohon kehidupan, kini pohon itu tumbang, kini pohon itu rantingnya rapuh dan patah. Kemeja coklat, celana panjang kain hitam, kaca mata berbingkai tanduk dilepaskan karena mengabur tersentuh hujan, tidak hanya kaca mata yang basah, tapi kemeja, celana, jiwa dan raga menajdi basah. Penyesalan tergambar di wajah, yang dibalik kaca jadi meresah. Apa ini juga rencana Tuhan?. Nafas dihela. “Begitu kejamnya Tuhan terhadap manusia.”
Perasaan marah melepas sirna, kini tak ingin ditinggalkan, tak ingin ada yang diambil kembali, semua yang diberi terasa menjadi milik sendiri, padahal pada hakekatnya Tuhan memiliki hak besar untuk mengambilnya kembali, kehidupan hanyalah titipan, pelihara apa yang dititipkan, karena yang baik akan menjadi baik dan yang jahat tidak bisa dihindari oleh manusia. Di balik hujan, kabut itu bersarang.
Bocah yang hidup bahagia, melihat kematian, melihat penderitaan dan berujung pada perpisahan. Untuk apa tuhan itu?. Jika memberi tapi diambil kembali. Dan kini kita pun tahu jawabnya.
“Kau tahu mengapa Tuhan itu ada?.”
“Jawabnya………..”

NB : untuk Adesti Wulansari. Selamat menikmati cerpen dengan gaya Eksperimental ini.

2 komentar:

  1. Bagus fiksinya.. nuansa dunia/manusia dan tuhan begitu nyata penggambarannya.. Al suka.... sukses ya..

    BalasHapus
  2. Makasih Alia sudah berkunjung dan membaca...cerpen ini memang membicarakan tentang dunia, manusia dan Tuhan. Tiga unsur yang berkaitan besar dalam kehidupan :)

    salam

    BalasHapus

terima kasih sudah membaca dan memberikan komentar!